Brayen terlihat marah, wajahnya pias ingin memarahi siapa saja di dekatnya, termasuk pada Monica yang hanya dia. Rasa cinta Brayen pada Monica semakin menjadi-jadi. Dia bahkan takut kehilangan Monica saat ini. Hatinya begitu panas melihat daddy Reza yang dekat dengan dokter Bara, rasanya ingin mengibarkan bendera perang. Monica saat ini hidupnya yang begitu dia dambakan.“Apa kamu ingin melihatku bersama wanita lain?” tanya Brayen pada Monica. Semua yang ada di ruangan ini terlihat tegang kembali.Apalagi kehadiran Ana menambah deretan sakit hati pada Monica. Selain itu, Ana justru tetap santai walau Brayen marah- marah. Bagi Ana saat ini sebenarnya hanya ingin dekat dengan Gendis. Belakangan ini rasa bersalah menyergapnya. Itulah yang membuat dia ingin melakukan cara agar bisa dekat dengan Gendis.‘Bisa jadi kita hanya ditakdirkan bersama, tapi bukan menjadi pasangan suami istri. Melihat Dokter Ana tersenyum puas membuatku cemburu.’ Monica membatin dalam dirinya. “Luar biasa sekali
Kadang hal yang terduga bisa jadi kenyataan seperti yang kurasakan saat ini. Apa benar Daddy mau menerima abang Brayen? Atau hanya sekedar angan yang tak mungkin terwujud."Selamat, ya buat kalian," ucap Ana dengan wajah yang sumringah. "Makasih, An. Idemu lumayan," balas abang Brayen. Mereka bahkan sekompak itu."Setidaknya aku bisa berbuat baik sekali seumur hidupku," jawab Ana."Semoga kalian langgeng. Terima saja Abang angkatnya jadi mantu, Om. Jangan sampai terulang kisah ayahku yang ditolak oleh bunda Nina. Untung saja dia masih waras, meski aku dan Gendis yang jadi korbannya." Dokter Ana berpamitan dan salaman sama daddy. Bunda tersenyum simpul, aku pun juga kaget. Semoga saja dokter Ana hidup lebih baik, dia terkenal cerdas meski cerdas bayangan, tetapi dia pintar dalam berargumen. Semua mahasiswa kedokteran tahu akan itu. Namun, sekali lagi yang manis rupa belum tentu manis hatinya. Setelah kepergian dokter Ana. Abang Shaka bereaksi."Bagaimana, Dad? Ucapan tidak boleh di
“Saya dokter Rayyandra yang akan menjadi direkrtur rumah sakit ini.”Niat sekali untuk membuat orang jantungan. Stylenya bikin siapa saja terpesona. Bahkan nada bicaranya begitu memukau. Iya, dia adalah abang Brayen.“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, rekan-rekan seprofesi. Ayah sambung saya membeli rumah sakit ini tahun lalu. Dan baru kali ini saya mau menjadi penggantinya di tahun ini. Karena ada seseorang mengganggu saya beberapa hari ini.”Gemuruh tepuk tangan mewarnai rumah sakit ini. Ha? Maksudnya ada yang mengganggunya? “Dia mengganti nomor ponselnya, membuat saya mengambil jalan pintas,” Sambungnya lagi. Astagfirullah, dia malah curhat di depan banyak orang. Suasana hening seperti tersihir dengan ucapannya. Aku apalagi, mengapa ada orang yang keren seperti dia. Aku terus bergumam di dalam hati. Rasanya ada yang beda melihatnya yang begitu menawan. “Mengapa ada orang yang keren seperti pak direktur,” bisik Mona padaku. “Katanya dia ahli kejiwaan, apa kamu minggu la
"Apakah kita akan terus begini dan begini terus. Saling menyakiti, padahal kita ingin bersama." Abang Brayen terus berbicara. Sementara aku tidak berani menatap wajahnya.Dia mendekatiku yang duduk di taman. Aku terus menunduk. Hingga dia duduk di bawahku. Memegang tanganku dengan lembut. Memandang wajahku dengan teduh"Harusnya kita berjuang untuk rasa yang ada di hati kita." Air mata yang kutahan akhirnya luruh juga."Ayo jawab! Apa kamu kira mudah bagiku melihatmu seperti ini," sambungnya lagi."Lalu kita harus bagaimana?" tanyaku spontan."Ayo kita berjuang agar kita menikah, Monica." Rasanya bagai disiram air hati ini. Begitu menyejukkan."Aku sudah tidak muda lagi, daripada kita lelah begini. Bagaimana jika kita menikah saja.""Lalu dokter Alifa yang abang kenalkan?""Aku tidak mengenalkan siapa-siapa, Monica. Justru aku ingin mengenalkan kamu ke semua orang bahwa hanya kamu yang bersemayam di hatiku." Lagi, dia memberikan rasa yang aneh padaku. Ternyata hanya isu saja dia yang
Abang Shaka akhirnya menjadi waliku, hanya satu kali tarikan napas akhirnya aku sah menjadi istri abang Brayen. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya merasakan akad nikah dalam situasi seperti ini. Tak ada orang tua dan mertua mendampingi."Terima kasih telah menjadi istriku, Monica." Hanya deraian air mata yang keluar. Walau bahagia, rasanya ada yang kurang. Harusnya bahagia ini bisa kami rasakan beserta semua keluarga."Terima kasih juga telah menerimaku sebagai istrimu, Bang," balasku. Di mengucapkan do'a di atas ubun-ubunku.Kami menghampiri abang Shaka yang sedang menikmati hidangan. Acara resepsi dilanjutkan setelah akad nikah. Tak tanggung-tanggung abang Brayen memyewa gedung yang mewah untuk acara resepsi. Meski kursi yang harus diisi orang tua tak ada yang mendampingi. "Terima kasih, Bang. Sudah hadir ditengah-tengah kami." Aku mendekati abang Shaka. Jujur, aku ingin menangis sekerasnya, meluapkan rasa yang tak menentu ini."Kamu adikku Monica, adik kebanggaanku." Luruh sudah a
Hari-hari terasa lebih berbeda, Reza dan Nina lebih sering bertengkar. Ini karena Monica dan Brayen tidak ada kabar setelah menikah. Reza yang keras kepala masih bertahan bahwa tak perlu dimaafkan kesalahan anak-anak.Setiap malam Nina menangis memikirkan Monica. Reza yang tegas dan teguh pada pendiriannya membuat Nina dilema. Di satu sisi dia harus taat pada suaminya. Di sisi lain dia sangat menyanyangkan keputusan Reza yang begitu kuat hingga anak-anaknya tak berada di sisinya.“Shaka, bagaimana kabar adikmu?” tanya Nina pada Shaka. Nina sengaja berkunjung ke kantor Shaka. Suntuk di rumah sendiri. Selain itu, melihat Reza sakit hatinya semakin bertambah.“Monica juga tidak pernah mengabari, Bund. Semejak pergi, dia sama sekali tak ada kabar,” jawab Shaka.“Daddymu mengapa sekeras ini tidak merestui adikmu,” jawab Nina.“Kita kasih waktu daddy berfikir, bund. Kurasa daddy juga sama menderitanya dengan kita. Hanya saja dia tidak mengatakan.” Shaka semakin bijak di usianya yang semakin
Hatiku hancur, rasanya aku tidak sukses menjadi istri dan ibu. Aku bahkan terpuruk seperti ini. Dunia terasa seakan runtuh. Usia sudah tidak muda lagi. Namun, ujian datang menerpa. Ini ujian pernikahan yang kedua kurasa begitu berat, jika dulu ada pihak ketiga, tetapi kali ini aku seperti ibu yang tidak berguna.Semenjak Monica menikah rasa bersalah terus menderaku. Aku merasa berdosa karena membiarkan Monica menikah tanpa didampingi oleh kami berdua sebagai orang tua. Reza yang keras dan egois tak bisa membuat kami menyatukan pendapat. Aku yang sedang bingung menekan nomor Fatia. Di saat seperti ini hanya Fatia yang kuingat. “Mbak, tumben nelpon,”ucap Fatia yang terdengar bahagia ketika kutelpon.“Aku mau kesana, boleh mbak?” tanyaku pada Fatia.“Tak perlu ditanya Nonaku sayang, aku dengan senang hati,” jawab Fatia yang terdengar bahagia sekali.Aku berkemas. Setelah mengutarakan keinginan untuk bercerai, tuan Reza terhormat tak lagi mendekatiku. Sifat kekanak-kanakannya benar-ben
Reza hanya mondar mandir sendiri di rumah, tanpa anak dan istri yang menemani. Nina pergi meninggalkan Reza karena merasa perbedaan mereka terlalu jauh. Reza yang Nina rasa saat ini sungguh egois. Di usia yang semakin senja mereka sma-sama egois, sulit untuk menyatukan visi misi mereka. Nina kabur dan Reza hanya ditemani “Ada kabar dari istriku?” tanya Reza pada asistennya. Keegoisan antara mereka membuat jarak itu benar-benar terasa.“Kami mengikutinya sampai ke rumah Den Shaka, setelah itu kami tidak tahu kemana nona besar pergi.”“Cari sampai ketemu, aku tidak mau istriku lecet sedikit pun.” Reza memberi instruksi, usia mereka memang sudah tidak muda lagi, tetapi cinta Reza tidak pernah pudar.“Baik, Tuan.”Bahkan Reza tidak tahu kemana Monica dan Brayen. Kabar terakhir, Brayen pergi meninggalkan daerah ini karena semua asset yang dimiliki Brayen disita. Meski dia bahagia, tetap saja ada yang kurang. Shaka dan Gendis pun tak pernah lagi main ke rumah Reza. Semua seperti ikut terse