Yuvika tampak tak peduli dengan konsekuensi yang diancamkan suaminya, meskipun dalam hati ia merasakan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit di dapur, dan meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang, sebenarnya ia terus-menerus terjaga oleh kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yuvika memilih untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya, percaya bahwa menunjukkan ketidakpastian hanya akan memberikan kepuasan kepada Elsaki. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata suaminya yang sudah jelas-jelas tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Untuk mengatasi kegelisahan yang mengganggu pikirannya, Yuvika mencari pelarian dengan cara yang mungkin terdengar klise, yakni berbelanja. Pergi ke pusat perbelanjaan menjadi ritual barunya. Kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara berlebihan, kini menjadi cara untuk memanjakan diri dan mengalihkan perhatian dari masalah yang membebani pikirannya. Yuvika menghabiskan uang El
Surat itu bukan sekadar lembaran biasa, melainkan tuntutan resmi yang diajukan Yuvika mengenai nafkah yang harus diberikan Elsaki selama pernikahan mereka berjalan. Namun yang membuat Elsaki benar-benar terkejut adalah jumlahnya fantastis, nyaris tidak masuk akal. Ia seolah tidak pernah menyangka bahwa Yuvika bisa sedemikian terencana, apalagi dengan langkah setegas ini. "Seratus juta setiap bulan? Aku tidak menyangka kau mata duitan," kata Elsaki seraya menunjukkan senyum menghina. Yuvika tetap diam, pandangannya tak goyah meskipun suaminya terus berusaha merendahkannya dengan tatapan tajam. Ia sudah memperkirakan ini, sudah tahu betul seperti apa reaksi Elsaki. "Jadi ini semua hanya soal uang untukmu? Kau pikir dengan uang sebanyak itu kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan?" Elsaki berjalan mendekat, matanya menyipit penuh kebencian. "Kau benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan situasi." "Ini bukan hanya soal uang. Aku hanya mengembalikan apa yang sudah aku terima
Menyadari situasi yang menimbulkan kesalahpahaman, dengan bergegas Elsaki melepas tangan Yuvika dari lehernya. Ia segera berlari mengejar kekasihnya yang sudah pasti salah paham. Sungguh ia tak sanggup menghadapi kemarahan wanita itu. "Tisya. Hei, tunggu Sayang. Ini nggak seperti yang kamu lihat," kata Elsaki begitu jarak keduanya dekat. Ia meraih tangan kekasihnya agar tak terus berjalan menjauhinya. Tisya berpaling, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tak sudi melihat laki-laki simpanannya yang baru saja beradegan mesra dengan wanita lain. Meskipun wanita itu adalah istrinya sendiri. "Kejadiannya nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa jelasin. Jadi...." Mengalirlah cerita Elsaki dengan segala perdebatannya. Tak ada sedikit pun yang luput dari mulutnya. "Aku juga nggak tahu apa yang membuat dia seberani itu. Kamu percaya aku, kan?" "Aku hanya percaya dengan yang aku lihat. Udahlah, aku mau sendiri. Memang nggak seharusnya aku menaruh harapan sama laki-laki. Semu
Tubuh Yuvika terasa berat, seperti tenggelam di dasar laut yang gelap. Kesadarannya perlahan-lahan kembali, namun rasa sakit di kepala dan lehernya masih terasa. Matanya membuka sedikit, mengerjap-ngerjap, meresapi cahaya yang terang dari ruangan. Begitu ia menyadari di mana ia berada, rasa cemas langsung menguasainya. Aroma antiseptik dan ruangan yang serba putih membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. "Non... Non Vika sudah sadar?" Pertanyaan bernada lembut terdengar dari Bi Sum. Ya, wanita itu yang membawa Yuvika ke rumah sakit lantaran banyak darah yang menggenang di lantai dan demam yang cukup tinggi. Yuvika tidak mampu berkata-kata. Kepalanya terlalu pening untuk berfikir jernih, dan setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menjalar dari kepalanya ke seluruh tubuh. "Tolong jangan banyak gerak dulu, Non. Saya panggilkan dokter dulu." Bi Sum terburu-buru keluar ruangan dan memanggil dokter yang tadi menangani Yuvika. Tak lama kemudian, do
