Setelah pertemuan dengan Antonio, Nadine merasa kelelahan. Pikirannya terus berputar, dibayangi oleh kenangan lama yang kembali muncul begitu saja. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang mulai tumbuh untuk Saga, yang semakin memperhatikan dan memberikan dukungan yang tak terduga.
Hari itu, Nadine memutuskan untuk pulang lebih awal. Mungkin ia butuh waktu untuk merenung dan merapikan pikirannya. Ia duduk di balkon apartemennya, memandangi keramaian kota yang tak pernah tidur. Udara malam terasa sejuk, memberikan ketenangan sementara untuk jiwanya yang resah. “Apakah aku harus membuka hati lagi?” tanya Nadine pada dirinya sendiri, suara hatinya terdengar lembut namun penuh keraguan. “Apa yang terjadi kalau aku jatuh cinta lagi? Apa yang akan terjadi pada pekerjaanku? Pada diriku?” Di saat itu, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatian Nadine dari pikirannya. Sebuah pesan masuk dari Saga. Saga: "Nadine, apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat agak cemas tadi pagi. Kalau ada yang perlu dibicarakan, hubungi aku." Nadine menatap pesan itu beberapa saat. Ia tahu bahwa Saga bukanlah tipe orang yang terlalu terbuka, tetapi di setiap interaksinya, ada perhatian yang lebih dalam. Hal itu membuat Nadine merasa bingung. Apakah ia harus menerima perhatian ini? Atau tetap menjaga jarak, seperti yang ia lakukan selama bertahun-tahun? Nadine: "Terima kasih, Tuan Saga. Saya baik-baik saja. Hanya sedikit memikirkan beberapa hal. Tidak masalah." Nadine menekan kirim, namun tak lama kemudian, Saga membalas lagi. Saga: "Jika kamu ingin bicara, silahkan kapan saja. Pekerjaan bisa ditunda. Aku tahu, ada hal-hal lain yang lebih penting." Nadine terdiam. Begitu sederhana, namun begitu mengena. Ketulusan dalam kata-kata Saga membuat hatinya sedikit melunak, tetapi ia tetap menahan perasaan itu. Ia tahu, hubungan profesional dengan CEO muda itu harus tetap dijaga, apalagi dengan adanya Sisca—perempuan yang dijodohkan untuk Saga oleh keluarganya. Setelah berpikir sejenak, Nadine memutuskan untuk membalas pesan Saga. Nadine: "Terima kasih, Tuan. Mungkin kita bisa bicara besok pagi setelah rapat, saya butuh waktu untuk merenung." Setelah mengirimkan pesan, Nadine meletakkan ponselnya dan kembali memandangi langit malam. Perasaannya begitu rumit, seperti benang kusut yang sulit untuk diurai. Tapi entah kenapa, ia merasa sedikit lega setelah mengirimkan pesan itu. Mungkin ini adalah langkah kecil untuk mulai membuka hati lagi. --- Keesokan harinya, Nadine masuk lebih awal ke kantor. Pikirannya masih terjebak pada pertemuan dengan Antonio yang belum selesai. Walaupun ia mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaan, bayangan wajah Antonio yang penuh dengan penyesalan masih terus menghantuinya.. Setelah rapat pagi yang cukup padat, Saga menghampiri Nadine di meja kerjanya. Pria muda itu terlihat lebih serius dari biasanya, namun ada kerendahan hati dalam sikapnya. "Nadine, apakah kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang?" Nadine mengangkat wajahnya, menatapnya dengan sedikit kebingungan. "Maksudmu, Tuan?" Saga menarik kursi dan duduk di hadapan Nadine. "Maksudku, tentang pekerjaan kita, atau mungkin tentang.. kita? intinya apapun itu. Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak hal, dan aku ingin membantu, jika itu memungkinkan." Nadine menelan ludah, hatinya berdebar. "Tuan Saga, saya… saya tahu kamu ingin membantu, tapi ada hal-hal dalam hidup saya yang lebih rumit. Saya tidak ingin melibatkan Tuan dalam masalah pribadi saya." Saga mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Tapi, kamu tidak perlu merasa sendiri. Aku di sini, Nadine." Ada keheningan di antara mereka, sesaat mereka hanya saling menatap. Nadine merasa ada ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Saga. Dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda, tetapi entah mengapa, ia tetap merasa takut untuk membuka perasaan itu. Setelah tujuh tahun menutup hati, ia takut sekali jika semuanya hanya akan berakhir dengan luka lagi. "Saya tahu, saya harus banyak belajar untuk menyeimbangkan perasaan dengan pekerjaan," Nadine akhirnya berkata, memecah keheningan. "Saya butuh waktu, Tuan. Saya tidak bisa langsung membuat keputusan seperti itu." Saga tersenyum lembut, tidak memaksakan keadaan. "Tidak ada yang terburu-buru, Nadine. Aku menghargai waktu dan ruangmu. Tetapi ketahuilah, Aku akan selalu ada jika kamu ingin berbicara." Nadine menunduk, merasa sedikit lega dengan kehadiran Saga yang tidak memaksa. Ia merasa dihargai, dan untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya. --- Hari-hari berikutnya, Nadine berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, setiap kali ia melihat Saga di kantornya, perasaannya kembali terkecoh. Ada kedekatan yang terasa tidak biasa, namun sangat nyaman. Saga sering kali menghampirinya di sela-sela pekerjaan, menawarkan bantuan, atau hanya sekadar berbicara ringan. Ia menjadi sosok yang bisa membuat Nadine merasa tenang, meskipun perasaan itu belum sepenuhnya bisa ia pahami. Suatu hari, di tengah hari yang sibuk, Saga mengajak Nadine untuk makan siang bersama. Nadine merasa sedikit ragu, namun akhirnya ia setuju. Mereka pergi ke restoran kecil yang tidak jauh dari kantor. "Aku tahu kamu jarang keluar kantor, Nadine," kata Saga sambil mengatur makanannya. "Jangan khawatir tentang pekerjaan. Kadang-kadang kita perlu mengambil jeda, kan?" lanjutnya. Nadine tersenyum tipis, merasa nyaman dengan suasana santai itu. "Ya, mungkin Tuan benar. Saya terlalu fokus pada pekerjaan akhir-akhir ini." Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang teknologi, tentang masa depan perusahaan, dan bahkan tentang hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Di tengah percakapan itu, Nadine merasa seolah-olah ada dunia lain yang menghubungkan mereka berdua. Saga bukan hanya seorang CEO yang cerdas, tetapi juga seorang pria yang penuh perhatian dan penuh kejutan. Dalam beberapa hal, ia berbeda dari pria-pria yang pernah Nadine kenal. "Tapi, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," kata Saga setelah beberapa lama terdiam. "Tentang kamu, Nadine. Apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidupmu?" Pertanyaan itu membuat Nadine terhenti sejenak. Ia menatap Saga, melihat mata pria itu yang penuh dengan ketulusan. Ini adalah pertanyaan yang seharusnya ia jawab, tetapi ia merasa kebingungan. Apa yang ia inginkan? Setelah bertahun-tahun berjuang untuk dirinya sendiri, ia tidak tahu apakah ia bisa menjawab pertanyaan itu dengan jelas. "Saya.. saya ingin menjalani hidup yang berarti," kata Nadine akhirnya, meski dengan ragu. "Saya ingin merasa dihargai, tidak hanya sebagai seorang sekretaris, tetapi sebagai seseorang yang memiliki impian dan tujuan." Saga mengangguk, seakan memahami dengan baik apa yang Nadine rasakan. "Dan aku yakin kamu bisa mendapatkannya, Nadine. Kamu lebih dari sekadar seorang sekretaris." Kata-kata Saga menggetarkan hati Nadine. Ada sesuatu yang lebih di balik perkataan itu, sesuatu yang membuat hatinya berdebar, meskipun ia masih berusaha untuk menahan diri.Keesokan harinya, perasaan Nadine masih belum bisa terurai sepenuhnya. Meskipun dia merasa nyaman bersama Saga, pikirannya terus saja kembali ke masa lalu, terutama kepada Antonio. Wajah pria itu, suara, dan kenangan mereka yang manis—semuanya seakan tak bisa dihilangkan begitu saja.Pagi itu, Nadine tiba lebih awal di kantor. Seperti biasa, dia duduk di meja kerjanya, memeriksa email dan laporan