Suasana di dalam rumah terasa tegang, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara. Elsaki menunggu dengan tak sabar, ekspresinya mencerminkan campuran kekhawatiran dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Sementara itu, Bi Sum tampak berjuang antara keinginan untuk berbagi informasi dan rasa takut akan janji yang telah diucapkan kepada Yuvika. Dalam pikirannya, ia mempertimbangkan setiap kemungkinan akibat dari kata-katanya.Belum sempat Bi Sum membuka mulutnya kembali, suara dentuman keras antara gelas dan lantai beradu menggema di seluruh ruangan. Mereka seketika menoleh ke arah yang sama, terkejut oleh kebisingan mendadak yang memecah keheningan. Gelas yang terjatuh itu menciptakan kepingan-kepingan kaca yang berserakan di lantai, menciptakan citra berantakan yang seakan mencerminkan keadaan Yuvika saat ini.Bi Sum segera merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, kekhawatirannya memenuhi isi kepalanya."Non Vika, apa yang terjadi?" tanyanya, nada suaranya pen
Elsaki melangkah menuju pintu, berusaha mengabaikan kekacauan pikirannya yang berputar tanpa henti. Dengan gerakan mantap, ia mengulurkan tangan, memutar kenop pintu, dan membukanya.Di ambang pintu, tampak sosok Bi Sum berdiri dengan wajah penuh kelelahan. Garis-garis ketuaan di wajahnya semakin terlihat, memperlihatkan keprihatinan yang menggerogoti batinnya sejak tadi. Matanya yang sayu menunjukkan bahwa ia telah berjuang keras sepanjang hari, baik secara fisik maupun emosional. Sekilas, ia melihat ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya, seakan Bi Sum menanggung beban berat yang belum terucapkan."Dia baik-baik saja?" tanya Elsaki, suaranya terdengar datar namun sarat kekhawatiran.Bi Sum mengangguk perlahan, raut wajahnya masih menyiratkan keraguan. "Iya, Tuan. Non Yuvika sudah tidur setelah makan. Obat dari rumah sakit juga sudah di minum."Elsaki terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah Bi Sum tanpa berkata apa-apa. Rasanya ada banyak yang ingin ia sampaikan, tetapi ka
Elsaki memandang secangkir kopi yang masih sedikit mengepulkan asap di depannya. Ia duduk di balkon kamar, membiarkan tubuhnya meresapi hangatnya sinar matahari pagi yang pelan-pelan menyentuh kulitnya. Namun, hangatnya sinar itu tak mampu mengalihkan pikirannya yang terus melayang entah ke mana. Pandangannya tetap terpaku pada kopi di hadapannya, seolah secangkir cairan hitam itu menyimpan teka-teki yang tak mampu ia pahami."Aku mulai peduli? Benarkah begitu?" gumam Elsaki nyaris tak terdengar. Ia kembali teringat pada momen beberapa saat yang lalu, ketika tanpa sadar ia bertanya, "Mau ke mana sepagi ini?" Pertanyaan yang seharusnya tak perlu ia tanyakan. Baginya, ke mana pun Yuvika pergi seharusnya bukan urusannya. Mereka hanya terikat oleh pernikahan yang diatur, tanpa cinta, tanpa keinginan untuk saling peduli. Namun, entah mengapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Spontan, tanpa pertimbangan. Ada dorongan di dalam dirinya yang tak ia pahami, seakan-akan nalurinya
Elsaki tetap berdiri di tempat yang sama, diam memandangi Yuvika yang mulai beranjak pergi. Tidak ada alasan jelas kenapa ia masih di sana, dan otaknya mencoba mencari logika dari perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Kesadarannya perlahan kembali begitu suara pintu utama tertutup dengan lembut, mengakhiri suara langkah kaki Yuvika yang semakin menjauh. Bunyi pintu yang seakan menjadi batas terakhir di antara mereka berdua kini terdengar begitu jelas di telinganya, seolah memberi tanda bahwa pertemuannya dengan Yuvika telah resmi berakhir—setidaknya untuk hari ini. Elsaki tetap berdiri di tempatnya, matanya masih terpaku pada pintu yang kini menutup rapat, seolah masih mencoba menangkap sisa bayangan Yuvika yang mulai memudar dari pandangannya.Sesaat, ruangan terasa hening, hanya menyisakan dengung halus pendingin ruangan. Kesunyian itu membiarkan pikirannya perlahan merangkak kembali ke dalam realitas, menyadarkannya bahwa pandangannya terhadap Yuvika pun telah berakhir. Ada perasaa
