Menceritakan tentang anaknya Nina. Jadi menggunakan Shaka sebagai POV 1 nya.
Dokter Ana Chairunnisa hanya menunduk tidak berani melihatku. Daddy dan bunda bahagia sekali karena ternyata dokter Ana adalah anak dari dokter Gunawan yang waktu kecil sering aku panggil om.
"Masya Allah Shaka, kenapa tampan sekali," ucap Fatia yang dulu adalah asisten bunda. Sekarang hidupnya lebih berubah.
"Iya, mbak, tapi sifat cueknya bikin kewalahan ini anak," jawab bunda. Aku hanya jadi pendengar setia saja. Aku tipe orang yang jika diajak ngomong lebih banyak mendengarkan. Begitu juga daddy ajarkan.
"Nak Ana apakah lagi dekat dengan seseorang?" tanya bunda to the point.
"Kenapa, Non?" tanya Fatia--Bundanya dokter Ana.
"Kami datang kesini untuk melamar nak Ana untuk Shaka," jawab bunda.
"Masya Allah beneran ini, bro." Dokter Gunawan ikut terkejut.
"Iya, Gun. Saya dan Nina ingin melamar nak Ana sebagai istrinya Shaka." Dokter Ana hanya menu
Dokter Rayyandra duduk dengan tenang. Dia sama sekali tidak merasa jika dia adalah Brayen. Apa di dunia ini ada wajah yang begitu mirip."Mohon maaf saya kesini ingin bersilaturrahim ke rumah dokter Ana."Semua hening. Bahkan gaya bicaranya yang cool benar-benar mirip abang Brayen.Dokter Ana hanya menunduk tidak berani menatap kami. Aku benar-benar merasa dicampakkan olehnya begitu saja."Bund kita izin pamit saja. Tidak enak mengganggu acaranya dokter Ana," jelasku agar segera pulang dari rumah ini.Bunda menatap sebentar dokter yang bernama Rayyandra itu. Wajahnya sangat mirip dengan abang Brayen. Jika pun dia adalah abang Brayen aku sudah ikhlas jika dia yang menikah dengan dokter Ana. Bagaimana tidak? Aku sudah dicampakkan begitu saja oleh dokter Ana."Om, kami pamit, ya. Belakangan ini bunda sering kumat sakitnya," ucapku izin pamit di depan dokter Rayyandra itu. Aku ingin melihat reaksinya karena aku yakin dia adalah abang Brayen. Nam
Dokter Rayyandra tidak membalas pertanyaanku. Namun, tangannya memaksaku mengmbil kartu namanya. Pandangannya terus ke Daddy dan bunda. Aku jadi penasaran dengan dokter Rayyandra ini.Dia kembali ke tempat duduknya. Sementara aku menuju mobil. Daddy dan bunda sudah masuk lebih dulu. Suasana kembali hening. Daddy mengajarkan jika bunda kambuh, kami tidak boleh terlalu cerewet biarkan bunda mengendalikan emosinya terlebih dahulu. Itu yang selalu diajarkan bunda. Mobil melaju dengan keheningan. Daddy terus memeluk bunda yang air matanya terus mengalir tanpa henti. Kasih sayang seorang ibu sambung meski anak sambungnya telah tiada masih dirindukan."Dokter itu bilang apa, nak?" tanya bunda tiba-tiba."Bunda diminta ke prakteknya untuk diperiksa.""Dia dokter kejiwaan, Shaka?" tanya Daddy."Iya, Dad." Aku hanya menjawab dengan singkat.Daddy terlihat berpikir."Bunda, jangan sedih. Bagaimana Shaka mau punya istri jika bunda sedih terus," u
Cukup lama aku berfikir di kamar, wajah dokter Ana yang begitu rupawan membuatku tidak bisa tidur. Wajah yang begitu adem kurasa sungguh langka melihat wanita seperti dia. Namun, mengapa baru pertama kali sudah dicampakkan begitu saja olehnya.Namun, foto Alifa juga tak kalah menarik membuatku tidak tenang. Mengapa dia hadir setelah kami melamar dokter Ana. Bagaimana jika dokter Ana menerima lamaranku. Ah, rasanya dilema.Bunda datang ke kamarku. Dia duduk di tepi ranjang. Aku merasa bunda saat ini lebih tenang dari sebelumnya."Kepikiran dokter Ana, nak?" Tanya bunda.Aku hanya tersenyum, bahagia rasanya bunda berbicara dari hati ke hati seperti dulu. Walau aku belum berani cerita tentang Alifa. Meski hatiku sebenarnya lebih cenderung ke Alifa karena sadar diri dengan status dokter Ana."Bunda sehat?" tanyaku balik."Sehat seperti yang Shalat lihat. Entah mengapa setelah melihat dokter itu bunda seperti sehat kembali," jawabnya.
