"Lima milyar! Saya akan lepaskan anak saya jika kamu mampu memberikan mahar sebesar lima milyar." Bu Isni mengatakan dengan lantang dan yakin.
Tatapan mengejek beliau arahkan pada laki-laki yang kini duduk di depannya. Lebih tepatnya, duduk di sebuah sofa usang yang sudah berusia tua. Beliau menelisik tampilan pria itu dari atas hingga bawah. Tak ada yang istimewa, mobil yang dikendarai pun masih tergolong biasa saja baginya. Namun, beliau akui, lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Elsaki itu sangat tampan. "Deal!" jawab Elsaki tanpa berpikir panjang. Tangannya terulur sebagai tanda kesepakatan bersama. Bu Isni terkejut sesaat, lalu tersenyum puas. Beliau membalas uluran tangan Elsaki dan menjabatnya dengan kuat, menandakan kesepakatan mereka telah tercapai. Sementara itu, Yuvika baru saja pulang kerja. Ia bekerja di sebuah pabrik yang jaraknya tak jauh dari rumah. Wanita itu berjalan menuju rumah dengan langkah lelah, mengeluhkan pekerjaan yang melelahkan, belum lagi jika ia mengeluhkan tentang kehadirannya di dunia. Mungkin ia akan butuh waktu berhari-hari untuk menceritakannya. Saat mendekati rumah, ia melihat ada mobil yang diparkir di depan rumahnya, sebuah mobil yang asing baginya. Ah, ia sepertinya lupa bahwa semua jenis mobil yang terparkir di depan rumahnya adalah hal yang langka. Masuk ke dalam rumah, Yuvika terkejut melihat seorang pria tampan duduk di ruang tamu, berbincang dengan ibunya yang terlihat tersenyum ramah. Senyum yang tak pernah ditujukan untuknya. Tatapannya fokus pada sebuah kertas yang tergeletak di atas meja. Dilihat dari bentuknya, persis seperti cek. Pikirannya seketika overthinking. "Ada apa ini, Bu? Siapa dia?" tanyanya dengan penuh kebingungan. "Sini duduk!" titah Bu Isni menepuk sofa di sampingnya. Yuvika menurut meski ia masih bingung dengan situasi yang sedang terjadi. "Vika, perkenalkan dia adalah Elsaki, laki-laki yang akan menjadi suamimu." Yuvika terpaku sejenak, alisnya mengernyit tajam. Matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka. Ia mematung seakan berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Pandangannya berpindah dari ibunya ke pria asing itu, dan kembali lagi, mencoba mencari penjelasan dari wajah-wajah di depannya. "Ibu jangan bercanda, aku nggak kenal dia," protes Yuvika setelah ia bisa menguasai dirinya. "Ya memang kenapa kalau nggak kenal? Masih ada waktu untuk berkenalan. Ibu tidak meminta kamu untuk menikah hari ini juga. Masih ada beberapa minggu lagi untuk persiapan pernikahan. Di saat itulah kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Benar begitu, Nak Elsaki?" Elsaki hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Ia sebenarnya malas untuk sekedar basa basi. Ia ingin segera pergi dari rumah sederhana itu, apa yang ia tuju sudah tercapai, apalagi yang ia lakukan di sini lama-lama? Menyaksikan drama penolakan? Ah, siapa yang sanggup menolak pinangan dari laki-laki setampan Elsaki Sanders? Pikirnya begitu percaya diri. "Tetep aja aku nggak mau, Bu. Aku belum siap menikah dan aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Aku masih ingin mencari ayah." Elsaki yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, "Maafkan aku, Yuvika. Tapi kita harus tetap menikah, mau kau setuju atau tidak, pernikahan akan tetap terjadi. Ibumu sudah setuju, aku juga bersedia memberimu mahar sesuai yang ibumu mau. So, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak." Yuvika tak dapat lagi berkata-kata, ia mendadak linglung. Matanya bahkan berkaca-kaca menatap ibunya seakan meminta penjelasan bahwa apa yang dikatakan Elsaki hanyalah bualan semata. Wanita itu merasa seperti terdampar di tengah lautan emosi yang berkecamuk. Ia mencoba mengekspresikan kebingungannya dengan kata-kata, namun semua yang muncul hanyalah kekosongan dalam benaknya. Matanya masih menatap ibunya, mencari-cari sebuah jawaban yang bisa membenarkan segala ketidakpercayaannya. "Kau lihat ini? Ini adalah kesepakatan kami. Kesepakatan antara aku dan ibumu." Elsaki yang nampak paham situasi kembali bicara tanpa diminta. Ia menggeser cek ke arah Yuvika. Wanita muda itu mengambil cek dengan tangan bergetar. Air matanya seketika mengalir tanpa permisi. "Itu uang di luar mahar. Kau bisa bicarakan ini lebih jelas dengan ibumu. Besok aku akan kembali, siapkan berkas yang diperlukan. Permisi." "Tunggu, ambil ini! Aku tidak mau menikah denganmu. Jangan pernah kembali untuk urusan apa pun!" Yuvika meraih tangan Elsaki dan meletakkan selembar cek yang bertuliskan 200 juta di sana. Namun, cek itu hanya bertahan beberapa detik saja di tangan Elsaki. Kertas sederhana, namun berharga itu sudah kembali berpindah tangan ke tangan orang yang sudah lama menginginkan kepergian Yuvika. "Ibu lagi nggak jual aku, kan?" Haish, pertanyaan macam apa yang diajukan oleh Yuvika ini? Mana ada seorang ibu kandung yang tega menjual anaknya sendiri? Ya, mungkin itu pemikiran bagi orang-orang pada umumnya. Bahkan banyak orang yang mengatakan, kasih sayang seorang ibu tidak ada tandingannya. Tidak ada manusia lain yang mencintai dan menyayangimu melebihi cinta ibumu padamu. Namun sayang, kata-kata itu tidak berlaku untuk Yuvika. Alih-alih memberikan perlindungan, kasih sayang, dan juga cinta sepenuhnya, Bu Isni justru memperlakukan anaknya sebaliknya. Bu Isni mengabaikan pertanyaan dari sang anak demi mengantar Elsaki hingga depan rumah. Bahkan beliau masih berada di teras meskipun mobil Elsaki sudah berlalu dari halaman. Perlakuan sederhana yang tidak pernah sekalipun ditujukan untuk anaknya. "Ibu jawab aku, Bu. Ibu lagi nggak jual aku, kan?" tanya Yuvika sekali lagi. Ia kini berada di hadapan ibunya. Ekspresi wajahnya bercampur antara tidak terima dan harapan bahwa apa yang ada dipikirannya bukanlah kenyataan. "Kalau iya, kenapa? Nggak ada ruginya kamu menikah sama dia. Udah kaya, ganteng lagi. Harusnya kamu seneng dinikahi sama laki-laki begitu, kehidupan kamu terjamin. Nggak usah banyak protes, saya mau shopping." Bu Isni mengakhiri perdebatan itu dengan masuk rumah, tak lama kemudian beliau kembali ke luar dengan tas yang tersampir di bahu. Yuvika hanya mampu terdiam. Apalagi ini? Kesakitan apalagi yang harus ia terima? Tidak cukupkah selama 25 tahun ini ia hidup dengan penderitaan di setiap helaan napasnya? *** Wanita berkulit putih itu duduk di tepian tempat tidur. Ia terdiam seraya menatap foto sang nenek yang sudah pergi meninggalkannya. Hanya beliau satu-satunya orang yang memberikan kasih sayang tiada batas bak kasih sayang seorang ibu. Ia sangat menyesalkan kenapa neneknya pergi? Kenapa neneknya tidak hidup abadi? Atau setidaknya hidup hingga ia menemukan keberadaan ayahnya. Pikiran-pikiran yang tidak masuk akal itu tumbuh di kepala Yuvika sejak ia kecil. Ia sangat berharap sang nenek tidak pergi apa pun keadaannya. Pikiran itu ada karena ia tidak mendapatkan hak yang seharusnya ia dapat dari ibunya. Sekarang apa yang harus ia lakukan?"Siapkan berkas Yuvika juga, aku mau berkas ku dan Yuvika sudah selesai besok. Paling lambat minggu depan aku harus sudah menikah." Di sinilah Elsaki sekarang. Duduk di kursi yang membesarkan namanya. Sebagai pria muda, ia sudah dikenal sebagai dokter yang luar biasa. Dengan latar belakang pendidikan yang gemilang dan pengalaman praktik yang tak kalah mengesankan, Elsaki telah membangun reputasi yang kokoh di dunia medis. Elsaki menatap berkas-berkas yang tertumpuk rapi di atas meja kerjanya. Tangannya yang cekatan membuka satu persatu, memastikan semua dokumen yang diperlukan telah dipersiapkan dengan baik. Matanya fokus, tak ada keraguan sedikit pun dalam dirinya. Ia sudah bertekad, dan tak ada yang bisa menghalanginya sekarang. "Oke, kau boleh pergi sekarang. Aku banyak pasien." Tittlenya memang dokter. Namun, jiwa yang dimiliki oleh Elsaki persis seperti almarhum ayahnya. Tegas, penuh wibawa, dan berkharisma. Di balik gelar dokter kandungan yang disandangnya, Elsaki adalah pr
Setelah semalaman memikirkan cara untuk menghindari pernikahan yang tidak diinginkan, akhirnya Yuvika pagi ini bertekad untuk pergi meninggalkan rumah. Pagi-pagi buta ia mengemasi beberapa pakaian dan juga berkas-berkasnya. Ia tak mau meninggalkan berkas apa pun demi keselamatan hidupnya. Setelah selesai dengan pakaian seadanya, ia berjalan bertingkat-jingkat untuk meninggalkan rumah. Masih pukul empat dini hari, suasana masih sepi. Ia tak terlalu kesulitan untuk pergi. Setelah berjalan cepat beberapa meter, ia menaiki ojek untuk pergi ke stasiun. Ia akan meninggalkan kota ini sejauh mungkin. Ia tak memikirkan nasibnya di kota orang nanti akan bagaimana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara Ia terbebas dari belenggu pernikahan. Tepat pukul tujuh, Bu Isni murka lantaran tak ada makanan di meja makan, batang hidung anak gadisnya yang mengurusi hidupnya pun sejak tadi tak terlihat. Ditambah lagi kini ada seorang pria muda yang menunggunya untuk meminta berkas sang putri. Dengan
"Tidak perlu khawatir, itu sudah aku atur. Aku mungkin tidak tahu keberadaan ayahmu, tetapi ada cara lain untuk mencapai tujuanku. Yuvika, kau harus tahu bahwa jika kau menikah denganku, kau akan hidup dalam kemewahan. Kau bisa membeli apa pun yang kau inginkan tanpa harus bekerja keras atau menderita oleh tangan ibumu. Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih padaku, karena aku sudah menyelamatkanmu dari neraka yang ibumu buat sendiri."Elsaki meninggalkan Yuvika sendirian di apartemennya, tanpa mempedulikan kebingungan yang melingkupinya. Dari mana Elsaki tahu bahwa ibunya adalah "neraka" baginya? Tidak, bukan Yuvika yang merasa demikian, tetapi siapa pun yang melihat bagaimana hidupnya dengan ibunya pasti akan setuju bahwa Bu Isni bukanlah ibu yang baik. Namun, argumen ini tak berlaku untuk Yuvika sendiri. Meskipun ia mempunyai ibu yang jahatnya melebihi ibu tiri, ia tak pernah menganggap bahwa ibunya adalah "neraka" atau sumber penderitaan. Ia tetap menganggap bahwa ibunya ad
Elsaki dan Tisya menoleh ke arah yang sama. Mereka mendapati Yuvika yang sedang berdiri tak jauh dari posisi mereka. "Kamu ke depan dulu, ya. Dia biar aku yang urus. Kamu ingat pesan aku, oke. Jangan melakukan apa pun ke dia, dia urusanku.""Kalau begitu ingat juga pesanku, jangan sentuh dia atau kita bubar!" ancam Tisya lalu pergi meninggalkan kekasihnya gelapnya. Langkahnya sempat terhenti saat melewati Yuvika. Tatapan dingin dan permusuhan sangat kentara dari sorot Tisya. Meskipun tatapan yang diberikan tak lama, hal itu cukup membuat Yuvika menciut. "Kau ingin tahu siapa dia?" tanya Elsaki seraya berjalan mendekat. "Tidak." Untuk saat ini, Yuvika tak peduli wanita itu siapa. Entahlah, rasanya tidak penting juga ia mengetahui semua yang berhubungan dengan Elsaki. Ia hanya ingin segera menyelesaikan acara pernikahan ini dan istirahat. Rasanya ia sangat lelah, banyak pikiran akhir-akhir ini ternyata berdampak juga di tubuhnya. Kini sepasang pengantin baru itu sudah kembali ke p
Bagaikan dihujani hujatan tanpa henti, hati Yuvika benar-benar hancur mendengar penjelasan panjang lebar dari Elsaki. Ia mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja diungkapkan oleh suaminya sendiri. Di balik sikap tenang yang ia tampilkan, tersimpan luka yang dalam dan perasaan terhina. Bagaimana bisa ada manusia yang berdedikasi tinggi bicara seperti ini? Namun, di dalam hatinya muncul tekad yang kuat untuk tidak menyerah dengan keadaan. Hidupnya sudah dipenuhi derita, ia yakin sanggup melewati semuanya. Ia menatap Elsaki dengan tatapan yang penuh keteguhan, menyembunyikan semua keraguan dan kepedihan yang sebenarnya ia rasakan. Baginya, pernikahan adalah sebuah janji suci dengan Tuhan yang tidak bisa dibuat lelucon seperti yang Elsaki katakan. Yuvika berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan Elsaki miliknya seutuhnya, apa pun yang terjadi. Bukan karena cinta, tapi lebih kepada menepati janji pada Tuhan-nya. "Aku tidak semurah itu, Elsaki.""Benar, kau memang mahal. Aku
Tisya berjalan menuju meja makan. Ia mendekati Elsaki dan seperti biasa, ia melakukan adegan mesra dengan memberikan kecupan di beberapa wajah begitu juga sebaliknya. Mereka melakukan itu tanpa sungkan seolah tak ada siapa-siapa. Di saat itulah Yuvika sadar bahwa wanita yang dimaksud oleh suaminya sejak kemarin adalah Tisya. Dan sekarang, ia tahu duduk permasalahan yang dialami oleh Elsaki. Benar-benar di luar nalar, ia menjalin hubungan dengan istri orang? "Belajarlah untuk tahu diri, kau sudah meminta mahar lima milyar, dan sekarang kau meminta restoran? Jika kau ingin menghabiskan waktu, cari kegiatan yang tidak merugikan orang," ucap Tisya yang terdengar merendahkan. "Apakah jika aku minta restoran, kau akan rugi? Aku minta pada suamiku, bukan padamu!" jawab Yuvika santai sembari menikmati masakannya. "Suami di atas kertas. Bukan suami yang mencintaimu sebagai istri. Dia hanya mencintaiku." Elsaki hanya menghela napas panjang. Ia memijit pelipisnya pelan. Ini masih terla
Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM. "Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan ta
Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m