yang masuk. Namun, hatinya terasa kosong. Pekerjaan yang biasanya membuatnya sibuk dan lupa waktu kali ini terasa begitu hampa. Dia menoleh ke arah meja Saga, yang sudah tampak kosong. Pria itu mungkin sudah datang lebih awal untuk mempersiapkan rapat penting yang akan mereka hadapi hari ini. Sejak menjadi CEO, Saga memang dikenal sangat disiplin dan penuh perhatian terhadap detail.Nadine menarik napas panjang dan memfokuskan pikirannya kembali pada pekerjaan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Antonio.Antonio: "Nadine, kita perlu bicara."Pesan itu seperti petir
Hari-hari setelah pertemuan dengan Antonio terasa semakin berat bagi Nadine. Setiap kali dia melihat Saga di kantor, perasaan yang sulit dijelaskan muncul. Ada ketertarikan yang berkembang, tetapi juga perasaan bersalah karena pertemuan dengan Antonio yang masih menghantui pikirannya. Nadine merasa terjepit di antara dua dunia yang sangat berbeda, dan ini semakin membingungkannya.Hari itu, seperti biasanya, Nadine datang lebih awal ke kantor. Dia duduk di mejanya, membaca beberapa laporan, tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Apa yang seharusnya dia lakukan? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Semua pertanyaan itu terulang dalam benaknya, dan jawabannya tidak kunjung datang.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Saga masuk dengan langkah cepat. Matanya langsung mencari Nadine, dan begitu mereka saling bertatap mata, ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka berdua. Nadine merasa sedikit cemas, namun dia berusaha tetap tenang."Nadine, bisa bicara sebentar?" tanya Saga, suara pri
Hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Nadine merasa seluruh tubuhnya kaku ketika dia memasuki kafe tempat pertemuan yang disepakati dengan Antonio. Suasana kafe yang biasa, dengan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung, kini terasa berbeda. Setiap langkah yang dia ambil, hati Nadine semakin berdebar. Inilah saat yang menegangkan, yang akan menentukan arah hidupnya.Dia memilih meja di sudut ruangan, tempat yang sedikit lebih pribadi. Tidak lama setelah itu, Antonio datang. Meskipun wajahnya tidak banyak berubah, ada sesuatu yang berbeda. Antonio kini terlihat lebih matang, lebih serius, dan kesan kekanak-kanakan yang dulu ada pada dirinya sudah menghilang. Matanya bertemu dengan mata Nadine, dan dalam sekejap, seakan waktu berhenti sejenak."Nadine," kata Antonio pelan, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini mungkin sulit bagimu."Nadine menatapnya, mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh perasaan yang bergolak di dalam hatinya. "Anto
Setelah pertemuan dengan Antonio, hari-hari Nadine terasa semakin berat. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang menggelora dalam dirinya, yang membingungkan antara cinta lama dan kemungkinan untuk sesuatu yang baru. Antonio sudah kembali, menawarkan harapan akan perubahan dan kesempatan kedua. Di sisi lain, Saga, meskipun tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, selalu hadir dengan sikap yang penuh perhatian. Bagaimana bisa dia memilih di antara keduanya?Pagi itu, saat Nadine tiba di kantor, dia langsung disambut oleh Saga. Sesuatu dalam cara Saga menatapnya membuat Nadine merasa sedikit cemas. Ada semacam ketegangan yang mengendap, namun Saga tetap tampil profesional."Nadine, ada beberapa dokumen yang perlu kamu urus," kata Saga dengan nada serius. "Aku ingin kamu mengerjakannya segera."Nadine mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Tentu, Saga. Saya akan segera menangani semuanya."Saga tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa berbeda. Nadine merasa ada sesuatu yang se
