Hatiku hancur, rasanya aku tidak sukses menjadi istri dan ibu. Aku bahkan terpuruk seperti ini. Dunia terasa seakan runtuh. Usia sudah tidak muda lagi. Namun, ujian datang menerpa. Ini ujian pernikahan yang kedua kurasa begitu berat, jika dulu ada pihak ketiga, tetapi kali ini aku seperti ibu yang tidak berguna.Semenjak Monica menikah rasa bersalah terus menderaku. Aku merasa berdosa karena membiarkan Monica menikah tanpa didampingi oleh kami berdua sebagai orang tua. Reza yang keras dan egois tak bisa membuat kami menyatukan pendapat. Aku yang sedang bingung menekan nomor Fatia. Di saat seperti ini hanya Fatia yang kuingat. “Mbak, tumben nelpon,”ucap Fatia yang terdengar bahagia ketika kutelpon.“Aku mau kesana, boleh mbak?” tanyaku pada Fatia.“Tak perlu ditanya Nonaku sayang, aku dengan senang hati,” jawab Fatia yang terdengar bahagia sekali.Aku berkemas. Setelah mengutarakan keinginan untuk bercerai, tuan Reza terhormat tak lagi mendekatiku. Sifat kekanak-kanakannya benar-ben
Reza hanya mondar mandir sendiri di rumah, tanpa anak dan istri yang menemani. Nina pergi meninggalkan Reza karena merasa perbedaan mereka terlalu jauh. Reza yang Nina rasa saat ini sungguh egois. Di usia yang semakin senja mereka sma-sama egois, sulit untuk menyatukan visi misi mereka. Nina kabur dan Reza hanya ditemani “Ada kabar dari istriku?” tanya Reza pada asistennya. Keegoisan antara mereka membuat jarak itu benar-benar terasa.“Kami mengikutinya sampai ke rumah Den Shaka, setelah itu kami tidak tahu kemana nona besar pergi.”“Cari sampai ketemu, aku tidak mau istriku lecet sedikit pun.” Reza memberi instruksi, usia mereka memang sudah tidak muda lagi, tetapi cinta Reza tidak pernah pudar.“Baik, Tuan.”Bahkan Reza tidak tahu kemana Monica dan Brayen. Kabar terakhir, Brayen pergi meninggalkan daerah ini karena semua asset yang dimiliki Brayen disita. Meski dia bahagia, tetap saja ada yang kurang. Shaka dan Gendis pun tak pernah lagi main ke rumah Reza. Semua seperti ikut terse
“Bagaimana? Apa kamu tidak merindukanku?” tanya Reza pada istrinya. Nina tak bisa mengelak ditambah Shaka mendukung daddynya untuk mengambilnya dari rumahnya.“Apa daddy tidak merindukanku?” tanya Shaka iseng pada Reza.“Kalian sama saja, anak-anak bandel,” jawab Reza. Senyum Shaka langsung kecut. Sadar jika daddynya belum bisa memaafkan dirinya yang lebih membela adiknya. Nina berkemas mengikuti Reza. Diusianya yang tidak muda lagi membuat Ninaa bertahan untuk kembali. Meski kerinduan terhadap anak-anaknya nampak di wajahnya Nina. Berharap mereka berkumpul kembali seperti dulu lagi.“Daddy walau sudah mendekati usia senja, masih romantis,” bisik Gendis ke Shaka--suaminya.“Dari dulu daddy memamng romantis, tetapi itu daddy tidaak senang dibantah," balas Shaka. Dari dulu Reza terkenal tegas, tetapi pengertian kepada anak-anaknya. Itulah yang membuat anak-anaknya sungkan.“Kurasa tipe orang tua apalagi bapak-bapak tidak senang dibantah,” jawab Gendis, sedikit membela Reza.“Semoga saj
Bunda terbaring lemah membuatku merasa ini semua karena sikap daddy yang sangat keterlaluan. Tensi darah yang tinggi membuat bunda harus segera dirawat inap. Kali ini lebih parah karena bunda mulai kejang-kejang, ditambah sikap dingin mereka berdua, bunda pun lebih banyak diam, tak ada keceriaan yang nampak di wajahnya. “Semoga bunda tak kenapa-kenapa, ya , Bang,” ucap Gendis yang berada di sampingku. Daddy memang setia menunggu bunda. Namun, kali ini kurasa daddy harusnya lebih menurunkan sedikit egonya, demi bunda. “Keluar, Bang. Aku ingin senidri,” ucap bunda melemah. Kurasa bunda masih belum sepenuhnya memaafkan daddy meski mereka kembali bersama.Aku yang mendengar ucapan bunda ikut maju, meminta daddy untuk keluar. Jujur, aku tak tahan melihat keluargaku yang terpecah seperti ini, tetapi kesehatan bunda yang lebih utama.“Sekarang daddy mungkin puas melihat bunda yang terbaring lemah," ucapku sedikit meninggi.“Jaga bicaramu, Shaka!”Daddy ikut meninggi. Entah siapa yang haru
Semakin hari kesehatan Nina semakin menurun. Dia selalu meminta pulang, tetapi balik lagi ke rumah sakit karena tensinya tidak pernah turun. Terkadang dia sering menyebut nama Monica. Seperti saran dokter pikirannya harus tenang agar tensinya tetap stabil. “Apa yang bunda pikirkan?” tanya Reza pada istrinya. Nina hanya menggeleng setiap ditanya, sekarang Reza yang kewalahan menanyakan isi hati istrinya yang tidak pernah mau jujur. Reza secara perlahan mulai mengambil hati istrinya. Meski sering diusir dan dibentak oleh Nina. Reza sadar telah melakukan Keslaahan terbesar pada istrinya. “JIka Monica yang bunda pikirkan, abang sudah mencari kabar, bunda yang sabar, ya,” ucap Reza dengan lembut pada istrinya.“Aku tidak memikirkan apa pun, bang,” ucap Nina yang berbohong. Bahkan sorot matanya tidak bisa ditipu jika dia memikirkan putri bungsunya.“Jangan berbohong sama abang. Maafkan abang yang sudah keterlaluan,” ucap Reza yang membelai tangan istrinya. Reza benar-benar merasa bersal
Kadang ... ujian rumah tangga itu datang agar kita semakin saling mencintai. Semakin menyadari bahwa kita takut untuk berpisah. _Reza AdytamaTidak ada tanda-tanda Monica dan Brayen datang berkunjung, meski beberapa kali kami merasa kehadirannya selalu ada. Nina selalu menanyakan keberadaan mereka, tetapi tidak padaku. Melainkan kepada Shaka dan Gendis.Nina harus dirawat inap dalam jangka waktu yang panjang. Penyakit Nina tidak bisa dianggap remeh, baik dari segi makanan harus dijaga total. Selain itu, pikiran Nina harus stabil dan tenang agar kondisinya tidak memburuk lagi."Abang, capek?" tanyanya mengelus rambutku. Aku harus membuat moodnya baik, tidak boleh buruk."Lebih capek melihatmu terbaring, Sayang," jawabku."Mengapa aku selemah ini, ya, Bang." Dia menitikkan air mata. Aku memeluknya, pasti dia merasa menjadi beban."Aku pikir abang egois, ternyata aku yanh lebih egois membiarkan abang merawatku.""Itu tugasku, Sayang." Kembali aku memeluknya."Maafkan aku, Bang.""Tak ada
Di sudut tempat tinggal yang jauh dari kota, Monica dan Brayen terus berbenah setiap hari. Satu tahun pernikahan mereka sudah memiliki anak laki-laki yang sangat tampan sekali. Mereka member nama “Arvian Adytama” Brayen sengaja menyematkan nama Adytama di nama Arvian karena tidak ingin melupakan jasa daddynya selama ini. Baginya Adytama adalah hidupnya.Dipandang sebelah mata di kampung ini tak membuat Brayen lemah, dia menganggap cibiran dari beberapa warga yang kerap diterima oleh mereka. Sebagai pendatang baru, kadang mereka tak pernah dihiraukan. Monica pun kerap mengeluh karena serng dijadikan bahan ghibah oleh sebagian warga. "Monica tidak tahan di sini, Bang. Kurasa proyek abang di sini tidak sukses karena warganya yang kurasa keterlaluan," ucap Monica yang setiap kali mengeluhkan sikap warga yang semakin keterlaluan."Sabar, Sayang." Hanya itu yabg keluar dari mulutnya Brayen.Warga di sini lumayan sering penasaran, apalagi Monica dan Brayen jarang keluar, kecuali jika ada k
Kopi ditangan Reza hampir terjatuh melihat Brayen yang berada di depannya. Tak menyangka Brayen hadir tiba-tiba. Wajah Brayen begitu dendam melihat Reza. Amarah Brayen tak bisa dihindari, dia seperti ingin menelan mentah Reza yang ada di depannya. "Sepertinya hidup tuan sudah lebih bahagia, melihat kami sengsara," ungkap Brayen begitu sinis.Reza menyadari dan tak membalas semua ungkapan Brayen. Kali ini dia tidak ingin gegabah melayani putra angkatnya. Reza bahkan menghela napas panjang melihat Brayen yang begitu marah."Tuan sepertinya salah, kami masih tetap bahagia meski tak ada restu darimu," sambung Brayen lagi. "Setidaknya aku tidak sepertimu, air susu dibalas dengan air tuba," balas Reza yang ternyata tidak bisa menahan dirinya."Aku tetap menghormatimu, tetapi untuk kali ini kurasa tidak bisa dibiarkan." Brayen tidak mau kalah.Reza yang sadar Brayen sedang marah tak menanggapi, memaklumi kemarahan Brayen. Reza meninggalkan putra angkatnya itu dengan dendam yang tak biasa.
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat