Share

Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan
Pesona Istri Bayaran Dokter Tampan
Author: Author MungiL

1. Lima Milyar!

"Lima milyar! Saya akan lepaskan anak saya jika kamu mampu memberikan mahar sebesar lima milyar." Bu Isni mengatakan dengan lantang dan yakin.

Tatapan mengejek beliau arahkan pada laki-laki yang kini duduk di depannya. Lebih tepatnya, duduk di sebuah sofa usang yang sudah berusia tua. Beliau menelisik tampilan pria itu dari atas hingga bawah. Tak ada yang istimewa, mobil yang dikendarai pun masih tergolong biasa saja baginya. Namun, beliau akui, lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Elsaki itu sangat tampan.

"Deal!" jawab Elsaki tanpa berpikir panjang. Tangannya terulur sebagai tanda kesepakatan bersama.

Bu Isni terkejut sesaat, lalu tersenyum puas. Beliau membalas uluran tangan Elsaki dan menjabatnya dengan kuat, menandakan kesepakatan mereka telah tercapai.

Sementara itu, Yuvika baru saja pulang kerja. Ia bekerja di sebuah pabrik yang jaraknya tak jauh dari rumah. Wanita itu berjalan menuju rumah dengan langkah lelah, mengeluhkan pekerjaan yang melelahkan, belum lagi jika ia mengeluhkan tentang kehadirannya di dunia. Mungkin ia akan butuh waktu berhari-hari untuk menceritakannya.

Saat mendekati rumah, ia melihat ada mobil yang diparkir di depan rumahnya, sebuah mobil yang asing baginya. Ah, ia sepertinya lupa bahwa semua jenis mobil yang terparkir di depan rumahnya adalah hal yang langka.

Masuk ke dalam rumah, Yuvika terkejut melihat seorang pria tampan duduk di ruang tamu, berbincang dengan ibunya yang terlihat tersenyum ramah. Senyum yang tak pernah ditujukan untuknya. Tatapannya fokus pada sebuah kertas yang tergeletak di atas meja. Dilihat dari bentuknya, persis seperti cek. Pikirannya seketika overthinking.

"Ada apa ini, Bu? Siapa dia?" tanyanya dengan penuh kebingungan.

"Sini duduk!" titah Bu Isni menepuk sofa di sampingnya.

Yuvika menurut meski ia masih bingung dengan situasi yang sedang terjadi.

"Vika, perkenalkan dia adalah Elsaki, laki-laki yang akan menjadi suamimu."

Yuvika terpaku sejenak, alisnya mengernyit tajam. Matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka. Ia mematung seakan berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Pandangannya berpindah dari ibunya ke pria asing itu, dan kembali lagi, mencoba mencari penjelasan dari wajah-wajah di depannya.

"Ibu jangan bercanda, aku nggak kenal dia," protes Yuvika setelah ia bisa menguasai dirinya.

"Ya memang kenapa kalau nggak kenal? Masih ada waktu untuk berkenalan. Ibu tidak meminta kamu untuk menikah hari ini juga. Masih ada beberapa minggu lagi untuk persiapan pernikahan. Di saat itulah kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Benar begitu, Nak Elsaki?"

Elsaki hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Ia sebenarnya malas untuk sekedar basa basi. Ia ingin segera pergi dari rumah sederhana itu, apa yang ia tuju sudah tercapai, apalagi yang ia lakukan di sini lama-lama? Menyaksikan drama penolakan? Ah, siapa yang sanggup menolak pinangan dari laki-laki setampan Elsaki Sanders? Pikirnya begitu percaya diri.

"Tetep aja aku nggak mau, Bu. Aku belum siap menikah dan aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Aku masih ingin mencari ayah."

Elsaki yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, "Maafkan aku, Yuvika. Tapi kita harus tetap menikah, mau kau setuju atau tidak, pernikahan akan tetap terjadi. Ibumu sudah setuju, aku juga bersedia memberimu mahar sesuai yang ibumu mau. So, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak."

Yuvika tak dapat lagi berkata-kata, ia mendadak linglung. Matanya bahkan berkaca-kaca menatap ibunya seakan meminta penjelasan bahwa apa yang dikatakan Elsaki hanyalah bualan semata.

Wanita itu merasa seperti terdampar di tengah lautan emosi yang berkecamuk. Ia mencoba mengekspresikan kebingungannya dengan kata-kata, namun semua yang muncul hanyalah kekosongan dalam benaknya. Matanya masih menatap ibunya, mencari-cari sebuah jawaban yang bisa membenarkan segala ketidakpercayaannya.

"Kau lihat ini? Ini adalah kesepakatan kami. Kesepakatan antara aku dan ibumu." Elsaki yang nampak paham situasi kembali bicara tanpa diminta. Ia menggeser cek ke arah Yuvika.

Wanita muda itu mengambil cek dengan tangan bergetar. Air matanya seketika mengalir tanpa permisi.

"Itu uang di luar mahar. Kau bisa bicarakan ini lebih jelas dengan ibumu. Besok aku akan kembali, siapkan berkas yang diperlukan. Permisi."

"Tunggu, ambil ini! Aku tidak mau menikah denganmu. Jangan pernah kembali untuk urusan apa pun!" Yuvika meraih tangan Elsaki dan meletakkan selembar cek yang bertuliskan 200 juta di sana.

Namun, cek itu hanya bertahan beberapa detik saja di tangan Elsaki. Kertas sederhana, namun berharga itu sudah kembali berpindah tangan ke tangan orang yang sudah lama menginginkan kepergian Yuvika.

"Ibu lagi nggak jual aku, kan?"

Haish, pertanyaan macam apa yang diajukan oleh Yuvika ini? Mana ada seorang ibu kandung yang tega menjual anaknya sendiri? Ya, mungkin itu pemikiran bagi orang-orang pada umumnya. Bahkan banyak orang yang mengatakan, kasih sayang seorang ibu tidak ada tandingannya. Tidak ada manusia lain yang mencintai dan menyayangimu melebihi cinta ibumu padamu. Namun sayang, kata-kata itu tidak berlaku untuk Yuvika. Alih-alih memberikan perlindungan, kasih sayang, dan juga cinta sepenuhnya, Bu Isni justru memperlakukan anaknya sebaliknya.

Bu Isni mengabaikan pertanyaan dari sang anak demi mengantar Elsaki hingga depan rumah. Bahkan beliau masih berada di teras meskipun mobil Elsaki sudah berlalu dari halaman. Perlakuan sederhana yang tidak pernah sekalipun ditujukan untuk anaknya.

"Ibu jawab aku, Bu. Ibu lagi nggak jual aku, kan?" tanya Yuvika sekali lagi. Ia kini berada di hadapan ibunya. Ekspresi wajahnya bercampur antara tidak terima dan harapan bahwa apa yang ada dipikirannya bukanlah kenyataan.

"Kalau iya, kenapa? Nggak ada ruginya kamu menikah sama dia. Udah kaya, ganteng lagi. Harusnya kamu seneng dinikahi sama laki-laki begitu, kehidupan kamu terjamin. Nggak usah banyak protes, saya mau shopping." Bu Isni mengakhiri perdebatan itu dengan masuk rumah, tak lama kemudian beliau kembali ke luar dengan tas yang tersampir di bahu.

Yuvika hanya mampu terdiam. Apalagi ini? Kesakitan apalagi yang harus ia terima? Tidak cukupkah selama 25 tahun ini ia hidup dengan penderitaan di setiap helaan napasnya?

***

Wanita berkulit putih itu duduk di tepian tempat tidur. Ia terdiam seraya menatap foto sang nenek yang sudah pergi meninggalkannya. Hanya beliau satu-satunya orang yang memberikan kasih sayang tiada batas bak kasih sayang seorang ibu.

Ia sangat menyesalkan kenapa neneknya pergi? Kenapa neneknya tidak hidup abadi? Atau setidaknya hidup hingga ia menemukan keberadaan ayahnya. Pikiran-pikiran yang tidak masuk akal itu tumbuh di kepala Yuvika sejak ia kecil. Ia sangat berharap sang nenek tidak pergi apa pun keadaannya. Pikiran itu ada karena ia tidak mendapatkan hak yang seharusnya ia dapat dari ibunya. Sekarang apa yang harus ia lakukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status