Berangkat ke kantor dengan perasaan tidak menentu. Bunda yang ingin segera melihatku menikah sungguh membuatku terus memikirkannya. Dalam pikiranku hanya satu, ingin melihat bunda sehat, itu saja.Apa dulu daddy merasakan hal yang sama ketika akan menikah dengan bunda? Jujur pusing aku memikirkan semua ini. Memikirkan wanita saja membuat kepalaku begitu mumet. Apalagi ditambah kehadiran Alifa yang membuatku semakin dilema.Sampai di kantor aku langsung membuka laporan untuk meeting hari ini. Kami akan bertemu dengan beberapa perusahaan untuk membicarakan mega proyek. Di kantor memang aku seperti arjunanya. Banyak karyawan perempuan yang ingin memikatku. Sayangnya aku tidak tertarik sama sekali. Entah mengapa aku lebih menyukai pekerjaan daripada rasa yang tidak menentu. Namun, Ana? Lalu kehadiran Alifa membuat konsentrasiku pudar."Tumben telat," ucap sekertaris sekaligus sahabatku waktu kuliah. Aku memilih sekertaris laki-laki agar tidak canggung ke
Alifa begitu lancar menyampaikan persentasinya. Terlihat sekali ambisinya untuk mendapatkan proyek ini. Namun, satu hal yang dia belum paham bahwa dalam bisnis kita juga harus melihat peluang dari lawan kita. Itu yang aku pelajari beberapa tahun terakhir ini. Kecerdasan dan ketangkasan harus nomor satu."Persentasi yang dilakukan oleh ibu Alifa memang sangat menarik. Namun, satu hal yang dia belum tampilkan bahawa lokasi project disana itu bisa dikatakan rawan banjir dan longsor. Selain view yang menarik kita harus survey lokasi dulu dan saya sendiri pernah ke lokasi tersebut dan menanyakan langsung ke warga bahwa posisi disana seringkali banyak tragedi alam. Harusnya ibu Alifa dan pimpinan melihat langsung dan menanyakan ke warga bagaimana lokasi tersebut."Alifa dan bosnya diam. Dia kalah satu langkah padahal dari segi semuanya kurasa dia terbaik pada pertemuan kali ini."Itulah yang menyebabkan saya memilih Sembalun sebagai tempat pembangunan hotel karena Dad
"Kamu beneran mau nikah dengan bos ini? kalau dia masih muda, bagaimana?" tanya si Arya. Perutnya terus dipegang. Pengen namplok ini orang dia ikut mengerjaiku."Iya, tapi sayangnya bosnya botak, kecil, hitam kayak gitu siapa mau," bisiknya. Ya Allah ini anak polos atau bagaimana. Perusahaan sebesar ini dia tidak tahu siapa bosnya."Umurmu berapa tahun?" tanya si Arya lagi. Jangan tanya wajah si Gendis ini, dia begitu manis dan mata sipitnya mirip artis Korea Song Hye Kyo."Masih 23 aku baru lulus kuliah, sayangnya aku tidak seberuntung mereka yang punya orang tua lengkap, aku hidup sebatang kara yang sangat sulit cari uang," jawabnya."Tenang saja, ada pangeran yang akan mendengar keluhanmu.""Tak meski pangeran, karena di drama korea sudah biasa aku lihat pangeran-pangeran yang tampan," jawabnya dengan polos. Astaga, kenapa pula aku mendengar ini gadis. Si Arya juga bisa-bisanya dia meladeni ini gadis."O, ya, lalu kenapa
Setelah adegan lempar penghapus, aku kembali berkutat ke laporan. Si Gendis benar-benar hiburan bagiku. Syukurnya dia tidak menyadari kalau tidak, aku juga tidak yakin dia malu sendiri. Ponsel berdering, Monica menelponku. "Bang, jam berapa pulang?" tanyanya. Tumben-tumbennya dia menanyakanku pulang, biasanya ini anak cuek sekali. "Banyak sekali kerjaan, dek. Malam kayaknya." "Pulang sore. Titik." Idiih, ini anak pemaksaan sekali. "Kerjaan masih banyak dek, masak abang tinggalkan." "Pokoknya abang pulang sore paling lama jam enam," jawabnya. Dia langsung menutup ponselnya. Kek bayi saja ini anak. Aku melihat ditanganku, sebentar lagi salat ashar. Jam kantor berakhir pukul 16. 30. Aku harus bereskan pekerjaan sampai sore agar tidak kena omelan oleh Monica. ***Kali ini aku memilih salat ashar di mushola perusahaan. Salah satu hal yang tidak pernah aku tinggalkan adalah salat lima waktu, itu dulu pesan bunda. Mau seperti
Setelah berbisik tanpa merasa bersalah, si Gendis berlalu begitu saja. Dia meninggalkanku dengan Ana di halte. Kurasa rumahnya anak itu dekat sini hingga tak perlu memerlukan kendaraan lagi, dia santai pulang berjalan kaki."Katanya abang tidak punya kenalan, tapi wanita yang tadi?" tanyanya."Dia bukan siapa-siapa Ana, aku bertemu di bis, tapi dia memang karyawan di kantor. Cuma dia tidak tahu jika aku ....." Aku menjeda ucapanku."Tidak tahu jika abang bosnya 'kan," ucapnya sambil tersenyum. Baru pertama kali kulihat dia begitu manis."Begitulah ....""Yang kayak begitu bisanya bisa dijadikan pasaanga." Aku mendengar itu seperti kata-kata penolakan olehnya. Penolakan agar aku segera mencari yang lain.Hingga Irwan datang membuyarkan pembicaraan kami."Tuan, mobil sudah saya siapkan, apa kita langsung pulang? Nona Monica menelponku bertanya tuan ada dimana," jelas Irwan begitu sopan."Mau ikut, Ana?" tanyaku."Aku ada p