"Siapkan berkas Yuvika juga, aku mau berkas ku dan Yuvika sudah selesai besok. Paling lambat minggu depan aku harus sudah menikah."
Di sinilah Elsaki sekarang. Duduk di kursi yang membesarkan namanya. Sebagai pria muda, ia sudah dikenal sebagai dokter yang luar biasa. Dengan latar belakang pendidikan yang gemilang dan pengalaman praktik yang tak kalah mengesankan, Elsaki telah membangun reputasi yang kokoh di dunia medis. Elsaki menatap berkas-berkas yang tertumpuk rapi di atas meja kerjanya. Tangannya yang cekatan membuka satu persatu, memastikan semua dokumen yang diperlukan telah dipersiapkan dengan baik. Matanya fokus, tak ada keraguan sedikit pun dalam dirinya. Ia sudah bertekad, dan tak ada yang bisa menghalanginya sekarang. "Oke, kau boleh pergi sekarang. Aku banyak pasien." Tittlenya memang dokter. Namun, jiwa yang dimiliki oleh Elsaki persis seperti almarhum ayahnya. Tegas, penuh wibawa, dan berkharisma. Di balik gelar dokter kandungan yang disandangnya, Elsaki adalah pria muda yang dikenal dengan ketegasan dan wibawanya di kalangan sejawatnya. Namun di mata pasien, dokter tampan itu memiliki sisi humor yang membuat para pasiennya merasa nyaman saat memeriksakan calon buah hati mereka. Pria itu bersiap akan melakukan pekerjaannya, ia memiliki jadwal untuk operasi sepuluh menit lagi. Belum sempat ia keluar dari ruangan, tiba-tiba pintu terbuka dari luar. Menampilkan sosok wanita cantik yang dibalut dress berwarna pink bermotif bunga. Wanita itu langsung menghambur ke pelukan Elsaki, "Sayang, kangen." Elsaki sedikit terkejut dengan aksi wanita itu. Ia celingukan seolah ia takut jika ada yang memergoki dirinya yang sedang berada dalam dekapan seseorang, padahal saat ini ia masih berada di ruangannya. "Hey, jangan begini. Nanti ada yang lihat gimana? Lagian keadaan kita juga lagi nggak aman, Sayang," kata Elsaki seraya berusaha melepas tangan wanita yang melingkar di pinggangnya. "Memang siapa yang berani masuk ke sini tanpa izin darimu? Ayolah, kita udah lama nggak ketemu biarin dulu kayak gini dulu." Tisya masih mempererat pelukannya. Elsaki menghela napas panjang, dirinya yang semula berusaha untuk menjaga jarak, kini akhirnya membalas pelukan dari sang kekasih. Memangnya siapa yang sanggup berjauhan dalam waktu lama dengan orang yang dikasihinya? Ya, wanita itu adalah Tisya. Wanita yang sudah ia cintai semenjak duduk di bangku kuliah. Namun sayang, semesta saat itu tidak berpihak pada kisah asmaranya. Ia kalah cepat dengan sahabatnya sendiri, yaitu Veer. Masih sangat segar di ingatannya saat ia menyatakan cinta untuk pertama kalinya pada Tisya kala itu. Jawaban dari ungkapan cintanya itu adalah sebuah penolakan yang membuat hatinya patah, dan yang lebih sakit adalah penyebab patahnya hati dan semangat hidupnya adalah sahabatnya sendiri. "Sayang, kamu tahu, kan, aku lagi usaha agar hubungan kita tetap berjalan di belakang Veer? Tolong bantu aku dengan kamu nurut sama aku." "Kamu udah tahu apa yang harus kamu lakukan supaya dia nggak menaruh kecurigaan?" tanya Tisya mendongak, tatapan keduanya bertemu dengan jarak dekat. Sorot mata keduanya seolah memancarkan cinta yang dalam. Elsaki melepas pelukannya, tanganya kini berpindah di kedua sisi pipi Tisya. Ia mengelus pipi wanita itu dengan ibu jarinya, elusan yang memenangkan dan terasa lembut dirasakan Tisya. "Hm, aku sudah membuat langkah awal yang besar. Aku jamin, dia nggak akan berpikir macam-macam." "Apa yang kamu lakukan?" "Menikah." Tisya terdiam, matanya melebar dengan keterkejutan yang tidak dapat disembunyikan. Kabar itu seperti petir di siang bolong, mengguncang perasaannya. Ia tidak menyangka Elsaki akan mengambil langkah sejauh itu demi menyembunyikan hubungan mereka. Tisya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dari gelombang emosi yang menerjang. Ia melepas pelukannya begitu saja. Elsaki menatap kekasihnya dengan penuh harap, ia berharap wanita itu paham bahwa ini adalah jalan satu-satunya demi sebuah hubungan. Lebih tepatnya hubungan haram. Memang benar apa kata orang, sesuatu yang berbau dosa adalah hal yang menyenangkan. Banyak orang yang bermaksiat melalui jalan apa saja, perselingkuhanlah yang paling sering ditemui. "Apa ini, Saki? Kamu menikah? Kamu lupa sama janji kamu buat nunggu aku, ha?" Tisya tak terima dengan keputusan sepihak yang diambil oleh lelaki itu. "Sayang, memang apalagi yang bisa aku lakukan? Suamimu sudah curiga bahwa kamu memiliki hubungan denganku. Kalau dibiarkan lama-kelamaan ini merusak hubungan kita dan persahabatanku. Kamu masih mau lanjut sama aku, kan? Dengan aku menikah, kita justru bisa lebih leluasa." Tisya mengernyitkan keningnya, "Kamu masih peduli dengan persahabatan kalian? Terus tujuan kamu menjalin hubungan sama aku apa, Saki?" "Tujuanku adalah kita bisa tetap bersama, tanpa ada yang mencurigai hubungan kita. Aku tahu ini sulit, tapi ini satu-satunya cara agar kita bisa menjaga semuanya tetap aman. Aku mau kita bareng-bareng, tapi nggak ngerusak hubungan aku dengan Veer juga. Kalaupun rusak, aku nggak mau reputasiku jadi taruhannya. Tolong Sayang, tolong kerja samanya, ya. Kamu ngertiin aku kayak aku ngerti kamu." Reputasi? Tisya merasa dadanya sesak mendengar penjelasan Elsaki. Ia tak menyangka bahwa lelaki yang ia cintai itu lebih mementingkan reputasi daripada hubungan mereka yang mereka lalui dengan segala kebahagiaannya. Rasanya ia seperti sedang berada di persimpangan jalan, di mana ia harus memilih antara tetap bertahan dengan segala risiko yang ada atau melepaskan semuanya demi kebaikan bersama. Lagi-lagi cinta butalah yang membuat mereka bertindak dan berpikir bodoh. Mereka adalah bukti nyata, bahwa pendidikan setinggi apa pun, apa saja profesinya, apa pun keadaannya, jika cinta sudah bertahta di atas segalanya, maka apa pun yang mereka punya tidak akan berguna. Semua mendadak buram, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa bahagia tanpa memikirkan resikonya. "Aku nggak menyangka kamu mengambil keputusan sebesar ini tanpa melibatkan aku." Elsaki menggelengkan kepala pelan seraya memijat pelipisnya. Lihatlah bagaimana egoisnya wanita ini, pikirnya. "Aku nggak mau tahu, aku nggak suka berbagi. Dan aku mau, kamu tidak menyentuh wanita itu. Kalau sampai itu terjadi, aku nggak mau kenal kamu lagi," putus Tisya seraya pergi meninggalkan ruangan serba putih itu. "Astaga, Tisya. Untung sayang," gumam pria itu seraya berjalan ke luar untuk menjalankan tugasnya.Setelah semalaman memikirkan cara untuk menghindari pernikahan yang tidak diinginkan, akhirnya Yuvika pagi ini bertekad untuk pergi meninggalkan rumah. Pagi-pagi buta ia mengemasi beberapa pakaian dan juga berkas-berkasnya. Ia tak mau meninggalkan berkas apa pun demi keselamatan hidupnya. Setelah selesai dengan pakaian seadanya, ia berjalan bertingkat-jingkat untuk meninggalkan rumah. Masih pukul empat dini hari, suasana masih sepi. Ia tak terlalu kesulitan untuk pergi. Setelah berjalan cepat beberapa meter, ia menaiki ojek untuk pergi ke stasiun. Ia akan meninggalkan kota ini sejauh mungkin. Ia tak memikirkan nasibnya di kota orang nanti akan bagaimana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara Ia terbebas dari belenggu pernikahan. Tepat pukul tujuh, Bu Isni murka lantaran tak ada makanan di meja makan, batang hidung anak gadisnya yang mengurusi hidupnya pun sejak tadi tak terlihat. Ditambah lagi kini ada seorang pria muda yang menunggunya untuk meminta berkas sang putri. Dengan
"Tidak perlu khawatir, itu sudah aku atur. Aku mungkin tidak tahu keberadaan ayahmu, tetapi ada cara lain untuk mencapai tujuanku. Yuvika, kau harus tahu bahwa jika kau menikah denganku, kau akan hidup dalam kemewahan. Kau bisa membeli apa pun yang kau inginkan tanpa harus bekerja keras atau menderita oleh tangan ibumu. Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih padaku, karena aku sudah menyelamatkanmu dari neraka yang ibumu buat sendiri."Elsaki meninggalkan Yuvika sendirian di apartemennya, tanpa mempedulikan kebingungan yang melingkupinya. Dari mana Elsaki tahu bahwa ibunya adalah "neraka" baginya? Tidak, bukan Yuvika yang merasa demikian, tetapi siapa pun yang melihat bagaimana hidupnya dengan ibunya pasti akan setuju bahwa Bu Isni bukanlah ibu yang baik. Namun, argumen ini tak berlaku untuk Yuvika sendiri. Meskipun ia mempunyai ibu yang jahatnya melebihi ibu tiri, ia tak pernah menganggap bahwa ibunya adalah "neraka" atau sumber penderitaan. Ia tetap menganggap bahwa ibunya ad
