Setelah semalaman memikirkan cara untuk menghindari pernikahan yang tidak diinginkan, akhirnya Yuvika pagi ini bertekad untuk pergi meninggalkan rumah. Pagi-pagi buta ia mengemasi beberapa pakaian dan juga berkas-berkasnya. Ia tak mau meninggalkan berkas apa pun demi keselamatan hidupnya.
Setelah selesai dengan pakaian seadanya, ia berjalan bertingkat-jingkat untuk meninggalkan rumah. Masih pukul empat dini hari, suasana masih sepi. Ia tak terlalu kesulitan untuk pergi. Setelah berjalan cepat beberapa meter, ia menaiki ojek untuk pergi ke stasiun. Ia akan meninggalkan kota ini sejauh mungkin. Ia tak memikirkan nasibnya di kota orang nanti akan bagaimana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara Ia terbebas dari belenggu pernikahan. Tepat pukul tujuh, Bu Isni murka lantaran tak ada makanan di meja makan, batang hidung anak gadisnya yang mengurusi hidupnya pun sejak tadi tak terlihat. Ditambah lagi kini ada seorang pria muda yang menunggunya untuk meminta berkas sang putri. Dengan sangat terpaksa wanita berusia hampir 50 tahun itu membuka pintu kamar sang anak. "Dia berangkat kerja tanpa memasak makanan untukku? Anak tidak tahu diuntung!" hardiknya seraya masuk kamar seraya mengacak isi lemari untuk mencari data. Bu isni tak sadar bahwa beberapa pakaian dari Yuvika menghilang. Beliau yang tak mau tahu urusan sang anak bahkan kini kesulitan mencari data penting itu. Apa pun yang ada dalam lemari, beliau keluarkan demi menemukan sebuah kertas. "Sialan! Di mana dia menyimpan berkasnya?" Wanita itu mulai putus asa sekaligus kesal. Setiap sudut kamar sudah beliau jelajahi, namun hasilnya nihil. "Maaf, Pak. Sepertinya Bapak harus kembali lagi nanti sore. Yuvika sudah berangkat kerja dan saya tidak tahu di mana dia menyimpan data dirinya. Seluruh kamarnya sudah saya cari, tapi tidak ketemu. Nanti sepulang kerja saya akan mintakan ke dia." "Di mana dia bekerja? Biar saya yang ke sana. Pak Elsaki meminta secepatnya, saya tidak mungkin menunggu selama itu." Tanpa pikir panjang Bu Isni memberikan alamat beserta arahan menuju pabrik yang ditempati Yuvika mencari nafkah selama delapan tahun. Dengan segera, pria yang dipercaya untuk mengurusi segala keperluan Elsaki itu meluncur ke tempat yang dimaksud. Tidak sampai lima menit ia sampai. "Apa? Dia absen?" beo pria itu seraya melihat daftar absen yang berupa mesin absensi pabrik itu. Tak mau buang waktu, ia segera menghubungi Elsaki untuk melapor. Ia mencurigai sesuatu, namun tetap saja ia harus membicarakan ini dengan atasannya. "Maaf, Pak. Sepertinya Nona Yuvika melarikan diri..." Pria itu mulai menceritakan secara runtut apa saja yang ia lakukan hari ini. "Cari sampai dapat! Dia hanyalah seekor kecoa yang berusaha melarikan diri bayangan kegelapan." Elsaki memutuskan panggilan itu secara sepihak. Ia tak perlu cemas, khawatir, apalagi takut jika Yuvika tidak ditemukan. Seperti yang ia bilang tadi, wanita itu bagaikan kecoa yang tak punya power apa-apa untuk melarikan diri dari seorang Elsaki. Sementara itu, Yuvika sudah tiba di terminal. Ia akan pergi ke kota mana pun yang tiketnya masih tersisa. Ia tahu ini sangat beresiko, ia tak punya tujuan lantaran kepergiannya yang mendadak dan tanpa perhitungan yang matang. Dengan tekad yang bulat dan usahanya yang kuat, ia berharap langkah yang ia ambil tidak salah dan akan membuahkan hasil yang ia inginkan. Namun sayang, harapan yang ia cetuskan dalam hati dan pikirannya berbanding terbalik dengan kenyataan. Belum sempat ia membeli tiket, mulutnya sudah dibekap oleh seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa. Yuvika berusaha memberontak, tetapi terasa percuma saja lantaran dirinya sudah lemah dan kalah dari sisi tenaga. *** Yuvika mengerjapkan mata. Pusing masih mendera saat ia berusaha untuk mengingat apa yang terjadi. Bukannya ingat, ia justru semakin bingung saat berada di sebuah ruangan yang mirip kamar, dengan nuansa putih yang sangat dominan di sana. Langit-langit dan dinding putih bersih seakan memantulkan cahaya yang terlalu terang, membuat matanya sedikit perih. Ia seketika terduduk dengan rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti. Wanita itu menundukkan kepala seolah memastikan tak ada sesuatu yang terjadi padanya. Perlahan, ia meraba-raba sekitarnya, menyadari bahwa ia berada di tempat yang asing. Tempat tidur yang ia duduki terasa empuk, dengan seprai putih yang rapi dan bersih. Di sudut ruangan terdapat meja kecil dengan vas bunga berisi bunga lili yang masih segar. Tak ada suara kecuali detak jantungnya yang semakin cepat. "Kau sudah bangun?" suara seorang lelaki mengagetkannya. Yuvika mendongak dengan terkejut, menatap pria yang berjalan ke arahnya. Untuk sesaat, ia tak menjawab, masih berusaha mengingat siapa lelaki itu dan bagaimana ia bisa berada di sini. Rasa takut dan bingung bercampur aduk dalam pikirannya. Lelaki itu mengenakan kemeja putih yang terlihat mahal, dengan wajah yang memancarkan ketenangan, ia berjalan mendekat. Yuvika menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia memaksa otaknya untuk bekerja lebih cepat, mencoba mengingat setiap detail yang mungkin dapat membantunya mengerti situasi ini. Namun, rasa pusing masih terlalu kuat, dan ia hanya bisa mengingat fragmen-fragmen samar dari kejadian sebelumnya. "Kau pikir mudah lari dariku?" suara Elsaki kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Nada suaranya dingin, tanpa emosi. Yuvika menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. Ia mencoba berbicara, namun suara yang keluar hanya bisikan lemah. Bukan karena takut, perutnya saat ini terasa lapar lantaran sejak pagi perutnya tak terisi apa pun. "Apa yang kau harapkan diriku? Aku hanya wanita wanita biasa yang belum siap menikah. Aku tidak akan bisa melayanimu dengan baik. Jadi alangkah baiknya kau mencari pasangan yang memang siap menikah juga." Elsaki tersenyum miring saat mendengar jawaban tak terduga dari wanita di depannya. Tak ia sangka, wanita ini banyak bicara dan tak lemah seperti di hadapan ibunya. Ya, Elsaki tahu seluk beluk kehidupan Yuvika. Karena latar belakang Yuvika yang lemah dan mudah ditindas oleh ibunya itulah yang membuat Elsaki tertarik dengan wanita itu. "Aku sudah mengeluarkan banyak uang, waktu, dan tenaga untuk sampai di titik ini. Tidak ada yang bisa merubah keputusanku, lagi pula aku sudah mengurus pernikahan kita. Untuk sekarang kau tinggal di sini, lusa kita akan menikah." "Kau tidak bisa menikahiku kecuali kau bisa menemukan ayah kandungku.""Tidak perlu khawatir, itu sudah aku atur. Aku mungkin tidak tahu keberadaan ayahmu, tetapi ada cara lain untuk mencapai tujuanku. Yuvika, kau harus tahu bahwa jika kau menikah denganku, kau akan hidup dalam kemewahan. Kau bisa membeli apa pun yang kau inginkan tanpa harus bekerja keras atau menderita oleh tangan ibumu. Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih padaku, karena aku sudah menyelamatkanmu dari neraka yang ibumu buat sendiri."Elsaki meninggalkan Yuvika sendirian di apartemennya, tanpa mempedulikan kebingungan yang melingkupinya. Dari mana Elsaki tahu bahwa ibunya adalah "neraka" baginya? Tidak, bukan Yuvika yang merasa demikian, tetapi siapa pun yang melihat bagaimana hidupnya dengan ibunya pasti akan setuju bahwa Bu Isni bukanlah ibu yang baik. Namun, argumen ini tak berlaku untuk Yuvika sendiri. Meskipun ia mempunyai ibu yang jahatnya melebihi ibu tiri, ia tak pernah menganggap bahwa ibunya adalah "neraka" atau sumber penderitaan. Ia tetap menganggap bahwa ibunya ad
