Pagi itu Elsaki melangkah keluar dari rumah dengan perasaan yang tak karuan. Meski hari dimulai seperti biasa, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sejak sarapan tadi, hatinya tak bisa berhenti merasakan kegelisahan yang samar namun terus menggerogoti. Biasanya, ia bisa dengan mudah menepis apa pun yang berkaitan dengan Yuvika, sosok yang dianggapnya tak lebih dari sekedar wanita yang terjebak dalam peran istri pura-puranya. Namun pagi tadi, sesuatu dalam dirinya mulai berubah, perlahan tapi pasti.Saat mengendarai mobil menuju rumah sakit tempat ia bekerja, Elsaki terus menerawang, pikirannya penuh oleh sosok Yuvika. Bagaimana wanita itu terlihat sederhana namun selalu mampu mencuri perhatiannya tanpa ia sadari. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengalihkan pikiran pada jalanan. "Fokus, Elsaki," gumamnya pelan. Namun, semakin ia berusaha, semakin bayangan Yuvika dan momen-momen kecil mereka terus melintas. Ia menghela napas panjang, berharap ruangan steril di rumah sakit bisa memba
Kedua wanita di dapur yang memiliki perbedaan usia cukup jauh seketika menoleh bersamaan. Keduanya terkejut mendapati Oma Lydia yang berdiri di ambang pintu dapur. Ekspresi yang beliau tunjukkan begitu dingin. "Oma, kami—""Apa maksud kalian ngobrol di jam kerja? Hey, kau asisten rumah tangga, kan? Kau dibayar untuk melakukan pekerjaan, untuk melakukan apa yang seharusnya menjadi kewajibanmu. Bukan untuk bicara di luar kepentingan pekerjaan." Oma Lydia pergi begitu saja setelah menumpahkan kekesalannya. Beliau berjalan tertatih dengan bantuan tongkat untuk menyangga tubuhnya yang mulai renta. Seketika Yuvika dan Bi Sum bernapas lega. Tak apa mereka jadi amukan Oma Lydia, yang terpenting wanita itu tak mendengar percakapan mereka. Jika sampai itu terjadi, maka nyawa keduanya lah yang akan jadi taruhan dan bulan-bulanan Elsaki. "Syukurlah, Bi. Untungnya Oma tidak mendengar percakapan kita. Maaf gara-gara saya, Bibi jadi kena marah.""Udah biasa, Non. Nggak apa-apa."Yuvika pamit undu
Yuvika terhenyak dari lamunan. Dirinya yang sedang asyik mengkhayal, seketika bubar mendengar suara bariton dari Elsaki. Ia melihat pria itu berdiri di tengah pintu dengan tangan yang masih menempel di gagang pintu. "Tidak ada. Aku hanya melihat pemandangan indah. Mau makan di mana? Sesuai apa yang aku bilang tadi, aku bawa makan siang untukmu dan untukku. Lebih tepatnya, kita akan makan siang bersama," kata Yuvika memperlihatkan tas bekal berukuran sedang. Elsaki belum sempat menjawab, perhatiannya teralihkan pada sosok perawat laki-laki yang baru saja lewat. Entah, ia merasa bahwa perawat itu sedang mencuri pandang ke arah Yuvika. Ia pun menatap perawat itu dengan tatapan tak suka. Pandangannya beralih pada Yuvika yang masih berdiri di depannya. Tiba-tiba saja detak jantungnya kembali berulah, ia sampai berdehem untuk menetralisir kondisi yang di luar kendalinya. "Masuk!" Elsaki membuka pintu lebih lebar dan dirinya sedikit mundur untuk memberikan jalan Yuvika. Yuvika melangkah
