Kopi ditangan Reza hampir terjatuh melihat Brayen yang berada di depannya. Tak menyangka Brayen hadir tiba-tiba. Wajah Brayen begitu dendam melihat Reza. Amarah Brayen tak bisa dihindari, dia seperti ingin menelan mentah Reza yang ada di depannya. "Sepertinya hidup tuan sudah lebih bahagia, melihat kami sengsara," ungkap Brayen begitu sinis.Reza menyadari dan tak membalas semua ungkapan Brayen. Kali ini dia tidak ingin gegabah melayani putra angkatnya. Reza bahkan menghela napas panjang melihat Brayen yang begitu marah."Tuan sepertinya salah, kami masih tetap bahagia meski tak ada restu darimu," sambung Brayen lagi. "Setidaknya aku tidak sepertimu, air susu dibalas dengan air tuba," balas Reza yang ternyata tidak bisa menahan dirinya."Aku tetap menghormatimu, tetapi untuk kali ini kurasa tidak bisa dibiarkan." Brayen tidak mau kalah.Reza yang sadar Brayen sedang marah tak menanggapi, memaklumi kemarahan Brayen. Reza meninggalkan putra angkatnya itu dengan dendam yang tak biasa.
"Sabar, Tuan." Dokter menenangkan Reza yang terlihat panik."Iya, Dad. tarik napas dulu," ucap Shaka mengingatkan Reza.Reza mengikuti instruksi dari anaknya. "Operasi berjalan lancar, alhamdulillah."Reza langsung memeluk dokter tanpa sadar."Alhamdulillah, ya Allah." Berkali-kali Reza mengucapkan syukur tak hingga akhirnya Nina mampu berjuang di meja operasi."Shaka kasih bonus rumah sakit ini.""Siap, Dad," jawab Shaka mantap.***Operasi Nina berjalan dengan lancar meski yang pertama kali nama yang disebut adalah Monica. ketika sadar Monica menyebut nama Monica membuat seisi ruang terdiam. Meski begitu Reza dengan setia mendampingi Nina yang sudah bangun setelah operasi."Harusnya kita memang menemui Monica, Dad," ucap Shaka berbisik pada Reza."Waktunya yang belum tepat, perlahan kita akan jelaskan bunda." Bagi Reza Nina sudah tenang. kesembuhan Nina yang paling utama.“Bang, ada kabar dari Monica?” Reza tak bisa mengelak lagi, istrinya begitu merindukan anak bungsunya.“Sehat d
Setelah bertemu dengan daddy entah mengapa aku merasa ada yang tidak beres dengan bunda. Perasaan tak tenang menyelimutiku. Apa bunda sedang sakit? Sehingga daddy dengan tegas mengungatkanku. Apa aku begitu kejam hingga kehidupanku berubah drastis seperti ini? Apakah ini yang namamya karma? Aku menangis dalam diam mengingat hidupku yang cepat berubah. Ponselku berdering, asisten di rumah menelpon."Nona, den Arvian dari tadi menangis.""Iya, aku sedang perjalanan pulang." Mungkin karena perasaanku yang tak menentu membuat Arvian ikut tidak tenang."Iya, Nona. Hati-hati," balas asisten yang menjaga Arvian di rumah. Setiap sore aku memang sering mengunjungi rumah, hanya sekedar melihat pagarnya saja membuat hatiku tenang. Definisi rindu yang sebenarnya. Aku baru sadar setelah menikah bukan cinta lagi yang lebih utama, tetapi keharmonisan seluruh keluarga. Salah satunya aku yang kehilangan harmonis dan bahagianya keluarga.Sesampai di rumah, Abang Brayen belum pulang. Pekerjaannya begi
"Bang kenapa Monica berlari menjauhi kita?" tanyaku pada Reza yang sedang membersamaiku makan di restoran favorit kami. Itu pun dia tidak memberi izin sebenarnya, hanya aku yang terkesan memaksa. Reza selalu menuruti kemauanku."Bang, kenapa abang tidak mengerjarnya?" tanyaku balik. Dia pun sama sepertiku, terlejut melihat Monica yang mundur langsung menuju mobil."Sabar, Sayang." Hanya itu yang keluar dari mulut Reza.Apa monica tidak merindukanku? Bukannya menyapa dia justru berlari seperti orang ketakutan melihatku. Apa dia sudah melupakan kami? Reza terus menenangkanku yang mulai tidak labil."Ayo kita pulang, Sayang. Kita makan di rumah saja. Gendis pasti berkunjung bersama Cantika nanti sore."Tak ada jawaban dariku, aku masih terkejut melihat kehadiran Monica secara tiba-tiba.“Apa Monica sudah melupakan kita, Sayang?” tanyaku pada Reza. Dia hanya tersenyum mendengar penuturanku, Reza begitu hati-hati membalas pertanyaanku. Padahal aku berharap dia menceritakan sebenarnya.“M
Aku pulang ternyata abang Brayen sudah di rumah. Amarahnya teelihat begitu jelas seakan ingin memakanku."Katamu hanya ingin bertemu Mona, mengapa kamu bertemu Bunda dan Daddy. Apa kamu ingin pergi dariku."Dia bahkan tak pecaya denganku lagi. Aku segera masuk kamar menemui Arvian. Hatiku seakan hancur, dia sudah terbiasa membentakku. Setelah melihatku kembali ke rumah dia pergi lagi. Bergegas aku menyiapkan diri untuk ke rumah bunda. Tak tahan rasanya aku di sini berlama-lama. Kali ini aku pergi menggunakan taksi, menghilangkan segala prasangka dalam diri, bertekad hanya untuk bertemu dengan orang yang berarti dalam hidupku. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama lagi, cukup dengan dulu aku yang tidak direstui. Harusnya memang anak yang meminta maaf duluan. Dengan rendah hati aku masuk ke rumah, ternyata semua berkumpul dengan penuh kekeluargaan. Hal yang kurindukan selama ini. Monica?” bunda histeris melihatku. Secepat kilat daddy di samping bunda menenangkan. Aku yang tak
"Kita makan dulu, ya, Bund." Abang Shaka mengingatkan. Abang Shaka memberi kode agar aku menahan diri.Ingin jujur jika aku kabur ke rumah ini. Semakin hari aku semakin tidak merasa cocok dengan abang Brayen, setelah panda ke sini, kurasa abang Brayen semakin tidak bisa kumengerti jalan pikirannya. Jika bertanya, kami justru akan beradu pendapat. Apa karena aku sudah tidak menarik lagi? atau karena dia membenci keluarga Adytama. Entahlah, semua belum kutemukan jawabannya sampai saat ini.Menjelang isya, abang Shaka pamit beserta keluarganya, kasihan Cantika jika terlalu larut. Aku baru tahubjika setiap hari mereka selalu datang menjenguk bunda. “Kapan-kapan main, Dek, ke rumah,” ucap abang Shaka.“Insya Allah, Bang. Aku benar-benar dilemma saat ini,” balasku.“Tenangkan dirimu, kamu harus komitmen dengan segala keputusan yang telah kamu ambil.” “Iya, Bang.” Abang Shaka melirik gelang yang kugunakan.“Akhirnya dipakai juga,” ucapnya menunjuk gelangku.“Gelang ini memaksaku pulang ke
"Jaga ucapanmu, Monica!" teriaknya lagi."Apa yang harus kujaga? abang juga sudah berani membentakku!""Itu karena kamu tidak bisa diatur.""Sejak kapan aku tidak bisa diatur, Bang. Bahkan sesusah apa pun kita di desa, kita tidak pernah berdebat. Apa karena aku keluarga Adytama hingga abang mulai tidak menyukaiku. Ingatlah, sejarah, Bang. Abang juga dulu hidup di keluarga Adytama."Dia diam. Aku menunggu apa yang dia balas lagi padaku. Akan tetapi, dia masuk ke kamar tanpa permisi. Aku bahkan sulit masuk ke jalan pikirannya. Abang Brayen tidak seperti dulu lagi.Apakah bercerai adalah jalan satu-satunya agar kami bahagia? Abang Brayen pun, sepertinya tak peduli lagi denganku, dia lebih sibuk dengan pekerjaannya. "Jaga Arvian di rumah, suami berangkat kerja capek bukannya ditunggu, ini jalan-jalan entah kemana," ucapnya membuatku elus dada. Kurasa dia bahkan mulai tak peduli dengan bunda dan daddy. Padahal aku ingin cerita padanya jika bunda sakit parah saat ini, tetapi sepertinya pe
Pernikahan Brayen dan Monica benar-benar di ujung tanduk, Brayen yang sudah terlanjur dendam dengan keluarga Adytama membuatnya ikut menyakiti hati Monica. Meski cinta begitu besar, tetapi dendam yang Brayen rasakan tidak mengubah keputusannya untuk membalas dendam dengan Reza Adytama. “Semua ini ulah tuan Reza, kami berharap tuan Brayen membalas semua perlakuan Reza Adytama.” Napas Brayen berat, meski kali ini dia harus melawan keluarga yang pernah menjadi bagian hidupnya ditambah dengan Reza adalah orang yang begitu berjasa dalam hidupnya.“Kalau bisa pisah saja dengan Monica, dia adalah bagian Adytama.” Bagi Brayen ini sungguh berat, selama ini mereka berjuang untuk bersama, tetapi kali ini harus berpisah.“Ini bagian dari balas budimu kepada Mr.Roy,” ucap asisten yang selalu memberikan informasi padaku.Data dan fakta memang menjurus semua ke Reza, sakit hati Brayen berakibat fatal pada dirinya. Bahkan Arvian pun tak pernah lagi dia rawat karena ada nama Adytama yang disematkan.
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa