Brayen duduk termenung, banyak hal yang dipikirkannya. Selain itu, yang membuat hatinya semakin bimbang adalah tak ada keluarga yang menemani. Selama ini hanya Reza dan Nina yang selalu memperhatikan segala keperluannya. Orang tua angkat serasa kandung itu membuat Brayen semakin menyadari bahwa dia pun tidak boleh egois untuk hal ini.“Ada pasien, Dok,”ucap salah satu perawat yang mengingatkan dia. “Baik, saya akan ke sana," balas Brayen.Belakangan ini dia bahkan tak banyak bicara. Sejak tiga hari kejadian Monica yang kembali pulang membuat Brayen semakin menyadari bahwa caranya salah. Seharusnya dia tidak mendahulukan perasaannya. “Dokter Evan masih jadi kepala rumah sakit?” tanya Brayen ke Alden yang biasa menjadi asisten dadakannya. Brayen sudah mengajukan agar dokter Evan diturunkan jabatannya karena memiliki sifat yang tidak baik menjadi pemimpin.“Sudah dipindahkan menjadi dokter biasa, Tuan," jawab Alden.“Bagus, harusnya saya pidanakan dia,” balas Brayen. Dokter Evan menuru
Kadang ... semesta pun ikut berpihak ketika kerinduan semakin menyeruak, seperti irama lagu di hatiku yang terus berdendang, walau hanya sekedar melihat wajahnya yang begitu semakin berseri. Kakiku turut gemetar berada di dekatnya. Nyatanya rindu itu memang berat, apalagi hanya bisa memandangnya. Namun, tak bisa menggapainya. Apakah aku salah merindukan abang angkatku ini? Merindukan tanpa batas waktu ditentukan. Ini sungguh berat bagiku yang sudah jelas tidak bisa bersamanya.“Apa kabarmu, Dik?” tanya abang Brayen. Ya Allah, hanya mendengar suaranya hati ini terasa bergetar.“Baik, Bang,” jawabku. Aku bahkan tak berani hanya sekedar memandang wajahnya.“Kenapa kamu kurus?” tanyanya lagi."Diet?" tanyanya lagi.“Karena merindukan abang, puas?“ balasku polos. Astagfirullah kenapa pula aku jujur begini. Abang Brayen nampak tersenyum mendengar ucapanku yang senonoh ini.“Aku juga,” balasnya tersenyum. Aku hanya menunduk tak berani memandang wajahnya. Kami benar-benar canggung atau just
“Abang?!”“Shaka? Dasar ente bikin kaget aja!” abang Brayen ikut berteriak. “Tadinya daddy yang mau jemput, tetapi daddy kutahan ketika daddy bilang Monica konsultasi di rumah sakit ini. Aku langsung yang minta untuk menjemput Monica. Takutnya kalian dilihat seperti tadi,” jawab abang Shaka enteng. Pipiku sudah tak nisa dikondisikan. Merah merona kurasa.Aku menarik napas lalu mengembuskannya pelan, benar-benar seperti uji nyali saja teriakan abang Shaka, kukira kamii ketahuan. Abang Shaka tak henti tertawa melihat ekspresi kami yang seperti anak muda yang pacaran. “Gangguin ajak, kau.” Abang Brayen terlihat kesal melihat Shaka yang masuk tiba-tiba.“Masih berani juga, ya, kalian. Makanya cari restu daddy dulu, kalau mau bersatu.”"Tenang saja, Daddy pasti merestui," jawab Abang Brayen. "Gak caya aku kalau belum lihat langsung," balas abang Shaka dengan nada dibuat-buat.Aku hanya diam mendengar mereka yang seperti adu jotos, mereka terus salih sahut seperti anak kecil, meski begit
Aku langsung merebut ponsel yang dipegang bunda. Mereka saling menatap, rasa penasaran tentunya terlihat dari ekspresi mereka.“Dek, itu siapa?” tanya daddy yang tidak bisa menyembunyikan penasarannya.“Pakai sebut cinta-cinta segala,” jawab bunda terkekeh.“Daddy sama bunda kayak gak pernah muda saja,” ucap abang Shaka membelaku. Bunda dan daddy sepertinya tidak mengenali suara abang Brayen.Aduh, abang Brayen juga tidak mengerti sikon ketika menelpon. Bukannya dia bilang akan menelpon malam hari saja. Untung saja bisa terselamatkan. Kalau tidak bisa lama urusan dengan daddy dan bunda.“Daddy senang, lah, adikmu bisa move on dari abangmu,” ujar Daddy yang membuat aku dan abang Shaka saling pandang.“Ada yang kangen nih, dengan anak angkatnya.” Abang Shaka turut menggoda daddy.“Daddy kalian itu, diam-diam tidak bisa move on dari anak angkatnya.” Bunda ikut meledek juga. Aku tak bisa berkata-kata lagi mendengar mereka. Tidak mungkin juga daddy bisa melupakan anak angkatnya.“Kalian it
