Bunda terbaring lemah membuatku merasa ini semua karena sikap daddy yang sangat keterlaluan. Tensi darah yang tinggi membuat bunda harus segera dirawat inap. Kali ini lebih parah karena bunda mulai kejang-kejang, ditambah sikap dingin mereka berdua, bunda pun lebih banyak diam, tak ada keceriaan yang nampak di wajahnya. “Semoga bunda tak kenapa-kenapa, ya , Bang,” ucap Gendis yang berada di sampingku. Daddy memang setia menunggu bunda. Namun, kali ini kurasa daddy harusnya lebih menurunkan sedikit egonya, demi bunda. “Keluar, Bang. Aku ingin senidri,” ucap bunda melemah. Kurasa bunda masih belum sepenuhnya memaafkan daddy meski mereka kembali bersama.Aku yang mendengar ucapan bunda ikut maju, meminta daddy untuk keluar. Jujur, aku tak tahan melihat keluargaku yang terpecah seperti ini, tetapi kesehatan bunda yang lebih utama.“Sekarang daddy mungkin puas melihat bunda yang terbaring lemah," ucapku sedikit meninggi.“Jaga bicaramu, Shaka!”Daddy ikut meninggi. Entah siapa yang haru
Semakin hari kesehatan Nina semakin menurun. Dia selalu meminta pulang, tetapi balik lagi ke rumah sakit karena tensinya tidak pernah turun. Terkadang dia sering menyebut nama Monica. Seperti saran dokter pikirannya harus tenang agar tensinya tetap stabil. “Apa yang bunda pikirkan?” tanya Reza pada istrinya. Nina hanya menggeleng setiap ditanya, sekarang Reza yang kewalahan menanyakan isi hati istrinya yang tidak pernah mau jujur. Reza secara perlahan mulai mengambil hati istrinya. Meski sering diusir dan dibentak oleh Nina. Reza sadar telah melakukan Keslaahan terbesar pada istrinya. “JIka Monica yang bunda pikirkan, abang sudah mencari kabar, bunda yang sabar, ya,” ucap Reza dengan lembut pada istrinya.“Aku tidak memikirkan apa pun, bang,” ucap Nina yang berbohong. Bahkan sorot matanya tidak bisa ditipu jika dia memikirkan putri bungsunya.“Jangan berbohong sama abang. Maafkan abang yang sudah keterlaluan,” ucap Reza yang membelai tangan istrinya. Reza benar-benar merasa bersal
Kadang ... ujian rumah tangga itu datang agar kita semakin saling mencintai. Semakin menyadari bahwa kita takut untuk berpisah. _Reza AdytamaTidak ada tanda-tanda Monica dan Brayen datang berkunjung, meski beberapa kali kami merasa kehadirannya selalu ada. Nina selalu menanyakan keberadaan mereka, tetapi tidak padaku. Melainkan kepada Shaka dan Gendis.Nina harus dirawat inap dalam jangka waktu yang panjang. Penyakit Nina tidak bisa dianggap remeh, baik dari segi makanan harus dijaga total. Selain itu, pikiran Nina harus stabil dan tenang agar kondisinya tidak memburuk lagi."Abang, capek?" tanyanya mengelus rambutku. Aku harus membuat moodnya baik, tidak boleh buruk."Lebih capek melihatmu terbaring, Sayang," jawabku."Mengapa aku selemah ini, ya, Bang." Dia menitikkan air mata. Aku memeluknya, pasti dia merasa menjadi beban."Aku pikir abang egois, ternyata aku yanh lebih egois membiarkan abang merawatku.""Itu tugasku, Sayang." Kembali aku memeluknya."Maafkan aku, Bang.""Tak ada
Di sudut tempat tinggal yang jauh dari kota, Monica dan Brayen terus berbenah setiap hari. Satu tahun pernikahan mereka sudah memiliki anak laki-laki yang sangat tampan sekali. Mereka member nama “Arvian Adytama” Brayen sengaja menyematkan nama Adytama di nama Arvian karena tidak ingin melupakan jasa daddynya selama ini. Baginya Adytama adalah hidupnya.Dipandang sebelah mata di kampung ini tak membuat Brayen lemah, dia menganggap cibiran dari beberapa warga yang kerap diterima oleh mereka. Sebagai pendatang baru, kadang mereka tak pernah dihiraukan. Monica pun kerap mengeluh karena serng dijadikan bahan ghibah oleh sebagian warga. "Monica tidak tahan di sini, Bang. Kurasa proyek abang di sini tidak sukses karena warganya yang kurasa keterlaluan," ucap Monica yang setiap kali mengeluhkan sikap warga yang semakin keterlaluan."Sabar, Sayang." Hanya itu yabg keluar dari mulutnya Brayen.Warga di sini lumayan sering penasaran, apalagi Monica dan Brayen jarang keluar, kecuali jika ada k
Kopi ditangan Reza hampir terjatuh melihat Brayen yang berada di depannya. Tak menyangka Brayen hadir tiba-tiba. Wajah Brayen begitu dendam melihat Reza. Amarah Brayen tak bisa dihindari, dia seperti ingin menelan mentah Reza yang ada di depannya. "Sepertinya hidup tuan sudah lebih bahagia, melihat kami sengsara," ungkap Brayen begitu sinis.Reza menyadari dan tak membalas semua ungkapan Brayen. Kali ini dia tidak ingin gegabah melayani putra angkatnya. Reza bahkan menghela napas panjang melihat Brayen yang begitu marah."Tuan sepertinya salah, kami masih tetap bahagia meski tak ada restu darimu," sambung Brayen lagi. "Setidaknya aku tidak sepertimu, air susu dibalas dengan air tuba," balas Reza yang ternyata tidak bisa menahan dirinya."Aku tetap menghormatimu, tetapi untuk kali ini kurasa tidak bisa dibiarkan." Brayen tidak mau kalah.Reza yang sadar Brayen sedang marah tak menanggapi, memaklumi kemarahan Brayen. Reza meninggalkan putra angkatnya itu dengan dendam yang tak biasa.