Pada sore hari, dokter mengizinkan Yuvika untuk pulang dengan berbagai catatan dan instruksi. Meskipun Yuvika masih terasa sedikit lemas, ia tak betah jika harus berlama-lama dirawat di rumah sakit hingga akhirnya ia merayu dokter agar diizinkan pulang. Semangat cerianya membuatnya ingin segera kembali ke kehidupan sehari-hari, meskipun ia tahu bahwa di rumah hanya akan menambah kesengsaraannya. Sesampainya di rumah, suasana terasa dingin. Yuvika menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, mencoba menguatkan dan mempersiapkan diri. Saat tangan Bi Sum hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam. Nampak sosok Elsaki di belakang benda persegi berwarna putih itu. Pria itu berpakaian rapi seperti hendak pergi. Tatapannya dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia berhenti di ambang pintu, terkejut melihat Yuvika berdiri di depannya. Seketika suasana di antara mereka terasa lebih dingin dari angin sore yang berembus. Mata mereka bertemu, tapi tidak ada sapaan, t
Mobil pria itu melaju kembali pulang. Selama perjalanan, suasana hati Elsaki berperang, antara rasa bersalah dan keinginan untuk tidak peduli. Setiap kali bayangan Yuvika muncul, teringat luka-luka di tubuhnya, rasa bersalah itu kian tak tertahankan. Ia tak pernah melakukan kekerasan pada siapa pun sebelumnya, jadi hal yang wajar jika ia terus kepikiran. "Apa yang terjadi padamu Elsaki? Kau rela membatalkan janjimu dengan Tisya hanya karena pikiran-pikiran bodohmu ini. Lagi pula untuk apa aku terus memikirkan dia?" tanyanya pada diri sendiri yang terdengar frustasi, tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Suara hatinya terus berbisik bahwa ia seharusnya tidak peduli, tetapi kenyataan tidak bisa dipungkiri. Yuvika, dengan segala kondisinya sekarang sangat mengganggu ketenangan yang coba ia ciptakan.Begitu sampai di rumah, Elsaki melangkah cepat menuju dapur. Langkahnya tak berisik, tapi jelas menunjukkan urgensi. Di dapur, Elsaki langsung mendapati Bi Sum yang si
Suasana di dalam rumah terasa tegang, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara. Elsaki menunggu dengan tak sabar, ekspresinya mencerminkan campuran kekhawatiran dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Sementara itu, Bi Sum tampak berjuang antara keinginan untuk berbagi informasi dan rasa takut akan janji yang telah diucapkan kepada Yuvika. Dalam pikirannya, ia mempertimbangkan setiap kemungkinan akibat dari kata-katanya.Belum sempat Bi Sum membuka mulutnya kembali, suara dentuman keras antara gelas dan lantai beradu menggema di seluruh ruangan. Mereka seketika menoleh ke arah yang sama, terkejut oleh kebisingan mendadak yang memecah keheningan. Gelas yang terjatuh itu menciptakan kepingan-kepingan kaca yang berserakan di lantai, menciptakan citra berantakan yang seakan mencerminkan keadaan Yuvika saat ini.Bi Sum segera merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, kekhawatirannya memenuhi isi kepalanya."Non Vika, apa yang terjadi?" tanyanya, nada suaranya pen
Elsaki melangkah menuju pintu, berusaha mengabaikan kekacauan pikirannya yang berputar tanpa henti. Dengan gerakan mantap, ia mengulurkan tangan, memutar kenop pintu, dan membukanya.Di ambang pintu, tampak sosok Bi Sum berdiri dengan wajah penuh kelelahan. Garis-garis ketuaan di wajahnya semakin terlihat, memperlihatkan keprihatinan yang menggerogoti batinnya sejak tadi. Matanya yang sayu menunjukkan bahwa ia telah berjuang keras sepanjang hari, baik secara fisik maupun emosional. Sekilas, ia melihat ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya, seakan Bi Sum menanggung beban berat yang belum terucapkan."Dia baik-baik saja?" tanya Elsaki, suaranya terdengar datar namun sarat kekhawatiran.Bi Sum mengangguk perlahan, raut wajahnya masih menyiratkan keraguan. "Iya, Tuan. Non Yuvika sudah tidur setelah makan. Obat dari rumah sakit juga sudah di minum."Elsaki terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah Bi Sum tanpa berkata apa-apa. Rasanya ada banyak yang ingin ia sampaikan, tetapi ka