Abang Brayen menjadi imam salat magrib malam ini, suaranya bahkan begitu merdu. Setiap bacaan yang dilantunkan begitu fasih, menambah kekhusuyan diantara kami. Sejak dulu aku ering berdo'a agar mendapat laki-laki yang bisa menjadi imam dalam salatku.Setelah salat magrib, Abang Brayen berdo’a begitu khusyuk, aku sampai menitikkan air mata. Do'a yabg dilantunkan tak ada lain selain kebaikan pada keluarga kami. Daddy terlihat begitu menikmati setiap lantunan do'a yang dibaca abang Brayen. Wajarkah jika cinta ini terus tumbuh bermekaran? Kurasa wajar, karena dia begitu memesona."Terima kasih, Nak. Telah kembali ke rumah," ucap daddy memeluk abang Brayen. Aku dan bunda hanya melihat, betapa mereka saling merindukan. "Bund, maafkan Brayen." Sekarang aku yang mundur, tak kuat melihat kemesraan mereka. Ini semakin menguatkan bahea kami memang ditakdorkan hanya sebagai keluarga buka sebagai pasangan.“Ayo kita makan malam,” ajak bunda. “Malam ini bonus bagi bunda dan daddy,”sambung bunda
“Kalian, kenapa berpelukan?” tanya bunda yang tiba-tiba bearada di belakang kami. Abang Brayen langsung melepas pelukannya padaku.“Tolong jelaskan, Brayen, Monica.” Bunda memaksa kami untuk mengakui.Kami tak bisa mengelak lagi. Meski begitu abang Brayen berusaha menjelaskan. Walau Bunda masih penasaran. Kurasa Abang Brayen semakin berani, padahal jelas-jelas kami diajarkan untuk tidak boleh bersentuhan dengan yang bukan muhrim. Begitu juga diajarkan oleh agama.“Aku mau pamitan, Bund. Tetapi karena aku kangen meluk dia ketika bayi maka aku pelukan. Kami saat ini sudah berdamai dengan keadaan, Bund, ” jawabnya. Maksudnya? Mengapa aku tak terima abang Brayen berucap demikian. Aku justru berharap dia memperjuangkan hubungan ini. Mengatakan yang sejujurnya bahwa dia masih menginginkan hubungan ini.“Tapi kok mesra sekali,” balas bunda. Bunda tentu masih penasaran dengan kejadian ini. Apalagi melihatku yang gelagapan.“Kan biasa kami berpelukan sebagai adik dan kakak,” jawab abang
Abang Brayen menarikku agar ikut dengannya. Dia terus mengomel tidak jelas, lucu sekali aku melihatnya yang semakin bersikap aneh. “Kenapa, sih, Bang?” tanyaku. Aku turut mengomel padanya. Daddy terus memandang kami berdua. Meski dokter Bara terus mengajaknya berbicara. Aku dibuat salah tingkah dengan kelakuan abang Brayen yang semakin aneh. "Jangan bergerak, awas saja kalau dekat dengan Bara api itu," ketusnya. Diih, orang yang aneh."Daripada dekat dengan asap mengepul, bikin sesak napas.""Maksudmu?" pakai bertanya segala."Maksudmu aku asap?" tanyanya kembali. Astaga kalau tiap hari berkelahi begini bisa naik tensi dibuat."Kenapa kalian berkelahi terus, sih?" tanya bunda sambil geleng kepala.“Bunda, boleh aku bersama Monica ke tempat Shaka?” tanya abang Brayen pada Bunda.Aku terkejut, bunda juga demikian sekilan kami melihat Daddy yang ingin langsung menolak, abang Brayen terus berusaha merayu bunda. Dia seperti tak peduli dengan daddy yang akan marah.“Brayen sini dulu,” u
Brayen terlihat marah, wajahnya pias ingin memarahi siapa saja di dekatnya, termasuk pada Monica yang hanya dia. Rasa cinta Brayen pada Monica semakin menjadi-jadi. Dia bahkan takut kehilangan Monica saat ini. Hatinya begitu panas melihat daddy Reza yang dekat dengan dokter Bara, rasanya ingin mengibarkan bendera perang. Monica saat ini hidupnya yang begitu dia dambakan.“Apa kamu ingin melihatku bersama wanita lain?” tanya Brayen pada Monica. Semua yang ada di ruangan ini terlihat tegang kembali.Apalagi kehadiran Ana menambah deretan sakit hati pada Monica. Selain itu, Ana justru tetap santai walau Brayen marah- marah. Bagi Ana saat ini sebenarnya hanya ingin dekat dengan Gendis. Belakangan ini rasa bersalah menyergapnya. Itulah yang membuat dia ingin melakukan cara agar bisa dekat dengan Gendis.‘Bisa jadi kita hanya ditakdirkan bersama, tapi bukan menjadi pasangan suami istri. Melihat Dokter Ana tersenyum puas membuatku cemburu.’ Monica membatin dalam dirinya. “Luar biasa sekali
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa