Sepasang suami istri itu kini berada di kamar. Demi menjaga ketenangan hidupnya dan juga perhatian lebih dari Oma Lydia, Elsaki memutuskan untuk membawa Yuvika tinggal satu kamar dengannya meski hubungan mereka masih terasa dingin. Suasana di dalam ruangan sepi, namun penuh ketegangan. Kedua mata mereka bertemu, namun tidak dengan kehangatan, melainkan dengan kebekuan yang sulit diterjemahkan. Mereka berdua seolah baru saja lolos dari cengkeraman maut. Pasalnya, insiden kecil di ruang tamu sore tadi, ketika Yuvika secara tak sadar mengucapkan kalimat yang kurang sopan kepada Elsaki, telah menyeret mereka ke dalam situasi yang jauh lebih rumit dari yang bisa dibayangkan. Ucapan itu membawa mereka ke ruang interogasi panjang di hadapan Oma Lydia, di mana setiap kata yang keluar dari mulut mereka diperhatikan dengan seksama, seolah mereka adalah terdakwa dalam pengadilan yang tak kenal belas kasihan.Beberapa jam berlalu dengan ketegangan yang sulit diungkapkan. Setiap kali Elsaki menco
Elsaki tak langsung menjawab, ia hanya menatap tak percaya pada wanita di depannya. Entah keberanian macam apa yang dimilik wanita ini, alih-alih memerankan perannya sebagai istri yang lemah, justru yang terjadi kelemahanlah yang selalu hinggap di dirinya. Pria itu memiringkan bibirnya, memberikan senyum mengejek sesaat sebelum akhirnya melangkah mendekati ranjang. "Kau lelah karena terlalu banyak keluyuran. Bicaramu melantur, tidurlah. Kau butuh ranjang, kan? Pakai!" katanya seraya mengambil sebuah bantal dan berjalan menuju sofa panjang yang tersedia di kamarnya. "Aku sedang tidak melantur. Aku bicara serius. Kau bilang tadi aku tidak secantik itu untuk membuatmu tergoda. Jika kau tidak tergoda, kau tidak akan terpengaruh apa pun meski kita satu ranjang.""Aku hanya mau satu ranjang dengan Tisya. Bukan dengan siapa pun, termasuk kau. Aku tidak ingin tidur satu ranjang bukan berarti aku takut tergoda. Aku hanya menjaga diriku untuk Tisya, paham?!"Yuvika terdiam sejenak, membiarkan
Yuvika merasa jantungnya berdegup kencang ketika Elsaki menggenggam pergelangan tangannya. Tatapan mereka bertemu, dan di dalam tatapan itu, Yuvika bisa merasakan campuran kebingungan dan keputusasaan. Ia ingin melangkah pergi, tetapi perasaan yang mengaduk-aduk di dalam dadanya membuatnya ragu.Secepat itu? Ya, memang secepat itu perubahan suasana hati seorang wanita. "Jangan pergi," suara Elsaki terdengar lebih rendah dari sebelumnya.Yuvika terdiam, mencoba memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Elsaki. "Kenapa? Untuk menjadi tameng mu? Kau butuh aku untuk menutupi betapa pengecutnya dirimu?" jawabnya dengan tegas."Bukan itu," Elsaki berusaha menjelaskan, merasakan kepanikan menguasai dirinya. "Aku butuh kau di sini. Jika kau pergi, Oma akan berpikir ada masalah dalam pernikahan kita, dan itu bisa mempengaruhi kesehatannya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau stres.""Sekali lagi? Aku harus berkorban untukmu lagi, begitu?""Kali ini untuk Oma."Yuvika merasa kem
Elsaki yang semula berbaring dengan pikirannya yang kacau, tiba-tiba terduduk tegap saat pesan dari Tisya muncul di layar ponselnya. Matanya menyipit, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan cepat, jemarinya bergerak membuka pesan itu, membaca setiap kata dengan hati-hati. Namun, saat kalimat itu terbuka sepenuhnya, sesuatu di dalam dirinya seperti runtuh.Ia membaca ulang pesan itu sekali, dua kali, berharap ada kesalahan. Barangkali matanya terlalu lelah, mungkin ada kata-kata yang salah ditangkap. Tapi, tak ada yang berubah. Setiap kata tetap sama, terpampang jelas di layar ponselnya, seolah mengejeknya, mempertegas kenyataan yang ingin ia tolak.[Sayang, aku tahu ini mendadak, tapi aku harus ambil keputusan penting. Aku bakal blok kamu sementara, ya. Aku harus fokus sama Veer. Dia udah rencana ajak aku liburan ke luar negeri, dan aku nggak bisa lewatkan kesempatan ini. Kamu ngerti kan, prioritas harus berubah untuk sementara. Jangan dekat-dekat dengan Yuvia, Sayang. Aku ngg
Pagi itu Elsaki menikmati sarapan yang terasa sedikit berbeda dari biasanya. Jika sebelumnya ia kerap menolak masakan Yuvika dengan berbagai alasan, kali ini, demi menjaga penampilan di hadapan Oma Lydia, ia tak punya pilihan selain memaksakan diri untuk mengunyah dan menelan makanan yang disiapkan wanita itu. Ada ketidaknyamanan yang samar dalam setiap gigitan, bukan karena rasa makanan yang kurang, tetapi lebih pada perasaan canggung yang menggelayuti dirinya.Di depannya, selembar roti gulung berisi telur dan sayuran tersaji dengan rapi, terlihat sederhana namun sarat dengan usaha. Elsaki memutar-mutar garpunya, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik gerakan kecilnya. Di satu sisi, ia merasa berhutang budi pada Yuvika yang telah bersusah payah bersandiwara, tapi di sisi lain, ada rasa tidak nyaman yang mengusik, perasaan bahwa hubungan mereka yang serba terpaksa ini perlahan mulai merusak pertahanannya sendiri. Ya, ketangguhannya mengenai Yuvika perlahan memudar. "El, Oma mau
Pagi itu Elsaki melangkah keluar dari rumah dengan perasaan yang tak karuan. Meski hari dimulai seperti biasa, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sejak sarapan tadi, hatinya tak bisa berhenti merasakan kegelisahan yang samar namun terus menggerogoti. Biasanya, ia bisa dengan mudah menepis apa pun yang berkaitan dengan Yuvika, sosok yang dianggapnya tak lebih dari sekedar wanita yang terjebak dalam peran istri pura-puranya. Namun pagi tadi, sesuatu dalam dirinya mulai berubah, perlahan tapi pasti.Saat mengendarai mobil menuju rumah sakit tempat ia bekerja, Elsaki terus menerawang, pikirannya penuh oleh sosok Yuvika. Bagaimana wanita itu terlihat sederhana namun selalu mampu mencuri perhatiannya tanpa ia sadari. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengalihkan pikiran pada jalanan. "Fokus, Elsaki," gumamnya pelan. Namun, semakin ia berusaha, semakin bayangan Yuvika dan momen-momen kecil mereka terus melintas. Ia menghela napas panjang, berharap ruangan steril di rumah sakit bisa memba
Kedua wanita di dapur yang memiliki perbedaan usia cukup jauh seketika menoleh bersamaan. Keduanya terkejut mendapati Oma Lydia yang berdiri di ambang pintu dapur. Ekspresi yang beliau tunjukkan begitu dingin. "Oma, kami—""Apa maksud kalian ngobrol di jam kerja? Hey, kau asisten rumah tangga, kan? Kau dibayar untuk melakukan pekerjaan, untuk melakukan apa yang seharusnya menjadi kewajibanmu. Bukan untuk bicara di luar kepentingan pekerjaan." Oma Lydia pergi begitu saja setelah menumpahkan kekesalannya. Beliau berjalan tertatih dengan bantuan tongkat untuk menyangga tubuhnya yang mulai renta. Seketika Yuvika dan Bi Sum bernapas lega. Tak apa mereka jadi amukan Oma Lydia, yang terpenting wanita itu tak mendengar percakapan mereka. Jika sampai itu terjadi, maka nyawa keduanya lah yang akan jadi taruhan dan bulan-bulanan Elsaki. "Syukurlah, Bi. Untungnya Oma tidak mendengar percakapan kita. Maaf gara-gara saya, Bibi jadi kena marah.""Udah biasa, Non. Nggak apa-apa."Yuvika pamit undu
Yuvika terhenyak dari lamunan. Dirinya yang sedang asyik mengkhayal, seketika bubar mendengar suara bariton dari Elsaki. Ia melihat pria itu berdiri di tengah pintu dengan tangan yang masih menempel di gagang pintu. "Tidak ada. Aku hanya melihat pemandangan indah. Mau makan di mana? Sesuai apa yang aku bilang tadi, aku bawa makan siang untukmu dan untukku. Lebih tepatnya, kita akan makan siang bersama," kata Yuvika memperlihatkan tas bekal berukuran sedang. Elsaki belum sempat menjawab, perhatiannya teralihkan pada sosok perawat laki-laki yang baru saja lewat. Entah, ia merasa bahwa perawat itu sedang mencuri pandang ke arah Yuvika. Ia pun menatap perawat itu dengan tatapan tak suka. Pandangannya beralih pada Yuvika yang masih berdiri di depannya. Tiba-tiba saja detak jantungnya kembali berulah, ia sampai berdehem untuk menetralisir kondisi yang di luar kendalinya. "Masuk!" Elsaki membuka pintu lebih lebar dan dirinya sedikit mundur untuk memberikan jalan Yuvika. Yuvika melangkah
Suasana di antara puing-puing bekas rumah itu terasa hening. Bu Isni memegang kotak besi yang baru ditemukan dengan tangan bergetar, dan Yuvika merasakan ketegangan yang menyelimuti ibunya. "Ibu, ada apa?" tanyanya lagi, suara yang lembut namun penuh perhatian.Bu Isni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka mulut. Wajahnya masih tampak sedikit pucat, dan gerak-geriknya tampak kaku, seolah takut sesuatu akan terbongkar."Nggak ada, Vika. Nggak ada apa-apa. Ibu cuma kaget… ternyata isinya masih utuh, itu aja."Beliau memaksakan senyum, namun tatapan matanya masih menyimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan."Tapi wajah Ibu pucat. Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu di dalam kotak itu yang bikin Ibu kaget?" Yuvika mengernyit, matanya memperhatikan setiap ekspresi di wajah ibunya, mencari jawaban dari sesuatu yang terasa mengganjal."Beneran, nggak ada apa-apa, Yuvika. Ini cuma… kotak kenangan lama. Mungkin Ibu terlalu tenggelam dalam nostalgia aja." Dengan gela
Yuvika terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Mungkin benar, Elsaki akan keberatan jika ibunya tinggal bersama. Namun, bukan hal yang sulit untuk meyakinkan Elsaki bahwa ibunya kini membutuhkan dukungan. Terlebih ia yakin bahwa Elsaki, meski dikenal keras dan kadang kaku dalam prinsipnya, masih punya sisi lembut yang bisa dipengaruhi dengan pendekatan yang tepat."Ibu tenang aja, itu urusan aku," kata Yuvika akhirnya. Bu Isni menatap Yuvika dengan rasa haru. Anak yang pernah beliau sakiti dengan berbagai ucapan dan perlakuan kini menawarkan rumah dan kasih sayang tanpa syarat, bahkan rela mengambil risiko demi memperbaiki hubungan mereka. Dalam hati,beliau merasa sangat beruntung meskipun rasa bersalah terus menghantui dirinya."Terima kasih untuk semuanya."Yuvika mengangguk senang, tak pernah ia sangka bahwa buah dari kesabaran dan ketulusan yang ia punya akan berbuah manis, bahkan lebih manis dari yang ia bayangkan. "Oh, ya, Yuvika. Bagaimana dengan pernikahanmu? Ibu n
Sore yang cerah telah bergulir pelan menjadi malam yang hening. Di ruang rumah sakit itu, Yuvika dan ibunya duduk berhadapan, masih berbicara satu sama lain dengan kehangatan yang baru pertama kali mereka rasakan. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama, namun ini adalah kali pertama mereka benar-benar berbicara sebagaimana seharusnya—sebagai ibu dan anak. Momen ini adalah impian yang Yuvika simpan dalam hatinya sejak kecil. Kini, kenyataan itu terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia perjuangkan.Selama ini, ia telah melewati banyak luka dan pengorbanan, berharap bisa mendapatkan secercah perhatian dari ibunya. Bahkan, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka bakar di kulitnya tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kecil yang kini menghangatkan hatinya. Seandainya saja neneknya masih ada di sisinya saat ini, Yuvika yakin beliau pasti ikut merasakan kebahagiaan ini. Ia bisa membayangkan senyum lembut sang nenek yang selama ini menjadi penghibur di tengah sega
Bu Isni terdiam sejenak di ambang pintu, mencoba mencerna apa yang baru saja beliau lihat. Tisya berlalu dengan wajah muram, penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Di baliknya, Yuvika duduk dengan ketenangan yang luar biasa, sementara Elsaki tampak gelisah, seolah dihimpit beban yang tak terlihat. Bu Isni tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa perempuan tadi?""Tisya, Bu. Teman lama Elsaki," jawab Yuvika dengan suara tenang. Lebih tepatnya ia berusaha tenang. Bu Isni mengernyit, tatapan matanya tajam menelusuri wajah Yuvika, mencoba menangkap kebohongan di balik kata-katanya. "Hanya teman lama? Terus kenapa dia kelihatan marah? Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ceritakan."Yuvika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, menutupi kebenaran di depan seseorang bukan hal yang mudah. Namun, ia juga tak ingin membeberkan semuanya saat ini. Dengan hati-hati, Yuvika menjawab, "Mungkin Tisya hanya kaget, Bu. Sudah lama nggak ketemu Elsaki, lalu tiba-tiba
Elsaki terkejut, menyadari siapa yang kini berdiri di ambang pintu. Tisya, dengan tatapan tajam dan wajah dingin, menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang mungkin bisa ia ucapkan. Ekspresi tenangnya justru membuat suasana terasa semakin mencekam. Sesaat, Elsaki hanya bisa terdiam, bahkan tubuhnya seolah membeku di samping Yuvika yang dengan tenang menatap keduanya bergantian. Bagaimana ia tak marah? Elsaki mengatakan akan bekerja, dan saat ia mengikuti ke mana perginya Elsaki, ia justru mendapati dirinya bersama dengan Yuvika. "Oh, jadi ini yang kamu maksud bekerja? Kamu rela bohong sama aku demi dia? Perempuan yang katamu tameng untuk hubungan kita, tapi ternyata kalian justru menjalin pertemanan?" suara Tisya akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar begitu tajam, menggambarkan perasaan yang tertahan. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan dalam sekejap ruangan itu terasa menyempit oleh kehadirannya. Elsaki menelan ludah,
Setelah pertemuannya dengan Tisya, Elsaki seharusnya ke rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, tanpa ia sadari, mobilnya malah melaju ke arah lain—ke rumah sakit tempat Yuvika dirawat. Pikirannya kalut, dipenuhi dengan kebingungan yang tak kunjung reda setelah percakapannya dengan Tisya. Ia seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari niatnya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Sampai di depan rumah sakit, Elsaki berhenti sejenak, menatap bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Kenapa aku ke sini?' tanyanya dalam hati, meski ia tahu jawabannya. Ada sesuatu yang tak ia bisa jelaskan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terus membawanya ke sini. Yuvika, kini sangat terlihat bahwa ia memiliki tempat di hatinya. Entah sebagai teman seperti yang mereka sepakati atau lebih. Elsaki keluar dari mobil dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan ia tengah berjalan menuju perbatasan yang tidak ingin
