Tisya berjalan menuju meja makan. Ia mendekati Elsaki dan seperti biasa, ia melakukan adegan mesra dengan memberikan kecupan di beberapa wajah begitu juga sebaliknya. Mereka melakukan itu tanpa sungkan seolah tak ada siapa-siapa.
Di saat itulah Yuvika sadar bahwa wanita yang dimaksud oleh suaminya sejak kemarin adalah Tisya. Dan sekarang, ia tahu duduk permasalahan yang dialami oleh Elsaki. Benar-benar di luar nalar, ia menjalin hubungan dengan istri orang? "Belajarlah untuk tahu diri, kau sudah meminta mahar lima milyar, dan sekarang kau meminta restoran? Jika kau ingin menghabiskan waktu, cari kegiatan yang tidak merugikan orang," ucap Tisya yang terdengar merendahkan. "Apakah jika aku minta restoran, kau akan rugi? Aku minta pada suamiku, bukan padamu!" jawab Yuvika santai sembari menikmati masakannya. "Suami di atas kertas. Bukan suami yang mencintaimu sebagai istri. Dia hanya mencintaiku." Elsaki hanya menghela napas panjang. Ia memijit pelipisnya pelan. Ini masih terlalu pagi untuk ribut, ia semakin pusing jika mengingat ini adalah hari pertama ia dihadapkan dengan dua wanita yang ternyata sama berisiknya. "Negara dan agama tidak peduli itu, yang mereka tahu, Elsaki suamiku, dan aku istrinya. Mau mencari pembelaan dari manusia satu dunia juga posisi kalian akan salah. So, jangan remehkan istri di atas kertas." Yuvika dengan tatapan angkuhnya meninggalkan keduanya di meja makan. Ia membawa nasi gorengnya ke dalam kamar. Seolah sedang membuktikan bahwa ia tak takut dan tak terpengaruh apa pun yang mereka lakukan. Namun, yang terjadi di dalam kamar sangat berbeda. Ia segera saja berjalan menuju kamar mandi. Menenggelamkan tangisnya di sana. Ia kuat dan mampu menjalani ini, tapi bukan berarti ia tidak merasakan sakit. Ia seolah sedang dipermainkan oleh kehidupan dan takdirnya. Yuvika menumpahkan semuanya saat itu, begitu ia puas dan sadar tak bisa terus seperti ini, ia bangkit dan mencuci bersih wajahnya. Ini adalah cara Yuvika untuk menambah kekuatan dan mengurangi rasa sakitnya. Menurutnya, menangis bisa melegakan hati dan pikirannya, beban sedikit hilang bersama luruhnya air mata yang keluar. Jika sebagian orang berpendapat bahwa menangis adalah pertanda lemahnya seseorang, tidak bagi Yuvika. Ia menganggap, bahwa air matanya adalah sumber kekuatan. "Saki, kamu bilang sama aku kalau dia nggak punya keberanian apa-apa, tapi apa ini? Dia bicara seolah tidak punya rasa takut." "Sayang, ini sama sekali nggak penting. Kamu mau pertemuan kita bahas dia?" "Kok jadi belain dia? Kamu semalam nggak ngapa-ngapain sama dia, kan?" "Tuh, kan, jadi kita yang ribut. Aku udah bilang jangan urusin dia, Sayang. Aku selama ini nggak pernah protes atau mempermasalahkan kebersamaan kamu sama Veer, ya. Jadi tolong, jangan permasalahkan aku sama dia, oke. Aku siap-siap sekarang, kita jalan." Satu jam berada di kamar akhirnya Yuvika melihat dua orang yang sedang dimabuk asmara itu pergi meninggalkan rumah. Ia hanya menatap kepergian mereka dengan tatapan kosong. Seharusnya dirinya yang berada di posisi Tisya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang, ia bingung harus melakukan apa di rumah sebesar ini seorang diri tanpa teman. Ia berkeliling ke luar rumah, ia berjalan ke samping rumah dan terdapat taman bunga yang sudah bermekaran di sana. Ia melihat bibi yang sibuk dengan menyiram tanamannya. "Elsaki suka bunga?" tanya Yuvika yang sukses mengagetkan wanita yang berusia lebih dari 55 tahunan. "Ini bunga ibunya Tuan Elsaki. Tuan meminta saya untuk tetap merawat dan nggak boleh mati." "Kalau boleh tahu, kapan kedua orang tua Elsaki meninggal?" Bibi menyudahi aktivitasnya lantaran semua bunga sudah basah. Beliau duduk di bangku panjang yang berada di sana. Pergerakan itu diikuti oleh Yuvika. Ia merasa ini saatnya mendengar tentang latar belakang suaminya. Bagaimanapun rumah tangganya saat ini berjalan, tak akan mengubah kenyataan bahwa ia adalah istri dari Elsaki Sanders. "Bapak dan Ibu meninggalkan lima tahun yang lalu. Mereka meninggal bersamaan karena kecelakaan." "Bibi tahu Tisya?"Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM. "Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan ta
Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m
Sebelum Yuvika bisa menanggapi lebih lanjut, suara dingin terdengar dari belakangnya. "Iya, kenapa?" Yuvika terkejut. Ia menoleh, mendapati Elsaki berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan tidak menyenangkan. "Kau ada masalah dengan peraturanku?" "Bukan masalah, hanya saja... kenapa kau memberi peraturan yang bahkan tidak melibatkan mereka untuk menikmati makanan yang sama denganmu?" "Karena aku suka aturan itu. Dan di rumah ini, apa yang aku suka adalah peraturan. Jangan coba-coba mengubahnya." Yuvika menatap Elsaki balik, tidak mundur sedikit pun. "Aku hanya berpikir, hidup akan lebih baik jika semua orang bisa menikmati hal yang sama." "Dan aku tidak peduli dengan pikiranmu," jawab Elsaki tegas. "Jangan terlalu ikut campur." Elsaki melangkah lebih dekat, menciptakan jarak yang semakin sempit antara dirinya dan Yuvika. Tatapannya tajam dan dingin, sedingin es. "Kau berpikir bisa mengubah segalanya di sini? Ini bukan rumahmu. Ini rumahku, dan aturan yang berlaku adalah atura
Yuvika tampak tak peduli dengan konsekuensi yang diancamkan suaminya, meskipun dalam hati ia merasakan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit di dapur, dan meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang, sebenarnya ia terus-menerus terjaga oleh kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yuvika memilih untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya, percaya bahwa menunjukkan ketidakpastian hanya akan memberikan kepuasan kepada Elsaki. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata suaminya yang sudah jelas-jelas tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Untuk mengatasi kegelisahan yang mengganggu pikirannya, Yuvika mencari pelarian dengan cara yang mungkin terdengar klise, yakni berbelanja. Pergi ke pusat perbelanjaan menjadi ritual barunya. Kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara berlebihan, kini menjadi cara untuk memanjakan diri dan mengalihkan perhatian dari masalah yang membebani pikirannya. Yuvika menghabiskan uang El
Surat itu bukan sekadar lembaran biasa, melainkan tuntutan resmi yang diajukan Yuvika mengenai nafkah yang harus diberikan Elsaki selama pernikahan mereka berjalan. Namun yang membuat Elsaki benar-benar terkejut adalah jumlahnya fantastis, nyaris tidak masuk akal. Ia seolah tidak pernah menyangka bahwa Yuvika bisa sedemikian terencana, apalagi dengan langkah setegas ini. "Seratus juta setiap bulan? Aku tidak menyangka kau mata duitan," kata Elsaki seraya menunjukkan senyum menghina. Yuvika tetap diam, pandangannya tak goyah meskipun suaminya terus berusaha merendahkannya dengan tatapan tajam. Ia sudah memperkirakan ini, sudah tahu betul seperti apa reaksi Elsaki. "Jadi ini semua hanya soal uang untukmu? Kau pikir dengan uang sebanyak itu kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan?" Elsaki berjalan mendekat, matanya menyipit penuh kebencian. "Kau benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan situasi." "Ini bukan hanya soal uang. Aku hanya mengembalikan apa yang sudah aku terima
Menyadari situasi yang menimbulkan kesalahpahaman, dengan bergegas Elsaki melepas tangan Yuvika dari lehernya. Ia segera berlari mengejar kekasihnya yang sudah pasti salah paham. Sungguh ia tak sanggup menghadapi kemarahan wanita itu. "Tisya. Hei, tunggu Sayang. Ini nggak seperti yang kamu lihat," kata Elsaki begitu jarak keduanya dekat. Ia meraih tangan kekasihnya agar tak terus berjalan menjauhinya. Tisya berpaling, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tak sudi melihat laki-laki simpanannya yang baru saja beradegan mesra dengan wanita lain. Meskipun wanita itu adalah istrinya sendiri. "Kejadiannya nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa jelasin. Jadi...." Mengalirlah cerita Elsaki dengan segala perdebatannya. Tak ada sedikit pun yang luput dari mulutnya. "Aku juga nggak tahu apa yang membuat dia seberani itu. Kamu percaya aku, kan?" "Aku hanya percaya dengan yang aku lihat. Udahlah, aku mau sendiri. Memang nggak seharusnya aku menaruh harapan sama laki-laki. Semu
Tubuh Yuvika terasa berat, seperti tenggelam di dasar laut yang gelap. Kesadarannya perlahan-lahan kembali, namun rasa sakit di kepala dan lehernya masih terasa. Matanya membuka sedikit, mengerjap-ngerjap, meresapi cahaya yang terang dari ruangan. Begitu ia menyadari di mana ia berada, rasa cemas langsung menguasainya. Aroma antiseptik dan ruangan yang serba putih membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. "Non... Non Vika sudah sadar?" Pertanyaan bernada lembut terdengar dari Bi Sum. Ya, wanita itu yang membawa Yuvika ke rumah sakit lantaran banyak darah yang menggenang di lantai dan demam yang cukup tinggi. Yuvika tidak mampu berkata-kata. Kepalanya terlalu pening untuk berfikir jernih, dan setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menjalar dari kepalanya ke seluruh tubuh. "Tolong jangan banyak gerak dulu, Non. Saya panggilkan dokter dulu." Bi Sum terburu-buru keluar ruangan dan memanggil dokter yang tadi menangani Yuvika. Tak lama kemudian, do
Pada sore hari, dokter mengizinkan Yuvika untuk pulang dengan berbagai catatan dan instruksi. Meskipun Yuvika masih terasa sedikit lemas, ia tak betah jika harus berlama-lama dirawat di rumah sakit hingga akhirnya ia merayu dokter agar diizinkan pulang. Semangat cerianya membuatnya ingin segera kembali ke kehidupan sehari-hari, meskipun ia tahu bahwa di rumah hanya akan menambah kesengsaraannya. Sesampainya di rumah, suasana terasa dingin. Yuvika menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, mencoba menguatkan dan mempersiapkan diri. Saat tangan Bi Sum hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam. Nampak sosok Elsaki di belakang benda persegi berwarna putih itu. Pria itu berpakaian rapi seperti hendak pergi. Tatapannya dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia berhenti di ambang pintu, terkejut melihat Yuvika berdiri di depannya. Seketika suasana di antara mereka terasa lebih dingin dari angin sore yang berembus. Mata mereka bertemu, tapi tidak ada sapaan, t