"Ya, pertemanan. Kau tidak lelah terus membuang energi dengan bertengkar? Kita susah sama-sama dewasa, tidak perlu membuang energi untuk hal-hal yang tak penting," jelas Yuvika seraya mengemasi kotak bekal yang habis tak bersisa. Dalam hati ia merasa senang dan bangga pada dirinya sendiri karena berhasil membuat Elsaki makan makanannya dengan lahap tanpa paksaan. Elsaki menatap Yuvika dengan pandangan penuh teka-teki. Kata-kata Yuvika tentang pertemanan dan energi yang terbuang sia-sia mengganggu pikirannya, seolah memaksanya untuk memikirkan kembali sikapnya selama ini. Bagian dari dirinya ingin tetap mempertahankan tembok dingin yang ia bangun, namun ada sisi lain yang mulai goyah, apalagi setelah melihat ketulusan dan sikap santai Yuvika."Pertemanan, huh?" Elsaki bergumam sambil mengelap tangannya dengan tisu di atas meja. "Kau terlalu optimis. Hidup ini tidak semudah yang kau bayangkan, terutama untuk seseorang sepertiku."Yuvika mendongak, melihat Elsaki yang kini tampak seriu
Elsaki menatap Yuvika, terdiam sesaat, merasakan bagaimana keberanian Yuvika mendekat kepadanya begitu nyata. Kata-kata Yuvika mengganggu batinnya, seperti racun yang perlahan menyusup, meruntuhkan logika yang selama ini ia pegang erat.Namun, ia enggan menunjukkan kelemahan di hadapan Yuvika. Secepat mungkin, ia kembali memasang ekspresi dinginnya, meski jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa tembok itu mulai retak."Penghiburan yang aku butuhkan...," Elsaki menggantungkan kalimatnya, lalu berdiri, meletakkan kedua tangannya di pinggir meja, seolah berusaha menciptakan jarak fisik antara mereka. "Bukan hal yang kau bisa berikan."Yuvika mundur sedikit, namun tetap bertahan dalam jarak yang dekat. "Kau tak perlu selalu menghadapinya sendiri, Elsaki," gumamnya, suaranya nyaris berbisik. "Terkadang, penghiburan datang dari tempat yang tak pernah kau duga."Elsaki menghela napas, lalu berjalan menjauh, berusaha menghilangkan rasa sesak yang mulai menguasai dirinya. Ia berhenti di depan jen
Elsaki melangkah perlahan, setiap langkah terasa seperti tarikan napas yang berat. Ia tahu bahwa keputusannya untuk mendekati Yuvika bukanlah sesuatu yang biasa. Suara hatinya berbisik, mendorongnya untuk berbicara, meski keraguan tetap membelenggu. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana jika kata-katanya hanya menambah beban di hati mereka berdua?Yuvika, yang semula berpikir untuk melanjutkan perjalanan pulangnya, tiba-tiba merasakan ketegangan di udara. Langkahnya terhenti, dan ia berbalik lagi. Tatapannya bertemu dengan Elsaki, dan dalam sekejap, semuanya terasa berbeda. Ada keberanian di dalam diri pria itu, dan Yuvika merasa jantungnya berdebar kencang.Elsaki berhenti beberapa langkah dari Yuvika, napasnya masih terengah-engah, bukan karena fisik, tetapi karena emosinya yang berkecamuk. "Yuvika," katanya. "Hm, ada yang ingin kau katakan?" Elsaki menatap Yuvika, merasakan ketegangan yang menyelimuti mereka berdua. Suara hatinya berbisik, mendorongnya untuk berbicara, tetapi seti
Elsaki bergegas ke arah dapur dengan hati yang berdebar kencang. Teriakan Yuvika masih menggema di telinganya, membuatnya khawatir. Ketika sampai di sana, ia menemukan Yuvika berdiri dengan wajah menahan sakit, tangannya yang merah tampak basah oleh air panas yang baru saja tumpah dari panci."Yuvika!" serunya, langsung menghampiri.Yuvika menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar dari telapak tangannya. Wajahnya berkerut, tapi ia berusaha tetap tenang di hadapan Elsaki. "Aku tidak apa-apa, hanya tidak sengaja menyenggol panci," katanya sambil mencoba tersenyum tipis, meski rasa perih di tangannya semakin kuat.Elsaki segera menarik Yuvika ke wastafel, mengguyur tangannya dengan air dingin. "Diam di sini sebentar, biarkan aku mengurus ini," katanya dengan nada lembut namun tegas. Tangannya dengan hati-hati menyentuh pergelangan Yuvika, memastikan air dingin mengalir terus-menerus di atas kulit yang terbakar.Yuvika merasa sedikit terkejut oleh perhatian yang d
Waktu berlalu cukup cepat kali ini. Tak terasa, sudah seminggu Yuvika dan Elsaki menjalani peran bak suami istri yang harmonis dan penuh cinta. Selama itu pula, Elsaki mendapati dirinya tidak lagi memikirkan Tisya. Tidak ada kerinduan yang menggebu-gebu, tidak ada harapan untuk mendengar kabar dari wanita itu.Keberadaan Yuvika di sisinya tampaknya telah mengisi celah-celah yang dulunya dihuni oleh kenangan Tisya. Elsaki merasa aneh, seolah-olah ia telah mulai terbiasa tanpa kehadiran Tisya. Ada yang berbeda dalam cara Yuvika membuatnya merasa ... Sebuah kehangatan yang baru dan segar, seakan Yuvika menjadi bagian dari dirinya yang selama ini hilang. Ia tidak lagi merindukan masa lalu, dan entah bagaimana, kehadiran Yuvika merebut posisi kekasihnya dari hatinya.Namun, di dalam benaknya, masih tersimpan kebingungan yang mengganggu. Apakah rasa ini murni karena Yuvika, ataukah ia hanya mencari pengalihan dari ketidakpastian yang ditinggalkan Tisya? Setiap kali ia melihat senyum Yuvika,
Suasana di antara puing-puing bekas rumah itu terasa hening. Bu Isni memegang kotak besi yang baru ditemukan dengan tangan bergetar, dan Yuvika merasakan ketegangan yang menyelimuti ibunya. "Ibu, ada apa?" tanyanya lagi, suara yang lembut namun penuh perhatian.Bu Isni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka mulut. Wajahnya masih tampak sedikit pucat, dan gerak-geriknya tampak kaku, seolah takut sesuatu akan terbongkar."Nggak ada, Vika. Nggak ada apa-apa. Ibu cuma kaget… ternyata isinya masih utuh, itu aja."Beliau memaksakan senyum, namun tatapan matanya masih menyimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan."Tapi wajah Ibu pucat. Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu di dalam kotak itu yang bikin Ibu kaget?" Yuvika mengernyit, matanya memperhatikan setiap ekspresi di wajah ibunya, mencari jawaban dari sesuatu yang terasa mengganjal."Beneran, nggak ada apa-apa, Yuvika. Ini cuma… kotak kenangan lama. Mungkin Ibu terlalu tenggelam dalam nostalgia aja." Dengan gela
Yuvika terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Mungkin benar, Elsaki akan keberatan jika ibunya tinggal bersama. Namun, bukan hal yang sulit untuk meyakinkan Elsaki bahwa ibunya kini membutuhkan dukungan. Terlebih ia yakin bahwa Elsaki, meski dikenal keras dan kadang kaku dalam prinsipnya, masih punya sisi lembut yang bisa dipengaruhi dengan pendekatan yang tepat."Ibu tenang aja, itu urusan aku," kata Yuvika akhirnya. Bu Isni menatap Yuvika dengan rasa haru. Anak yang pernah beliau sakiti dengan berbagai ucapan dan perlakuan kini menawarkan rumah dan kasih sayang tanpa syarat, bahkan rela mengambil risiko demi memperbaiki hubungan mereka. Dalam hati,beliau merasa sangat beruntung meskipun rasa bersalah terus menghantui dirinya."Terima kasih untuk semuanya."Yuvika mengangguk senang, tak pernah ia sangka bahwa buah dari kesabaran dan ketulusan yang ia punya akan berbuah manis, bahkan lebih manis dari yang ia bayangkan. "Oh, ya, Yuvika. Bagaimana dengan pernikahanmu? Ibu n
