Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM.
"Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan tampilan yang memesona," pikir Yuvika sambil tersenyum tipis. Ia tahu bahwa ia harus memperbaiki dirinya sendiri dan menunjukkan kepada Elsaki bahwa ia bukanlah perempuan yang bisa diremehkan. Setibanya di pusat perbelanjaan, Yuvika langsung menuju butik-butik ternama. Ia memilih beberapa gaun indah, sepatu berkelas, dan tas mewah. Di setiap toko, ia memastikan untuk memilih barang-barang yang terbaik. Setelah itu, ia pergi ke salon untuk merapikan rambut, melakukan perawatan wajah, dan berdandan. Ia menghabiskan waktu seharian untuk keperluan dirinya. Bahkan, bukan hanya dirinya saja yang ia manjakan. Para pekerja di rumah Elsaki pun ia beri hadiah untuk pengabdian mereka pada sang suami. Tidak banyak dan terkesan barang sederhana, tapi ia yakin mereka akan senang dengan hadiah yang mungkin saja tak pernah diberikan oleh majikannya. Ia yakin Elsaki tidak memikirkan hal sekecil itu. Ketika semuanya selesai, Yuvika melihat bayangannya di cermin dan merasa puas. Penampilan barunya memberikan kepercayaan diri yang luar biasa. Ia menyadari bahwa ini bukan hanya soal penampilan, tetapi juga tentang bagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri dengan lebih baik. "Ini baru permulaan," bisik Yuvika pada dirinya sendiri saat ia melangkah keluar dari salon dengan penuh percaya diri. "Kita makan, yuk, Pak. Berhenti di restoran mana pun yang makanannya enak." Sang supir hanya menggangguk patuh dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah makan yang cukup mewah. Bangunan dua lantai itu tampak ramai pengunjung. "Ayo kita makan, Pak. Lapar, kan, antar saya ke mana-mana dari pagi." "Saya makan di rumah saja, Non." "Nggak boleh nolak rezeki, nanti yang lain juga saya belikan kok. Nanti Bapak sakit dan nggak bisa antar saya ke mana-mana. Saya nggak bisa bawa mobil." "Tapi, Non–" "Nggak ada tapi-tapi, ayo temani saya." "Non Yuvika nggak malu makan sama supir?" "Haish, kenapa harus malu? Bapak pakai baju. Lagian kenapa kalau supir? Asal Bapak tahu, saya dulunya juga kuli pabrik. Nggak penting itu semua buat saya. Kita semua sama di mata Tuhan." Akhirnya setelah petuah singkat dari Yuvika, keduanya berjalan masuk. Ia memilih duduk di dekat pintu masuk, karena memang hanya tempat itu yang kosong. Tak disadari oleh Yuvika, sejak masuk ke bangunan itu ia diperhatikan oleh beberapa pria. Dan salah satunya adalah Elsaki yang juga berada di sana, tentu saja ia bersama dengan Tisya. "Sayang, liatin apa sih? Dari tadi diajak ngomong juga." "Ha? Gimana Sayang? Kamu ngomong apa?" "Udah nggak mood," jawab Tisya kesal. Kekesalan Tisya itu akhirnya membawa keduanya pulang. Sudah seharian mereka berada di luar rumah menghabiskan waktu bersama. Kepergian Veer ke luar kota adalah surga bagi Tisya. Dahulu, ia sangat mempermasalahkan Veer yang kerap meninggalkannya seorang diri. Ia merasa kesepian dan akhirnya mencari kebahagiaan di bahu laki-laki lain. Dan akhirnya ini yang terjadi sekarang. Meski ia seringkali ditinggal juga oleh Elsaki lantaran pekerjaannya yang terkadang menerima panggilan dadakan. °°° "Pak, ini kasih ke yang lain dulu, abis itu Bapak ke sini lagi, ya, bantu saya bawain belanjaan." "Baik, Non." Yuvika membuka pintu bagian belakang. Ia membeli banyak baju, tas, dan berbagai macam sepatu bermerk. Ia mengambil beberapa paper bag sebisanya dan berjalan menuju dalam rumah. Belum sampai ia masuk, langkah kakinya terhenti lantaran Elsaki tiba-tiba muncul di tengah pintu dengan bersedekap.Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m
Sebelum Yuvika bisa menanggapi lebih lanjut, suara dingin terdengar dari belakangnya. "Iya, kenapa?" Yuvika terkejut. Ia menoleh, mendapati Elsaki berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan tidak menyenangkan. "Kau ada masalah dengan peraturanku?" "Bukan masalah, hanya saja... kenapa kau memberi peraturan yang bahkan tidak melibatkan mereka untuk menikmati makanan yang sama denganmu?" "Karena aku suka aturan itu. Dan di rumah ini, apa yang aku suka adalah peraturan. Jangan coba-coba mengubahnya." Yuvika menatap Elsaki balik, tidak mundur sedikit pun. "Aku hanya berpikir, hidup akan lebih baik jika semua orang bisa menikmati hal yang sama." "Dan aku tidak peduli dengan pikiranmu," jawab Elsaki tegas. "Jangan terlalu ikut campur." Elsaki melangkah lebih dekat, menciptakan jarak yang semakin sempit antara dirinya dan Yuvika. Tatapannya tajam dan dingin, sedingin es. "Kau berpikir bisa mengubah segalanya di sini? Ini bukan rumahmu. Ini rumahku, dan aturan yang berlaku adalah atura
Yuvika tampak tak peduli dengan konsekuensi yang diancamkan suaminya, meskipun dalam hati ia merasakan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit di dapur, dan meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang, sebenarnya ia terus-menerus terjaga oleh kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yuvika memilih untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya, percaya bahwa menunjukkan ketidakpastian hanya akan memberikan kepuasan kepada Elsaki. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata suaminya yang sudah jelas-jelas tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Untuk mengatasi kegelisahan yang mengganggu pikirannya, Yuvika mencari pelarian dengan cara yang mungkin terdengar klise, yakni berbelanja. Pergi ke pusat perbelanjaan menjadi ritual barunya. Kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara berlebihan, kini menjadi cara untuk memanjakan diri dan mengalihkan perhatian dari masalah yang membebani pikirannya. Yuvika menghabiskan uang El
Surat itu bukan sekadar lembaran biasa, melainkan tuntutan resmi yang diajukan Yuvika mengenai nafkah yang harus diberikan Elsaki selama pernikahan mereka berjalan. Namun yang membuat Elsaki benar-benar terkejut adalah jumlahnya fantastis, nyaris tidak masuk akal. Ia seolah tidak pernah menyangka bahwa Yuvika bisa sedemikian terencana, apalagi dengan langkah setegas ini. "Seratus juta setiap bulan? Aku tidak menyangka kau mata duitan," kata Elsaki seraya menunjukkan senyum menghina. Yuvika tetap diam, pandangannya tak goyah meskipun suaminya terus berusaha merendahkannya dengan tatapan tajam. Ia sudah memperkirakan ini, sudah tahu betul seperti apa reaksi Elsaki. "Jadi ini semua hanya soal uang untukmu? Kau pikir dengan uang sebanyak itu kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan?" Elsaki berjalan mendekat, matanya menyipit penuh kebencian. "Kau benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan situasi." "Ini bukan hanya soal uang. Aku hanya mengembalikan apa yang sudah aku terima
Menyadari situasi yang menimbulkan kesalahpahaman, dengan bergegas Elsaki melepas tangan Yuvika dari lehernya. Ia segera berlari mengejar kekasihnya yang sudah pasti salah paham. Sungguh ia tak sanggup menghadapi kemarahan wanita itu. "Tisya. Hei, tunggu Sayang. Ini nggak seperti yang kamu lihat," kata Elsaki begitu jarak keduanya dekat. Ia meraih tangan kekasihnya agar tak terus berjalan menjauhinya. Tisya berpaling, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tak sudi melihat laki-laki simpanannya yang baru saja beradegan mesra dengan wanita lain. Meskipun wanita itu adalah istrinya sendiri. "Kejadiannya nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa jelasin. Jadi...." Mengalirlah cerita Elsaki dengan segala perdebatannya. Tak ada sedikit pun yang luput dari mulutnya. "Aku juga nggak tahu apa yang membuat dia seberani itu. Kamu percaya aku, kan?" "Aku hanya percaya dengan yang aku lihat. Udahlah, aku mau sendiri. Memang nggak seharusnya aku menaruh harapan sama laki-laki. Semu
Tubuh Yuvika terasa berat, seperti tenggelam di dasar laut yang gelap. Kesadarannya perlahan-lahan kembali, namun rasa sakit di kepala dan lehernya masih terasa. Matanya membuka sedikit, mengerjap-ngerjap, meresapi cahaya yang terang dari ruangan. Begitu ia menyadari di mana ia berada, rasa cemas langsung menguasainya. Aroma antiseptik dan ruangan yang serba putih membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. "Non... Non Vika sudah sadar?" Pertanyaan bernada lembut terdengar dari Bi Sum. Ya, wanita itu yang membawa Yuvika ke rumah sakit lantaran banyak darah yang menggenang di lantai dan demam yang cukup tinggi. Yuvika tidak mampu berkata-kata. Kepalanya terlalu pening untuk berfikir jernih, dan setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menjalar dari kepalanya ke seluruh tubuh. "Tolong jangan banyak gerak dulu, Non. Saya panggilkan dokter dulu." Bi Sum terburu-buru keluar ruangan dan memanggil dokter yang tadi menangani Yuvika. Tak lama kemudian, do
Pada sore hari, dokter mengizinkan Yuvika untuk pulang dengan berbagai catatan dan instruksi. Meskipun Yuvika masih terasa sedikit lemas, ia tak betah jika harus berlama-lama dirawat di rumah sakit hingga akhirnya ia merayu dokter agar diizinkan pulang. Semangat cerianya membuatnya ingin segera kembali ke kehidupan sehari-hari, meskipun ia tahu bahwa di rumah hanya akan menambah kesengsaraannya. Sesampainya di rumah, suasana terasa dingin. Yuvika menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, mencoba menguatkan dan mempersiapkan diri. Saat tangan Bi Sum hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam. Nampak sosok Elsaki di belakang benda persegi berwarna putih itu. Pria itu berpakaian rapi seperti hendak pergi. Tatapannya dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia berhenti di ambang pintu, terkejut melihat Yuvika berdiri di depannya. Seketika suasana di antara mereka terasa lebih dingin dari angin sore yang berembus. Mata mereka bertemu, tapi tidak ada sapaan, t
Mobil pria itu melaju kembali pulang. Selama perjalanan, suasana hati Elsaki berperang, antara rasa bersalah dan keinginan untuk tidak peduli. Setiap kali bayangan Yuvika muncul, teringat luka-luka di tubuhnya, rasa bersalah itu kian tak tertahankan. Ia tak pernah melakukan kekerasan pada siapa pun sebelumnya, jadi hal yang wajar jika ia terus kepikiran. "Apa yang terjadi padamu Elsaki? Kau rela membatalkan janjimu dengan Tisya hanya karena pikiran-pikiran bodohmu ini. Lagi pula untuk apa aku terus memikirkan dia?" tanyanya pada diri sendiri yang terdengar frustasi, tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Suara hatinya terus berbisik bahwa ia seharusnya tidak peduli, tetapi kenyataan tidak bisa dipungkiri. Yuvika, dengan segala kondisinya sekarang sangat mengganggu ketenangan yang coba ia ciptakan.Begitu sampai di rumah, Elsaki melangkah cepat menuju dapur. Langkahnya tak berisik, tapi jelas menunjukkan urgensi. Di dapur, Elsaki langsung mendapati Bi Sum yang si