Elsaki dan Tisya menoleh ke arah yang sama. Mereka mendapati Yuvika yang sedang berdiri tak jauh dari posisi mereka. "Kamu ke depan dulu, ya. Dia biar aku yang urus. Kamu ingat pesan aku, oke. Jangan melakukan apa pun ke dia, dia urusanku.""Kalau begitu ingat juga pesanku, jangan sentuh dia atau kita bubar!" ancam Tisya lalu pergi meninggalkan kekasihnya gelapnya. Langkahnya sempat terhenti saat melewati Yuvika. Tatapan dingin dan permusuhan sangat kentara dari sorot Tisya. Meskipun tatapan yang diberikan tak lama, hal itu cukup membuat Yuvika menciut. "Kau ingin tahu siapa dia?" tanya Elsaki seraya berjalan mendekat. "Tidak." Untuk saat ini, Yuvika tak peduli wanita itu siapa. Entahlah, rasanya tidak penting juga ia mengetahui semua yang berhubungan dengan Elsaki. Ia hanya ingin segera menyelesaikan acara pernikahan ini dan istirahat. Rasanya ia sangat lelah, banyak pikiran akhir-akhir ini ternyata berdampak juga di tubuhnya. Kini sepasang pengantin baru itu sudah kembali ke p
Bagaikan dihujani hujatan tanpa henti, hati Yuvika benar-benar hancur mendengar penjelasan panjang lebar dari Elsaki. Ia mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja diungkapkan oleh suaminya sendiri. Di balik sikap tenang yang ia tampilkan, tersimpan luka yang dalam dan perasaan terhina. Bagaimana bisa ada manusia yang berdedikasi tinggi bicara seperti ini? Namun, di dalam hatinya muncul tekad yang kuat untuk tidak menyerah dengan keadaan. Hidupnya sudah dipenuhi derita, ia yakin sanggup melewati semuanya. Ia menatap Elsaki dengan tatapan yang penuh keteguhan, menyembunyikan semua keraguan dan kepedihan yang sebenarnya ia rasakan. Baginya, pernikahan adalah sebuah janji suci dengan Tuhan yang tidak bisa dibuat lelucon seperti yang Elsaki katakan. Yuvika berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan Elsaki miliknya seutuhnya, apa pun yang terjadi. Bukan karena cinta, tapi lebih kepada menepati janji pada Tuhan-nya. "Aku tidak semurah itu, Elsaki.""Benar, kau memang mahal. Aku
Tisya berjalan menuju meja makan. Ia mendekati Elsaki dan seperti biasa, ia melakukan adegan mesra dengan memberikan kecupan di beberapa wajah begitu juga sebaliknya. Mereka melakukan itu tanpa sungkan seolah tak ada siapa-siapa. Di saat itulah Yuvika sadar bahwa wanita yang dimaksud oleh suaminya sejak kemarin adalah Tisya. Dan sekarang, ia tahu duduk permasalahan yang dialami oleh Elsaki. Benar-benar di luar nalar, ia menjalin hubungan dengan istri orang? "Belajarlah untuk tahu diri, kau sudah meminta mahar lima milyar, dan sekarang kau meminta restoran? Jika kau ingin menghabiskan waktu, cari kegiatan yang tidak merugikan orang," ucap Tisya yang terdengar merendahkan. "Apakah jika aku minta restoran, kau akan rugi? Aku minta pada suamiku, bukan padamu!" jawab Yuvika santai sembari menikmati masakannya. "Suami di atas kertas. Bukan suami yang mencintaimu sebagai istri. Dia hanya mencintaiku." Elsaki hanya menghela napas panjang. Ia memijit pelipisnya pelan. Ini masih terla
Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM. "Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan ta
Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m
Sebelum Yuvika bisa menanggapi lebih lanjut, suara dingin terdengar dari belakangnya. "Iya, kenapa?" Yuvika terkejut. Ia menoleh, mendapati Elsaki berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan tidak menyenangkan. "Kau ada masalah dengan peraturanku?" "Bukan masalah, hanya saja... kenapa kau memberi peraturan yang bahkan tidak melibatkan mereka untuk menikmati makanan yang sama denganmu?" "Karena aku suka aturan itu. Dan di rumah ini, apa yang aku suka adalah peraturan. Jangan coba-coba mengubahnya." Yuvika menatap Elsaki balik, tidak mundur sedikit pun. "Aku hanya berpikir, hidup akan lebih baik jika semua orang bisa menikmati hal yang sama." "Dan aku tidak peduli dengan pikiranmu," jawab Elsaki tegas. "Jangan terlalu ikut campur." Elsaki melangkah lebih dekat, menciptakan jarak yang semakin sempit antara dirinya dan Yuvika. Tatapannya tajam dan dingin, sedingin es. "Kau berpikir bisa mengubah segalanya di sini? Ini bukan rumahmu. Ini rumahku, dan aturan yang berlaku adalah atura