Sore yang cerah telah bergulir pelan menjadi malam yang hening. Di ruang rumah sakit itu, Yuvika dan ibunya duduk berhadapan, masih berbicara satu sama lain dengan kehangatan yang baru pertama kali mereka rasakan. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama, namun ini adalah kali pertama mereka benar-benar berbicara sebagaimana seharusnya—sebagai ibu dan anak. Momen ini adalah impian yang Yuvika simpan dalam hatinya sejak kecil. Kini, kenyataan itu terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia perjuangkan.Selama ini, ia telah melewati banyak luka dan pengorbanan, berharap bisa mendapatkan secercah perhatian dari ibunya. Bahkan, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka bakar di kulitnya tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kecil yang kini menghangatkan hatinya. Seandainya saja neneknya masih ada di sisinya saat ini, Yuvika yakin beliau pasti ikut merasakan kebahagiaan ini. Ia bisa membayangkan senyum lembut sang nenek yang selama ini menjadi penghibur di tengah sega
Bu Isni terdiam sejenak di ambang pintu, mencoba mencerna apa yang baru saja beliau lihat. Tisya berlalu dengan wajah muram, penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Di baliknya, Yuvika duduk dengan ketenangan yang luar biasa, sementara Elsaki tampak gelisah, seolah dihimpit beban yang tak terlihat. Bu Isni tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa perempuan tadi?""Tisya, Bu. Teman lama Elsaki," jawab Yuvika dengan suara tenang. Lebih tepatnya ia berusaha tenang. Bu Isni mengernyit, tatapan matanya tajam menelusuri wajah Yuvika, mencoba menangkap kebohongan di balik kata-katanya. "Hanya teman lama? Terus kenapa dia kelihatan marah? Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ceritakan."Yuvika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, menutupi kebenaran di depan seseorang bukan hal yang mudah. Namun, ia juga tak ingin membeberkan semuanya saat ini. Dengan hati-hati, Yuvika menjawab, "Mungkin Tisya hanya kaget, Bu. Sudah lama nggak ketemu Elsaki, lalu tiba-tiba
Elsaki terkejut, menyadari siapa yang kini berdiri di ambang pintu. Tisya, dengan tatapan tajam dan wajah dingin, menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang mungkin bisa ia ucapkan. Ekspresi tenangnya justru membuat suasana terasa semakin mencekam. Sesaat, Elsaki hanya bisa terdiam, bahkan tubuhnya seolah membeku di samping Yuvika yang dengan tenang menatap keduanya bergantian. Bagaimana ia tak marah? Elsaki mengatakan akan bekerja, dan saat ia mengikuti ke mana perginya Elsaki, ia justru mendapati dirinya bersama dengan Yuvika. "Oh, jadi ini yang kamu maksud bekerja? Kamu rela bohong sama aku demi dia? Perempuan yang katamu tameng untuk hubungan kita, tapi ternyata kalian justru menjalin pertemanan?" suara Tisya akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar begitu tajam, menggambarkan perasaan yang tertahan. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan dalam sekejap ruangan itu terasa menyempit oleh kehadirannya. Elsaki menelan ludah,
Setelah pertemuannya dengan Tisya, Elsaki seharusnya ke rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, tanpa ia sadari, mobilnya malah melaju ke arah lain—ke rumah sakit tempat Yuvika dirawat. Pikirannya kalut, dipenuhi dengan kebingungan yang tak kunjung reda setelah percakapannya dengan Tisya. Ia seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari niatnya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Sampai di depan rumah sakit, Elsaki berhenti sejenak, menatap bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Kenapa aku ke sini?' tanyanya dalam hati, meski ia tahu jawabannya. Ada sesuatu yang tak ia bisa jelaskan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terus membawanya ke sini. Yuvika, kini sangat terlihat bahwa ia memiliki tempat di hatinya. Entah sebagai teman seperti yang mereka sepakati atau lebih. Elsaki keluar dari mobil dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan ia tengah berjalan menuju perbatasan yang tidak ingin
