Roura menatap Sion dengan kesal, seperti baru saja mendengar lelucon paling tidak lucu di dunia.
"Tunggu, jadi sekarang aku terjebak dengan hantu CEO yang punya ego sebesar menara Eiffel? Dan logika seperti anak usia lima tahun? Fantastis. Hidupku benar-benar luar biasa."
Sion mengangkat bahu dengan ekspresi tak berdosa. Ia menertawakan kekesalan Roura dan baru saja mengeluhkan hidupnya.
"Yah, kau sangat beruntung sebenarnya. Jarang sekali aku datang untuk meminta bantuan pada orang lain."
Sungguh sikap Sion terlalu menyebalkan bagi Roura, gadis ini mendengus kesal. Menggelengkan kepala tak percaya dengan nasib aneh yang menimpa dirinya.
"Maaf, tuan Sion yang terhormat. Tapi aku terlalu sibuk dengan kemiskinanku untuk peduli. Jadi pergilah!"
Sion mendekat, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Roura.
Tapi kali ini Roura tidak takut lagi, dia menatap Sion dengan berani, membuat Sion tertawa kecil.
"Keluar dari sini! Atau aku akan ...."
"—Berteriak? Dan mengundang tetangga? Membuat mereka berpikir kalau kau sudah benar-benar kehilangan akal?"
Sion menyela ucapan Roura dengan nada meledek, lalu berjalan ke sofa dan duduk di sana dengan santai, seolah kamar itu sudah jadi miliknya.
Roura menatapnya dengan ekspresi yang marah, campuran antara frustrasi dan lelah. Tidak ada yang bisa ia lakukan dengan ancaman Sion.
"Kenapa orang-orang aneh dan menyebalkan selalu hadir dalam hidupku? Apa salahku, Tuhan?" ucap Roura mengeluh.
Sion tertawa melihat Roura yang nampak menyerah, ia mengangkat kaki ke meja kecil di depan sofa, menikmati pemandangan itu. Seolah sedang menonton drama sedih yang diperankan oleh aktris papan atas.
Roura terlihat menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan tangan.
"Oh Tuhan, kalau ini ujian, aku sudah menyerah. Silakan kirim petir sekarang juga."
"Kalau Tuhan mendengar permintaanmu dan benar-benar mengirim petir, apa kau tidak mau kalau aku ada di sini sebagai saksi?" Sion tertawa lagi.
Roura semakin kesal dengan semua ledekan Sion, ia mengambil bantal dari tempat tidurnya, dan melemparkannya pada pria itu.
"Pergi!"
Bantal pertama yang dilempar Roura meluncur tepat ke arah dada Sion—dan langsung menembus tubuhnya, jatuh dengan lemas ke lantai di belakangnya.
Sion semakin tertawa, melipat tangan dengan sombong. "Apa kau serius mencoba menyerang hantu dengan bantal?"
Roura mengambil bantal kedua, melemparkannya lagi ke arah Sion, tapi kali ini lebih keras.
"Diam kau! Cepat pergi dari sini!"
Sekali lagi bantal itu menembus tubuh Sion seperti ia hanyalah kabut yang tidak bisa disentuh. Sion malah berjalan santai ke arah pintu, masih tertawa kecil.
"Kau benar-benar lucu, Roura. Aku rasa kita bisa bersenang-senang lebih jauh," kata Sion.
Roura semakin emosi dengan tawa meledek itu, gadis ini meraih kotak pensil dari meja belajarnya. Lalu melempar kotak itu dengan niat penuh, agar bisa menghantam wajah Sion.
Namun, Sion menghilang tepat pada saat terakhir, dan kotak pensil itu terbang melintasi ruangan, hingga menghantam dahi ibunya yang baru saja muncul di ambang pintu.
"AAAAHHH!!"
Jeritan ibu tirinya menggelegar, diikuti oleh tatapan kematian yang langsung ia lemparkan ke arah Roura.
"ROURA! APA KAU SUDAH GILA?!"
Ibunya membentak, sambil memegangi dahinya yang memerah. Membuat Roura terkejut dan ketakutan, gadis ini mundur selangkah.
"Itu—itu bukan salahku! Tadi ada hantu di sini, dan aku coba mengusirnya, aku bersumpah!"
"Jangan mulai dengan omong kosong itu! Hantu apa? Kau hanya mencari alasan untuk bersikap kasar padaku kan?!" tuduh Bu Martha.
Ibunya tirinya ini mendekat dengan wajah merah padam. Nampak kemarahan membara di sana.
Ayah Roura muncul di belakang ibunya, tampak bingung dengan keributan itu.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Pak Mike dengan marah.
Roura menunjuk ke arah tempat Sion berdiri sebelumnya, yang tentu saja sekarang kosong.
"Ada hantu di kamarku, ayah! Dia berdiri di sana barusan! Aku bersumpah, Ayah, aku tidak mengada-ada!"
Ayahnya menghela napas panjang, memijat pelipisnya, dan merasa kecewa dengan sikap anak gadisnya.
"Roura, cukup. Tidak ada yang ingin mendengar cerita khayalanmu. Minta maaf pada ibumu. Sekarang!" pinta Pak Mike.
"Ayah, aku serius! Dan aku tidak sengaja melemparkan itu pada bu Martha. Aku tadinya mau melempar hantu itu."
Ayah Roura tentu saja tidak percaya. "Kau tidur di luar malam ini."
"Apa?!"
Roura jelas terkejut dengan keputusan ayahnya, apalagi udara di luar sangat dingin. Tidak mungkin dia bisa tidur dengan nyenyak.
"Tapi ayah, apa salahku?" Roura merengek.
"Kau melemparku dengan kotak pensil, dan membuat dahiku memar, itu sangat kurang ajar. Aku rasa hukuman itu terlalu ringan untuk sikapmu yang tidak pernah bisa dewasa," omel bu Martha.
Debat panjang pun terjadi, penuh dengan adu argumen yang akhirnya dimenangkan oleh otoritas orang tua.
Akhirnya, dengan bibir terbungkam dan darah yang mendidih, Roura menyeret selimutnya ke luar apartemen, Ia merebahkan diri di kursi panjang depan pintu masuk, dengan dengusan frustrasi ia menerima hukuman dari ayahnya.
"Fantastis! Hidupku resmi menjadi sitcom terburuk di dunia."
"Setidaknya aku menjadikan hidupmu jauh lebih menarik, bukan?" Suara akrab itu terdengar lagi, tapi sosoknya belum terlihat.
Roura menoleh ke kanan, dan mendapati Sion duduk di sebelahnya. Bersandar dengan santai, seperti tamu VIP yang diundang.
"Kau lagi?!"
Roura berbisik keras, takut orang tuanya mendengar. Sementara Sion mengangkat bahu sambil tersenyum meledek.
"Cukup Pak hantu! Aku tidak butuh kamu untuk menghiburku." kata Roura.
"Tapi aku membutuhkanmu, jadi aku akan tetap di sini. Oh, ya ampun ... Kau sangat lucu kalau marah."
Sion semakin meledek, membuat Roura semakin serba salah. Roura hanya menenggelamkan wajahnya ke bantal lalu menutup dirinya dengan selimut, berharap agar Sion segera pergi dari sana. Roura berkata dengan kesal.
"Oh, Tuhan. Ambil saja nyawaku sekarang."
*
*
*
Keesokan harinya, Di kelas.
Papan tulis di depan kelas dipenuhi diagram dan penjelasan matematis yang rapi, disertai suara monoton sang profesor yang sibuk menjelaskan materi kepada mahasiswa.
Roura berusaha keras untuk fokus, mencatat dengan penuh konsentrasi.
Namun tiba-tiba, ia menangkap sosok yang tidak seharusnya ada di samping profesor.
Sion berdiri dengan santai, melambai-lambai ke arahnya seperti seorang anak kecil yang mencari perhatian.
Roura memelototinya, berusaha mengabaikan. Namun semakin Roura mencoba fokus, semakin Sion melakukan gerakan yang mengganggu, bahkan mulai berpura-pura menulis di papan tulis 'Tolong aku, ku mohon!'
Akhirnya, rasa kesal memuncak. Roura meletakkan pena, berdiri, dan berteriak. "Minggir dari sana, dasar hantu bodoh!"
Kelas mendadak hening. Seluruh mata tertuju pada Roura, termasuk sang profesor, yang kini menatapnya dengan alis terangkat.
“Hantu bodoh?” sang profesor mengutip ucapan Roura, dengan penuh alis berkerut.
Roura tersentak, menyadari kesalahan fatalnya.
“Itu bukan untuk Anda, Prof! Tapi ....”
Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, sang profesor bicara. "Cukup, Roura. Keluar dari kelas saya sekarang."
Roura kembali terkejut, tidak ada alasan masuk akal untuk membela diri. Tatapan dingin profesor sudah cukup jelas. tidak ada kesempatan untuk diskusi. Dengan enggan, ia mengemasi bukunya dan berjalan keluar diiringi bisik-bisik dari teman sekelasnya.
“Oh, dan satu hal lagi. Nilaimu untuk semester ini adalah C. Anggap itu konsekuensi atas sikap tidak sopanmu pada seorang pengajar,” ucap profesor itu.
Roura berhenti di ambang pintu, menatap profesor dengan frustrasi. "Tapi Prof, saya bisa jelaskan—"
"Tidak perlu. Silakan pergi." tegas sang professor.
Roura akhirnya menyerah, ia mendesah kesal sepanjang perjalanan, gadis ini menendang kerikil kecil di jalan. Ia berjalan ke taman universitas, mencari tempat untuk melampiaskan rasa kesalnya. Roura duduk di bangku kayu, pandangannya tertuju ke depan.
Dari sudut matanya, ia melihat gerakan. Membuat Roura menoleh ke kiri, ia mendapati Sion duduk santai di bangku yang sama, tersenyum dengan wajah menyebalkan.
“Apa kau puas, Tuan Sion?" ucap Roura kesal.
Sion menghela nafasnya dengan berat. “Aku tidak akan mengganggumu, kalau kau mau membantuku.”
Roura memijit pelipisnya, berusaha sabar dengan gangguan aneh yang menimpa hidupnya.
Roura menatap Sion kali ini. “Baiklah, jika aku membantu, kau harus berjanji tidak akan menggangguku lagi. Mengerti? Tidak akan lagi muncul di kelasku, di apartemenku, atau di mana pun aku berada. Kau berjanji?”
Sion tersenyum kecil, mengulurkan tangan seolah ingin berjabat tangan. “Deal!”
"Berjanjilah!" pinta Roura.
Sion tersenyum lagi. "Baiklah-baiklah! Aku berjanji."
Roura menghela nafas lelah. "Baiklah, kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" "Temukan tubuhku, dan pastikan aku sudah mati atau belum," jawab Sion, kali ini ia bicara serius tanpa sebuah senyuman.Roura agak bingung dengan permintaan itu. "Bagaimana aku tau soal tubuhmu, tuan Sion?"Sion berdiri dari sana, menatap jauh ke depan, seolah akan mengatakan sebuah strategi yang sangat penting."Kamu harus melakukan penyelidikan, cari tau dimana tubuhku berada. Dan ingat, Kau harus mulai melakukan penyelidikan ini secepatnya,” perintah Sion.Roura tertawa kecil sambil melipat tangan. “Hari ini aku harus bekerja.”Sion mendadak meledak dalam tawa, seperti baru mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya—atau kematiannya. “Lupakan pekerjaan dengan gaji kecil itu, Rou,” kata Sion.Roura menatapnya tajam, lalu menggelangkan kepala. “Yang kau bilang kecil itu, Tuan Kaya Raya. Itu cukup untuk menghidupiku, tahu.”“Oh, ya? Berapa gajimu di sana, kalau boleh tahu? Satu digit? Dua digit? Atau sek
"Aaah!" seorang pria berteriak, saat sebuah mobil truk melaju kencang ke arahnya. Ia yakin kalau mobil itu pasti akan menabrak tubuhnya.Brak!Benar saja truk itu menabrak tubuhnya, seharusnya tubuhnya terlempar dan hancur.Tapi... Ada yang aneh, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Mobil truk itu tetap melesat menjauh. Tidak ada darah sedikitpun, tidak ada orang yang berteriak. Semua terlihat baik-baik saja."Apa yang terjadi padaku? Kenapa dengan diriku?" pria itu menatap tangannya sendiri, merasa semakin bingung dengan apa yang terjadi padanya.Sion Alexander Robin, seorang pria dengan reputasi yang tak tertandingi, adalah CEO utama dari Robin Group, sebuah perusahaan raksasa yang berada di kota Mayro.Namun dua hari terakhir, dunia di sekitarnya terasa tidak normal lagi. Orang-orang kini berjalan melewatinya seolah dia tidak ada. Setiap kali Sion mencoba berbicara, suara yang keluar dari mulutnya, seperti tidak terdengar. Tangannya yang dulu menggenggam kendali perusahaan bes
Bab. 2 Dua hari laluLangit kota Mayro tiba-tiba merah, asap tebal membumbung tinggi ke langit malam yang gelap, disusul ledakan yang mengguncang tanah. Gedung Robin Group, ikon megah kota sekaligus pusat dari perusahaan raksasa dunia, kini terbakar hebat. Api menjalar liar, melahap setiap jendela kaca dengan bunyi pecahan yang menyakitkan telinga."Tolong! Tolong!"Jeritan dan teriakan menggema di setiap sudut jalan. Orang-orang dalam gedung berlarian tak tentu arah, berusaha mencari perlindungan. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung memecah malam, diikuti deru kendaraan ambulans yang bergegas menuju lokasi.“Kami membutuhkan bantuan tambahan! Gedung ini bisa runtuh kapan saja!” Suara-suara panik terdengar di mana-mana, para petugas damkar dan Polisi bekerja sama menyelamatkan orang-orang yang terjebak.Beberapa helikopter berita nasional melayang rendah, mengirimkan siaran langsung ke seluruh pelosok kota dan negeri. "Kami melaporkan langsung dari lokasi kejadian! Gedung Robi
Pak Will. Dengan gerakan cepat mendorong pintu itu, ia melangkah masuk dengan wajah penuh cemas. Dan memindai ruangan itu, tapi tidak melihat apapun atau siapa pun di sana selain Roura yang berdiri dengan napas memburu.“Mana orangnya?!” tanya Pak Will mendesak.Roura masih terengah-engah, langsung menunjuk ke samping, ke arah tempat Sion berdiri beberapa detik yang lalu. “Dia ada di sana!”Pak Will menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun yang bisa ia lihat.Roura juga segera menoleh ke arah yang sama, ia terkejut mendapati Sion sudah tidak ada di sana. Hanya udara kosong yang menyambut tatapannya.Kini wajah Pak Wiil terlihat marah, ia menghela Nafas mencoba bersabar dengan sikap gadis ini.“Roura? Apa kau sedang mencoba bercanda denganku? Karena ini sama sekali tidak lucu.”“Tapi ... tapi tadi dia ada di sini!” jawab Roura panik, menunjuk ke ruang kosong itu lagi.Pak Will menatapnya dengan tajam, menahan marahnya sekuat tenaga. Lalu pria ini me
Roura segera mengambil kain sembarangan, untuk menutup tubuhnya lebih rapat. Ia melirik ke sekeliling kamar, mencoba mencari alasan masuk akal mengapa Sion bisa masuk ke dalam kamarnya.Sion tertawa terbahak, melihat Roura yang ketakutan sambil menutup seluruh tubuhnya. Seolah Sion adalah penjahat yang akan merenggut kesucinnya."Hey, ayolah ... Aku hanya ingin tidur di sini," jawab Sion tanpa rasa bersalah."Kurang ajar, kau tidak bisa sembarangan tidur di kamar ku! Apalagi kau lihat aku dalam keadaan seperti ini!"Roura marah lagi, sementara Sion hanya mengangkat alis, sambil tertawa lagi. Pria ini berjalan mendekat ke arah Roura, membuat gadis itu agak ketakutan. Apalagi tubuh tegap Sion terlihat sangat kuat, pasti ia bisa menarik kain yang melilit tubuh Roura dengan mudah. "Tolong jangan tatap aku seperti itu, tuan!" pinta Roura."Seperti apa maksudmu, Roura? Aku hanya melihat seorang manusia yang habis mandi dan terlihat marah."Roura berjalan mundur, sementara Sion terus berj
Roura menghela nafas lelah. "Baiklah, kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" "Temukan tubuhku, dan pastikan aku sudah mati atau belum," jawab Sion, kali ini ia bicara serius tanpa sebuah senyuman.Roura agak bingung dengan permintaan itu. "Bagaimana aku tau soal tubuhmu, tuan Sion?"Sion berdiri dari sana, menatap jauh ke depan, seolah akan mengatakan sebuah strategi yang sangat penting."Kamu harus melakukan penyelidikan, cari tau dimana tubuhku berada. Dan ingat, Kau harus mulai melakukan penyelidikan ini secepatnya,” perintah Sion.Roura tertawa kecil sambil melipat tangan. “Hari ini aku harus bekerja.”Sion mendadak meledak dalam tawa, seperti baru mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya—atau kematiannya. “Lupakan pekerjaan dengan gaji kecil itu, Rou,” kata Sion.Roura menatapnya tajam, lalu menggelangkan kepala. “Yang kau bilang kecil itu, Tuan Kaya Raya. Itu cukup untuk menghidupiku, tahu.”“Oh, ya? Berapa gajimu di sana, kalau boleh tahu? Satu digit? Dua digit? Atau sek
Roura menatap Sion dengan kesal, seperti baru saja mendengar lelucon paling tidak lucu di dunia. "Tunggu, jadi sekarang aku terjebak dengan hantu CEO yang punya ego sebesar menara Eiffel? Dan logika seperti anak usia lima tahun? Fantastis. Hidupku benar-benar luar biasa."Sion mengangkat bahu dengan ekspresi tak berdosa. Ia menertawakan kekesalan Roura dan baru saja mengeluhkan hidupnya."Yah, kau sangat beruntung sebenarnya. Jarang sekali aku datang untuk meminta bantuan pada orang lain."Sungguh sikap Sion terlalu menyebalkan bagi Roura, gadis ini mendengus kesal. Menggelengkan kepala tak percaya dengan nasib aneh yang menimpa dirinya."Maaf, tuan Sion yang terhormat. Tapi aku terlalu sibuk dengan kemiskinanku untuk peduli. Jadi pergilah!"Sion mendekat, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Roura. Tapi kali ini Roura tidak takut lagi, dia menatap Sion dengan berani, membuat Sion tertawa kecil."Keluar dari sini! Atau aku akan ....""—Berteriak? Dan mengundang
Roura segera mengambil kain sembarangan, untuk menutup tubuhnya lebih rapat. Ia melirik ke sekeliling kamar, mencoba mencari alasan masuk akal mengapa Sion bisa masuk ke dalam kamarnya.Sion tertawa terbahak, melihat Roura yang ketakutan sambil menutup seluruh tubuhnya. Seolah Sion adalah penjahat yang akan merenggut kesucinnya."Hey, ayolah ... Aku hanya ingin tidur di sini," jawab Sion tanpa rasa bersalah."Kurang ajar, kau tidak bisa sembarangan tidur di kamar ku! Apalagi kau lihat aku dalam keadaan seperti ini!"Roura marah lagi, sementara Sion hanya mengangkat alis, sambil tertawa lagi. Pria ini berjalan mendekat ke arah Roura, membuat gadis itu agak ketakutan. Apalagi tubuh tegap Sion terlihat sangat kuat, pasti ia bisa menarik kain yang melilit tubuh Roura dengan mudah. "Tolong jangan tatap aku seperti itu, tuan!" pinta Roura."Seperti apa maksudmu, Roura? Aku hanya melihat seorang manusia yang habis mandi dan terlihat marah."Roura berjalan mundur, sementara Sion terus berj
Pak Will. Dengan gerakan cepat mendorong pintu itu, ia melangkah masuk dengan wajah penuh cemas. Dan memindai ruangan itu, tapi tidak melihat apapun atau siapa pun di sana selain Roura yang berdiri dengan napas memburu.“Mana orangnya?!” tanya Pak Will mendesak.Roura masih terengah-engah, langsung menunjuk ke samping, ke arah tempat Sion berdiri beberapa detik yang lalu. “Dia ada di sana!”Pak Will menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun yang bisa ia lihat.Roura juga segera menoleh ke arah yang sama, ia terkejut mendapati Sion sudah tidak ada di sana. Hanya udara kosong yang menyambut tatapannya.Kini wajah Pak Wiil terlihat marah, ia menghela Nafas mencoba bersabar dengan sikap gadis ini.“Roura? Apa kau sedang mencoba bercanda denganku? Karena ini sama sekali tidak lucu.”“Tapi ... tapi tadi dia ada di sini!” jawab Roura panik, menunjuk ke ruang kosong itu lagi.Pak Will menatapnya dengan tajam, menahan marahnya sekuat tenaga. Lalu pria ini me
Bab. 2 Dua hari laluLangit kota Mayro tiba-tiba merah, asap tebal membumbung tinggi ke langit malam yang gelap, disusul ledakan yang mengguncang tanah. Gedung Robin Group, ikon megah kota sekaligus pusat dari perusahaan raksasa dunia, kini terbakar hebat. Api menjalar liar, melahap setiap jendela kaca dengan bunyi pecahan yang menyakitkan telinga."Tolong! Tolong!"Jeritan dan teriakan menggema di setiap sudut jalan. Orang-orang dalam gedung berlarian tak tentu arah, berusaha mencari perlindungan. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung memecah malam, diikuti deru kendaraan ambulans yang bergegas menuju lokasi.“Kami membutuhkan bantuan tambahan! Gedung ini bisa runtuh kapan saja!” Suara-suara panik terdengar di mana-mana, para petugas damkar dan Polisi bekerja sama menyelamatkan orang-orang yang terjebak.Beberapa helikopter berita nasional melayang rendah, mengirimkan siaran langsung ke seluruh pelosok kota dan negeri. "Kami melaporkan langsung dari lokasi kejadian! Gedung Robi
"Aaah!" seorang pria berteriak, saat sebuah mobil truk melaju kencang ke arahnya. Ia yakin kalau mobil itu pasti akan menabrak tubuhnya.Brak!Benar saja truk itu menabrak tubuhnya, seharusnya tubuhnya terlempar dan hancur.Tapi... Ada yang aneh, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Mobil truk itu tetap melesat menjauh. Tidak ada darah sedikitpun, tidak ada orang yang berteriak. Semua terlihat baik-baik saja."Apa yang terjadi padaku? Kenapa dengan diriku?" pria itu menatap tangannya sendiri, merasa semakin bingung dengan apa yang terjadi padanya.Sion Alexander Robin, seorang pria dengan reputasi yang tak tertandingi, adalah CEO utama dari Robin Group, sebuah perusahaan raksasa yang berada di kota Mayro.Namun dua hari terakhir, dunia di sekitarnya terasa tidak normal lagi. Orang-orang kini berjalan melewatinya seolah dia tidak ada. Setiap kali Sion mencoba berbicara, suara yang keluar dari mulutnya, seperti tidak terdengar. Tangannya yang dulu menggenggam kendali perusahaan bes