Elsaki dan Tisya menoleh ke arah yang sama. Mereka mendapati Yuvika yang sedang berdiri tak jauh dari posisi mereka. "Kamu ke depan dulu, ya. Dia biar aku yang urus. Kamu ingat pesan aku, oke. Jangan melakukan apa pun ke dia, dia urusanku.""Kalau begitu ingat juga pesanku, jangan sentuh dia atau kita bubar!" ancam Tisya lalu pergi meninggalkan kekasihnya gelapnya. Langkahnya sempat terhenti saat melewati Yuvika. Tatapan dingin dan permusuhan sangat kentara dari sorot Tisya. Meskipun tatapan yang diberikan tak lama, hal itu cukup membuat Yuvika menciut. "Kau ingin tahu siapa dia?" tanya Elsaki seraya berjalan mendekat. "Tidak." Untuk saat ini, Yuvika tak peduli wanita itu siapa. Entahlah, rasanya tidak penting juga ia mengetahui semua yang berhubungan dengan Elsaki. Ia hanya ingin segera menyelesaikan acara pernikahan ini dan istirahat. Rasanya ia sangat lelah, banyak pikiran akhir-akhir ini ternyata berdampak juga di tubuhnya. Kini sepasang pengantin baru itu sudah kembali ke p
Bagaikan dihujani hujatan tanpa henti, hati Yuvika benar-benar hancur mendengar penjelasan panjang lebar dari Elsaki. Ia mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja diungkapkan oleh suaminya sendiri. Di balik sikap tenang yang ia tampilkan, tersimpan luka yang dalam dan perasaan terhina. Bagaimana bisa ada manusia yang berdedikasi tinggi bicara seperti ini? Namun, di dalam hatinya muncul tekad yang kuat untuk tidak menyerah dengan keadaan. Hidupnya sudah dipenuhi derita, ia yakin sanggup melewati semuanya. Ia menatap Elsaki dengan tatapan yang penuh keteguhan, menyembunyikan semua keraguan dan kepedihan yang sebenarnya ia rasakan. Baginya, pernikahan adalah sebuah janji suci dengan Tuhan yang tidak bisa dibuat lelucon seperti yang Elsaki katakan. Yuvika berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan Elsaki miliknya seutuhnya, apa pun yang terjadi. Bukan karena cinta, tapi lebih kepada menepati janji pada Tuhan-nya. "Aku tidak semurah itu, Elsaki.""Benar, kau memang mahal. Aku
Tisya berjalan menuju meja makan. Ia mendekati Elsaki dan seperti biasa, ia melakukan adegan mesra dengan memberikan kecupan di beberapa wajah begitu juga sebaliknya. Mereka melakukan itu tanpa sungkan seolah tak ada siapa-siapa. Di saat itulah Yuvika sadar bahwa wanita yang dimaksud oleh suaminya sejak kemarin adalah Tisya. Dan sekarang, ia tahu duduk permasalahan yang dialami oleh Elsaki. Benar-benar di luar nalar, ia menjalin hubungan dengan istri orang? "Belajarlah untuk tahu diri, kau sudah meminta mahar lima milyar, dan sekarang kau meminta restoran? Jika kau ingin menghabiskan waktu, cari kegiatan yang tidak merugikan orang," ucap Tisya yang terdengar merendahkan. "Apakah jika aku minta restoran, kau akan rugi? Aku minta pada suamiku, bukan padamu!" jawab Yuvika santai sembari menikmati masakannya. "Suami di atas kertas. Bukan suami yang mencintaimu sebagai istri. Dia hanya mencintaiku." Elsaki hanya menghela napas panjang. Ia memijit pelipisnya pelan. Ini masih terla
Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM. "Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan ta
Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m