Elsaki masih terpaku di tempat, matanya tak beralih dari sosok wanita yang turun dari mobil hitamnya. Yuvika. Wanita itu turun dengan tenang, tampak seolah terbiasa mengemudikan mobil yang jelas-jelas miliknya. Ia yakin betul bahwa istrinya itu tak bisa mengemudikan mobil. Rasa heran semakin menjalari pikirannya, seolah ada bagian dari kehidupan Yuvika yang tidak ia ketahui. Ia mengerutkan kening lebih dalam, langkah kakinya tertahan oleh kebingungan. Apakah selama ini ia terlalu fokus pada hubungannya dengan Tisya hingga melupakan apa yang terjadi di rumahnya sendiri? Tidak, ia tahu semua yang Yuvika lakukan, setidaknya itu yang ia yakini. Tapi melihat Yuvika menyetir mobilnya seperti itu membuatnya ragu akan keyakinannya."Bagaimana mungkin?" gumamnya pelan. Pikirannya semakin berkecamuk.Tak lama kemudian, Yuvika keluar dari supermarket, ditemani seorang karyawan yang mendorong troli penuh belanjaan di belakangnya. Elsaki yang masih mengamati dari kejauhan memperhatikan bahwa bara
Hari sudah sore ketika Elsaki tiba di rumah. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima tepat. Langit mulai bergradasi dari biru ke jingga, seakan memudar dalam sisa cahaya matahari yang perlahan tenggelam di balik pepohonan. Sinar lembut menyusup ke dalam ruang tamu melalui jendela besar di sudut ruangan, menciptakan siluet bayang-bayang di lantai. Elsaki memandang garasi sejenak-kosong. Mobil yang dikendarai Yuvika belum ada di sana. Ia menghela napas berat, seolah menumpahkan beban pikirannya. Namun, seperti biasanya, ia memilih untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. "Nggak ada yang perlu dipikirkan," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sambil menggulung lengan kemejanya hingga siku, ia melangkah ke dalam rumah, membiarkan keheningan rumah menyergapnya. Ketika baru saja menaiki dua anak tangga menuju teras, suara deru mobil terdengar dari halaman.Elsaki tertegun, langkahnya otomatis terhenti saat melihat siapa yang turun dari mobil. Oma Lydia-wanita yan
Sepasang suami istri itu kini berada di kamar. Demi menjaga ketenangan hidupnya dan juga perhatian lebih dari Oma Lydia, Elsaki memutuskan untuk membawa Yuvika tinggal satu kamar dengannya meski hubungan mereka masih terasa dingin. Suasana di dalam ruangan sepi, namun penuh ketegangan. Kedua mata mereka bertemu, namun tidak dengan kehangatan, melainkan dengan kebekuan yang sulit diterjemahkan. Mereka berdua seolah baru saja lolos dari cengkeraman maut. Pasalnya, insiden kecil di ruang tamu sore tadi, ketika Yuvika secara tak sadar mengucapkan kalimat yang kurang sopan kepada Elsaki, telah menyeret mereka ke dalam situasi yang jauh lebih rumit dari yang bisa dibayangkan. Ucapan itu membawa mereka ke ruang interogasi panjang di hadapan Oma Lydia, di mana setiap kata yang keluar dari mulut mereka diperhatikan dengan seksama, seolah mereka adalah terdakwa dalam pengadilan yang tak kenal belas kasihan.Beberapa jam berlalu dengan ketegangan yang sulit diungkapkan. Setiap kali Elsaki menco
Elsaki tak langsung menjawab, ia hanya menatap tak percaya pada wanita di depannya. Entah keberanian macam apa yang dimilik wanita ini, alih-alih memerankan perannya sebagai istri yang lemah, justru yang terjadi kelemahanlah yang selalu hinggap di dirinya. Pria itu memiringkan bibirnya, memberikan senyum mengejek sesaat sebelum akhirnya melangkah mendekati ranjang. "Kau lelah karena terlalu banyak keluyuran. Bicaramu melantur, tidurlah. Kau butuh ranjang, kan? Pakai!" katanya seraya mengambil sebuah bantal dan berjalan menuju sofa panjang yang tersedia di kamarnya. "Aku sedang tidak melantur. Aku bicara serius. Kau bilang tadi aku tidak secantik itu untuk membuatmu tergoda. Jika kau tidak tergoda, kau tidak akan terpengaruh apa pun meski kita satu ranjang.""Aku hanya mau satu ranjang dengan Tisya. Bukan dengan siapa pun, termasuk kau. Aku tidak ingin tidur satu ranjang bukan berarti aku takut tergoda. Aku hanya menjaga diriku untuk Tisya, paham?!"Yuvika terdiam sejenak, membiarkan
Suasana di antara puing-puing bekas rumah itu terasa hening. Bu Isni memegang kotak besi yang baru ditemukan dengan tangan bergetar, dan Yuvika merasakan ketegangan yang menyelimuti ibunya. "Ibu, ada apa?" tanyanya lagi, suara yang lembut namun penuh perhatian.Bu Isni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka mulut. Wajahnya masih tampak sedikit pucat, dan gerak-geriknya tampak kaku, seolah takut sesuatu akan terbongkar."Nggak ada, Vika. Nggak ada apa-apa. Ibu cuma kaget… ternyata isinya masih utuh, itu aja."Beliau memaksakan senyum, namun tatapan matanya masih menyimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan."Tapi wajah Ibu pucat. Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu di dalam kotak itu yang bikin Ibu kaget?" Yuvika mengernyit, matanya memperhatikan setiap ekspresi di wajah ibunya, mencari jawaban dari sesuatu yang terasa mengganjal."Beneran, nggak ada apa-apa, Yuvika. Ini cuma… kotak kenangan lama. Mungkin Ibu terlalu tenggelam dalam nostalgia aja." Dengan gela
