Share

3. Kita Menikah

Setelah semalaman memikirkan cara untuk menghindari pernikahan yang tidak diinginkan, akhirnya Yuvika pagi ini bertekad untuk pergi meninggalkan rumah. Pagi-pagi buta ia mengemasi beberapa pakaian dan juga berkas-berkasnya. Ia tak mau meninggalkan berkas apa pun demi keselamatan hidupnya.

Setelah selesai dengan pakaian seadanya, ia berjalan bertingkat-jingkat untuk meninggalkan rumah. Masih pukul empat dini hari, suasana masih sepi. Ia tak terlalu kesulitan untuk pergi.

Setelah berjalan cepat beberapa meter, ia menaiki ojek untuk pergi ke stasiun. Ia akan meninggalkan kota ini sejauh mungkin. Ia tak memikirkan nasibnya di kota orang nanti akan bagaimana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara Ia terbebas dari belenggu pernikahan.

Tepat pukul tujuh, Bu Isni murka lantaran tak ada makanan di meja makan, batang hidung anak gadisnya yang mengurusi hidupnya pun sejak tadi tak terlihat. Ditambah lagi kini ada seorang pria muda yang menunggunya untuk meminta berkas sang putri. Dengan sangat terpaksa wanita berusia hampir 50 tahun itu membuka pintu kamar sang anak.

"Dia berangkat kerja tanpa memasak makanan untukku? Anak tidak tahu diuntung!" hardiknya seraya masuk kamar seraya mengacak isi lemari untuk mencari data.

Bu isni tak sadar bahwa beberapa pakaian dari Yuvika menghilang. Beliau yang tak mau tahu urusan sang anak bahkan kini kesulitan mencari data penting itu. Apa pun yang ada dalam lemari, beliau keluarkan demi menemukan sebuah kertas.

"Sialan! Di mana dia menyimpan berkasnya?" Wanita itu mulai putus asa sekaligus kesal. Setiap sudut kamar sudah beliau jelajahi, namun hasilnya nihil.

"Maaf, Pak. Sepertinya Bapak harus kembali lagi nanti sore. Yuvika sudah berangkat kerja dan saya tidak tahu di mana dia menyimpan data dirinya. Seluruh kamarnya sudah saya cari, tapi tidak ketemu. Nanti sepulang kerja saya akan mintakan ke dia."

"Di mana dia bekerja? Biar saya yang ke sana. Pak Elsaki meminta secepatnya, saya tidak mungkin menunggu selama itu."

Tanpa pikir panjang Bu Isni memberikan alamat beserta arahan menuju pabrik yang ditempati Yuvika mencari nafkah selama delapan tahun.

Dengan segera, pria yang dipercaya untuk mengurusi segala keperluan Elsaki itu meluncur ke tempat yang dimaksud. Tidak sampai lima menit ia sampai.

"Apa? Dia absen?" beo pria itu seraya melihat daftar absen yang berupa mesin absensi pabrik itu.

Tak mau buang waktu, ia segera menghubungi Elsaki untuk melapor. Ia mencurigai sesuatu, namun tetap saja ia harus membicarakan ini dengan atasannya.

"Maaf, Pak. Sepertinya Nona Yuvika melarikan diri..." Pria itu mulai menceritakan secara runtut apa saja yang ia lakukan hari ini.

"Cari sampai dapat! Dia hanyalah seekor kecoa yang berusaha melarikan diri bayangan kegelapan."

Elsaki memutuskan panggilan itu secara sepihak. Ia tak perlu cemas, khawatir, apalagi takut jika Yuvika tidak ditemukan. Seperti yang ia bilang tadi, wanita itu bagaikan kecoa yang tak punya power apa-apa untuk melarikan diri dari seorang Elsaki.

Sementara itu, Yuvika sudah tiba di terminal. Ia akan pergi ke kota mana pun yang tiketnya masih tersisa. Ia tahu ini sangat beresiko, ia tak punya tujuan lantaran kepergiannya yang mendadak dan tanpa perhitungan yang matang. Dengan tekad yang bulat dan usahanya yang kuat, ia berharap langkah yang ia ambil tidak salah dan akan membuahkan hasil yang ia inginkan.

Namun sayang, harapan yang ia cetuskan dalam hati dan pikirannya berbanding terbalik dengan kenyataan. Belum sempat ia membeli tiket, mulutnya sudah dibekap oleh seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa. Yuvika berusaha memberontak, tetapi terasa percuma saja lantaran dirinya sudah lemah dan kalah dari sisi tenaga.

***

Yuvika mengerjapkan mata. Pusing masih mendera saat ia berusaha untuk mengingat apa yang terjadi. Bukannya ingat, ia justru semakin bingung saat berada di sebuah ruangan yang mirip kamar, dengan nuansa putih yang sangat dominan di sana. Langit-langit dan dinding putih bersih seakan memantulkan cahaya yang terlalu terang, membuat matanya sedikit perih. Ia seketika terduduk dengan rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti. Wanita itu menundukkan kepala seolah memastikan tak ada sesuatu yang terjadi padanya.

Perlahan, ia meraba-raba sekitarnya, menyadari bahwa ia berada di tempat yang asing. Tempat tidur yang ia duduki terasa empuk, dengan seprai putih yang rapi dan bersih. Di sudut ruangan terdapat meja kecil dengan vas bunga berisi bunga lili yang masih segar. Tak ada suara kecuali detak jantungnya yang semakin cepat.

"Kau sudah bangun?" suara seorang lelaki mengagetkannya.

Yuvika mendongak dengan terkejut, menatap pria yang berjalan ke arahnya. Untuk sesaat, ia tak menjawab, masih berusaha mengingat siapa lelaki itu dan bagaimana ia bisa berada di sini. Rasa takut dan bingung bercampur aduk dalam pikirannya.

Lelaki itu mengenakan kemeja putih yang terlihat mahal, dengan wajah yang memancarkan ketenangan, ia berjalan mendekat.

Yuvika menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia memaksa otaknya untuk bekerja lebih cepat, mencoba mengingat setiap detail yang mungkin dapat membantunya mengerti situasi ini. Namun, rasa pusing masih terlalu kuat, dan ia hanya bisa mengingat fragmen-fragmen samar dari kejadian sebelumnya.

"Kau pikir mudah lari dariku?" suara Elsaki kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Nada suaranya dingin, tanpa emosi.

Yuvika menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. Ia mencoba berbicara, namun suara yang keluar hanya bisikan lemah. Bukan karena takut, perutnya saat ini terasa lapar lantaran sejak pagi perutnya tak terisi apa pun.

"Apa yang kau harapkan diriku? Aku hanya wanita wanita biasa yang belum siap menikah. Aku tidak akan bisa melayanimu dengan baik. Jadi alangkah baiknya kau mencari pasangan yang memang siap menikah juga."

Elsaki tersenyum miring saat mendengar jawaban tak terduga dari wanita di depannya. Tak ia sangka, wanita ini banyak bicara dan tak lemah seperti di hadapan ibunya.

Ya, Elsaki tahu seluk beluk kehidupan Yuvika. Karena latar belakang Yuvika yang lemah dan mudah ditindas oleh ibunya itulah yang membuat Elsaki tertarik dengan wanita itu.

"Aku sudah mengeluarkan banyak uang, waktu, dan tenaga untuk sampai di titik ini. Tidak ada yang bisa merubah keputusanku, lagi pula aku sudah mengurus pernikahan kita. Untuk sekarang kau tinggal di sini, lusa kita akan menikah."

"Kau tidak bisa menikahiku kecuali kau bisa menemukan ayah kandungku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status