"Sabar, Tuan." Dokter menenangkan Reza yang terlihat panik."Iya, Dad. tarik napas dulu," ucap Shaka mengingatkan Reza.Reza mengikuti instruksi dari anaknya. "Operasi berjalan lancar, alhamdulillah."Reza langsung memeluk dokter tanpa sadar."Alhamdulillah, ya Allah." Berkali-kali Reza mengucapkan syukur tak hingga akhirnya Nina mampu berjuang di meja operasi."Shaka kasih bonus rumah sakit ini.""Siap, Dad," jawab Shaka mantap.***Operasi Nina berjalan dengan lancar meski yang pertama kali nama yang disebut adalah Monica. ketika sadar Monica menyebut nama Monica membuat seisi ruang terdiam. Meski begitu Reza dengan setia mendampingi Nina yang sudah bangun setelah operasi."Harusnya kita memang menemui Monica, Dad," ucap Shaka berbisik pada Reza."Waktunya yang belum tepat, perlahan kita akan jelaskan bunda." Bagi Reza Nina sudah tenang. kesembuhan Nina yang paling utama.“Bang, ada kabar dari Monica?” Reza tak bisa mengelak lagi, istrinya begitu merindukan anak bungsunya.“Sehat d
Setelah bertemu dengan daddy entah mengapa aku merasa ada yang tidak beres dengan bunda. Perasaan tak tenang menyelimutiku. Apa bunda sedang sakit? Sehingga daddy dengan tegas mengungatkanku. Apa aku begitu kejam hingga kehidupanku berubah drastis seperti ini? Apakah ini yang namamya karma? Aku menangis dalam diam mengingat hidupku yang cepat berubah. Ponselku berdering, asisten di rumah menelpon."Nona, den Arvian dari tadi menangis.""Iya, aku sedang perjalanan pulang." Mungkin karena perasaanku yang tak menentu membuat Arvian ikut tidak tenang."Iya, Nona. Hati-hati," balas asisten yang menjaga Arvian di rumah. Setiap sore aku memang sering mengunjungi rumah, hanya sekedar melihat pagarnya saja membuat hatiku tenang. Definisi rindu yang sebenarnya. Aku baru sadar setelah menikah bukan cinta lagi yang lebih utama, tetapi keharmonisan seluruh keluarga. Salah satunya aku yang kehilangan harmonis dan bahagianya keluarga.Sesampai di rumah, Abang Brayen belum pulang. Pekerjaannya begi
"Bang kenapa Monica berlari menjauhi kita?" tanyaku pada Reza yang sedang membersamaiku makan di restoran favorit kami. Itu pun dia tidak memberi izin sebenarnya, hanya aku yang terkesan memaksa. Reza selalu menuruti kemauanku."Bang, kenapa abang tidak mengerjarnya?" tanyaku balik. Dia pun sama sepertiku, terlejut melihat Monica yang mundur langsung menuju mobil."Sabar, Sayang." Hanya itu yang keluar dari mulut Reza.Apa monica tidak merindukanku? Bukannya menyapa dia justru berlari seperti orang ketakutan melihatku. Apa dia sudah melupakan kami? Reza terus menenangkanku yang mulai tidak labil."Ayo kita pulang, Sayang. Kita makan di rumah saja. Gendis pasti berkunjung bersama Cantika nanti sore."Tak ada jawaban dariku, aku masih terkejut melihat kehadiran Monica secara tiba-tiba.“Apa Monica sudah melupakan kita, Sayang?” tanyaku pada Reza. Dia hanya tersenyum mendengar penuturanku, Reza begitu hati-hati membalas pertanyaanku. Padahal aku berharap dia menceritakan sebenarnya.“M