Sebelum Yuvika bisa menanggapi lebih lanjut, suara dingin terdengar dari belakangnya. "Iya, kenapa?" Yuvika terkejut. Ia menoleh, mendapati Elsaki berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan tidak menyenangkan. "Kau ada masalah dengan peraturanku?" "Bukan masalah, hanya saja... kenapa kau memberi peraturan yang bahkan tidak melibatkan mereka untuk menikmati makanan yang sama denganmu?" "Karena aku suka aturan itu. Dan di rumah ini, apa yang aku suka adalah peraturan. Jangan coba-coba mengubahnya." Yuvika menatap Elsaki balik, tidak mundur sedikit pun. "Aku hanya berpikir, hidup akan lebih baik jika semua orang bisa menikmati hal yang sama." "Dan aku tidak peduli dengan pikiranmu," jawab Elsaki tegas. "Jangan terlalu ikut campur." Elsaki melangkah lebih dekat, menciptakan jarak yang semakin sempit antara dirinya dan Yuvika. Tatapannya tajam dan dingin, sedingin es. "Kau berpikir bisa mengubah segalanya di sini? Ini bukan rumahmu. Ini rumahku, dan aturan yang berlaku adalah atura
Yuvika tampak tak peduli dengan konsekuensi yang diancamkan suaminya, meskipun dalam hati ia merasakan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit di dapur, dan meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang, sebenarnya ia terus-menerus terjaga oleh kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yuvika memilih untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya, percaya bahwa menunjukkan ketidakpastian hanya akan memberikan kepuasan kepada Elsaki. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata suaminya yang sudah jelas-jelas tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Untuk mengatasi kegelisahan yang mengganggu pikirannya, Yuvika mencari pelarian dengan cara yang mungkin terdengar klise, yakni berbelanja. Pergi ke pusat perbelanjaan menjadi ritual barunya. Kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara berlebihan, kini menjadi cara untuk memanjakan diri dan mengalihkan perhatian dari masalah yang membebani pikirannya. Yuvika menghabiskan uang El
Suasana di antara puing-puing bekas rumah itu terasa hening. Bu Isni memegang kotak besi yang baru ditemukan dengan tangan bergetar, dan Yuvika merasakan ketegangan yang menyelimuti ibunya. "Ibu, ada apa?" tanyanya lagi, suara yang lembut namun penuh perhatian.Bu Isni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka mulut. Wajahnya masih tampak sedikit pucat, dan gerak-geriknya tampak kaku, seolah takut sesuatu akan terbongkar."Nggak ada, Vika. Nggak ada apa-apa. Ibu cuma kaget… ternyata isinya masih utuh, itu aja."Beliau memaksakan senyum, namun tatapan matanya masih menyimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan."Tapi wajah Ibu pucat. Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu di dalam kotak itu yang bikin Ibu kaget?" Yuvika mengernyit, matanya memperhatikan setiap ekspresi di wajah ibunya, mencari jawaban dari sesuatu yang terasa mengganjal."Beneran, nggak ada apa-apa, Yuvika. Ini cuma… kotak kenangan lama. Mungkin Ibu terlalu tenggelam dalam nostalgia aja." Dengan gela
Yuvika terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Mungkin benar, Elsaki akan keberatan jika ibunya tinggal bersama. Namun, bukan hal yang sulit untuk meyakinkan Elsaki bahwa ibunya kini membutuhkan dukungan. Terlebih ia yakin bahwa Elsaki, meski dikenal keras dan kadang kaku dalam prinsipnya, masih punya sisi lembut yang bisa dipengaruhi dengan pendekatan yang tepat."Ibu tenang aja, itu urusan aku," kata Yuvika akhirnya. Bu Isni menatap Yuvika dengan rasa haru. Anak yang pernah beliau sakiti dengan berbagai ucapan dan perlakuan kini menawarkan rumah dan kasih sayang tanpa syarat, bahkan rela mengambil risiko demi memperbaiki hubungan mereka. Dalam hati,beliau merasa sangat beruntung meskipun rasa bersalah terus menghantui dirinya."Terima kasih untuk semuanya."Yuvika mengangguk senang, tak pernah ia sangka bahwa buah dari kesabaran dan ketulusan yang ia punya akan berbuah manis, bahkan lebih manis dari yang ia bayangkan. "Oh, ya, Yuvika. Bagaimana dengan pernikahanmu? Ibu n
