“Saya dokter Rayyandra yang akan menjadi direkrtur rumah sakit ini.”Niat sekali untuk membuat orang jantungan. Stylenya bikin siapa saja terpesona. Bahkan nada bicaranya begitu memukau. Iya, dia adalah abang Brayen.“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, rekan-rekan seprofesi. Ayah sambung saya membeli rumah sakit ini tahun lalu. Dan baru kali ini saya mau menjadi penggantinya di tahun ini. Karena ada seseorang mengganggu saya beberapa hari ini.”Gemuruh tepuk tangan mewarnai rumah sakit ini. Ha? Maksudnya ada yang mengganggunya? “Dia mengganti nomor ponselnya, membuat saya mengambil jalan pintas,” Sambungnya lagi. Astagfirullah, dia malah curhat di depan banyak orang. Suasana hening seperti tersihir dengan ucapannya. Aku apalagi, mengapa ada orang yang keren seperti dia. Aku terus bergumam di dalam hati. Rasanya ada yang beda melihatnya yang begitu menawan. “Mengapa ada orang yang keren seperti pak direktur,” bisik Mona padaku. “Katanya dia ahli kejiwaan, apa kamu minggu la
"Apakah kita akan terus begini dan begini terus. Saling menyakiti, padahal kita ingin bersama." Abang Brayen terus berbicara. Sementara aku tidak berani menatap wajahnya.Dia mendekatiku yang duduk di taman. Aku terus menunduk. Hingga dia duduk di bawahku. Memegang tanganku dengan lembut. Memandang wajahku dengan teduh"Harusnya kita berjuang untuk rasa yang ada di hati kita." Air mata yang kutahan akhirnya luruh juga."Ayo jawab! Apa kamu kira mudah bagiku melihatmu seperti ini," sambungnya lagi."Lalu kita harus bagaimana?" tanyaku spontan."Ayo kita berjuang agar kita menikah, Monica." Rasanya bagai disiram air hati ini. Begitu menyejukkan."Aku sudah tidak muda lagi, daripada kita lelah begini. Bagaimana jika kita menikah saja.""Lalu dokter Alifa yang abang kenalkan?""Aku tidak mengenalkan siapa-siapa, Monica. Justru aku ingin mengenalkan kamu ke semua orang bahwa hanya kamu yang bersemayam di hatiku." Lagi, dia memberikan rasa yang aneh padaku. Ternyata hanya isu saja dia yang
Abang Shaka akhirnya menjadi waliku, hanya satu kali tarikan napas akhirnya aku sah menjadi istri abang Brayen. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya merasakan akad nikah dalam situasi seperti ini. Tak ada orang tua dan mertua mendampingi."Terima kasih telah menjadi istriku, Monica." Hanya deraian air mata yang keluar. Walau bahagia, rasanya ada yang kurang. Harusnya bahagia ini bisa kami rasakan beserta semua keluarga."Terima kasih juga telah menerimaku sebagai istrimu, Bang," balasku. Di mengucapkan do'a di atas ubun-ubunku.Kami menghampiri abang Shaka yang sedang menikmati hidangan. Acara resepsi dilanjutkan setelah akad nikah. Tak tanggung-tanggung abang Brayen memyewa gedung yang mewah untuk acara resepsi. Meski kursi yang harus diisi orang tua tak ada yang mendampingi. "Terima kasih, Bang. Sudah hadir ditengah-tengah kami." Aku mendekati abang Shaka. Jujur, aku ingin menangis sekerasnya, meluapkan rasa yang tak menentu ini."Kamu adikku Monica, adik kebanggaanku." Luruh sudah a
Hari-hari terasa lebih berbeda, Reza dan Nina lebih sering bertengkar. Ini karena Monica dan Brayen tidak ada kabar setelah menikah. Reza yang keras kepala masih bertahan bahwa tak perlu dimaafkan kesalahan anak-anak.Setiap malam Nina menangis memikirkan Monica. Reza yang tegas dan teguh pada pendiriannya membuat Nina dilema. Di satu sisi dia harus taat pada suaminya. Di sisi lain dia sangat menyanyangkan keputusan Reza yang begitu kuat hingga anak-anaknya tak berada di sisinya.“Shaka, bagaimana kabar adikmu?” tanya Nina pada Shaka. Nina sengaja berkunjung ke kantor Shaka. Suntuk di rumah sendiri. Selain itu, melihat Reza sakit hatinya semakin bertambah.“Monica juga tidak pernah mengabari, Bund. Semejak pergi, dia sama sekali tak ada kabar,” jawab Shaka.“Daddymu mengapa sekeras ini tidak merestui adikmu,” jawab Nina.“Kita kasih waktu daddy berfikir, bund. Kurasa daddy juga sama menderitanya dengan kita. Hanya saja dia tidak mengatakan.” Shaka semakin bijak di usianya yang semakin
Hatiku hancur, rasanya aku tidak sukses menjadi istri dan ibu. Aku bahkan terpuruk seperti ini. Dunia terasa seakan runtuh. Usia sudah tidak muda lagi. Namun, ujian datang menerpa. Ini ujian pernikahan yang kedua kurasa begitu berat, jika dulu ada pihak ketiga, tetapi kali ini aku seperti ibu yang tidak berguna.Semenjak Monica menikah rasa bersalah terus menderaku. Aku merasa berdosa karena membiarkan Monica menikah tanpa didampingi oleh kami berdua sebagai orang tua. Reza yang keras dan egois tak bisa membuat kami menyatukan pendapat. Aku yang sedang bingung menekan nomor Fatia. Di saat seperti ini hanya Fatia yang kuingat. “Mbak, tumben nelpon,”ucap Fatia yang terdengar bahagia ketika kutelpon.“Aku mau kesana, boleh mbak?” tanyaku pada Fatia.“Tak perlu ditanya Nonaku sayang, aku dengan senang hati,” jawab Fatia yang terdengar bahagia sekali.Aku berkemas. Setelah mengutarakan keinginan untuk bercerai, tuan Reza terhormat tak lagi mendekatiku. Sifat kekanak-kanakannya benar-ben
Reza hanya mondar mandir sendiri di rumah, tanpa anak dan istri yang menemani. Nina pergi meninggalkan Reza karena merasa perbedaan mereka terlalu jauh. Reza yang Nina rasa saat ini sungguh egois. Di usia yang semakin senja mereka sma-sama egois, sulit untuk menyatukan visi misi mereka. Nina kabur dan Reza hanya ditemani “Ada kabar dari istriku?” tanya Reza pada asistennya. Keegoisan antara mereka membuat jarak itu benar-benar terasa.“Kami mengikutinya sampai ke rumah Den Shaka, setelah itu kami tidak tahu kemana nona besar pergi.”“Cari sampai ketemu, aku tidak mau istriku lecet sedikit pun.” Reza memberi instruksi, usia mereka memang sudah tidak muda lagi, tetapi cinta Reza tidak pernah pudar.“Baik, Tuan.”Bahkan Reza tidak tahu kemana Monica dan Brayen. Kabar terakhir, Brayen pergi meninggalkan daerah ini karena semua asset yang dimiliki Brayen disita. Meski dia bahagia, tetap saja ada yang kurang. Shaka dan Gendis pun tak pernah lagi main ke rumah Reza. Semua seperti ikut terse
“Bagaimana? Apa kamu tidak merindukanku?” tanya Reza pada istrinya. Nina tak bisa mengelak ditambah Shaka mendukung daddynya untuk mengambilnya dari rumahnya.“Apa daddy tidak merindukanku?” tanya Shaka iseng pada Reza.“Kalian sama saja, anak-anak bandel,” jawab Reza. Senyum Shaka langsung kecut. Sadar jika daddynya belum bisa memaafkan dirinya yang lebih membela adiknya. Nina berkemas mengikuti Reza. Diusianya yang tidak muda lagi membuat Ninaa bertahan untuk kembali. Meski kerinduan terhadap anak-anaknya nampak di wajahnya Nina. Berharap mereka berkumpul kembali seperti dulu lagi.“Daddy walau sudah mendekati usia senja, masih romantis,” bisik Gendis ke Shaka--suaminya.“Dari dulu daddy memamng romantis, tetapi itu daddy tidaak senang dibantah," balas Shaka. Dari dulu Reza terkenal tegas, tetapi pengertian kepada anak-anaknya. Itulah yang membuat anak-anaknya sungkan.“Kurasa tipe orang tua apalagi bapak-bapak tidak senang dibantah,” jawab Gendis, sedikit membela Reza.“Semoga saj
Bunda terbaring lemah membuatku merasa ini semua karena sikap daddy yang sangat keterlaluan. Tensi darah yang tinggi membuat bunda harus segera dirawat inap. Kali ini lebih parah karena bunda mulai kejang-kejang, ditambah sikap dingin mereka berdua, bunda pun lebih banyak diam, tak ada keceriaan yang nampak di wajahnya. “Semoga bunda tak kenapa-kenapa, ya , Bang,” ucap Gendis yang berada di sampingku. Daddy memang setia menunggu bunda. Namun, kali ini kurasa daddy harusnya lebih menurunkan sedikit egonya, demi bunda. “Keluar, Bang. Aku ingin senidri,” ucap bunda melemah. Kurasa bunda masih belum sepenuhnya memaafkan daddy meski mereka kembali bersama.Aku yang mendengar ucapan bunda ikut maju, meminta daddy untuk keluar. Jujur, aku tak tahan melihat keluargaku yang terpecah seperti ini, tetapi kesehatan bunda yang lebih utama.“Sekarang daddy mungkin puas melihat bunda yang terbaring lemah," ucapku sedikit meninggi.“Jaga bicaramu, Shaka!”Daddy ikut meninggi. Entah siapa yang haru
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te