Yuvika terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Mungkin benar, Elsaki akan keberatan jika ibunya tinggal bersama. Namun, bukan hal yang sulit untuk meyakinkan Elsaki bahwa ibunya kini membutuhkan dukungan. Terlebih ia yakin bahwa Elsaki, meski dikenal keras dan kadang kaku dalam prinsipnya, masih punya sisi lembut yang bisa dipengaruhi dengan pendekatan yang tepat."Ibu tenang aja, itu urusan aku," kata Yuvika akhirnya. Bu Isni menatap Yuvika dengan rasa haru. Anak yang pernah beliau sakiti dengan berbagai ucapan dan perlakuan kini menawarkan rumah dan kasih sayang tanpa syarat, bahkan rela mengambil risiko demi memperbaiki hubungan mereka. Dalam hati,beliau merasa sangat beruntung meskipun rasa bersalah terus menghantui dirinya."Terima kasih untuk semuanya."Yuvika mengangguk senang, tak pernah ia sangka bahwa buah dari kesabaran dan ketulusan yang ia punya akan berbuah manis, bahkan lebih manis dari yang ia bayangkan. "Oh, ya, Yuvika. Bagaimana dengan pernikahanmu? Ibu n
Sore yang cerah telah bergulir pelan menjadi malam yang hening. Di ruang rumah sakit itu, Yuvika dan ibunya duduk berhadapan, masih berbicara satu sama lain dengan kehangatan yang baru pertama kali mereka rasakan. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama, namun ini adalah kali pertama mereka benar-benar berbicara sebagaimana seharusnya—sebagai ibu dan anak. Momen ini adalah impian yang Yuvika simpan dalam hatinya sejak kecil. Kini, kenyataan itu terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia perjuangkan.Selama ini, ia telah melewati banyak luka dan pengorbanan, berharap bisa mendapatkan secercah perhatian dari ibunya. Bahkan, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka bakar di kulitnya tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kecil yang kini menghangatkan hatinya. Seandainya saja neneknya masih ada di sisinya saat ini, Yuvika yakin beliau pasti ikut merasakan kebahagiaan ini. Ia bisa membayangkan senyum lembut sang nenek yang selama ini menjadi penghibur di tengah sega
Bu Isni terdiam sejenak di ambang pintu, mencoba mencerna apa yang baru saja beliau lihat. Tisya berlalu dengan wajah muram, penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Di baliknya, Yuvika duduk dengan ketenangan yang luar biasa, sementara Elsaki tampak gelisah, seolah dihimpit beban yang tak terlihat. Bu Isni tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa perempuan tadi?""Tisya, Bu. Teman lama Elsaki," jawab Yuvika dengan suara tenang. Lebih tepatnya ia berusaha tenang. Bu Isni mengernyit, tatapan matanya tajam menelusuri wajah Yuvika, mencoba menangkap kebohongan di balik kata-katanya. "Hanya teman lama? Terus kenapa dia kelihatan marah? Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ceritakan."Yuvika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, menutupi kebenaran di depan seseorang bukan hal yang mudah. Namun, ia juga tak ingin membeberkan semuanya saat ini. Dengan hati-hati, Yuvika menjawab, "Mungkin Tisya hanya kaget, Bu. Sudah lama nggak ketemu Elsaki, lalu tiba-tiba
Elsaki terkejut, menyadari siapa yang kini berdiri di ambang pintu. Tisya, dengan tatapan tajam dan wajah dingin, menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang mungkin bisa ia ucapkan. Ekspresi tenangnya justru membuat suasana terasa semakin mencekam. Sesaat, Elsaki hanya bisa terdiam, bahkan tubuhnya seolah membeku di samping Yuvika yang dengan tenang menatap keduanya bergantian. Bagaimana ia tak marah? Elsaki mengatakan akan bekerja, dan saat ia mengikuti ke mana perginya Elsaki, ia justru mendapati dirinya bersama dengan Yuvika. "Oh, jadi ini yang kamu maksud bekerja? Kamu rela bohong sama aku demi dia? Perempuan yang katamu tameng untuk hubungan kita, tapi ternyata kalian justru menjalin pertemanan?" suara Tisya akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar begitu tajam, menggambarkan perasaan yang tertahan. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan dalam sekejap ruangan itu terasa menyempit oleh kehadirannya. Elsaki menelan ludah,
Setelah pertemuannya dengan Tisya, Elsaki seharusnya ke rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, tanpa ia sadari, mobilnya malah melaju ke arah lain—ke rumah sakit tempat Yuvika dirawat. Pikirannya kalut, dipenuhi dengan kebingungan yang tak kunjung reda setelah percakapannya dengan Tisya. Ia seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari niatnya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Sampai di depan rumah sakit, Elsaki berhenti sejenak, menatap bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Kenapa aku ke sini?' tanyanya dalam hati, meski ia tahu jawabannya. Ada sesuatu yang tak ia bisa jelaskan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terus membawanya ke sini. Yuvika, kini sangat terlihat bahwa ia memiliki tempat di hatinya. Entah sebagai teman seperti yang mereka sepakati atau lebih. Elsaki keluar dari mobil dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan ia tengah berjalan menuju perbatasan yang tidak ingin
Tisya berhenti, napasnya memburu, wajahnya menyiratkan amarah yang nyaris meledak. Tatapan matanya tajam menusuk Elsaki, seakan menantang untuk memberikan jawaban. Namun Elsaki tetap diam, memegang pergelangan tangan Tisya dengan lembut tapi kuat. Ia tahu, Tisya bukan seseorang yang mudah ditenangkan ketika emosinya sudah memuncak."Kenapa, Saki?" desis Tisya, matanya menyala marah. "Apa kamu takut aku menemui Yuvika? Atau... kamu takut dia mengatakan sesuatu yang akan merubah segalanya?"Elsaki menelan ludah. Ia tidak bisa mengelak bahwa ada kebenaran dalam pertanyaan Tisya. Namun bukan amarah atau balas dendam yang ia khawatirkan. Ia lebih takut pertemuan itu akan membuka kenyataan yang lebih besar—kenyataan yang selama ini ia coba tutupi, baik dari Tisya maupun dirinya sendiri."Tisya... ini bukan soal Yuvika," Elsaki berusaha menjaga ketenangannya, meski dadanya bergejolak. "Ini tentang kita. Tentang apa yang kita punya sekarang. Kalau kamu pergi, kalau kamu melakukan sesuatu dala
Elsaki tiba di cafe yang telah menjadi tempat langganan mereka. Suasana di dalam terasa tenang, dengan alunan musik lembut yang mengisi ruangan. Tisya sudah menunggunya di meja dekat jendela, mengenakan dress merah terang yang menarik perhatian, kontras dengan suasana kalem di sekitar mereka. Senyumnya lebar begitu melihat Elsaki masuk, seolah tak sabar menyambutnya."Akhirnya kamu datang juga!" Tisya menyapa dengan antusias, berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan memberikan pelukan singkat. Elsaki menyambut pelukan Tisya dengan hangat, mencoba menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa inilah yang benar. Tangannya melingkar di punggung Tisya, menariknya lebih dekat seolah mencari perlindungan dari perasaan-perasaan yang terus merongrong pikirannya. Ia tahu, hatinya tak lagi sepenuhnya utuh untuk Tisya. Namun, ia menolak mengakui perasaan itu—perasaan yang pelan-pelan mulai mengarah ke Yuvika.Untuk kali ini, dan seterusnya, Elsaki bertekad untuk memfokuskan diri pada hu
Elsaki memutuskan untuk keluar dari ruangan rumah sakit setelah suasana menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Langkah-langkah kakinya terdengar bergema di lorong panjang itu. Kepalanya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi—tentang pengorbanan Yuvika, pengkhianatan Bu Isni, dan rasa bersalah yang tanpa henti menghantuinya.Tanpa sadar, kakinya membawanya menuju taman rumah sakit, sebuah tempat yang biasanya ia kunjungi saat pikirannya penuh dengan kegelisahan. Di sana, ia duduk di bangku panjang, memandang ke langit yang terik. Gemericik air dari pancuran kecil di tengah taman terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan kekacauan di hatinya.Lamunan Elsaki buyar seketika saat getaran dari ponsel di saku kemejanya terasa. Ia segera merogoh saku dengan enggan, dan di layar yang menyala, nama "Sayangku" terpampang jelas dengan emoticon hati merah di ujungnya. Seolah simbol itu menguatkan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu rumit.Elsaki menatap layar itu untu