Nadine Zumera Yedda menatap cermin besar yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Di balik kaca itu, dirinya tampak sedikit lebih muda dari usia sebenarnya. Usianya yang sudah 28 tahun kadang membuatnya merasa terperangkap di antara rasa tanggung jawab dan kerinduan terhadap mimpi-mimpi yang belum tercapai. Sebagai sekretaris di sebuah perusahaan teknologi besar, Nadine telah melewati banyak hal. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak beberapa bulan lalu—sejak Sagara Devandra, atau yang lebih dikenal dengan nama Saga, menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO perusahaan ini. Saga, dengan usianya yang masih 25 tahun, telah merebut perhatian banyak orang dengan karismanya yang kuat dan otoritas yang tak terbantahkan. Tak sedikit yang memuji kecerdasannya, kemampuan beradaptasinya yang luar biasa, dan cara dia memimpin perusahaan ini. Namun bagi Nadine, pria itu lebih dari sekadar CEO muda yang menjabat di perusahaan tempat ia bekerja. Ada sesuatu yang lebih dalam yang memb
Pagi hari di kantor penuh dengan kesibukan. Nadine berjalan dengan langkah cepat menuju ruang rapat, memegang beberapa berkas yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Pikirannya masih teringat pada percakapan singkatnya dengan Saga pagi tadi. Meskipun pria itu tampak tenang dan profesional, Nadine bisa merasakan ada ketegangan yang belum terselesaikan, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Saat memasuki ruang rapat, Saga sudah duduk di meja besar, memeriksa laptop dengan serius. Beberapa manajer dan anggota tim lainnya sudah hadir, mempersiapkan presentasi mereka. Saga mengangkat wajahnya sesaat melihat Nadine masuk dan tersenyum kecil."Nadine, terima kasih telah datang tepat waktu," kata Saga, suaranya tegas namun tetap bersahabat. "Kita mulai rapatnya."Nadine hanya mengangguk, meletakkan berkas di meja, dan berdiri di samping Saga, menunggu rapat dimulai. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Saga, mencoba mengerti lebih banyak tentang pemimpin muda ini. Dalam hati, ia
Nadine duduk di kursinya, mencoba menenangkan pikirannya. Antonio yang berdiri di depan meja kerjanya, menyimbolkan semua kenangan pahit yang pernah ia simpan begitu lama. Ketika Antonio melangkah lebih dekat, Nadine merasa tubuhnya kaku. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Sudah tujuh tahun sejak mereka berpisah, dan perasaan itu seakan tak pernah hilang. Namun, saat itu, ia sudah berada di titik di mana dirinya merasa lebih kuat, lebih mandiri. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Antonio?" Nadine akhirnya bertanya, mencoba berbicara dengan tenang meskipun hatinya berdegup kencang. "Kenapa sekarang kamu muncul kembali?" Antonio menarik napas dalam-dalam, seakan mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu ini mungkin terlambat, tapi aku tidak bisa lagi menunda untuk berbicara denganmu. Aku sudah banyak berpikir tentang keputusan yang aku buat dulu, dan aku menyadari betapa salahnya aku." Nadine menatapnya tajam, mencoba membaca maksud dari perkataannya. "Kamu meninggalkanku, Anto
Setelah pertemuan dengan Antonio, hari-hari Nadine terasa semakin berat. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang menggelora dalam dirinya, yang membingungkan antara cinta lama dan kemungkinan untuk sesuatu yang baru. Antonio sudah kembali, menawarkan harapan akan perubahan dan kesempatan kedua. Di sisi lain, Saga, meskipun tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, selalu hadir dengan sikap yang penuh perhatian. Bagaimana bisa dia memilih di antara keduanya?Pagi itu, saat Nadine tiba di kantor, dia langsung disambut oleh Saga. Sesuatu dalam cara Saga menatapnya membuat Nadine merasa sedikit cemas. Ada semacam ketegangan yang mengendap, namun Saga tetap tampil profesional."Nadine, ada beberapa dokumen yang perlu kamu urus," kata Saga dengan nada serius. "Aku ingin kamu mengerjakannya segera."Nadine mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Tentu, Saga. Saya akan segera menangani semuanya."Saga tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa berbeda. Nadine merasa ada sesuatu yang se
Hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Nadine merasa seluruh tubuhnya kaku ketika dia memasuki kafe tempat pertemuan yang disepakati dengan Antonio. Suasana kafe yang biasa, dengan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung, kini terasa berbeda. Setiap langkah yang dia ambil, hati Nadine semakin berdebar. Inilah saat yang menegangkan, yang akan menentukan arah hidupnya.Dia memilih meja di sudut ruangan, tempat yang sedikit lebih pribadi. Tidak lama setelah itu, Antonio datang. Meskipun wajahnya tidak banyak berubah, ada sesuatu yang berbeda. Antonio kini terlihat lebih matang, lebih serius, dan kesan kekanak-kanakan yang dulu ada pada dirinya sudah menghilang. Matanya bertemu dengan mata Nadine, dan dalam sekejap, seakan waktu berhenti sejenak."Nadine," kata Antonio pelan, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini mungkin sulit bagimu."Nadine menatapnya, mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh perasaan yang bergolak di dalam hatinya. "Anto
Hari-hari setelah pertemuan dengan Antonio terasa semakin berat bagi Nadine. Setiap kali dia melihat Saga di kantor, perasaan yang sulit dijelaskan muncul. Ada ketertarikan yang berkembang, tetapi juga perasaan bersalah karena pertemuan dengan Antonio yang masih menghantui pikirannya. Nadine merasa terjepit di antara dua dunia yang sangat berbeda, dan ini semakin membingungkannya.Hari itu, seperti biasanya, Nadine datang lebih awal ke kantor. Dia duduk di mejanya, membaca beberapa laporan, tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Apa yang seharusnya dia lakukan? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Semua pertanyaan itu terulang dalam benaknya, dan jawabannya tidak kunjung datang.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Saga masuk dengan langkah cepat. Matanya langsung mencari Nadine, dan begitu mereka saling bertatap mata, ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka berdua. Nadine merasa sedikit cemas, namun dia berusaha tetap tenang."Nadine, bisa bicara sebentar?" tanya Saga, suara pri
Keesokan harinya, perasaan Nadine masih belum bisa terurai sepenuhnya. Meskipun dia merasa nyaman bersama Saga, pikirannya terus saja kembali ke masa lalu, terutama kepada Antonio. Wajah pria itu, suara, dan kenangan mereka yang manis—semuanya seakan tak bisa dihilangkan begitu saja.Pagi itu, Nadine tiba lebih awal di kantor. Seperti biasa, dia duduk di meja kerjanya, memeriksa email dan laporan yang masuk. Namun, hatinya terasa kosong. Pekerjaan yang biasanya membuatnya sibuk dan lupa waktu kali ini terasa begitu hampa. Dia menoleh ke arah meja Saga, yang sudah tampak kosong. Pria itu mungkin sudah datang lebih awal untuk mempersiapkan rapat penting yang akan mereka hadapi hari ini. Sejak menjadi CEO, Saga memang dikenal sangat disiplin dan penuh perhatian terhadap detail.Nadine menarik napas panjang dan memfokuskan pikirannya kembali pada pekerjaan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Antonio.Antonio: "Nadine, kita perlu bicara."Pesan itu seperti petir