Sore yang cerah telah bergulir pelan menjadi malam yang hening. Di ruang rumah sakit itu, Yuvika dan ibunya duduk berhadapan, masih berbicara satu sama lain dengan kehangatan yang baru pertama kali mereka rasakan. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama, namun ini adalah kali pertama mereka benar-benar berbicara sebagaimana seharusnya—sebagai ibu dan anak. Momen ini adalah impian yang Yuvika simpan dalam hatinya sejak kecil. Kini, kenyataan itu terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia perjuangkan.Selama ini, ia telah melewati banyak luka dan pengorbanan, berharap bisa mendapatkan secercah perhatian dari ibunya. Bahkan, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka bakar di kulitnya tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kecil yang kini menghangatkan hatinya. Seandainya saja neneknya masih ada di sisinya saat ini, Yuvika yakin beliau pasti ikut merasakan kebahagiaan ini. Ia bisa membayangkan senyum lembut sang nenek yang selama ini menjadi penghibur di tengah sega
Bu Isni terdiam sejenak di ambang pintu, mencoba mencerna apa yang baru saja beliau lihat. Tisya berlalu dengan wajah muram, penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Di baliknya, Yuvika duduk dengan ketenangan yang luar biasa, sementara Elsaki tampak gelisah, seolah dihimpit beban yang tak terlihat. Bu Isni tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa perempuan tadi?""Tisya, Bu. Teman lama Elsaki," jawab Yuvika dengan suara tenang. Lebih tepatnya ia berusaha tenang. Bu Isni mengernyit, tatapan matanya tajam menelusuri wajah Yuvika, mencoba menangkap kebohongan di balik kata-katanya. "Hanya teman lama? Terus kenapa dia kelihatan marah? Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ceritakan."Yuvika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, menutupi kebenaran di depan seseorang bukan hal yang mudah. Namun, ia juga tak ingin membeberkan semuanya saat ini. Dengan hati-hati, Yuvika menjawab, "Mungkin Tisya hanya kaget, Bu. Sudah lama nggak ketemu Elsaki, lalu tiba-tiba
Elsaki terkejut, menyadari siapa yang kini berdiri di ambang pintu. Tisya, dengan tatapan tajam dan wajah dingin, menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang mungkin bisa ia ucapkan. Ekspresi tenangnya justru membuat suasana terasa semakin mencekam. Sesaat, Elsaki hanya bisa terdiam, bahkan tubuhnya seolah membeku di samping Yuvika yang dengan tenang menatap keduanya bergantian. Bagaimana ia tak marah? Elsaki mengatakan akan bekerja, dan saat ia mengikuti ke mana perginya Elsaki, ia justru mendapati dirinya bersama dengan Yuvika. "Oh, jadi ini yang kamu maksud bekerja? Kamu rela bohong sama aku demi dia? Perempuan yang katamu tameng untuk hubungan kita, tapi ternyata kalian justru menjalin pertemanan?" suara Tisya akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar begitu tajam, menggambarkan perasaan yang tertahan. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan dalam sekejap ruangan itu terasa menyempit oleh kehadirannya. Elsaki menelan ludah,
