Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM.
"Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan tampilan yang memesona," pikir Yuvika sambil tersenyum tipis. Ia tahu bahwa ia harus memperbaiki dirinya sendiri dan menunjukkan kepada Elsaki bahwa ia bukanlah perempuan yang bisa diremehkan. Setibanya di pusat perbelanjaan, Yuvika langsung menuju butik-butik ternama. Ia memilih beberapa gaun indah, sepatu berkelas, dan tas mewah. Di setiap toko, ia memastikan untuk memilih barang-barang yang terbaik. Setelah itu, ia pergi ke salon untuk merapikan rambut, melakukan perawatan wajah, dan berdandan. Ia menghabiskan waktu seharian untuk keperluan dirinya. Bahkan, bukan hanya dirinya saja yang ia manjakan. Para pekerja di rumah Elsaki pun ia beri hadiah untuk pengabdian mereka pada sang suami. Tidak banyak dan terkesan barang sederhana, tapi ia yakin mereka akan senang dengan hadiah yang mungkin saja tak pernah diberikan oleh majikannya. Ia yakin Elsaki tidak memikirkan hal sekecil itu. Ketika semuanya selesai, Yuvika melihat bayangannya di cermin dan merasa puas. Penampilan barunya memberikan kepercayaan diri yang luar biasa. Ia menyadari bahwa ini bukan hanya soal penampilan, tetapi juga tentang bagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri dengan lebih baik. "Ini baru permulaan," bisik Yuvika pada dirinya sendiri saat ia melangkah keluar dari salon dengan penuh percaya diri. "Kita makan, yuk, Pak. Berhenti di restoran mana pun yang makanannya enak." Sang supir hanya menggangguk patuh dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah makan yang cukup mewah. Bangunan dua lantai itu tampak ramai pengunjung. "Ayo kita makan, Pak. Lapar, kan, antar saya ke mana-mana dari pagi." "Saya makan di rumah saja, Non." "Nggak boleh nolak rezeki, nanti yang lain juga saya belikan kok. Nanti Bapak sakit dan nggak bisa antar saya ke mana-mana. Saya nggak bisa bawa mobil." "Tapi, Non–" "Nggak ada tapi-tapi, ayo temani saya." "Non Yuvika nggak malu makan sama supir?" "Haish, kenapa harus malu? Bapak pakai baju. Lagian kenapa kalau supir? Asal Bapak tahu, saya dulunya juga kuli pabrik. Nggak penting itu semua buat saya. Kita semua sama di mata Tuhan." Akhirnya setelah petuah singkat dari Yuvika, keduanya berjalan masuk. Ia memilih duduk di dekat pintu masuk, karena memang hanya tempat itu yang kosong. Tak disadari oleh Yuvika, sejak masuk ke bangunan itu ia diperhatikan oleh beberapa pria. Dan salah satunya adalah Elsaki yang juga berada di sana, tentu saja ia bersama dengan Tisya. "Sayang, liatin apa sih? Dari tadi diajak ngomong juga." "Ha? Gimana Sayang? Kamu ngomong apa?" "Udah nggak mood," jawab Tisya kesal. Kekesalan Tisya itu akhirnya membawa keduanya pulang. Sudah seharian mereka berada di luar rumah menghabiskan waktu bersama. Kepergian Veer ke luar kota adalah surga bagi Tisya. Dahulu, ia sangat mempermasalahkan Veer yang kerap meninggalkannya seorang diri. Ia merasa kesepian dan akhirnya mencari kebahagiaan di bahu laki-laki lain. Dan akhirnya ini yang terjadi sekarang. Meski ia seringkali ditinggal juga oleh Elsaki lantaran pekerjaannya yang terkadang menerima panggilan dadakan. °°° "Pak, ini kasih ke yang lain dulu, abis itu Bapak ke sini lagi, ya, bantu saya bawain belanjaan." "Baik, Non." Yuvika membuka pintu bagian belakang. Ia membeli banyak baju, tas, dan berbagai macam sepatu bermerk. Ia mengambil beberapa paper bag sebisanya dan berjalan menuju dalam rumah. Belum sampai ia masuk, langkah kakinya terhenti lantaran Elsaki tiba-tiba muncul di tengah pintu dengan bersedekap.Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m
Sebelum Yuvika bisa menanggapi lebih lanjut, suara dingin terdengar dari belakangnya. "Iya, kenapa?" Yuvika terkejut. Ia menoleh, mendapati Elsaki berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan tidak menyenangkan. "Kau ada masalah dengan peraturanku?" "Bukan masalah, hanya saja... kenapa kau memberi peraturan yang bahkan tidak melibatkan mereka untuk menikmati makanan yang sama denganmu?" "Karena aku suka aturan itu. Dan di rumah ini, apa yang aku suka adalah peraturan. Jangan coba-coba mengubahnya." Yuvika menatap Elsaki balik, tidak mundur sedikit pun. "Aku hanya berpikir, hidup akan lebih baik jika semua orang bisa menikmati hal yang sama." "Dan aku tidak peduli dengan pikiranmu," jawab Elsaki tegas. "Jangan terlalu ikut campur." Elsaki melangkah lebih dekat, menciptakan jarak yang semakin sempit antara dirinya dan Yuvika. Tatapannya tajam dan dingin, sedingin es. "Kau berpikir bisa mengubah segalanya di sini? Ini bukan rumahmu. Ini rumahku, dan aturan yang berlaku adalah atura
Yuvika tampak tak peduli dengan konsekuensi yang diancamkan suaminya, meskipun dalam hati ia merasakan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit di dapur, dan meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang, sebenarnya ia terus-menerus terjaga oleh kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yuvika memilih untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya, percaya bahwa menunjukkan ketidakpastian hanya akan memberikan kepuasan kepada Elsaki. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata suaminya yang sudah jelas-jelas tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Untuk mengatasi kegelisahan yang mengganggu pikirannya, Yuvika mencari pelarian dengan cara yang mungkin terdengar klise, yakni berbelanja. Pergi ke pusat perbelanjaan menjadi ritual barunya. Kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara berlebihan, kini menjadi cara untuk memanjakan diri dan mengalihkan perhatian dari masalah yang membebani pikirannya. Yuvika menghabiskan uang El
Surat itu bukan sekadar lembaran biasa, melainkan tuntutan resmi yang diajukan Yuvika mengenai nafkah yang harus diberikan Elsaki selama pernikahan mereka berjalan. Namun yang membuat Elsaki benar-benar terkejut adalah jumlahnya fantastis, nyaris tidak masuk akal. Ia seolah tidak pernah menyangka bahwa Yuvika bisa sedemikian terencana, apalagi dengan langkah setegas ini. "Seratus juta setiap bulan? Aku tidak menyangka kau mata duitan," kata Elsaki seraya menunjukkan senyum menghina. Yuvika tetap diam, pandangannya tak goyah meskipun suaminya terus berusaha merendahkannya dengan tatapan tajam. Ia sudah memperkirakan ini, sudah tahu betul seperti apa reaksi Elsaki. "Jadi ini semua hanya soal uang untukmu? Kau pikir dengan uang sebanyak itu kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan?" Elsaki berjalan mendekat, matanya menyipit penuh kebencian. "Kau benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan situasi." "Ini bukan hanya soal uang. Aku hanya mengembalikan apa yang sudah aku terima
Menyadari situasi yang menimbulkan kesalahpahaman, dengan bergegas Elsaki melepas tangan Yuvika dari lehernya. Ia segera berlari mengejar kekasihnya yang sudah pasti salah paham. Sungguh ia tak sanggup menghadapi kemarahan wanita itu. "Tisya. Hei, tunggu Sayang. Ini nggak seperti yang kamu lihat," kata Elsaki begitu jarak keduanya dekat. Ia meraih tangan kekasihnya agar tak terus berjalan menjauhinya. Tisya berpaling, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tak sudi melihat laki-laki simpanannya yang baru saja beradegan mesra dengan wanita lain. Meskipun wanita itu adalah istrinya sendiri. "Kejadiannya nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa jelasin. Jadi...." Mengalirlah cerita Elsaki dengan segala perdebatannya. Tak ada sedikit pun yang luput dari mulutnya. "Aku juga nggak tahu apa yang membuat dia seberani itu. Kamu percaya aku, kan?" "Aku hanya percaya dengan yang aku lihat. Udahlah, aku mau sendiri. Memang nggak seharusnya aku menaruh harapan sama laki-laki. Semu