Tisya berhenti, napasnya memburu, wajahnya menyiratkan amarah yang nyaris meledak. Tatapan matanya tajam menusuk Elsaki, seakan menantang untuk memberikan jawaban. Namun Elsaki tetap diam, memegang pergelangan tangan Tisya dengan lembut tapi kuat. Ia tahu, Tisya bukan seseorang yang mudah ditenangkan ketika emosinya sudah memuncak."Kenapa, Saki?" desis Tisya, matanya menyala marah. "Apa kamu takut aku menemui Yuvika? Atau... kamu takut dia mengatakan sesuatu yang akan merubah segalanya?"Elsaki menelan ludah. Ia tidak bisa mengelak bahwa ada kebenaran dalam pertanyaan Tisya. Namun bukan amarah atau balas dendam yang ia khawatirkan. Ia lebih takut pertemuan itu akan membuka kenyataan yang lebih besar—kenyataan yang selama ini ia coba tutupi, baik dari Tisya maupun dirinya sendiri."Tisya... ini bukan soal Yuvika," Elsaki berusaha menjaga ketenangannya, meski dadanya bergejolak. "Ini tentang kita. Tentang apa yang kita punya sekarang. Kalau kamu pergi, kalau kamu melakukan sesuatu dala
Elsaki tiba di cafe yang telah menjadi tempat langganan mereka. Suasana di dalam terasa tenang, dengan alunan musik lembut yang mengisi ruangan. Tisya sudah menunggunya di meja dekat jendela, mengenakan dress merah terang yang menarik perhatian, kontras dengan suasana kalem di sekitar mereka. Senyumnya lebar begitu melihat Elsaki masuk, seolah tak sabar menyambutnya."Akhirnya kamu datang juga!" Tisya menyapa dengan antusias, berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan memberikan pelukan singkat. Elsaki menyambut pelukan Tisya dengan hangat, mencoba menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa inilah yang benar. Tangannya melingkar di punggung Tisya, menariknya lebih dekat seolah mencari perlindungan dari perasaan-perasaan yang terus merongrong pikirannya. Ia tahu, hatinya tak lagi sepenuhnya utuh untuk Tisya. Namun, ia menolak mengakui perasaan itu—perasaan yang pelan-pelan mulai mengarah ke Yuvika.Untuk kali ini, dan seterusnya, Elsaki bertekad untuk memfokuskan diri pada hu
Elsaki memutuskan untuk keluar dari ruangan rumah sakit setelah suasana menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Langkah-langkah kakinya terdengar bergema di lorong panjang itu. Kepalanya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi—tentang pengorbanan Yuvika, pengkhianatan Bu Isni, dan rasa bersalah yang tanpa henti menghantuinya.Tanpa sadar, kakinya membawanya menuju taman rumah sakit, sebuah tempat yang biasanya ia kunjungi saat pikirannya penuh dengan kegelisahan. Di sana, ia duduk di bangku panjang, memandang ke langit yang terik. Gemericik air dari pancuran kecil di tengah taman terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan kekacauan di hatinya.Lamunan Elsaki buyar seketika saat getaran dari ponsel di saku kemejanya terasa. Ia segera merogoh saku dengan enggan, dan di layar yang menyala, nama "Sayangku" terpampang jelas dengan emoticon hati merah di ujungnya. Seolah simbol itu menguatkan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu rumit.Elsaki menatap layar itu untu