Setelah pertemuannya dengan Tisya, Elsaki seharusnya ke rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, tanpa ia sadari, mobilnya malah melaju ke arah lain—ke rumah sakit tempat Yuvika dirawat. Pikirannya kalut, dipenuhi dengan kebingungan yang tak kunjung reda setelah percakapannya dengan Tisya. Ia seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari niatnya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Sampai di depan rumah sakit, Elsaki berhenti sejenak, menatap bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Kenapa aku ke sini?' tanyanya dalam hati, meski ia tahu jawabannya. Ada sesuatu yang tak ia bisa jelaskan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terus membawanya ke sini. Yuvika, kini sangat terlihat bahwa ia memiliki tempat di hatinya. Entah sebagai teman seperti yang mereka sepakati atau lebih. Elsaki keluar dari mobil dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan ia tengah berjalan menuju perbatasan yang tidak ingin
Tisya berhenti, napasnya memburu, wajahnya menyiratkan amarah yang nyaris meledak. Tatapan matanya tajam menusuk Elsaki, seakan menantang untuk memberikan jawaban. Namun Elsaki tetap diam, memegang pergelangan tangan Tisya dengan lembut tapi kuat. Ia tahu, Tisya bukan seseorang yang mudah ditenangkan ketika emosinya sudah memuncak."Kenapa, Saki?" desis Tisya, matanya menyala marah. "Apa kamu takut aku menemui Yuvika? Atau... kamu takut dia mengatakan sesuatu yang akan merubah segalanya?"Elsaki menelan ludah. Ia tidak bisa mengelak bahwa ada kebenaran dalam pertanyaan Tisya. Namun bukan amarah atau balas dendam yang ia khawatirkan. Ia lebih takut pertemuan itu akan membuka kenyataan yang lebih besar—kenyataan yang selama ini ia coba tutupi, baik dari Tisya maupun dirinya sendiri."Tisya... ini bukan soal Yuvika," Elsaki berusaha menjaga ketenangannya, meski dadanya bergejolak. "Ini tentang kita. Tentang apa yang kita punya sekarang. Kalau kamu pergi, kalau kamu melakukan sesuatu dala
Elsaki tiba di cafe yang telah menjadi tempat langganan mereka. Suasana di dalam terasa tenang, dengan alunan musik lembut yang mengisi ruangan. Tisya sudah menunggunya di meja dekat jendela, mengenakan dress merah terang yang menarik perhatian, kontras dengan suasana kalem di sekitar mereka. Senyumnya lebar begitu melihat Elsaki masuk, seolah tak sabar menyambutnya."Akhirnya kamu datang juga!" Tisya menyapa dengan antusias, berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan memberikan pelukan singkat. Elsaki menyambut pelukan Tisya dengan hangat, mencoba menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa inilah yang benar. Tangannya melingkar di punggung Tisya, menariknya lebih dekat seolah mencari perlindungan dari perasaan-perasaan yang terus merongrong pikirannya. Ia tahu, hatinya tak lagi sepenuhnya utuh untuk Tisya. Namun, ia menolak mengakui perasaan itu—perasaan yang pelan-pelan mulai mengarah ke Yuvika.Untuk kali ini, dan seterusnya, Elsaki bertekad untuk memfokuskan diri pada hu
Elsaki memutuskan untuk keluar dari ruangan rumah sakit setelah suasana menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Langkah-langkah kakinya terdengar bergema di lorong panjang itu. Kepalanya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi—tentang pengorbanan Yuvika, pengkhianatan Bu Isni, dan rasa bersalah yang tanpa henti menghantuinya.Tanpa sadar, kakinya membawanya menuju taman rumah sakit, sebuah tempat yang biasanya ia kunjungi saat pikirannya penuh dengan kegelisahan. Di sana, ia duduk di bangku panjang, memandang ke langit yang terik. Gemericik air dari pancuran kecil di tengah taman terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan kekacauan di hatinya.Lamunan Elsaki buyar seketika saat getaran dari ponsel di saku kemejanya terasa. Ia segera merogoh saku dengan enggan, dan di layar yang menyala, nama "Sayangku" terpampang jelas dengan emoticon hati merah di ujungnya. Seolah simbol itu menguatkan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu rumit.Elsaki menatap layar itu untu