Tubuh Yuvika terasa berat, seperti tenggelam di dasar laut yang gelap. Kesadarannya perlahan-lahan kembali, namun rasa sakit di kepala dan lehernya masih terasa. Matanya membuka sedikit, mengerjap-ngerjap, meresapi cahaya yang terang dari ruangan. Begitu ia menyadari di mana ia berada, rasa cemas langsung menguasainya. Aroma antiseptik dan ruangan yang serba putih membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. "Non... Non Vika sudah sadar?" Pertanyaan bernada lembut terdengar dari Bi Sum. Ya, wanita itu yang membawa Yuvika ke rumah sakit lantaran banyak darah yang menggenang di lantai dan demam yang cukup tinggi. Yuvika tidak mampu berkata-kata. Kepalanya terlalu pening untuk berfikir jernih, dan setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menjalar dari kepalanya ke seluruh tubuh. "Tolong jangan banyak gerak dulu, Non. Saya panggilkan dokter dulu." Bi Sum terburu-buru keluar ruangan dan memanggil dokter yang tadi menangani Yuvika. Tak lama kemudian, do
Pada sore hari, dokter mengizinkan Yuvika untuk pulang dengan berbagai catatan dan instruksi. Meskipun Yuvika masih terasa sedikit lemas, ia tak betah jika harus berlama-lama dirawat di rumah sakit hingga akhirnya ia merayu dokter agar diizinkan pulang. Semangat cerianya membuatnya ingin segera kembali ke kehidupan sehari-hari, meskipun ia tahu bahwa di rumah hanya akan menambah kesengsaraannya. Sesampainya di rumah, suasana terasa dingin. Yuvika menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, mencoba menguatkan dan mempersiapkan diri. Saat tangan Bi Sum hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam. Nampak sosok Elsaki di belakang benda persegi berwarna putih itu. Pria itu berpakaian rapi seperti hendak pergi. Tatapannya dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia berhenti di ambang pintu, terkejut melihat Yuvika berdiri di depannya. Seketika suasana di antara mereka terasa lebih dingin dari angin sore yang berembus. Mata mereka bertemu, tapi tidak ada sapaan, t
Mobil pria itu melaju kembali pulang. Selama perjalanan, suasana hati Elsaki berperang, antara rasa bersalah dan keinginan untuk tidak peduli. Setiap kali bayangan Yuvika muncul, teringat luka-luka di tubuhnya, rasa bersalah itu kian tak tertahankan. Ia tak pernah melakukan kekerasan pada siapa pun sebelumnya, jadi hal yang wajar jika ia terus kepikiran. "Apa yang terjadi padamu Elsaki? Kau rela membatalkan janjimu dengan Tisya hanya karena pikiran-pikiran bodohmu ini. Lagi pula untuk apa aku terus memikirkan dia?" tanyanya pada diri sendiri yang terdengar frustasi, tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Suara hatinya terus berbisik bahwa ia seharusnya tidak peduli, tetapi kenyataan tidak bisa dipungkiri. Yuvika, dengan segala kondisinya sekarang sangat mengganggu ketenangan yang coba ia ciptakan.Begitu sampai di rumah, Elsaki melangkah cepat menuju dapur. Langkahnya tak berisik, tapi jelas menunjukkan urgensi. Di dapur, Elsaki langsung mendapati Bi Sum yang si
Suasana di antara puing-puing bekas rumah itu terasa hening. Bu Isni memegang kotak besi yang baru ditemukan dengan tangan bergetar, dan Yuvika merasakan ketegangan yang menyelimuti ibunya. "Ibu, ada apa?" tanyanya lagi, suara yang lembut namun penuh perhatian.Bu Isni menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka mulut. Wajahnya masih tampak sedikit pucat, dan gerak-geriknya tampak kaku, seolah takut sesuatu akan terbongkar."Nggak ada, Vika. Nggak ada apa-apa. Ibu cuma kaget… ternyata isinya masih utuh, itu aja."Beliau memaksakan senyum, namun tatapan matanya masih menyimpan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan."Tapi wajah Ibu pucat. Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu di dalam kotak itu yang bikin Ibu kaget?" Yuvika mengernyit, matanya memperhatikan setiap ekspresi di wajah ibunya, mencari jawaban dari sesuatu yang terasa mengganjal."Beneran, nggak ada apa-apa, Yuvika. Ini cuma… kotak kenangan lama. Mungkin Ibu terlalu tenggelam dalam nostalgia aja." Dengan gela
Yuvika terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Mungkin benar, Elsaki akan keberatan jika ibunya tinggal bersama. Namun, bukan hal yang sulit untuk meyakinkan Elsaki bahwa ibunya kini membutuhkan dukungan. Terlebih ia yakin bahwa Elsaki, meski dikenal keras dan kadang kaku dalam prinsipnya, masih punya sisi lembut yang bisa dipengaruhi dengan pendekatan yang tepat."Ibu tenang aja, itu urusan aku," kata Yuvika akhirnya. Bu Isni menatap Yuvika dengan rasa haru. Anak yang pernah beliau sakiti dengan berbagai ucapan dan perlakuan kini menawarkan rumah dan kasih sayang tanpa syarat, bahkan rela mengambil risiko demi memperbaiki hubungan mereka. Dalam hati,beliau merasa sangat beruntung meskipun rasa bersalah terus menghantui dirinya."Terima kasih untuk semuanya."Yuvika mengangguk senang, tak pernah ia sangka bahwa buah dari kesabaran dan ketulusan yang ia punya akan berbuah manis, bahkan lebih manis dari yang ia bayangkan. "Oh, ya, Yuvika. Bagaimana dengan pernikahanmu? Ibu n
Sore yang cerah telah bergulir pelan menjadi malam yang hening. Di ruang rumah sakit itu, Yuvika dan ibunya duduk berhadapan, masih berbicara satu sama lain dengan kehangatan yang baru pertama kali mereka rasakan. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama, namun ini adalah kali pertama mereka benar-benar berbicara sebagaimana seharusnya—sebagai ibu dan anak. Momen ini adalah impian yang Yuvika simpan dalam hatinya sejak kecil. Kini, kenyataan itu terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia perjuangkan.Selama ini, ia telah melewati banyak luka dan pengorbanan, berharap bisa mendapatkan secercah perhatian dari ibunya. Bahkan, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka bakar di kulitnya tak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan kecil yang kini menghangatkan hatinya. Seandainya saja neneknya masih ada di sisinya saat ini, Yuvika yakin beliau pasti ikut merasakan kebahagiaan ini. Ia bisa membayangkan senyum lembut sang nenek yang selama ini menjadi penghibur di tengah sega
Bu Isni terdiam sejenak di ambang pintu, mencoba mencerna apa yang baru saja beliau lihat. Tisya berlalu dengan wajah muram, penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. Di baliknya, Yuvika duduk dengan ketenangan yang luar biasa, sementara Elsaki tampak gelisah, seolah dihimpit beban yang tak terlihat. Bu Isni tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa perempuan tadi?""Tisya, Bu. Teman lama Elsaki," jawab Yuvika dengan suara tenang. Lebih tepatnya ia berusaha tenang. Bu Isni mengernyit, tatapan matanya tajam menelusuri wajah Yuvika, mencoba menangkap kebohongan di balik kata-katanya. "Hanya teman lama? Terus kenapa dia kelihatan marah? Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu ceritakan."Yuvika menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, menutupi kebenaran di depan seseorang bukan hal yang mudah. Namun, ia juga tak ingin membeberkan semuanya saat ini. Dengan hati-hati, Yuvika menjawab, "Mungkin Tisya hanya kaget, Bu. Sudah lama nggak ketemu Elsaki, lalu tiba-tiba
Elsaki terkejut, menyadari siapa yang kini berdiri di ambang pintu. Tisya, dengan tatapan tajam dan wajah dingin, menatapnya tanpa ekspresi, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang mungkin bisa ia ucapkan. Ekspresi tenangnya justru membuat suasana terasa semakin mencekam. Sesaat, Elsaki hanya bisa terdiam, bahkan tubuhnya seolah membeku di samping Yuvika yang dengan tenang menatap keduanya bergantian. Bagaimana ia tak marah? Elsaki mengatakan akan bekerja, dan saat ia mengikuti ke mana perginya Elsaki, ia justru mendapati dirinya bersama dengan Yuvika. "Oh, jadi ini yang kamu maksud bekerja? Kamu rela bohong sama aku demi dia? Perempuan yang katamu tameng untuk hubungan kita, tapi ternyata kalian justru menjalin pertemanan?" suara Tisya akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar begitu tajam, menggambarkan perasaan yang tertahan. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan dalam sekejap ruangan itu terasa menyempit oleh kehadirannya. Elsaki menelan ludah,
Setelah pertemuannya dengan Tisya, Elsaki seharusnya ke rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, tanpa ia sadari, mobilnya malah melaju ke arah lain—ke rumah sakit tempat Yuvika dirawat. Pikirannya kalut, dipenuhi dengan kebingungan yang tak kunjung reda setelah percakapannya dengan Tisya. Ia seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat dari niatnya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Sampai di depan rumah sakit, Elsaki berhenti sejenak, menatap bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. 'Kenapa aku ke sini?' tanyanya dalam hati, meski ia tahu jawabannya. Ada sesuatu yang tak ia bisa jelaskan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terus membawanya ke sini. Yuvika, kini sangat terlihat bahwa ia memiliki tempat di hatinya. Entah sebagai teman seperti yang mereka sepakati atau lebih. Elsaki keluar dari mobil dengan langkah ragu. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan ia tengah berjalan menuju perbatasan yang tidak ingin
Tisya berhenti, napasnya memburu, wajahnya menyiratkan amarah yang nyaris meledak. Tatapan matanya tajam menusuk Elsaki, seakan menantang untuk memberikan jawaban. Namun Elsaki tetap diam, memegang pergelangan tangan Tisya dengan lembut tapi kuat. Ia tahu, Tisya bukan seseorang yang mudah ditenangkan ketika emosinya sudah memuncak."Kenapa, Saki?" desis Tisya, matanya menyala marah. "Apa kamu takut aku menemui Yuvika? Atau... kamu takut dia mengatakan sesuatu yang akan merubah segalanya?"Elsaki menelan ludah. Ia tidak bisa mengelak bahwa ada kebenaran dalam pertanyaan Tisya. Namun bukan amarah atau balas dendam yang ia khawatirkan. Ia lebih takut pertemuan itu akan membuka kenyataan yang lebih besar—kenyataan yang selama ini ia coba tutupi, baik dari Tisya maupun dirinya sendiri."Tisya... ini bukan soal Yuvika," Elsaki berusaha menjaga ketenangannya, meski dadanya bergejolak. "Ini tentang kita. Tentang apa yang kita punya sekarang. Kalau kamu pergi, kalau kamu melakukan sesuatu dala
Elsaki tiba di cafe yang telah menjadi tempat langganan mereka. Suasana di dalam terasa tenang, dengan alunan musik lembut yang mengisi ruangan. Tisya sudah menunggunya di meja dekat jendela, mengenakan dress merah terang yang menarik perhatian, kontras dengan suasana kalem di sekitar mereka. Senyumnya lebar begitu melihat Elsaki masuk, seolah tak sabar menyambutnya."Akhirnya kamu datang juga!" Tisya menyapa dengan antusias, berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan memberikan pelukan singkat. Elsaki menyambut pelukan Tisya dengan hangat, mencoba menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa inilah yang benar. Tangannya melingkar di punggung Tisya, menariknya lebih dekat seolah mencari perlindungan dari perasaan-perasaan yang terus merongrong pikirannya. Ia tahu, hatinya tak lagi sepenuhnya utuh untuk Tisya. Namun, ia menolak mengakui perasaan itu—perasaan yang pelan-pelan mulai mengarah ke Yuvika.Untuk kali ini, dan seterusnya, Elsaki bertekad untuk memfokuskan diri pada hu
Elsaki memutuskan untuk keluar dari ruangan rumah sakit setelah suasana menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Langkah-langkah kakinya terdengar bergema di lorong panjang itu. Kepalanya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi—tentang pengorbanan Yuvika, pengkhianatan Bu Isni, dan rasa bersalah yang tanpa henti menghantuinya.Tanpa sadar, kakinya membawanya menuju taman rumah sakit, sebuah tempat yang biasanya ia kunjungi saat pikirannya penuh dengan kegelisahan. Di sana, ia duduk di bangku panjang, memandang ke langit yang terik. Gemericik air dari pancuran kecil di tengah taman terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan kekacauan di hatinya.Lamunan Elsaki buyar seketika saat getaran dari ponsel di saku kemejanya terasa. Ia segera merogoh saku dengan enggan, dan di layar yang menyala, nama "Sayangku" terpampang jelas dengan emoticon hati merah di ujungnya. Seolah simbol itu menguatkan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu rumit.Elsaki menatap layar itu untu