Aku pulang ternyata abang Brayen sudah di rumah. Amarahnya teelihat begitu jelas seakan ingin memakanku."Katamu hanya ingin bertemu Mona, mengapa kamu bertemu Bunda dan Daddy. Apa kamu ingin pergi dariku."Dia bahkan tak pecaya denganku lagi. Aku segera masuk kamar menemui Arvian. Hatiku seakan hancur, dia sudah terbiasa membentakku. Setelah melihatku kembali ke rumah dia pergi lagi. Bergegas aku menyiapkan diri untuk ke rumah bunda. Tak tahan rasanya aku di sini berlama-lama. Kali ini aku pergi menggunakan taksi, menghilangkan segala prasangka dalam diri, bertekad hanya untuk bertemu dengan orang yang berarti dalam hidupku. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama lagi, cukup dengan dulu aku yang tidak direstui. Harusnya memang anak yang meminta maaf duluan. Dengan rendah hati aku masuk ke rumah, ternyata semua berkumpul dengan penuh kekeluargaan. Hal yang kurindukan selama ini. Monica?” bunda histeris melihatku. Secepat kilat daddy di samping bunda menenangkan. Aku yang tak
"Kita makan dulu, ya, Bund." Abang Shaka mengingatkan. Abang Shaka memberi kode agar aku menahan diri.Ingin jujur jika aku kabur ke rumah ini. Semakin hari aku semakin tidak merasa cocok dengan abang Brayen, setelah panda ke sini, kurasa abang Brayen semakin tidak bisa kumengerti jalan pikirannya. Jika bertanya, kami justru akan beradu pendapat. Apa karena aku sudah tidak menarik lagi? atau karena dia membenci keluarga Adytama. Entahlah, semua belum kutemukan jawabannya sampai saat ini.Menjelang isya, abang Shaka pamit beserta keluarganya, kasihan Cantika jika terlalu larut. Aku baru tahubjika setiap hari mereka selalu datang menjenguk bunda. “Kapan-kapan main, Dek, ke rumah,” ucap abang Shaka.“Insya Allah, Bang. Aku benar-benar dilemma saat ini,” balasku.“Tenangkan dirimu, kamu harus komitmen dengan segala keputusan yang telah kamu ambil.” “Iya, Bang.” Abang Shaka melirik gelang yang kugunakan.“Akhirnya dipakai juga,” ucapnya menunjuk gelangku.“Gelang ini memaksaku pulang ke
"Jaga ucapanmu, Monica!" teriaknya lagi."Apa yang harus kujaga? abang juga sudah berani membentakku!""Itu karena kamu tidak bisa diatur.""Sejak kapan aku tidak bisa diatur, Bang. Bahkan sesusah apa pun kita di desa, kita tidak pernah berdebat. Apa karena aku keluarga Adytama hingga abang mulai tidak menyukaiku. Ingatlah, sejarah, Bang. Abang juga dulu hidup di keluarga Adytama."Dia diam. Aku menunggu apa yang dia balas lagi padaku. Akan tetapi, dia masuk ke kamar tanpa permisi. Aku bahkan sulit masuk ke jalan pikirannya. Abang Brayen tidak seperti dulu lagi.Apakah bercerai adalah jalan satu-satunya agar kami bahagia? Abang Brayen pun, sepertinya tak peduli lagi denganku, dia lebih sibuk dengan pekerjaannya. "Jaga Arvian di rumah, suami berangkat kerja capek bukannya ditunggu, ini jalan-jalan entah kemana," ucapnya membuatku elus dada. Kurasa dia bahkan mulai tak peduli dengan bunda dan daddy. Padahal aku ingin cerita padanya jika bunda sakit parah saat ini, tetapi sepertinya pe
Pernikahan Brayen dan Monica benar-benar di ujung tanduk, Brayen yang sudah terlanjur dendam dengan keluarga Adytama membuatnya ikut menyakiti hati Monica. Meski cinta begitu besar, tetapi dendam yang Brayen rasakan tidak mengubah keputusannya untuk membalas dendam dengan Reza Adytama. “Semua ini ulah tuan Reza, kami berharap tuan Brayen membalas semua perlakuan Reza Adytama.” Napas Brayen berat, meski kali ini dia harus melawan keluarga yang pernah menjadi bagian hidupnya ditambah dengan Reza adalah orang yang begitu berjasa dalam hidupnya.“Kalau bisa pisah saja dengan Monica, dia adalah bagian Adytama.” Bagi Brayen ini sungguh berat, selama ini mereka berjuang untuk bersama, tetapi kali ini harus berpisah.“Ini bagian dari balas budimu kepada Mr.Roy,” ucap asisten yang selalu memberikan informasi padaku.Data dan fakta memang menjurus semua ke Reza, sakit hati Brayen berakibat fatal pada dirinya. Bahkan Arvian pun tak pernah lagi dia rawat karena ada nama Adytama yang disematkan.
Kita memang hanya ditakdirkan untuk sesaat bersama berbagi segala peran yang pernah ada. Meski pada akhirnya kita tetap berpisah. Aku tahu pernikahan yang sukses adalah pernikahan yang membuat jatuh cinta berkali-kali. Akan tetapi, aku juga tidak tahan jika terus begini setiap hari. Aku tak tahan menunggu terlalu lama, diam pun begitu berat kurasa. Apakah aku harus menunggu menjadi gila dulu untuk tetap bersamanya. Bunda sedang membutuhkan tenaga dariku, ditambah abang Brayen yang semakin hari semakin aneh kurasa. Apakah dengan berpisah semua menjadi tenang. Jujur, aku merasa ragaku terasa begitu melelahkan.Pulang bertemu Mona dan abang Brayen, aku langsung mengambil Arvian. Segera berkemas untuk kembali ke rumah bunda, meski aku tahu jika penyakit bunda tidak boleh mendengar kabar buruk. Namun, kemana aku pergi jika tidak ke rumah."Nona mau kemana?" tanya asisten yang menjagaku. Tentu dia bertanya melihatku membawa tas berisi baju."Kasitahu Tuan kalian, jika aku pergi, " balasku.
Sampai rumah kami tak ada pembicaraan lagi. Arvian yang ada digendonganku terus kupeluk. Hanya memeluk Arvian, beban di pundak ini terasa berkurang. Do'aku semoga bunda tidak kambuh, tak kurang satu apa pun.“Jangan jadi istri durhaka,” ujarnya lagi.“Jangan pula jadi suami yang hanya menyakiti, selama kita bersama aku baru sadar ternyata sisi negatif abang begitu menyeramkan.” Aku dan dia seperti minyak dan air yang sulit untuk di satukan lagi. Apa yang dia harapkan dari pernikahan ini jika sudah tak memiliki rasa terhadapku dan keluarga yang selama ini menyanyangi kami sepenuh hati.Kututup pintu kamar, untungnya aku sudah makan, jadi tidak perlu keluar kamar lagi. Arvian adalah penyemangatku. Banyak hal yang kupikirkan, salah satunya, sikap abang Brayen yang kurasa semakin aneh. Apa ada yang salah hingga dia berubah seperti ini. Sepertinya aku harus mencari tahu. Sampai menjelang isya aku tak keluar kamar mencoba introspeksi diri, bayangan tadi sore juga begitu menyeramkan bagik
Meski begitu, dia mengambil jus alpukat itu, tak sabar rasanya melihat dia sakit perut. Baru sampai ke bibirnya dia melepas lagi. Dia mang sedikit menyebalkan."Kenapa adik madu? Takut jika aku kasih sesuatu?" tanyaku menantangnya. Jangan sampai ditindas dengan orang baru."Tidak juga," balasnya. Mentalnya memang tidak perlu diragukan lagi.Abang Brayen langsung minum jus buatanku juga.Sisil juga ikut minum jus yang aku buat. Ternyata dia hanya menggertakku saja, kena kan. Abang Brayen terlihat menikmati jus jeruk yang aku buat. Mereka tertawa bersama tanpa menghiraukanku. Obat pencaharnya belum bereaksi. Hebat juga si Damar cari obat. Efeknya tidak secara langsung.Sepertinya dia sengaja membuatku menjadi nyamuk ditengah-tengah mereka. Sedikit-dikit mereka tertawa bahagia, hingga lupa ada raga yang tak berhenti menatapnya. Tak ingin melihat kebersamaaan mereka, aku ke belakang meninggalkan mereka. Aku juga heran dengan perasaanku yang tidak ada cemburu melihat kebersamaan mereka.“Ma
Semua berubah drastis. Bukan hanya masalah dendam, tetapi ada masalh yang memang sudah lama dipendam oleh Mr. Roy. Brayen sama sekali tidak pernah curiga dengan semua perlakuan asisten Mr. Roy baru-baru ini. Dia masih merasa hal yang wajar. Yang tidak bisa dia terima adalah perbuatan Reza yang begitu kejam padanya. Padahal semua laporan itu tidak sepenuhnya benar.“Brayen kamu harus segera mengambil alih Adytama, lalu buang Monica.” Salah satu asisten Brayen tanpa ampun meminta secepatnya Monica disingkirkan.Monica dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan perusahaan Adytama. Imbasnya ke Monica memang sungguh Brayen perlihatkan.“Adytama itu kuat,” jawab Brayen. Di sisi lain Brayen merasa kali ini dia suda keliru. Dia baru tahu jika Mr.Roy adalah musuh perusahaan Adytama, Mr. Roy sudah lama mengintai sasarannya. Salah satunya menjadikan Brayen memihak pada mereka. Diberi kemewahan, jabatan dan tahta agar Brayen menjadi kacung Mr. Roy yang ternyata memang depresi karena dendamny