Tisya berhenti, napasnya memburu, wajahnya menyiratkan amarah yang nyaris meledak. Tatapan matanya tajam menusuk Elsaki, seakan menantang untuk memberikan jawaban. Namun Elsaki tetap diam, memegang pergelangan tangan Tisya dengan lembut tapi kuat. Ia tahu, Tisya bukan seseorang yang mudah ditenangkan ketika emosinya sudah memuncak."Kenapa, Saki?" desis Tisya, matanya menyala marah. "Apa kamu takut aku menemui Yuvika? Atau... kamu takut dia mengatakan sesuatu yang akan merubah segalanya?"Elsaki menelan ludah. Ia tidak bisa mengelak bahwa ada kebenaran dalam pertanyaan Tisya. Namun bukan amarah atau balas dendam yang ia khawatirkan. Ia lebih takut pertemuan itu akan membuka kenyataan yang lebih besar—kenyataan yang selama ini ia coba tutupi, baik dari Tisya maupun dirinya sendiri."Tisya... ini bukan soal Yuvika," Elsaki berusaha menjaga ketenangannya, meski dadanya bergejolak. "Ini tentang kita. Tentang apa yang kita punya sekarang. Kalau kamu pergi, kalau kamu melakukan sesuatu dala
Elsaki tiba di cafe yang telah menjadi tempat langganan mereka. Suasana di dalam terasa tenang, dengan alunan musik lembut yang mengisi ruangan. Tisya sudah menunggunya di meja dekat jendela, mengenakan dress merah terang yang menarik perhatian, kontras dengan suasana kalem di sekitar mereka. Senyumnya lebar begitu melihat Elsaki masuk, seolah tak sabar menyambutnya."Akhirnya kamu datang juga!" Tisya menyapa dengan antusias, berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan memberikan pelukan singkat. Elsaki menyambut pelukan Tisya dengan hangat, mencoba menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa inilah yang benar. Tangannya melingkar di punggung Tisya, menariknya lebih dekat seolah mencari perlindungan dari perasaan-perasaan yang terus merongrong pikirannya. Ia tahu, hatinya tak lagi sepenuhnya utuh untuk Tisya. Namun, ia menolak mengakui perasaan itu—perasaan yang pelan-pelan mulai mengarah ke Yuvika.Untuk kali ini, dan seterusnya, Elsaki bertekad untuk memfokuskan diri pada hu
Elsaki memutuskan untuk keluar dari ruangan rumah sakit setelah suasana menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Langkah-langkah kakinya terdengar bergema di lorong panjang itu. Kepalanya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi—tentang pengorbanan Yuvika, pengkhianatan Bu Isni, dan rasa bersalah yang tanpa henti menghantuinya.Tanpa sadar, kakinya membawanya menuju taman rumah sakit, sebuah tempat yang biasanya ia kunjungi saat pikirannya penuh dengan kegelisahan. Di sana, ia duduk di bangku panjang, memandang ke langit yang terik. Gemericik air dari pancuran kecil di tengah taman terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan kekacauan di hatinya.Lamunan Elsaki buyar seketika saat getaran dari ponsel di saku kemejanya terasa. Ia segera merogoh saku dengan enggan, dan di layar yang menyala, nama "Sayangku" terpampang jelas dengan emoticon hati merah di ujungnya. Seolah simbol itu menguatkan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu rumit.Elsaki menatap layar itu untu