Setelah pertemuan dengan Antonio, Nadine merasa kelelahan. Pikirannya terus berputar, dibayangi oleh kenangan lama yang kembali muncul begitu saja. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang mulai tumbuh untuk Saga, yang semakin memperhatikan dan memberikan dukungan yang tak terduga. Hari itu, Nadine memutuskan untuk pulang lebih awal. Mungkin ia butuh waktu untuk merenung dan merapikan pikirannya. Ia duduk di balkon apartemennya, memandangi keramaian kota yang tak pernah tidur. Udara malam terasa sejuk, memberikan ketenangan sementara untuk jiwanya yang resah.“Apakah aku harus membuka hati lagi?” tanya Nadine pada dirinya sendiri, suara hatinya terdengar lembut namun penuh keraguan. “Apa yang terjadi kalau aku jatuh cinta lagi? Apa yang akan terjadi pada pekerjaanku? Pada diriku?”Di saat itu, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatian Nadine dari pikirannya. Sebuah pesan masuk dari Saga.Saga: "Nadine, apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat agak cemas tadi pagi. Kalau ada yang perl
Nadine duduk di kursinya, mencoba menenangkan pikirannya. Antonio yang berdiri di depan meja kerjanya, menyimbolkan semua kenangan pahit yang pernah ia simpan begitu lama. Ketika Antonio melangkah lebih dekat, Nadine merasa tubuhnya kaku. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Sudah tujuh tahun sejak mereka berpisah, dan perasaan itu seakan tak pernah hilang. Namun, saat itu, ia sudah berada di titik di mana dirinya merasa lebih kuat, lebih mandiri. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Antonio?" Nadine akhirnya bertanya, mencoba berbicara dengan tenang meskipun hatinya berdegup kencang. "Kenapa sekarang kamu muncul kembali?" Antonio menarik napas dalam-dalam, seakan mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu ini mungkin terlambat, tapi aku tidak bisa lagi menunda untuk berbicara denganmu. Aku sudah banyak berpikir tentang keputusan yang aku buat dulu, dan aku menyadari betapa salahnya aku." Nadine menatapnya tajam, mencoba membaca maksud dari perkataannya. "Kamu meninggalkanku, Anto
Pagi hari di kantor penuh dengan kesibukan. Nadine berjalan dengan langkah cepat menuju ruang rapat, memegang beberapa berkas yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Pikirannya masih teringat pada percakapan singkatnya dengan Saga pagi tadi. Meskipun pria itu tampak tenang dan profesional, Nadine bisa merasakan ada ketegangan yang belum terselesaikan, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Saat memasuki ruang rapat, Saga sudah duduk di meja besar, memeriksa laptop dengan serius. Beberapa manajer dan anggota tim lainnya sudah hadir, mempersiapkan presentasi mereka. Saga mengangkat wajahnya sesaat melihat Nadine masuk dan tersenyum kecil."Nadine, terima kasih telah datang tepat waktu," kata Saga, suaranya tegas namun tetap bersahabat. "Kita mulai rapatnya."Nadine hanya mengangguk, meletakkan berkas di meja, dan berdiri di samping Saga, menunggu rapat dimulai. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Saga, mencoba mengerti lebih banyak tentang pemimpin muda ini. Dalam hati, ia
Nadine Zumera Yedda menatap cermin besar yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Di balik kaca itu, dirinya tampak sedikit lebih muda dari usia sebenarnya. Usianya yang sudah 28 tahun kadang membuatnya merasa terperangkap di antara rasa tanggung jawab dan kerinduan terhadap mimpi-mimpi yang belum tercapai. Sebagai sekretaris di sebuah perusahaan teknologi besar, Nadine telah melewati banyak hal. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak beberapa bulan lalu—sejak Sagara Devandra, atau yang lebih dikenal dengan nama Saga, menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO perusahaan ini. Saga, dengan usianya yang masih 25 tahun, telah merebut perhatian banyak orang dengan karismanya yang kuat dan otoritas yang tak terbantahkan. Tak sedikit yang memuji kecerdasannya, kemampuan beradaptasinya yang luar biasa, dan cara dia memimpin perusahaan ini. Namun bagi Nadine, pria itu lebih dari sekadar CEO muda yang menjabat di perusahaan tempat ia bekerja. Ada sesuatu yang lebih dalam yang memb