Mobil pria itu melaju kembali pulang. Selama perjalanan, suasana hati Elsaki berperang, antara rasa bersalah dan keinginan untuk tidak peduli. Setiap kali bayangan Yuvika muncul, teringat luka-luka di tubuhnya, rasa bersalah itu kian tak tertahankan. Ia tak pernah melakukan kekerasan pada siapa pun sebelumnya, jadi hal yang wajar jika ia terus kepikiran. "Apa yang terjadi padamu Elsaki? Kau rela membatalkan janjimu dengan Tisya hanya karena pikiran-pikiran bodohmu ini. Lagi pula untuk apa aku terus memikirkan dia?" tanyanya pada diri sendiri yang terdengar frustasi, tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Suara hatinya terus berbisik bahwa ia seharusnya tidak peduli, tetapi kenyataan tidak bisa dipungkiri. Yuvika, dengan segala kondisinya sekarang sangat mengganggu ketenangan yang coba ia ciptakan.Begitu sampai di rumah, Elsaki melangkah cepat menuju dapur. Langkahnya tak berisik, tapi jelas menunjukkan urgensi. Di dapur, Elsaki langsung mendapati Bi Sum yang si
Suasana di dalam rumah terasa tegang, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara. Elsaki menunggu dengan tak sabar, ekspresinya mencerminkan campuran kekhawatiran dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Sementara itu, Bi Sum tampak berjuang antara keinginan untuk berbagi informasi dan rasa takut akan janji yang telah diucapkan kepada Yuvika. Dalam pikirannya, ia mempertimbangkan setiap kemungkinan akibat dari kata-katanya.Belum sempat Bi Sum membuka mulutnya kembali, suara dentuman keras antara gelas dan lantai beradu menggema di seluruh ruangan. Mereka seketika menoleh ke arah yang sama, terkejut oleh kebisingan mendadak yang memecah keheningan. Gelas yang terjatuh itu menciptakan kepingan-kepingan kaca yang berserakan di lantai, menciptakan citra berantakan yang seakan mencerminkan keadaan Yuvika saat ini.Bi Sum segera merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, kekhawatirannya memenuhi isi kepalanya."Non Vika, apa yang terjadi?" tanyanya, nada suaranya pen
Elsaki melangkah menuju pintu, berusaha mengabaikan kekacauan pikirannya yang berputar tanpa henti. Dengan gerakan mantap, ia mengulurkan tangan, memutar kenop pintu, dan membukanya.Di ambang pintu, tampak sosok Bi Sum berdiri dengan wajah penuh kelelahan. Garis-garis ketuaan di wajahnya semakin terlihat, memperlihatkan keprihatinan yang menggerogoti batinnya sejak tadi. Matanya yang sayu menunjukkan bahwa ia telah berjuang keras sepanjang hari, baik secara fisik maupun emosional. Sekilas, ia melihat ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya, seakan Bi Sum menanggung beban berat yang belum terucapkan."Dia baik-baik saja?" tanya Elsaki, suaranya terdengar datar namun sarat kekhawatiran.Bi Sum mengangguk perlahan, raut wajahnya masih menyiratkan keraguan. "Iya, Tuan. Non Yuvika sudah tidur setelah makan. Obat dari rumah sakit juga sudah di minum."Elsaki terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah Bi Sum tanpa berkata apa-apa. Rasanya ada banyak yang ingin ia sampaikan, tetapi ka
Elsaki memandang secangkir kopi yang masih sedikit mengepulkan asap di depannya. Ia duduk di balkon kamar, membiarkan tubuhnya meresapi hangatnya sinar matahari pagi yang pelan-pelan menyentuh kulitnya. Namun, hangatnya sinar itu tak mampu mengalihkan pikirannya yang terus melayang entah ke mana. Pandangannya tetap terpaku pada kopi di hadapannya, seolah secangkir cairan hitam itu menyimpan teka-teki yang tak mampu ia pahami."Aku mulai peduli? Benarkah begitu?" gumam Elsaki nyaris tak terdengar. Ia kembali teringat pada momen beberapa saat yang lalu, ketika tanpa sadar ia bertanya, "Mau ke mana sepagi ini?" Pertanyaan yang seharusnya tak perlu ia tanyakan. Baginya, ke mana pun Yuvika pergi seharusnya bukan urusannya. Mereka hanya terikat oleh pernikahan yang diatur, tanpa cinta, tanpa keinginan untuk saling peduli. Namun, entah mengapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Spontan, tanpa pertimbangan. Ada dorongan di dalam dirinya yang tak ia pahami, seakan-akan nalurinya
Elsaki tetap berdiri di tempat yang sama, diam memandangi Yuvika yang mulai beranjak pergi. Tidak ada alasan jelas kenapa ia masih di sana, dan otaknya mencoba mencari logika dari perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Kesadarannya perlahan kembali begitu suara pintu utama tertutup dengan lembut, mengakhiri suara langkah kaki Yuvika yang semakin menjauh. Bunyi pintu yang seakan menjadi batas terakhir di antara mereka berdua kini terdengar begitu jelas di telinganya, seolah memberi tanda bahwa pertemuannya dengan Yuvika telah resmi berakhir—setidaknya untuk hari ini. Elsaki tetap berdiri di tempatnya, matanya masih terpaku pada pintu yang kini menutup rapat, seolah masih mencoba menangkap sisa bayangan Yuvika yang mulai memudar dari pandangannya.Sesaat, ruangan terasa hening, hanya menyisakan dengung halus pendingin ruangan. Kesunyian itu membiarkan pikirannya perlahan merangkak kembali ke dalam realitas, menyadarkannya bahwa pandangannya terhadap Yuvika pun telah berakhir. Ada perasaa
"Lima milyar! Saya akan lepaskan anak saya jika kamu mampu memberikan mahar sebesar lima milyar." Bu Isni mengatakan dengan lantang dan yakin. Tatapan mengejek beliau arahkan pada laki-laki yang kini duduk di depannya. Lebih tepatnya, duduk di sebuah sofa usang yang sudah berusia tua. Beliau menelisik tampilan pria itu dari atas hingga bawah. Tak ada yang istimewa, mobil yang dikendarai pun masih tergolong biasa saja baginya. Namun, beliau akui, lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Elsaki itu sangat tampan. "Deal!" jawab Elsaki tanpa berpikir panjang. Tangannya terulur sebagai tanda kesepakatan bersama. Bu Isni terkejut sesaat, lalu tersenyum puas. Beliau membalas uluran tangan Elsaki dan menjabatnya dengan kuat, menandakan kesepakatan mereka telah tercapai. Sementara itu, Yuvika baru saja pulang kerja. Ia bekerja di sebuah pabrik yang jaraknya tak jauh dari rumah. Wanita itu berjalan menuju rumah dengan langkah lelah, mengeluhkan pekerjaan yang melelahkan, belum lagi jika ia
"Siapkan berkas Yuvika juga, aku mau berkas ku dan Yuvika sudah selesai besok. Paling lambat minggu depan aku harus sudah menikah." Di sinilah Elsaki sekarang. Duduk di kursi yang membesarkan namanya. Sebagai pria muda, ia sudah dikenal sebagai dokter yang luar biasa. Dengan latar belakang pendidikan yang gemilang dan pengalaman praktik yang tak kalah mengesankan, Elsaki telah membangun reputasi yang kokoh di dunia medis. Elsaki menatap berkas-berkas yang tertumpuk rapi di atas meja kerjanya. Tangannya yang cekatan membuka satu persatu, memastikan semua dokumen yang diperlukan telah dipersiapkan dengan baik. Matanya fokus, tak ada keraguan sedikit pun dalam dirinya. Ia sudah bertekad, dan tak ada yang bisa menghalanginya sekarang. "Oke, kau boleh pergi sekarang. Aku banyak pasien." Tittlenya memang dokter. Namun, jiwa yang dimiliki oleh Elsaki persis seperti almarhum ayahnya. Tegas, penuh wibawa, dan berkharisma. Di balik gelar dokter kandungan yang disandangnya, Elsaki adalah pr
Setelah semalaman memikirkan cara untuk menghindari pernikahan yang tidak diinginkan, akhirnya Yuvika pagi ini bertekad untuk pergi meninggalkan rumah. Pagi-pagi buta ia mengemasi beberapa pakaian dan juga berkas-berkasnya. Ia tak mau meninggalkan berkas apa pun demi keselamatan hidupnya. Setelah selesai dengan pakaian seadanya, ia berjalan bertingkat-jingkat untuk meninggalkan rumah. Masih pukul empat dini hari, suasana masih sepi. Ia tak terlalu kesulitan untuk pergi. Setelah berjalan cepat beberapa meter, ia menaiki ojek untuk pergi ke stasiun. Ia akan meninggalkan kota ini sejauh mungkin. Ia tak memikirkan nasibnya di kota orang nanti akan bagaimana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara Ia terbebas dari belenggu pernikahan. Tepat pukul tujuh, Bu Isni murka lantaran tak ada makanan di meja makan, batang hidung anak gadisnya yang mengurusi hidupnya pun sejak tadi tak terlihat. Ditambah lagi kini ada seorang pria muda yang menunggunya untuk meminta berkas sang putri. Dengan