****
Kuhamparkan sajadah, bermunajat kepada sang pemberi hidup. Aku harus cepat menjelaskan ke Brayen bahwa dia sudah baligh dan harus tahu batasan denganku sebagai ibu sambungnya. Kecemburuannya terlalu berlebihan membuat dia semakin berulah.Jam menunjukkan pukul dua siang sebentar lagi Shaka dan Monica pulang. Brayen terlihat sedang menyantap makan siang, aku kira dia akan mogok di kamarnya. Ternyata aku salah."Aku sudah mempelajari batasanku dengan bunda, itu artinya suatu saat jika daddy tiada aku bisa menggantikan daddy sebagai suaminya Miss Nina.""Brayen, jaga ucapanmu!" tegasku."Itu 'kan maksud bunda? Bahwa bunda denganku bukan muhrim dan artinya aku dan bunda bisa menikah suatu saat nanti. Hidup siapa yang bisa jamin!"Kali ini aku menamparnya dengan keras!Plak!"Bunda membatasi diri bukan berarti bunda tidak tahu aturan. Memeluk dan menciummu memang harus bundaBrayen tumbuh besar dengan gaya hidup yang beda. Dia merasa kasih sayangnya terambil oleh adik-adiknya. Sementara dengannya, aku benar-benar jaga jarak dan membatasi diri mana yang boleh atau tidak ketika bersamanya. "Miss, jika daddy tidak setia denganmu maka Brayen yang akan merebut miss darinya." Dia keluar dengan hanya satu ransel yang digunakan. Aku benar-benar dilema dibuatnya. Kuhubungi sopir keluarga untuk membawa Shaka dan Monica ke rumah eyangnya, kebetulan ibu dan ayah sedang liburan di kota. Aku harus menenangkan diri agar kedua anakku tidak merasakan kegundahan yang kurasa. Selain itu, aku juga harus menjelaskan ke mereka abangnya yang diusir oleh daddynya. Entah mengapa mendengar penuturan Brayen membuatku sedikit ragu dengan Reza, setelah dua belas tahun pernikahan kami, badai itu datang lagi. Apa benar Reza
"Sabar, nak. Jaga juga penampilanmu. Ibu lihat kamu tidak merawat diri lagi," jelas ibu. Jangankan merawat diri, aku justru sibuk dengan anak-anakku dan urusan Brayen. Apa benar aku tidak menarik, mengingat setelah melahirkan Monica badanku semakin gemuk. "Buat dirimu menarik, Nin. Ke salon sekali waktu. Bahkan tujuh turunan uangmu tidak habis," kekeh ibu. "Ibu aja tidak merawat diri, tapi masih tetap cantik," jawabku asal. "Ibu beda denganmu yang hidupnya santai, kalau kamu mah tidur pun mikir," ucap ibu sambil tertawa. Memang sebaik-baik tempat pulang adalah orang tua. Tempat segala rasa ditumpahkan. Semoga Shaka dan Monica juga merasakan hal yang sama. Mereka terbuka denganku. Menjelang magrib Shaka dan Monica pulang bersamaku. Minimal segala k
"Berjanjilah dengan bunda jika kamu bisa menjadi laki-laki sejati, Brayen. Urusan dengan daddy mu itu urusan bunda sebagai istrinya."Hening. Brayen masih duduk bersimpuh di bawah kakiku."Iya, bund. Brayen berjanji akan menjadi laki-laki sejati. Akan kubuktikan bahwa aku akan jadi anak yang berbakti. Maafkan segala khilaf Brayen, bund."Luruh sudah air mata ini keluar."Berjanjilah, bund agar merawat diri bunda dengan baik. Aku, Shaka dan Monica akan selalu bersama bunda. Kami sudah besar bisa merawat diri kami. Diluar sana banyak wanita yang ingin dekat dengan daddy."Anak ini sudah benar-benar dewasa hingga membuat hatiku terenyuh melihat kesungguhannya. 
"Aku bundanya Brayen datang menjenguk nak David," ucapku penuh lembut. Kulihat mereka menatapku dari bawah sampai atas. Untung aku ikuti usulnya Brayen untuk dandan terlebih dahulu."O, ya, David perlu kamu tahu usiamu adalah usia emas dimana sekolah itu banyak cinta. Aku mendengar semua yang kalian bicarakan, santai saja." Aku duduk di tepi ranjang milik david. Kulihat keningnya diperban.Brayen mengacungkan jempolnya."Aku memang tidak menarik bagi kalian, tapi kupastikan kepada kalian bahwa suami dan anakku tidak akan terpengaruh dengan hasutan kalian.""Bu .. kan begitu bu maksud kami." Ayahnya David mulai ketakutan. Dia bahkan gagap hanya sekedar bicara."O, ya, David. Atas prestasimu akan kukembalikan ayahmu ke rumahnya, mulai hari ini ayahmu dipecat dari perusahaan. Selain itu, perlu kamu tahu bahwa saham yang kumiliki masih lebih besar dari tuan Reza, jadi gampang bagiku hanya sekedar memecat ayahmu!" tegasku m
Reza terus mengejarku sampai ke depan pintu mobil. Tak kuhiraukan dirinya, sakit yang kurasa lebih dalam, dia bilang cinta? Justru dia lebih berani memberi luka. Apa Reza sedang mengalami puber kedua?"Sayang, abang bisa jelaskan." Reza terus memelas memintaku untu mendengarnya."Tidak perlu! Karena yang kulihat dan kudengar itu pasti benar.""Sayang salah sangka, dengerin abang," ucapnya lagi.Dia ingin memelukku, tapi kutepis begitu saja. Aku langsung masuk mobil, Brayen ikut juga masuk. Reza terlihat kacau, wanita yang tadi juga ikut terkejut dan terlihat memohon ke Reza. Aku langsung mengambil alih kemudi mobil ini."Bund, bahaya jika bunda yang nyetir biar Brayen saja."
"Dia sekertaris Abang yang dipilih oleh perusahaan dari Jepang, kebetulan Nova lancar berbahasa Jepang. Selain itu, Nova sudah berkeluarga dan bahagia. Beberapa orang kantor menghubungkan Abang dengannya agar perusahaan semakin hancur, tapi untung semua bisa diatasi." Ya Allah maafkan aku atas kekhilafan ini."Maafkan Brayen, dad.""Kamu tinggal disini atau masih di kost?""Disini, tapi Brayen masih mau kerja, dad. Biar Brayen bisa mandiri.""Tak masalah bagi Daddy, asalkan kamu buktikan semester ini menjadi juara. Satu tahun lagi kamu lulus jadilah anak baik.""Ya, dad. Syukur tadi tidak hampir mati, dad. Bunda ngeri kalau marah.""Itu karena Daddy yang salah," ucapnya lembut. Dia masih menyalahkan dirinya."Bang, aku mau diet.""Diet ditemani Abang saja, ya. Tiap pagi sore kita ke ruang olahraga.""Oke, bang.""Semang
Kami menuju sekolahnya Brayen. Semua bersuka cita menyambut kelulusan ini. Salah satunya Brayen dia mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Harvard. Ada rasa sedih menyerangku, tapi melihat dia yang begitu semangat menggapai cita-citanya membuatku ikut turut bahagia. Sedih karena dia akan pergi keluar negeri untuk melanjutkan cita-citanya."Bund, Brayen grogi," bisiknya di sebelahku."Kenapa?""Brayen ingin membuat bunda dan Daddy bangga, aku takut tidak bisa membuat bunda bahagia.""Bunda 'kan sudah bilang santai saja," jawabku berbisik juga."Bisik apaan sih?" tanya Reza yang penasaran. Namun, kuisengin saja dia."Bisik masa depan
"Dari kemarin aku tidak bisa tidur mengingat tidak ada hal yang bisa kubanggakan selain nilai kelulusan yang tinggi."Semua diam, ada haru yang tidak bisa kugambarkan."Setahun ini saya bekerja sambil sekolah, bunda merestu itu. Dari sana saya belajar banyak hal bahwa aku yang sedari kecil dimanja dan dirawat daddy sementara diluar sana masih banyak yang belum beruntung. Terima kasih, dad. Aku memang belum bisa menjadi anak baik seperti yang daddy inginkan. Namun, percayalah semua hati ini tentangmu yang sedari kecil sudah merawatku sampai saat ini."Setelah itu Brayen mengakhiri kalimatnya. Reza maju dan memeluk anaknya. Semua yang hadir ikut bertepuk tangan. Anak sambung, tak mudah bagi sebagian anak apalagi ayah kandungnya tak sedikit pun menengoknya. Reza pun memutus akses dengan ayahnya karena Reza tahu ayahnya akan memanfaatkan Brayen untuk membahagiakan istri keduanya. Bisa dikatakan hidup Brayen benar-benar rumit.Aca
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa