Brak!
Benar saja truk itu menabrak tubuhnya, seharusnya tubuhnya terlempar dan hancur.
Tapi... Ada yang aneh, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Mobil truk itu tetap melesat menjauh. Tidak ada darah sedikitpun, tidak ada orang yang berteriak. Semua terlihat baik-baik saja.
"Apa yang terjadi padaku? Kenapa dengan diriku?" pria itu menatap tangannya sendiri, merasa semakin bingung dengan apa yang terjadi padanya.
Sion Alexander Robin, seorang pria dengan reputasi yang tak tertandingi, adalah CEO utama dari Robin Group, sebuah perusahaan raksasa yang berada di kota Mayro.
Namun dua hari terakhir, dunia di sekitarnya terasa tidak normal lagi. Orang-orang kini berjalan melewatinya seolah dia tidak ada.
Setiap kali Sion mencoba berbicara, suara yang keluar dari mulutnya, seperti tidak terdengar. Tangannya yang dulu menggenggam kendali perusahaan besar, kini tak mampu menyentuh apapun.
"Oh, Tuhan. Ada apa denganku? Apa aku sudah mati?"
Pria ini bicara sendiri, tapi tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Apakah dia sudah mati? Jika iya, mengapa dia masih ada di dunia ini? Jika belum, lalu mengapa semua orang mengabaikannya?
Sion yang putus asa duduk di sebuah bangku taman. Seperti biasanya, taman ini penuh dengan suara anak-anak bermain atau pasangan yang bercengkerama, tapi tetap tidak ada satupun pandangan yang menoleh padanya.
Membuat Sion semakin frustasi, pria ini mengurut pelispisnys, sambil mencoba mencari jawaban atas apa yang terjadi.
Tapi ketika dia sedang tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba seorang gadis muda duduk di sebelahnya. Gadis itu terlihat sederhana, dengan setumpuk dokumen di tangannya.
Ia sempat menoleh ke arah Sion dengan senyuman, membuat Sion terkejut, tapi masih diam.
"Sialan dosen itu! Tugas akhir tidak disetujui, biaya kuliah menunggak, gaji kecil, dan sekarang ada ancaman pemecatan karena aku dianggap aneh!"
Gadis ini menarik napas panjang, mengomel tanpa henti pada dirinya sendiri.
"Dasar hidup keparat! Kenapa aku harus dilahirkan jadi miskin?"
Sion tetap diam mendengarkan gadis itu bicara sendiri, tapi Sion terus memperhatikan wajahnya, sampai akhirnya gadis itu menoleh ke arah Sion lagi.
"Hei, Bung? Kenapa kau terus menatapku, hah? Apa kau punya masalah yang sama denganku?" tanya gadis itu.
Sion sangat terkejut saat mata gadis ini tertuju padanya. Mata Sion langsung membelalak tidak percaya.
"Hey! Kenapa kau ini? Oh, ya ampun, santai saja! Aku hanya bertanya, kenapa kau seperti baru melihat Lucifer di siang bolong?" tanya gadis itu lagi.
"Apa kau bisa melihatku?" Sion bertanya dengan suara berat.
Gadis muda ini tertawa, tapi setelah itu, ia menggelengkan kepala dengan jengkel
"Tentu saja bisa. Kau duduk di sini seperti orang yang putus asa, apa masalah mu lebih berat dariku, tuan?"
Sion memegang kepalanya, ia merasa semakin bingung. Kenapa gadis ini bisa melihat dirinya, sementara orang lain tidak bisa.
"Kau ini orang yang aneh. Oh, Ya Tuhan ... Aku punya banyak masalah dalam hidup, dan sekarang aku malah bertemu orang aneh sepertimu. Sudahlah!" gadis penggerutu itu pergi dari sana.
"Tunggu! Jangan pergi! Siapa namamu?" Sion berteriak, memohon pada gadis itu.
"Roura. Namaku Roura! Sudah yah! Aku punya banyak tugas yang harus diselesaikan, tagihan yang harus dibayar, dan bos yang siap memecatku. Maaf, aku tidak punya waktu untuk sekedar makan malam atau berjalan-jalan."
Roura kembali melangkah pergi, tidak menoleh sedikit pun lagi pada Sion.
Sementara Sion masih terpaku di tempatnya, merasa semakin bingung. Kenapa gadis bernama Roura itu bisa melihat dirinya, pria ini langsung berdiri dan mengikuti Roura dari belakang.
Roura sampai di sebuah kedai kopi kecil, tempat ini adalah tempat Roura bekerja paruh waktu. Begitu ia membuka pintu, aroma kopi dan suara mesin espresso menyambut, tetapi tak ada kehangatan di wajah sang manajer.
Pak Will, adalah pemilik kedai kopi kecil ini. Ia berdiri dengan tangan bersilang di dekat meja kasir. Ekspresi lelah dan penuh kebosanan terpampang jelas di wajahnya.
Roura tersenyum manis pada pria itu, tapi Pak Will hanya cemberut. "Ayolah, Pak Will. Tersenyumlah padaku! Aku tidak terlambat kan? Dan aku sudah membawa satu pelanggan lagi untukmu." Roura mencoba membujuk.
"Tuan, kemarilah! Kau akan minum secangkir kopi kan?" ucap Roura pada Sion.
Pak Will menoleh ke arah belakang Roura. Tapi tidak ada satupun orang yang ada di sana matanya menyipit pada Roura. Merasa jika karyawannya ini sedang bercanda padanya.
Roura berbisik. "Pria itu mengikuti aku dari taman tadi."
Pak Will menggeleng kepala, semakin kesal dengan sikap Roura. "Cukup, Roura. Kau mulai bersikap aneh lagi, kau sudah membuat beberapa pelanggan takut minggu lalu. Ingat? Wanita yang sampai keluar sambil menangis, karena kau bilang ada kakeknya di belakangnya? Lalu kau akan mencoba lelucon yang sama padaku, hmh?"
"Tapi aku benar, Pak. Kakeknya memang ada di belakangnya kala itu."
Pak Will menutup matanya sambil menghela napas panjang. Gadis ini selalu membuatnya kesal.
"Kau sangat menyebalkan, nak. Tapi baiklah, akan aku beri kamu satu kesempatan lagi! Tapi jangan bicara aneh lagi, kau mengerti?"
Roura menghela napas menyerah, apalagi ketika ia menoleh ke arah belakang dirinya. Sion memang sudah tidak ada di sana.Tatapan Roura kembali pada Pak Will, lalu ia mengangguk, tidak ingin berdebat lagi dengan bosnya.
"Aku mengerti, pak Will. Kalau begitu aku ganti baju dulu."
Tapi tiba-tiba, Roura kembali terkejut, ketika Sion muncul dari balik dinding. Pria tampan di depannya ini bicara dengan serius."Hey, nona! Kita harus bicara."
Mata Roura membulat. "Hey, bisakah Anda tidak muncul mendadak seperti tadi?"
Pak Will kembali menoleh pada Roura, ia melihat gadis itu sedang bicara sendiri.
"Ada apa, Roura?"
Roura menunjuk pada Sion yang ada di depannya. "Orang ini mengagetkan ku, pak."
Pak Will mengerutkan kening, tidak melihat siapapun ada di sana. Pria tua ini kembali menatap Roura dengan tajam.
"Sudah kubilang untuk jangan bersikap aneh, Roura. Itu membuat orang lain takut. Jika pelanggan ku tidak nyaman, kau akan kupecat!"Roura semakin bingung dengan ucapan Pak Will, kenapa pria ini menganggap Roura bercanda. Jelas-jelas seorang pria jangkung sedang berdiri di hadapannya.
"Pak Will, tolonglah. aku benar-benar butuh pekerjaan ini. Kuliahku belum selesai, tagihanku menumpuk. Kalau aku kehilangan pekerjaan ini, aku akan habis."
Pak Will diam sejenak, terlihat berpikir dengan berat. Matanya masih menatap Roura dengan ekspresi penuh keraguan."Aku janji, tidak akan ada lagi kejadian aneh. Aku akan kerja dengan serius," ucap Roura.
Pak Will menghela napas panjang, lalu mengangguk dengan berat hati. "Baiklah. Ini kesempatan terakhirmu, Roura. Jangan buat aku menyesal."
Ucapan Pak Will membuat wajah Roura langsung cerah, senyuman manis terlihat di wajahnya yang cantik.
"Terima kasih, Pak Will!" ucap Roura.
Roura melanjutkan langkahnya, berjalan ke toilet wanita untuk mengganti pakaiannya dengan seragam kerja.
Sion masih berdiri di depannya, tapi gadis ini mencoba tidak peduli, Roura segera masuk ke toilet, mengunci pintu itu rapat-rapat.
Di dalam toilet, Roura berdiri di depan cermin. Ia melihat pantulan dirinya di sana dan segera berganti pakaian dengan cepat, bersiap untuk memulai pekerjaannya hari ini.
Tapi tiba-tiba, seorang pria muncul di belakang Roura, mata tajamnya bagai menusuk mata gadis ini.
Bagaimana mungkin pria ini berdiri tepat di belakang Roura. Sedangkan pantulan dirinya tidak terlihat di cermin.
"Aaah! Kenapa kau ada toilet wanita?" teriak Roura panik.
"Aku ingin bicara denganmu. Karena hanya kau yang bisa melihat aku."
Bab. 2 Dua hari laluLangit kota Mayro tiba-tiba merah, asap tebal membumbung tinggi ke langit malam yang gelap, disusul ledakan yang mengguncang tanah. Gedung Robin Group, ikon megah kota sekaligus pusat dari perusahaan raksasa dunia, kini terbakar hebat. Api menjalar liar, melahap setiap jendela kaca dengan bunyi pecahan yang menyakitkan telinga."Tolong! Tolong!"Jeritan dan teriakan menggema di setiap sudut jalan. Orang-orang dalam gedung berlarian tak tentu arah, berusaha mencari perlindungan. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung memecah malam, diikuti deru kendaraan ambulans yang bergegas menuju lokasi.“Kami membutuhkan bantuan tambahan! Gedung ini bisa runtuh kapan saja!” Suara-suara panik terdengar di mana-mana, para petugas damkar dan Polisi bekerja sama menyelamatkan orang-orang yang terjebak.Beberapa helikopter berita nasional melayang rendah, mengirimkan siaran langsung ke seluruh pelosok kota dan negeri. "Kami melaporkan langsung dari lokasi kejadian! Gedung Robi
Pak Will. Dengan gerakan cepat mendorong pintu itu, ia melangkah masuk dengan wajah penuh cemas. Dan memindai ruangan itu, tapi tidak melihat apapun atau siapa pun di sana selain Roura yang berdiri dengan napas memburu.“Mana orangnya?!” tanya Pak Will mendesak.Roura masih terengah-engah, langsung menunjuk ke samping, ke arah tempat Sion berdiri beberapa detik yang lalu. “Dia ada di sana!”Pak Will menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun yang bisa ia lihat.Roura juga segera menoleh ke arah yang sama, ia terkejut mendapati Sion sudah tidak ada di sana. Hanya udara kosong yang menyambut tatapannya.Kini wajah Pak Wiil terlihat marah, ia menghela Nafas mencoba bersabar dengan sikap gadis ini.“Roura? Apa kau sedang mencoba bercanda denganku? Karena ini sama sekali tidak lucu.”“Tapi ... tapi tadi dia ada di sini!” jawab Roura panik, menunjuk ke ruang kosong itu lagi.Pak Will menatapnya dengan tajam, menahan marahnya sekuat tenaga. Lalu pria ini me
Roura segera mengambil kain sembarangan, untuk menutup tubuhnya lebih rapat. Ia melirik ke sekeliling kamar, mencoba mencari alasan masuk akal mengapa Sion bisa masuk ke dalam kamarnya.Sion tertawa terbahak, melihat Roura yang ketakutan sambil menutup seluruh tubuhnya. Seolah Sion adalah penjahat yang akan merenggut kesucinnya."Hey, ayolah ... Aku hanya ingin tidur di sini," jawab Sion tanpa rasa bersalah."Kurang ajar, kau tidak bisa sembarangan tidur di kamar ku! Apalagi kau lihat aku dalam keadaan seperti ini!"Roura marah lagi, sementara Sion hanya mengangkat alis, sambil tertawa lagi. Pria ini berjalan mendekat ke arah Roura, membuat gadis itu agak ketakutan. Apalagi tubuh tegap Sion terlihat sangat kuat, pasti ia bisa menarik kain yang melilit tubuh Roura dengan mudah. "Tolong jangan tatap aku seperti itu, tuan!" pinta Roura."Seperti apa maksudmu, Roura? Aku hanya melihat seorang manusia yang habis mandi dan terlihat marah."Roura berjalan mundur, sementara Sion terus berj
Roura menatap Sion dengan kesal, seperti baru saja mendengar lelucon paling tidak lucu di dunia. "Tunggu, jadi sekarang aku terjebak dengan hantu CEO yang punya ego sebesar menara Eiffel? Dan logika seperti anak usia lima tahun? Fantastis. Hidupku benar-benar luar biasa."Sion mengangkat bahu dengan ekspresi tak berdosa. Ia menertawakan kekesalan Roura dan baru saja mengeluhkan hidupnya."Yah, kau sangat beruntung sebenarnya. Jarang sekali aku datang untuk meminta bantuan pada orang lain."Sungguh sikap Sion terlalu menyebalkan bagi Roura, gadis ini mendengus kesal. Menggelengkan kepala tak percaya dengan nasib aneh yang menimpa dirinya."Maaf, tuan Sion yang terhormat. Tapi aku terlalu sibuk dengan kemiskinanku untuk peduli. Jadi pergilah!"Sion mendekat, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Roura. Tapi kali ini Roura tidak takut lagi, dia menatap Sion dengan berani, membuat Sion tertawa kecil."Keluar dari sini! Atau aku akan ....""—Berteriak? Dan mengundang
Roura menghela nafas lelah. "Baiklah, kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" "Temukan tubuhku, dan pastikan aku sudah mati atau belum," jawab Sion, kali ini ia bicara serius tanpa sebuah senyuman.Roura agak bingung dengan permintaan itu. "Bagaimana aku tau soal tubuhmu, tuan Sion?"Sion berdiri dari sana, menatap jauh ke depan, seolah akan mengatakan sebuah strategi yang sangat penting."Kamu harus melakukan penyelidikan, cari tau dimana tubuhku berada. Dan ingat, Kau harus mulai melakukan penyelidikan ini secepatnya,” perintah Sion.Roura tertawa kecil sambil melipat tangan. “Hari ini aku harus bekerja.”Sion mendadak meledak dalam tawa, seperti baru mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya—atau kematiannya. “Lupakan pekerjaan dengan gaji kecil itu, Rou,” kata Sion.Roura menatapnya tajam, lalu menggelangkan kepala. “Yang kau bilang kecil itu, Tuan Kaya Raya. Itu cukup untuk menghidupiku, tahu.”“Oh, ya? Berapa gajimu di sana, kalau boleh tahu? Satu digit? Dua digit? Atau sek
Roura menghela nafas lelah. "Baiklah, kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" "Temukan tubuhku, dan pastikan aku sudah mati atau belum," jawab Sion, kali ini ia bicara serius tanpa sebuah senyuman.Roura agak bingung dengan permintaan itu. "Bagaimana aku tau soal tubuhmu, tuan Sion?"Sion berdiri dari sana, menatap jauh ke depan, seolah akan mengatakan sebuah strategi yang sangat penting."Kamu harus melakukan penyelidikan, cari tau dimana tubuhku berada. Dan ingat, Kau harus mulai melakukan penyelidikan ini secepatnya,” perintah Sion.Roura tertawa kecil sambil melipat tangan. “Hari ini aku harus bekerja.”Sion mendadak meledak dalam tawa, seperti baru mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya—atau kematiannya. “Lupakan pekerjaan dengan gaji kecil itu, Rou,” kata Sion.Roura menatapnya tajam, lalu menggelangkan kepala. “Yang kau bilang kecil itu, Tuan Kaya Raya. Itu cukup untuk menghidupiku, tahu.”“Oh, ya? Berapa gajimu di sana, kalau boleh tahu? Satu digit? Dua digit? Atau sek
Roura menatap Sion dengan kesal, seperti baru saja mendengar lelucon paling tidak lucu di dunia. "Tunggu, jadi sekarang aku terjebak dengan hantu CEO yang punya ego sebesar menara Eiffel? Dan logika seperti anak usia lima tahun? Fantastis. Hidupku benar-benar luar biasa."Sion mengangkat bahu dengan ekspresi tak berdosa. Ia menertawakan kekesalan Roura dan baru saja mengeluhkan hidupnya."Yah, kau sangat beruntung sebenarnya. Jarang sekali aku datang untuk meminta bantuan pada orang lain."Sungguh sikap Sion terlalu menyebalkan bagi Roura, gadis ini mendengus kesal. Menggelengkan kepala tak percaya dengan nasib aneh yang menimpa dirinya."Maaf, tuan Sion yang terhormat. Tapi aku terlalu sibuk dengan kemiskinanku untuk peduli. Jadi pergilah!"Sion mendekat, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Roura. Tapi kali ini Roura tidak takut lagi, dia menatap Sion dengan berani, membuat Sion tertawa kecil."Keluar dari sini! Atau aku akan ....""—Berteriak? Dan mengundang
Roura segera mengambil kain sembarangan, untuk menutup tubuhnya lebih rapat. Ia melirik ke sekeliling kamar, mencoba mencari alasan masuk akal mengapa Sion bisa masuk ke dalam kamarnya.Sion tertawa terbahak, melihat Roura yang ketakutan sambil menutup seluruh tubuhnya. Seolah Sion adalah penjahat yang akan merenggut kesucinnya."Hey, ayolah ... Aku hanya ingin tidur di sini," jawab Sion tanpa rasa bersalah."Kurang ajar, kau tidak bisa sembarangan tidur di kamar ku! Apalagi kau lihat aku dalam keadaan seperti ini!"Roura marah lagi, sementara Sion hanya mengangkat alis, sambil tertawa lagi. Pria ini berjalan mendekat ke arah Roura, membuat gadis itu agak ketakutan. Apalagi tubuh tegap Sion terlihat sangat kuat, pasti ia bisa menarik kain yang melilit tubuh Roura dengan mudah. "Tolong jangan tatap aku seperti itu, tuan!" pinta Roura."Seperti apa maksudmu, Roura? Aku hanya melihat seorang manusia yang habis mandi dan terlihat marah."Roura berjalan mundur, sementara Sion terus berj
Pak Will. Dengan gerakan cepat mendorong pintu itu, ia melangkah masuk dengan wajah penuh cemas. Dan memindai ruangan itu, tapi tidak melihat apapun atau siapa pun di sana selain Roura yang berdiri dengan napas memburu.“Mana orangnya?!” tanya Pak Will mendesak.Roura masih terengah-engah, langsung menunjuk ke samping, ke arah tempat Sion berdiri beberapa detik yang lalu. “Dia ada di sana!”Pak Will menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun yang bisa ia lihat.Roura juga segera menoleh ke arah yang sama, ia terkejut mendapati Sion sudah tidak ada di sana. Hanya udara kosong yang menyambut tatapannya.Kini wajah Pak Wiil terlihat marah, ia menghela Nafas mencoba bersabar dengan sikap gadis ini.“Roura? Apa kau sedang mencoba bercanda denganku? Karena ini sama sekali tidak lucu.”“Tapi ... tapi tadi dia ada di sini!” jawab Roura panik, menunjuk ke ruang kosong itu lagi.Pak Will menatapnya dengan tajam, menahan marahnya sekuat tenaga. Lalu pria ini me
Bab. 2 Dua hari laluLangit kota Mayro tiba-tiba merah, asap tebal membumbung tinggi ke langit malam yang gelap, disusul ledakan yang mengguncang tanah. Gedung Robin Group, ikon megah kota sekaligus pusat dari perusahaan raksasa dunia, kini terbakar hebat. Api menjalar liar, melahap setiap jendela kaca dengan bunyi pecahan yang menyakitkan telinga."Tolong! Tolong!"Jeritan dan teriakan menggema di setiap sudut jalan. Orang-orang dalam gedung berlarian tak tentu arah, berusaha mencari perlindungan. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung memecah malam, diikuti deru kendaraan ambulans yang bergegas menuju lokasi.“Kami membutuhkan bantuan tambahan! Gedung ini bisa runtuh kapan saja!” Suara-suara panik terdengar di mana-mana, para petugas damkar dan Polisi bekerja sama menyelamatkan orang-orang yang terjebak.Beberapa helikopter berita nasional melayang rendah, mengirimkan siaran langsung ke seluruh pelosok kota dan negeri. "Kami melaporkan langsung dari lokasi kejadian! Gedung Robi
"Aaah!" seorang pria berteriak, saat sebuah mobil truk melaju kencang ke arahnya. Ia yakin kalau mobil itu pasti akan menabrak tubuhnya.Brak!Benar saja truk itu menabrak tubuhnya, seharusnya tubuhnya terlempar dan hancur.Tapi... Ada yang aneh, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Mobil truk itu tetap melesat menjauh. Tidak ada darah sedikitpun, tidak ada orang yang berteriak. Semua terlihat baik-baik saja."Apa yang terjadi padaku? Kenapa dengan diriku?" pria itu menatap tangannya sendiri, merasa semakin bingung dengan apa yang terjadi padanya.Sion Alexander Robin, seorang pria dengan reputasi yang tak tertandingi, adalah CEO utama dari Robin Group, sebuah perusahaan raksasa yang berada di kota Mayro.Namun dua hari terakhir, dunia di sekitarnya terasa tidak normal lagi. Orang-orang kini berjalan melewatinya seolah dia tidak ada. Setiap kali Sion mencoba berbicara, suara yang keluar dari mulutnya, seperti tidak terdengar. Tangannya yang dulu menggenggam kendali perusahaan bes