"Dia sekertaris Abang yang dipilih oleh perusahaan dari Jepang, kebetulan Nova lancar berbahasa Jepang. Selain itu, Nova sudah berkeluarga dan bahagia. Beberapa orang kantor menghubungkan Abang dengannya agar perusahaan semakin hancur, tapi untung semua bisa diatasi." Ya Allah maafkan aku atas kekhilafan ini.
"Maafkan Brayen, dad."
"Kamu tinggal disini atau masih di kost?"
"Disini, tapi Brayen masih mau kerja, dad. Biar Brayen bisa mandiri."
"Tak masalah bagi Daddy, asalkan kamu buktikan semester ini menjadi juara. Satu tahun lagi kamu lulus jadilah anak baik."
"Ya, dad. Syukur tadi tidak hampir mati, dad. Bunda ngeri kalau marah."
"Itu karena Daddy yang salah," ucapnya lembut. Dia masih menyalahkan dirinya.
"Bang, aku mau diet."
"Diet ditemani Abang saja, ya. Tiap pagi sore kita ke ruang olahraga."
"Oke, bang.""SemangKami menuju sekolahnya Brayen. Semua bersuka cita menyambut kelulusan ini. Salah satunya Brayen dia mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Harvard. Ada rasa sedih menyerangku, tapi melihat dia yang begitu semangat menggapai cita-citanya membuatku ikut turut bahagia. Sedih karena dia akan pergi keluar negeri untuk melanjutkan cita-citanya."Bund, Brayen grogi," bisiknya di sebelahku."Kenapa?""Brayen ingin membuat bunda dan Daddy bangga, aku takut tidak bisa membuat bunda bahagia.""Bunda 'kan sudah bilang santai saja," jawabku berbisik juga."Bisik apaan sih?" tanya Reza yang penasaran. Namun, kuisengin saja dia."Bisik masa depan
"Dari kemarin aku tidak bisa tidur mengingat tidak ada hal yang bisa kubanggakan selain nilai kelulusan yang tinggi."Semua diam, ada haru yang tidak bisa kugambarkan."Setahun ini saya bekerja sambil sekolah, bunda merestu itu. Dari sana saya belajar banyak hal bahwa aku yang sedari kecil dimanja dan dirawat daddy sementara diluar sana masih banyak yang belum beruntung. Terima kasih, dad. Aku memang belum bisa menjadi anak baik seperti yang daddy inginkan. Namun, percayalah semua hati ini tentangmu yang sedari kecil sudah merawatku sampai saat ini."Setelah itu Brayen mengakhiri kalimatnya. Reza maju dan memeluk anaknya. Semua yang hadir ikut bertepuk tangan. Anak sambung, tak mudah bagi sebagian anak apalagi ayah kandungnya tak sedikit pun menengoknya. Reza pun memutus akses dengan ayahnya karena Reza tahu ayahnya akan memanfaatkan Brayen untuk membahagiakan istri keduanya. Bisa dikatakan hidup Brayen benar-benar rumit.Aca
POV AUTHORShaka tumbuh dengan putra kebanggan Reza dan Nina. Usianya sebentar lagi menginjak 30 tahun. Sampai saat ini kabar Brayen belum ada titik terangnya. Jika masih hidup usianya sudah 37 tahun.Shaka sudah menggantikan Daddynya yang pensiun sebagai pimpinan di kantor. Reza memilih berdua dengan istrinya. Semenjak kehilangan Brayen kesehatan Nina semakin menurun. Ini karena dia merasa bersalah tidak mengantar Brayen sampai ke luar negeri.Monica juga tumbuh dengan sangat menawan, dia memilih menjadi dokter spesialis anak dan sekarang masih melanjutkan spesialisnya. Namun, belakangan ini banyak sekali para direksi datang ke rumah mereka hanya sekedar bersilaturrahim padahal tujuannya menjadi besan mereka. Siapa lagi yang mereka incar kalau bukan Shaka. Itu juga membuat Nina serinh murung, setiap mereka datang menjadi beban bagi mereka karena tidak sedi
Menceritakan tentang anaknya Nina. Jadi menggunakan Shaka sebagai POV 1 nya.Dokter Ana Chairunnisa hanya menunduk tidak berani melihatku. Daddy dan bunda bahagia sekali karena ternyata dokter Ana adalah anak dari dokter Gunawan yang waktu kecil sering aku panggil om."Masya Allah Shaka, kenapa tampan sekali," ucap Fatia yang dulu adalah asisten bunda. Sekarang hidupnya lebih berubah."Iya, mbak, tapi sifat cueknya bikin kewalahan ini anak," jawab bunda. Aku hanya jadi pendengar setia saja. Aku tipe orang yang jika diajak ngomong lebih banyak mendengarkan. Begitu juga daddy ajarkan."Nak Ana apakah lagi dekat dengan seseorang?" tanya bunda to the point."Kenapa, Non?" tanya Fatia--Bundanya dokter Ana."Kami datang kesini untuk melamar nak Ana untuk Shaka," jawab bunda."Masya Allah beneran ini, bro." Dokter Gunawan ikut terkejut."Iya, Gun. Saya dan Nina ingin melamar nak Ana sebagai istrinya Shaka." Dokter Ana hanya menu
Dokter Rayyandra duduk dengan tenang. Dia sama sekali tidak merasa jika dia adalah Brayen. Apa di dunia ini ada wajah yang begitu mirip."Mohon maaf saya kesini ingin bersilaturrahim ke rumah dokter Ana."Semua hening. Bahkan gaya bicaranya yang cool benar-benar mirip abang Brayen.Dokter Ana hanya menunduk tidak berani menatap kami. Aku benar-benar merasa dicampakkan olehnya begitu saja."Bund kita izin pamit saja. Tidak enak mengganggu acaranya dokter Ana," jelasku agar segera pulang dari rumah ini.Bunda menatap sebentar dokter yang bernama Rayyandra itu. Wajahnya sangat mirip dengan abang Brayen. Jika pun dia adalah abang Brayen aku sudah ikhlas jika dia yang menikah dengan dokter Ana. Bagaimana tidak? Aku sudah dicampakkan begitu saja oleh dokter Ana."Om, kami pamit, ya. Belakangan ini bunda sering kumat sakitnya," ucapku izin pamit di depan dokter Rayyandra itu. Aku ingin melihat reaksinya karena aku yakin dia adalah abang Brayen. Nam
Dokter Rayyandra tidak membalas pertanyaanku. Namun, tangannya memaksaku mengmbil kartu namanya. Pandangannya terus ke Daddy dan bunda. Aku jadi penasaran dengan dokter Rayyandra ini.Dia kembali ke tempat duduknya. Sementara aku menuju mobil. Daddy dan bunda sudah masuk lebih dulu. Suasana kembali hening. Daddy mengajarkan jika bunda kambuh, kami tidak boleh terlalu cerewet biarkan bunda mengendalikan emosinya terlebih dahulu. Itu yang selalu diajarkan bunda. Mobil melaju dengan keheningan. Daddy terus memeluk bunda yang air matanya terus mengalir tanpa henti. Kasih sayang seorang ibu sambung meski anak sambungnya telah tiada masih dirindukan."Dokter itu bilang apa, nak?" tanya bunda tiba-tiba."Bunda diminta ke prakteknya untuk diperiksa.""Dia dokter kejiwaan, Shaka?" tanya Daddy."Iya, Dad." Aku hanya menjawab dengan singkat.Daddy terlihat berpikir."Bunda, jangan sedih. Bagaimana Shaka mau punya istri jika bunda sedih terus," u
Cukup lama aku berfikir di kamar, wajah dokter Ana yang begitu rupawan membuatku tidak bisa tidur. Wajah yang begitu adem kurasa sungguh langka melihat wanita seperti dia. Namun, mengapa baru pertama kali sudah dicampakkan begitu saja olehnya.Namun, foto Alifa juga tak kalah menarik membuatku tidak tenang. Mengapa dia hadir setelah kami melamar dokter Ana. Bagaimana jika dokter Ana menerima lamaranku. Ah, rasanya dilema.Bunda datang ke kamarku. Dia duduk di tepi ranjang. Aku merasa bunda saat ini lebih tenang dari sebelumnya."Kepikiran dokter Ana, nak?" Tanya bunda.Aku hanya tersenyum, bahagia rasanya bunda berbicara dari hati ke hati seperti dulu. Walau aku belum berani cerita tentang Alifa. Meski hatiku sebenarnya lebih cenderung ke Alifa karena sadar diri dengan status dokter Ana."Bunda sehat?" tanyaku balik."Sehat seperti yang Shalat lihat. Entah mengapa setelah melihat dokter itu bunda seperti sehat kembali," jawabnya.
Berangkat ke kantor dengan perasaan tidak menentu. Bunda yang ingin segera melihatku menikah sungguh membuatku terus memikirkannya. Dalam pikiranku hanya satu, ingin melihat bunda sehat, itu saja.Apa dulu daddy merasakan hal yang sama ketika akan menikah dengan bunda? Jujur pusing aku memikirkan semua ini. Memikirkan wanita saja membuat kepalaku begitu mumet. Apalagi ditambah kehadiran Alifa yang membuatku semakin dilema.Sampai di kantor aku langsung membuka laporan untuk meeting hari ini. Kami akan bertemu dengan beberapa perusahaan untuk membicarakan mega proyek. Di kantor memang aku seperti arjunanya. Banyak karyawan perempuan yang ingin memikatku. Sayangnya aku tidak tertarik sama sekali. Entah mengapa aku lebih menyukai pekerjaan daripada rasa yang tidak menentu. Namun, Ana? Lalu kehadiran Alifa membuat konsentrasiku pudar."Tumben telat," ucap sekertaris sekaligus sahabatku waktu kuliah. Aku memilih sekertaris laki-laki agar tidak canggung ke
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa