Abang Brayen menjadi imam salat magrib malam ini, suaranya bahkan begitu merdu. Setiap bacaan yang dilantunkan begitu fasih, menambah kekhusuyan diantara kami. Sejak dulu aku ering berdo'a agar mendapat laki-laki yang bisa menjadi imam dalam salatku.Setelah salat magrib, Abang Brayen berdo’a begitu khusyuk, aku sampai menitikkan air mata. Do'a yabg dilantunkan tak ada lain selain kebaikan pada keluarga kami. Daddy terlihat begitu menikmati setiap lantunan do'a yang dibaca abang Brayen. Wajarkah jika cinta ini terus tumbuh bermekaran? Kurasa wajar, karena dia begitu memesona."Terima kasih, Nak. Telah kembali ke rumah," ucap daddy memeluk abang Brayen. Aku dan bunda hanya melihat, betapa mereka saling merindukan. "Bund, maafkan Brayen." Sekarang aku yang mundur, tak kuat melihat kemesraan mereka. Ini semakin menguatkan bahea kami memang ditakdorkan hanya sebagai keluarga buka sebagai pasangan.“Ayo kita makan malam,” ajak bunda. “Malam ini bonus bagi bunda dan daddy,”sambung bunda
“Kalian, kenapa berpelukan?” tanya bunda yang tiba-tiba bearada di belakang kami. Abang Brayen langsung melepas pelukannya padaku.“Tolong jelaskan, Brayen, Monica.” Bunda memaksa kami untuk mengakui.Kami tak bisa mengelak lagi. Meski begitu abang Brayen berusaha menjelaskan. Walau Bunda masih penasaran. Kurasa Abang Brayen semakin berani, padahal jelas-jelas kami diajarkan untuk tidak boleh bersentuhan dengan yang bukan muhrim. Begitu juga diajarkan oleh agama.“Aku mau pamitan, Bund. Tetapi karena aku kangen meluk dia ketika bayi maka aku pelukan. Kami saat ini sudah berdamai dengan keadaan, Bund, ” jawabnya. Maksudnya? Mengapa aku tak terima abang Brayen berucap demikian. Aku justru berharap dia memperjuangkan hubungan ini. Mengatakan yang sejujurnya bahwa dia masih menginginkan hubungan ini.“Tapi kok mesra sekali,” balas bunda. Bunda tentu masih penasaran dengan kejadian ini. Apalagi melihatku yang gelagapan.“Kan biasa kami berpelukan sebagai adik dan kakak,” jawab abang
Abang Brayen menarikku agar ikut dengannya. Dia terus mengomel tidak jelas, lucu sekali aku melihatnya yang semakin bersikap aneh. “Kenapa, sih, Bang?” tanyaku. Aku turut mengomel padanya. Daddy terus memandang kami berdua. Meski dokter Bara terus mengajaknya berbicara. Aku dibuat salah tingkah dengan kelakuan abang Brayen yang semakin aneh. "Jangan bergerak, awas saja kalau dekat dengan Bara api itu," ketusnya. Diih, orang yang aneh."Daripada dekat dengan asap mengepul, bikin sesak napas.""Maksudmu?" pakai bertanya segala."Maksudmu aku asap?" tanyanya kembali. Astaga kalau tiap hari berkelahi begini bisa naik tensi dibuat."Kenapa kalian berkelahi terus, sih?" tanya bunda sambil geleng kepala.“Bunda, boleh aku bersama Monica ke tempat Shaka?” tanya abang Brayen pada Bunda.Aku terkejut, bunda juga demikian sekilan kami melihat Daddy yang ingin langsung menolak, abang Brayen terus berusaha merayu bunda. Dia seperti tak peduli dengan daddy yang akan marah.“Brayen sini dulu,” u
Brayen terlihat marah, wajahnya pias ingin memarahi siapa saja di dekatnya, termasuk pada Monica yang hanya dia. Rasa cinta Brayen pada Monica semakin menjadi-jadi. Dia bahkan takut kehilangan Monica saat ini. Hatinya begitu panas melihat daddy Reza yang dekat dengan dokter Bara, rasanya ingin mengibarkan bendera perang. Monica saat ini hidupnya yang begitu dia dambakan.“Apa kamu ingin melihatku bersama wanita lain?” tanya Brayen pada Monica. Semua yang ada di ruangan ini terlihat tegang kembali.Apalagi kehadiran Ana menambah deretan sakit hati pada Monica. Selain itu, Ana justru tetap santai walau Brayen marah- marah. Bagi Ana saat ini sebenarnya hanya ingin dekat dengan Gendis. Belakangan ini rasa bersalah menyergapnya. Itulah yang membuat dia ingin melakukan cara agar bisa dekat dengan Gendis.‘Bisa jadi kita hanya ditakdirkan bersama, tapi bukan menjadi pasangan suami istri. Melihat Dokter Ana tersenyum puas membuatku cemburu.’ Monica membatin dalam dirinya. “Luar biasa sekali
Kadang hal yang terduga bisa jadi kenyataan seperti yang kurasakan saat ini. Apa benar Daddy mau menerima abang Brayen? Atau hanya sekedar angan yang tak mungkin terwujud."Selamat, ya buat kalian," ucap Ana dengan wajah yang sumringah. "Makasih, An. Idemu lumayan," balas abang Brayen. Mereka bahkan sekompak itu."Setidaknya aku bisa berbuat baik sekali seumur hidupku," jawab Ana."Semoga kalian langgeng. Terima saja Abang angkatnya jadi mantu, Om. Jangan sampai terulang kisah ayahku yang ditolak oleh bunda Nina. Untung saja dia masih waras, meski aku dan Gendis yang jadi korbannya." Dokter Ana berpamitan dan salaman sama daddy. Bunda tersenyum simpul, aku pun juga kaget. Semoga saja dokter Ana hidup lebih baik, dia terkenal cerdas meski cerdas bayangan, tetapi dia pintar dalam berargumen. Semua mahasiswa kedokteran tahu akan itu. Namun, sekali lagi yang manis rupa belum tentu manis hatinya. Setelah kepergian dokter Ana. Abang Shaka bereaksi."Bagaimana, Dad? Ucapan tidak boleh di
“Saya dokter Rayyandra yang akan menjadi direkrtur rumah sakit ini.”Niat sekali untuk membuat orang jantungan. Stylenya bikin siapa saja terpesona. Bahkan nada bicaranya begitu memukau. Iya, dia adalah abang Brayen.“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, rekan-rekan seprofesi. Ayah sambung saya membeli rumah sakit ini tahun lalu. Dan baru kali ini saya mau menjadi penggantinya di tahun ini. Karena ada seseorang mengganggu saya beberapa hari ini.”Gemuruh tepuk tangan mewarnai rumah sakit ini. Ha? Maksudnya ada yang mengganggunya? “Dia mengganti nomor ponselnya, membuat saya mengambil jalan pintas,” Sambungnya lagi. Astagfirullah, dia malah curhat di depan banyak orang. Suasana hening seperti tersihir dengan ucapannya. Aku apalagi, mengapa ada orang yang keren seperti dia. Aku terus bergumam di dalam hati. Rasanya ada yang beda melihatnya yang begitu menawan. “Mengapa ada orang yang keren seperti pak direktur,” bisik Mona padaku. “Katanya dia ahli kejiwaan, apa kamu minggu la
"Apakah kita akan terus begini dan begini terus. Saling menyakiti, padahal kita ingin bersama." Abang Brayen terus berbicara. Sementara aku tidak berani menatap wajahnya.Dia mendekatiku yang duduk di taman. Aku terus menunduk. Hingga dia duduk di bawahku. Memegang tanganku dengan lembut. Memandang wajahku dengan teduh"Harusnya kita berjuang untuk rasa yang ada di hati kita." Air mata yang kutahan akhirnya luruh juga."Ayo jawab! Apa kamu kira mudah bagiku melihatmu seperti ini," sambungnya lagi."Lalu kita harus bagaimana?" tanyaku spontan."Ayo kita berjuang agar kita menikah, Monica." Rasanya bagai disiram air hati ini. Begitu menyejukkan."Aku sudah tidak muda lagi, daripada kita lelah begini. Bagaimana jika kita menikah saja.""Lalu dokter Alifa yang abang kenalkan?""Aku tidak mengenalkan siapa-siapa, Monica. Justru aku ingin mengenalkan kamu ke semua orang bahwa hanya kamu yang bersemayam di hatiku." Lagi, dia memberikan rasa yang aneh padaku. Ternyata hanya isu saja dia yang
Abang Shaka akhirnya menjadi waliku, hanya satu kali tarikan napas akhirnya aku sah menjadi istri abang Brayen. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya merasakan akad nikah dalam situasi seperti ini. Tak ada orang tua dan mertua mendampingi."Terima kasih telah menjadi istriku, Monica." Hanya deraian air mata yang keluar. Walau bahagia, rasanya ada yang kurang. Harusnya bahagia ini bisa kami rasakan beserta semua keluarga."Terima kasih juga telah menerimaku sebagai istrimu, Bang," balasku. Di mengucapkan do'a di atas ubun-ubunku.Kami menghampiri abang Shaka yang sedang menikmati hidangan. Acara resepsi dilanjutkan setelah akad nikah. Tak tanggung-tanggung abang Brayen memyewa gedung yang mewah untuk acara resepsi. Meski kursi yang harus diisi orang tua tak ada yang mendampingi. "Terima kasih, Bang. Sudah hadir ditengah-tengah kami." Aku mendekati abang Shaka. Jujur, aku ingin menangis sekerasnya, meluapkan rasa yang tak menentu ini."Kamu adikku Monica, adik kebanggaanku." Luruh sudah a