"Tidak perlu khawatir, itu sudah aku atur. Aku mungkin tidak tahu keberadaan ayahmu, tetapi ada cara lain untuk mencapai tujuanku. Yuvika, kau harus tahu bahwa jika kau menikah denganku, kau akan hidup dalam kemewahan. Kau bisa membeli apa pun yang kau inginkan tanpa harus bekerja keras atau menderita oleh tangan ibumu. Seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih padaku, karena aku sudah menyelamatkanmu dari neraka yang ibumu buat sendiri."
Elsaki meninggalkan Yuvika sendirian di apartemennya, tanpa mempedulikan kebingungan yang melingkupinya. Dari mana Elsaki tahu bahwa ibunya adalah "neraka" baginya? Tidak, bukan Yuvika yang merasa demikian, tetapi siapa pun yang melihat bagaimana hidupnya dengan ibunya pasti akan setuju bahwa Bu Isni bukanlah ibu yang baik. Namun, argumen ini tak berlaku untuk Yuvika sendiri. Meskipun ia mempunyai ibu yang jahatnya melebihi ibu tiri, ia tak pernah menganggap bahwa ibunya adalah "neraka" atau sumber penderitaan. Ia tetap menganggap bahwa ibunya adalah surga baginya. Surga yang harus dimuliakan. Entah tebuat dari apa hati Yuvika, ia tak punya rasa benci sedikit pun pada ibunya. Ia paham dan berusaha untuk mengerti, bahwa hadirnya dahulu merusak tatanan hidup ibunya. Ia tak benci ibunya ataupun hidupnya sendiri, karena ia tahu bahwa semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan. "Nggak mungkin bisa kabur lagi, kabur dari rumah aja bisa ditangkap, apalagi kabur dari sini," gumamnya pasrah. Keputusan pasrah yang dipilih Yuvika akhirnya membawa ia di titik ini. Titik di mana ia berhadapan dengan dirinya sendiri di cermin. Ia sudah disulap menjadi pengantin. Dengan riasan sederhana, namun mewah, wajahnya cantik alami yang ia miliki semakin nampak paripurna. Yuvika menghela napas, ia menyesalkan wajahnya cantiknya ini dilihat oleh orang yang bahkan hanya ia ketahui namanya. "Vika, ayo turun. Semua sudah siap," kata Bu Isni. Wanita itu tanpa sadar terkesima dengan kecantikan sang anak. Hanya saja, itu berlangsung beberapa detik. Wajahnya kembali menampakkan wajah dingin seperti biasanya. "Bu, apa dengan pernikahan ini bisa buat Ibu bahagia?" "Tentu. Saya terbebas dari kamu, saya bisa menikmati hidup tanpa harus melihat kamu setiap waktu. Dan lagi, saya bisa menikmati uang suamimu. Jadi berperanlah sebagai istri sebaik-baiknya. Anggap saja sebagai penebus dan kompensasi dari semua derita yang saya lalui karena kamu." Tajam, itulah gambaran kalimat yang seringkali terlontar dari bibir Bu Isni untuk Yuvika. Terlahir dari hasil pemerkosaan membuat Yuvika harus menanggung beban kehidupan yang pahit bahkan sejak ia belum lahir. Air mata Yuvika luruh, sapaan tajam dari ibunya yang setiap detik ia dengar nyatanya tak membuat ia kuat dengan sapaan itu. Ini terlalu sakit untuk didengar dari mulut seorang ibu. "Baiklah, aku akan menjalani ini dengan sebaik-baiknya. Aku akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan Ibu." "Bagus, hapus air matamu! Kita turun sekarang." Ini adalah pertama kalinya dalam hidup Yuvika, berjalan beriringan dengan ibunya, tangannya diapit dengan lembut, senyum yang merekah, dan wajah kejam yang sekarang menjadi ramah itu sesekali menatapnya. Momen yang sangat ia inginkan dari lama. Meskipun ia harus mengorbankan hidupnya, ia rela jika itu adalah kebahagiaan untuk wanita yang ia anggap surga. "Tersenyumlah, jangan tunjukkan wajah yang tidak enak dilihat. Ini pernikahan, bukan acara duka," bisik Bu Isni di telinga Yuvika ketika mereka sampai di kursi untuk melakukan ijab qabul. Yuvika seketika melengkung bibirnya. Ia tiba-tiba saja gugup saat menyadari bahwa ia sudah sampai di depan pak penghulu. Ditambah lagi Elsaki kini sedang menatapnya dengan intens. "Bagaimana, apa mempelai wanita sudah siap?" "Kita langsung mula saja, Pak. Kebetulan calon istri saya sedikit pemalu, dan sepertinya dia sedang gugup," sahut Elsaki yang menyadari kegugupan Yuvika. Memang sangat nampak dari diamnya dan beberapa bulir keringat yang muncul di kening. "Maaf, Pak. Boleh saya ke kamar mandi dulu?" "Mau apa?" Elsaki yang bertanya. Ia takut jika wanita itu macam-macam dan membuat malu dirinya di hadapan para rekan kerja beserta keluarganya. "Pipis. Aku kebelet, ini udah di ujung aku nggak bisa nahan," jawab Yuvika dengan bisikan. "Tidak bisa, kita harus ijab dulu." "Nggak sampai lima menit. Kau mau aku buang air di sini?" "Diamlah! Kau buang-buang waktu, tunggu di sini lima menit, setelah itu baru kau boleh ke kamar mandi." "Bisa kita mulai?" sela penghulu di tengah perdebatan dan juga perang tatapan di antara keduanya. "Bisa, Pak," jawab Elsaki dengan cepat dan mantap. Di antara para tamu undangan yang datang, tidak ada yang menyadari bahwa ada satu wanita yang kini sedang menatap dua mempelai dengan tatapan yang tidak bersahabat, kesal, cemburu, dan rasa-rasa ketidaksukaan yang lain. Ya, ia adalah Tisya. Wanita yang sedang dibalut gaun berwarna hitam itu tengah mengepalkan tangan seolah ia tak terima dengan situasi ini. Benar-benar definisi tak tahu diri, bukan? Ia sudah menikah dan ia mencemburui seorang pria. SAH! Tidak seperti pasangan pengantin pada umumnya, Yuvika sendiri tidak menikmati dan tidak hikmat dengan ijab qabul yang baru diucapkan oleh sosok pria yang sekarang sudah menjadi suaminya. Entahlah, ia merasa semua ini kosong saja. Meskipun ia sadar berada di momen yang sakral, hanya kehambaran yang ia rasakan. Kini tiba saatnya sepasang suami istri itu melakukan hal yang dilakukan pada umumnya di pernikahan. Sedikit bergetar adalah respon dari tangan Yuvika saat berusaha untuk membawa tangan Elsaki pada bibirnya. Kecupan singkat itu nyatanya mampu membuat darah Elsaki seketika berdesir. Kini giliran Elsaki yang mengecup kening Yuvika. Dengan ragu dan sedikit memberikan dorongan di kepala Yuvika, akhirnya bibir tebal Elsaki sampai di kening Yuvika. Di saat semua tamu undangan menyaksikan keduanya dengan bahagia, tiba-tiba saja Tisya berdiri dan meninggalkan tempat. Ia berjalan dengan cepat menahan rasa kesal menuju ke kamar mandi. "Tolong tunjukkan di mana kamar mandi yang paling dekat. Aku udah nggak tahan," keluh Yuvika yang membuyarkan fokus Elsaki pada kepergian Tisya. "Hm, aku antar." Yuvika langsung masuk ke dalam toilet begitu sampai di sana. Sementara Elsaki belum mau kembali ke acara pernikahan. Ia celingukan seolah sedang mencari seseorang, dan tidak lama kemudian keluarlah Tisya dari salah satu kamar mandi yang berderet di hotel itu. "Kamu baik-baik aja?" tanya Elsaki menghadang jalan Tisya. "Kamu pikir aja sendiri!" "Hey, Sayang. Harus berapa kali aku jelasin? Dengan siapa pun aku, hati aku buat kamu. Nggak ada yang bisa geser nama kamu di hati aku. Aku cinta kamu dari jaman kita kuliah, dan kamu masih meragukan itu sekarang? Aku begini demi kamu, Sayang. Biar kita bisa kayak gini terus. Kamu mau Veer bawa kamu ke luar negeri kalau dia tahu hubungan kita? Untuk sementara biar begini dulu, yang penting kita bisa bareng-bareng." Elsaki dengan lembut membelai pipi Tisya. "Apa yang kalian lakukan?"Elsaki dan Tisya menoleh ke arah yang sama. Mereka mendapati Yuvika yang sedang berdiri tak jauh dari posisi mereka. "Kamu ke depan dulu, ya. Dia biar aku yang urus. Kamu ingat pesan aku, oke. Jangan melakukan apa pun ke dia, dia urusanku.""Kalau begitu ingat juga pesanku, jangan sentuh dia atau kita bubar!" ancam Tisya lalu pergi meninggalkan kekasihnya gelapnya. Langkahnya sempat terhenti saat melewati Yuvika. Tatapan dingin dan permusuhan sangat kentara dari sorot Tisya. Meskipun tatapan yang diberikan tak lama, hal itu cukup membuat Yuvika menciut. "Kau ingin tahu siapa dia?" tanya Elsaki seraya berjalan mendekat. "Tidak." Untuk saat ini, Yuvika tak peduli wanita itu siapa. Entahlah, rasanya tidak penting juga ia mengetahui semua yang berhubungan dengan Elsaki. Ia hanya ingin segera menyelesaikan acara pernikahan ini dan istirahat. Rasanya ia sangat lelah, banyak pikiran akhir-akhir ini ternyata berdampak juga di tubuhnya. Kini sepasang pengantin baru itu sudah kembali ke p
Bagaikan dihujani hujatan tanpa henti, hati Yuvika benar-benar hancur mendengar penjelasan panjang lebar dari Elsaki. Ia mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja diungkapkan oleh suaminya sendiri. Di balik sikap tenang yang ia tampilkan, tersimpan luka yang dalam dan perasaan terhina. Bagaimana bisa ada manusia yang berdedikasi tinggi bicara seperti ini? Namun, di dalam hatinya muncul tekad yang kuat untuk tidak menyerah dengan keadaan. Hidupnya sudah dipenuhi derita, ia yakin sanggup melewati semuanya. Ia menatap Elsaki dengan tatapan yang penuh keteguhan, menyembunyikan semua keraguan dan kepedihan yang sebenarnya ia rasakan. Baginya, pernikahan adalah sebuah janji suci dengan Tuhan yang tidak bisa dibuat lelucon seperti yang Elsaki katakan. Yuvika berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan Elsaki miliknya seutuhnya, apa pun yang terjadi. Bukan karena cinta, tapi lebih kepada menepati janji pada Tuhan-nya. "Aku tidak semurah itu, Elsaki.""Benar, kau memang mahal. Aku
Tisya berjalan menuju meja makan. Ia mendekati Elsaki dan seperti biasa, ia melakukan adegan mesra dengan memberikan kecupan di beberapa wajah begitu juga sebaliknya. Mereka melakukan itu tanpa sungkan seolah tak ada siapa-siapa. Di saat itulah Yuvika sadar bahwa wanita yang dimaksud oleh suaminya sejak kemarin adalah Tisya. Dan sekarang, ia tahu duduk permasalahan yang dialami oleh Elsaki. Benar-benar di luar nalar, ia menjalin hubungan dengan istri orang? "Belajarlah untuk tahu diri, kau sudah meminta mahar lima milyar, dan sekarang kau meminta restoran? Jika kau ingin menghabiskan waktu, cari kegiatan yang tidak merugikan orang," ucap Tisya yang terdengar merendahkan. "Apakah jika aku minta restoran, kau akan rugi? Aku minta pada suamiku, bukan padamu!" jawab Yuvika santai sembari menikmati masakannya. "Suami di atas kertas. Bukan suami yang mencintaimu sebagai istri. Dia hanya mencintaiku." Elsaki hanya menghela napas panjang. Ia memijit pelipisnya pelan. Ini masih terla
Bibi yang akrab disapa Bi Sum itu seketika menganggukkan kepala. Sangat terlihat bahwa wanita itu tak ingin bercerita banyak tentang Tisya. Hal itu terbukti dari pergerakannya yang tiba-tiba saja merogoh saku celana dan menyerahkan sebuah kartu ATM. "Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini ke saya, katanya buat Non Yuvika. Tadi juga Tuan berpesan kalau Non mau ke mana-mana suruh antar supir aja." Yuvika menerima benda itu. Awalnya ia acuh dan merasa tak butuh. Namun, sejurus kemudian ia tahu harus dipergunakan untuk apa nafkah dari suaminya ini. Ia pamit dan berlalu dari taman mini itu. Ia melangkah masuk rumah, tak lama kemudian ia kembali ke luar dengan tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu. Alih-alih memikirkan nasibnya, lagi-lagi Yuvika bertingkah sebaliknya. Ia memilih untuk menikmati fasilitas dari suaminya. Hidup hanya sekali, selagi ia bisa menikmati, maka ia akan melakukannya. "Untuk menarik perhatian Elsaki, aku harus cantik, pakaian yang bagus menarik, dan ta
Yuvika menatap diam Elsaki seakan mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di tengah pintu. "Apa?" tanya Yuvika bingung. "Tidak apa-apa. Hanya tidak menyangka kau sangat berbeda dari yang aku kira." "Kenapa? Kau mulai berubah pikiran?" "Jangan terlalu percaya diri." Elsaki menyingkirkan tubuhnya dari hadapan Yuvika. Ia melihat wanita itu berjalan masuk dengan diikuti langkah sang supir yang juga membawakan belanjaannya. Sungguh ada penyesalan dalam dirinya. Kenapa ia harus mengatakan bahwa wanita itu bebas melakukan apa pun? Sekarang lihatlah apa yang ia lakukan?! Membelanjakan uangnya untuk barang sebanyak itu? Bahkan dirinya saja tak pernah membeli barang dalam jumlah banyak, Tisya pun tak pernah segila itu dalam hal belanja. Lelah menghabiskan waktu hampir seharian dengan kekasihnya membuat Elsaki beristirahat dengan merebahkan dirinya di depan televisi. Ia biasa dengan tontonan yang lucu dan mengundang tawa, semacam tontonan komedi. "Mau makan apa? Akan aku m
Sebelum Yuvika bisa menanggapi lebih lanjut, suara dingin terdengar dari belakangnya. "Iya, kenapa?" Yuvika terkejut. Ia menoleh, mendapati Elsaki berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan tidak menyenangkan. "Kau ada masalah dengan peraturanku?" "Bukan masalah, hanya saja... kenapa kau memberi peraturan yang bahkan tidak melibatkan mereka untuk menikmati makanan yang sama denganmu?" "Karena aku suka aturan itu. Dan di rumah ini, apa yang aku suka adalah peraturan. Jangan coba-coba mengubahnya." Yuvika menatap Elsaki balik, tidak mundur sedikit pun. "Aku hanya berpikir, hidup akan lebih baik jika semua orang bisa menikmati hal yang sama." "Dan aku tidak peduli dengan pikiranmu," jawab Elsaki tegas. "Jangan terlalu ikut campur." Elsaki melangkah lebih dekat, menciptakan jarak yang semakin sempit antara dirinya dan Yuvika. Tatapannya tajam dan dingin, sedingin es. "Kau berpikir bisa mengubah segalanya di sini? Ini bukan rumahmu. Ini rumahku, dan aturan yang berlaku adalah atura
Yuvika tampak tak peduli dengan konsekuensi yang diancamkan suaminya, meskipun dalam hati ia merasakan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit di dapur, dan meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang, sebenarnya ia terus-menerus terjaga oleh kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yuvika memilih untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya, percaya bahwa menunjukkan ketidakpastian hanya akan memberikan kepuasan kepada Elsaki. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata suaminya yang sudah jelas-jelas tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Untuk mengatasi kegelisahan yang mengganggu pikirannya, Yuvika mencari pelarian dengan cara yang mungkin terdengar klise, yakni berbelanja. Pergi ke pusat perbelanjaan menjadi ritual barunya. Kegiatan ini, yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan secara berlebihan, kini menjadi cara untuk memanjakan diri dan mengalihkan perhatian dari masalah yang membebani pikirannya. Yuvika menghabiskan uang El
Surat itu bukan sekadar lembaran biasa, melainkan tuntutan resmi yang diajukan Yuvika mengenai nafkah yang harus diberikan Elsaki selama pernikahan mereka berjalan. Namun yang membuat Elsaki benar-benar terkejut adalah jumlahnya fantastis, nyaris tidak masuk akal. Ia seolah tidak pernah menyangka bahwa Yuvika bisa sedemikian terencana, apalagi dengan langkah setegas ini. "Seratus juta setiap bulan? Aku tidak menyangka kau mata duitan," kata Elsaki seraya menunjukkan senyum menghina. Yuvika tetap diam, pandangannya tak goyah meskipun suaminya terus berusaha merendahkannya dengan tatapan tajam. Ia sudah memperkirakan ini, sudah tahu betul seperti apa reaksi Elsaki. "Jadi ini semua hanya soal uang untukmu? Kau pikir dengan uang sebanyak itu kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan?" Elsaki berjalan mendekat, matanya menyipit penuh kebencian. "Kau benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan situasi." "Ini bukan hanya soal uang. Aku hanya mengembalikan apa yang sudah aku terima