Setelah pertemuan dengan Antonio, Nadine merasa kelelahan. Pikirannya terus berputar, dibayangi oleh kenangan lama yang kembali muncul begitu saja. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang mulai tumbuh untuk Saga, yang semakin memperhatikan dan memberikan dukungan yang tak terduga.
Hari itu, Nadine memutuskan untuk pulang lebih awal. Mungkin ia butuh waktu untuk merenung dan merapikan pikirannya. Ia duduk di balkon apartemennya, memandangi keramaian kota yang tak pernah tidur. Udara malam terasa sejuk, memberikan ketenangan sementara untuk jiwanya yang resah. “Apakah aku harus membuka hati lagi?” tanya Nadine pada dirinya sendiri, suara hatinya terdengar lembut namun penuh keraguan. “Apa yang terjadi kalau aku jatuh cinta lagi? Apa yang akan terjadi pada pekerjaanku? Pada diriku?” Di saat itu, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatian Nadine dari pikirannya. Sebuah pesan masuk dari Saga. Saga: "Nadine, apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat agak cemas tadi pagi. Kalau ada yang perlu dibicarakan, hubungi aku." Nadine menatap pesan itu beberapa saat. Ia tahu bahwa Saga bukanlah tipe orang yang terlalu terbuka, tetapi di setiap interaksinya, ada perhatian yang lebih dalam. Hal itu membuat Nadine merasa bingung. Apakah ia harus menerima perhatian ini? Atau tetap menjaga jarak, seperti yang ia lakukan selama bertahun-tahun? Nadine: "Terima kasih, Tuan Saga. Saya baik-baik saja. Hanya sedikit memikirkan beberapa hal. Tidak masalah." Nadine menekan kirim, namun tak lama kemudian, Saga membalas lagi. Saga: "Jika kamu ingin bicara, silahkan kapan saja. Pekerjaan bisa ditunda. Aku tahu, ada hal-hal lain yang lebih penting." Nadine terdiam. Begitu sederhana, namun begitu mengena. Ketulusan dalam kata-kata Saga membuat hatinya sedikit melunak, tetapi ia tetap menahan perasaan itu. Ia tahu, hubungan profesional dengan CEO muda itu harus tetap dijaga, apalagi dengan adanya Sisca—perempuan yang dijodohkan untuk Saga oleh keluarganya. Setelah berpikir sejenak, Nadine memutuskan untuk membalas pesan Saga. Nadine: "Terima kasih, Tuan. Mungkin kita bisa bicara besok pagi setelah rapat, saya butuh waktu untuk merenung." Setelah mengirimkan pesan, Nadine meletakkan ponselnya dan kembali memandangi langit malam. Perasaannya begitu rumit, seperti benang kusut yang sulit untuk diurai. Tapi entah kenapa, ia merasa sedikit lega setelah mengirimkan pesan itu. Mungkin ini adalah langkah kecil untuk mulai membuka hati lagi. --- Keesokan harinya, Nadine masuk lebih awal ke kantor. Pikirannya masih terjebak pada pertemuan dengan Antonio yang belum selesai. Walaupun ia mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaan, bayangan wajah Antonio yang penuh dengan penyesalan masih terus menghantuinya.. Setelah rapat pagi yang cukup padat, Saga menghampiri Nadine di meja kerjanya. Pria muda itu terlihat lebih serius dari biasanya, namun ada kerendahan hati dalam sikapnya. "Nadine, apakah kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang?" Nadine mengangkat wajahnya, menatapnya dengan sedikit kebingungan. "Maksudmu, Tuan?" Saga menarik kursi dan duduk di hadapan Nadine. "Maksudku, tentang pekerjaan kita, atau mungkin tentang.. kita? intinya apapun itu. Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak hal, dan aku ingin membantu, jika itu memungkinkan." Nadine menelan ludah, hatinya berdebar. "Tuan Saga, saya… saya tahu kamu ingin membantu, tapi ada hal-hal dalam hidup saya yang lebih rumit. Saya tidak ingin melibatkan Tuan dalam masalah pribadi saya." Saga mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Tapi, kamu tidak perlu merasa sendiri. Aku di sini, Nadine." Ada keheningan di antara mereka, sesaat mereka hanya saling menatap. Nadine merasa ada ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Saga. Dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda, tetapi entah mengapa, ia tetap merasa takut untuk membuka perasaan itu. Setelah tujuh tahun menutup hati, ia takut sekali jika semuanya hanya akan berakhir dengan luka lagi. "Saya tahu, saya harus banyak belajar untuk menyeimbangkan perasaan dengan pekerjaan," Nadine akhirnya berkata, memecah keheningan. "Saya butuh waktu, Tuan. Saya tidak bisa langsung membuat keputusan seperti itu." Saga tersenyum lembut, tidak memaksakan keadaan. "Tidak ada yang terburu-buru, Nadine. Aku menghargai waktu dan ruangmu. Tetapi ketahuilah, Aku akan selalu ada jika kamu ingin berbicara." Nadine menunduk, merasa sedikit lega dengan kehadiran Saga yang tidak memaksa. Ia merasa dihargai, dan untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya. --- Hari-hari berikutnya, Nadine berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, setiap kali ia melihat Saga di kantornya, perasaannya kembali terkecoh. Ada kedekatan yang terasa tidak biasa, namun sangat nyaman. Saga sering kali menghampirinya di sela-sela pekerjaan, menawarkan bantuan, atau hanya sekadar berbicara ringan. Ia menjadi sosok yang bisa membuat Nadine merasa tenang, meskipun perasaan itu belum sepenuhnya bisa ia pahami. Suatu hari, di tengah hari yang sibuk, Saga mengajak Nadine untuk makan siang bersama. Nadine merasa sedikit ragu, namun akhirnya ia setuju. Mereka pergi ke restoran kecil yang tidak jauh dari kantor. "Aku tahu kamu jarang keluar kantor, Nadine," kata Saga sambil mengatur makanannya. "Jangan khawatir tentang pekerjaan. Kadang-kadang kita perlu mengambil jeda, kan?" lanjutnya. Nadine tersenyum tipis, merasa nyaman dengan suasana santai itu. "Ya, mungkin Tuan benar. Saya terlalu fokus pada pekerjaan akhir-akhir ini." Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang teknologi, tentang masa depan perusahaan, dan bahkan tentang hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Di tengah percakapan itu, Nadine merasa seolah-olah ada dunia lain yang menghubungkan mereka berdua. Saga bukan hanya seorang CEO yang cerdas, tetapi juga seorang pria yang penuh perhatian dan penuh kejutan. Dalam beberapa hal, ia berbeda dari pria-pria yang pernah Nadine kenal. "Tapi, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," kata Saga setelah beberapa lama terdiam. "Tentang kamu, Nadine. Apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidupmu?" Pertanyaan itu membuat Nadine terhenti sejenak. Ia menatap Saga, melihat mata pria itu yang penuh dengan ketulusan. Ini adalah pertanyaan yang seharusnya ia jawab, tetapi ia merasa kebingungan. Apa yang ia inginkan? Setelah bertahun-tahun berjuang untuk dirinya sendiri, ia tidak tahu apakah ia bisa menjawab pertanyaan itu dengan jelas. "Saya.. saya ingin menjalani hidup yang berarti," kata Nadine akhirnya, meski dengan ragu. "Saya ingin merasa dihargai, tidak hanya sebagai seorang sekretaris, tetapi sebagai seseorang yang memiliki impian dan tujuan." Saga mengangguk, seakan memahami dengan baik apa yang Nadine rasakan. "Dan aku yakin kamu bisa mendapatkannya, Nadine. Kamu lebih dari sekadar seorang sekretaris." Kata-kata Saga menggetarkan hati Nadine. Ada sesuatu yang lebih di balik perkataan itu, sesuatu yang membuat hatinya berdebar, meskipun ia masih berusaha untuk menahan diri.Keesokan harinya, perasaan Nadine masih belum bisa terurai sepenuhnya. Meskipun dia merasa nyaman bersama Saga, pikirannya terus saja kembali ke masa lalu, terutama kepada Antonio. Wajah pria itu, suara, dan kenangan mereka yang manis—semuanya seakan tak bisa dihilangkan begitu saja.Pagi itu, Nadine tiba lebih awal di kantor. Seperti biasa, dia duduk di meja kerjanya, memeriksa email dan laporan yang masuk. Namun, hatinya terasa kosong. Pekerjaan yang biasanya membuatnya sibuk dan lupa waktu kali ini terasa begitu hampa. Dia menoleh ke arah meja Saga, yang sudah tampak kosong. Pria itu mungkin sudah datang lebih awal untuk mempersiapkan rapat penting yang akan mereka hadapi hari ini. Sejak menjadi CEO, Saga memang dikenal sangat disiplin dan penuh perhatian terhadap detail.Nadine menarik napas panjang dan memfokuskan pikirannya kembali pada pekerjaan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Antonio.Antonio: "Nadine, kita perlu bicara."Pesan itu seperti petir
Hari-hari setelah pertemuan dengan Antonio terasa semakin berat bagi Nadine. Setiap kali dia melihat Saga di kantor, perasaan yang sulit dijelaskan muncul. Ada ketertarikan yang berkembang, tetapi juga perasaan bersalah karena pertemuan dengan Antonio yang masih menghantui pikirannya. Nadine merasa terjepit di antara dua dunia yang sangat berbeda, dan ini semakin membingungkannya.Hari itu, seperti biasanya, Nadine datang lebih awal ke kantor. Dia duduk di mejanya, membaca beberapa laporan, tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Apa yang seharusnya dia lakukan? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Semua pertanyaan itu terulang dalam benaknya, dan jawabannya tidak kunjung datang.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Saga masuk dengan langkah cepat. Matanya langsung mencari Nadine, dan begitu mereka saling bertatap mata, ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka berdua. Nadine merasa sedikit cemas, namun dia berusaha tetap tenang."Nadine, bisa bicara sebentar?" tanya Saga, suara pri
Hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Nadine merasa seluruh tubuhnya kaku ketika dia memasuki kafe tempat pertemuan yang disepakati dengan Antonio. Suasana kafe yang biasa, dengan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung, kini terasa berbeda. Setiap langkah yang dia ambil, hati Nadine semakin berdebar. Inilah saat yang menegangkan, yang akan menentukan arah hidupnya.Dia memilih meja di sudut ruangan, tempat yang sedikit lebih pribadi. Tidak lama setelah itu, Antonio datang. Meskipun wajahnya tidak banyak berubah, ada sesuatu yang berbeda. Antonio kini terlihat lebih matang, lebih serius, dan kesan kekanak-kanakan yang dulu ada pada dirinya sudah menghilang. Matanya bertemu dengan mata Nadine, dan dalam sekejap, seakan waktu berhenti sejenak."Nadine," kata Antonio pelan, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini mungkin sulit bagimu."Nadine menatapnya, mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh perasaan yang bergolak di dalam hatinya. "Anto
Setelah pertemuan dengan Antonio, hari-hari Nadine terasa semakin berat. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang menggelora dalam dirinya, yang membingungkan antara cinta lama dan kemungkinan untuk sesuatu yang baru. Antonio sudah kembali, menawarkan harapan akan perubahan dan kesempatan kedua. Di sisi lain, Saga, meskipun tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, selalu hadir dengan sikap yang penuh perhatian. Bagaimana bisa dia memilih di antara keduanya?Pagi itu, saat Nadine tiba di kantor, dia langsung disambut oleh Saga. Sesuatu dalam cara Saga menatapnya membuat Nadine merasa sedikit cemas. Ada semacam ketegangan yang mengendap, namun Saga tetap tampil profesional."Nadine, ada beberapa dokumen yang perlu kamu urus," kata Saga dengan nada serius. "Aku ingin kamu mengerjakannya segera."Nadine mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Tentu, Saga. Saya akan segera menangani semuanya."Saga tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa berbeda. Nadine merasa ada sesuatu yang se
Setelah pertemuan itu, Nadine merasa seperti berada di persimpangan jalan. Dua arah yang begitu berbeda menantinya—masa lalu yang penuh dengan kenangan manis bersama Antonio, dan masa depan yang penuh ketidakpastian bersama Saga. Kedua pria itu menawarkan sesuatu yang berbeda, namun keduanya juga membawa beban yang tak bisa dia tinggalkan begitu saja. Apa yang harus dia lakukan?Hari berikutnya, di kantor, Nadine mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus terombang-ambing antara Antonio dan Saga. Setiap kali dia melihat Saga, ada rasa nyaman dan perhatian yang tidak bisa diabaikan. Tetapi, dia juga tidak bisa menghindari perasaan yang mendalam terhadap Antonio, meskipun masa lalu mereka penuh dengan luka.Saat Saga memanggilnya ke ruang kerjanya, Nadine merasa hatinya berdebar. Dia tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan. Saga pasti merasakan ada yang berbeda, ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka."Nadine," Saga memulai dengan suara yang lebih dalam d
Nadine duduk di bangku taman, memandang langit yang mulai gelap. Udara sore yang sejuk menenangkan pikirannya yang kacau. Pikirannya berkelana, mengingat perasaan yang dulu dia miliki untuk Antonio dan apa yang dia rasakan saat berada di dekat Saga. Keduanya membawa kebahagiaan yang berbeda, namun juga rasa sakit yang tak bisa dia lupakan.Ponselnya bergetar lagi, mengganggu keheningan. Itu adalah pesan dari Antonio.Antonio: "Nadine, aku tahu ini sulit. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku ingin kamu kembali ke sisiku. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."Setelah membaca pesan itu, Nadine merasakan gelombang emosi yang kuat. Perasaan lama kembali muncul, namun dia tahu betul bahwa semuanya tidak semudah itu. Hubungannya dengan Antonio adalah perjalanan yang penuh dengan cinta dan luka. Dia mengingat masa-masa indah mereka, ketika Antonio masih berjuang bersama-sama dengannya. Namun, ada kenyataan yang tak bisa dia abaikan—Antonio telah meninggalkannya saat dia paling membu
Hari itu terasa begitu panjang bagi Nadine. Setiap detik di kantor seakan dipenuhi dengan kebingungannya. Pikiran tentang Antonio dan Saga terus menghantuinya, membuatnya sulit untuk fokus pada pekerjaan. Meskipun begitu, Nadine tahu bahwa dia harus segera membuat keputusan. Perasaan yang telah menguasai dirinya selama ini tidak bisa terus dibiarkan menggantung tanpa kepastian.Ketika Saga masuk ke ruangannya sore itu, Nadine merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Pria itu selalu memiliki kemampuan untuk membuat Nadine merasa lebih tenang, tetapi juga lebih bingung pada saat yang bersamaan. Meskipun dia berusaha untuk tetap profesional, dia tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh di dalam hatinya."Saga," ujar Nadine dengan suara yang agak pelan, mencoba menjaga jarak antara profesionalisme dan perasaan pribadi. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."Saga menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. "Tentu, Nadine. Apa yang kamu pikirkan?"Nadine menarik napas
Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan bagi Nadine. Keputusan yang telah diambilnya untuk melangkah maju bersama Saga memberikan ketenangan di dalam dirinya. Meski kadang bayangan masa lalu bersama Antonio masih mengganggu, Nadine tahu bahwa dirinya layak untuk bahagia, dan dia mulai merasa siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.Di kantor, suasana sedikit berubah. Keberadaan Saga yang lebih sering terlibat dalam rapat-rapat besar dan pertemuan-pertemuan penting membuat Nadine harus lebih banyak berinteraksi dengan CEO muda itu. Namun, interaksi mereka kini terasa berbeda. Ada sebuah ketegangan yang samar di antara mereka, seolah keduanya tidak ingin terburu-buru dalam menjalani hubungan yang baru dimulai ini. Nadine masih merasa sedikit canggung, tetapi ada kenyamanan yang mengalir begitu saja saat mereka berbicara satu sama lain.Suatu pagi, ketika Nadine sedang sibuk menata dokumen di mejanya, Saga mendekat dan duduk di kursi di depan meja kerjanya. Nadine mengangkat pan
Pagi itu, Nadine merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, namun jantungnya tetap berdegup kencang setiap kali teringat makan siang dengan Saga kemarin. Hubungan mereka yang semakin dalam semakin sulit untuk disembunyikan, tapi mereka berdua tahu betul bahwa di kantor, mereka harus menjaga profesionalisme.Namun, di saat yang bersamaan, mereka berdua sudah tidak bisa menahan godaan kecil yang selalu hadir, bahkan di tengah-tengah rapat penting.Pagi itu, rapat berlangsung seperti biasa. Para eksekutif dan manajer saling bertukar ide dan laporan. Nadine duduk di meja panjang, terdiam dan mencatat setiap poin yang dibahas. Namun, di antara banyaknya diskusi tentang strategi perusahaan, pandangannya lebih sering tertuju pada Saga yang duduk di ujung meja, tampak serius namun tetap memancarkan karisma yang tidak bisa diabaikan.Nadine merasa matanya terkadang bertemu dengan mata Saga, dan setiap kali itu terjadi, ada semacam kehangatan yang datang dari dalam
Saat rapat dimulai, suasana di ruang rapat terasa lebih intens dari biasanya. Semua rekan kerja terlihat serius, tetapi Nadine bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali pandangan mereka bertemu, Nadine merasa ada semacam percikan di antara mereka berdua. Lirik-lirikan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.Di tengah rapat, ketika kepala bagian keuangan sedang menjelaskan laporan bulanan, Nadine merasakan pandangan Saga yang tajam mengarah padanya. Tanpa suara, tanpa kata, hanya dengan tatapan mata, mereka berdua saling mengerti. Saga mengerutkan alisnya sedikit, seolah memberi isyarat agar Nadine memperhatikan presentasi, dan Nadine hanya mengangguk sambil menahan senyum.Pernah, saat salah seorang manajer memberikan laporan tentang proyek baru, Nadine merasakan jari Saga yang dengan sengaja menyentuh tangannya di bawah meja. Jantung Nadine berdebar begitu keras, seolah seluruh dunia hanya berputar di sekitar sentuhan kecil itu. Namun, dia hanya bisa melirik ke
Rooftop gedung perusahaan menjadi tempat yang jarang dikunjungi kecuali oleh mereka yang mencari ketenangan. Malam itu, Nadine sengaja memilih tempat tersebut untuk menghabiskan waktu. Setelah seharian bekerja, dia butuh momen untuk bernapas. Langit malam penuh bintang, memberikan rasa damai yang tak bisa dia temukan di ruangan ber-AC dan lampu neon yang terlalu terang.Secangkir teh hangat berada dalam genggamannya. Asapnya mengepul tipis, melawan udara malam yang dingin. Pandangannya tertuju pada hamparan bintang yang seperti berlomba-lomba memamerkan sinar mereka. "Andai hidup ini sesederhana langit malam," pikirnya.Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nadine sedikit menoleh, cukup untuk melihat siapa yang datang."Sendiri aja?" suara berat yang sudah sangat akrab itu menyapanya. Saga Avendra, CEO muda yang selalu tampil memukau, kini berdiri di belakangnya.Nadine tersenyum tipis tanpa menoleh sepenuhnya. “Kadang menyendiri itu menyen
Saga dan Nadine tidak bisa lagi bersembunyi. Ketegangan antara mereka semakin memuncak setelah pesan misterius yang mereka terima. Mereka tahu bahwa Sisca tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, perasaan mereka satu sama lain sudah semakin kuat, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan membiarkan ketakutan dan ancaman menghancurkan apa yang telah mereka bangun.---Beberapa hari setelah pesan terakhir dari Sisca, Saga memutuskan untuk bertindak."Aku sudah cukup," kata Saga, matanya penuh tekad. "Aku akan menemui orang yang ada di balik semua ini."Nadine memandangnya dengan cemas. "Saga, hati-hati. Jika Sisca tahu kita bergerak, dia bisa lebih berbahaya lagi.""Aku tahu, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menghadapi ini sekarang juga," jawab Saga. Dia meraih tangan Nadine dan menggenggamnya erat. "Kamu bersedia menghadapinya bersamaku?"Nadine terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Saga. Dia tahu betul bahwa ini bukan hanya tentang mere
Di kediaman Saga, malam ituSaga dan Nadine duduk berhadapan. Di ruangan itu, suasana lebih tenang meskipun keduanya tahu bahwa ancaman yang mengintai semakin besar.“Apa yang akan terjadi, Saga?” tanya Nadine pelan. “Jika semua ini terbuka, bagaimana jika kita tidak bisa bertahan?”Saga mengangkat wajahnya, menatap Nadine dengan penuh keyakinan. “Aku tidak akan biarkan apapun menghancurkan kita. Kita lebih kuat dari yang kita kira.”Dengan tatapan yang penuh tekad, Saga meraih tangan Nadine. “Aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama.”Nadine menatapnya dalam-dalam. Di mata Saga, dia melihat bukan hanya janji, tetapi sebuah harapan yang menguatkan dirinya untuk bertahan.“Aku percaya padamu, Saga,” ucap Nadine, suara lembut namun penuh kepercayaan.---Namun, saat mereka berbicara, ponsel Saga berdering. Dia melihat nama yang muncul di layar, dan wajahnya berubah seketika.“Ada apa?” tanya Nadine dengan cemas.Saga mengangkat telepon dengan cep
Hari berlalu dengan cepat, dan suasana di kantor semakin mencekam. Orang-orang mulai memperhatikan perubahan besar yang terjadi antara Saga dan Sisca. Beberapa mulai berspekulasi bahwa hubungan mereka sudah di ujung tanduk.Namun, ada satu hal yang lebih mengguncang, sesuatu yang lebih pribadi. Saga tiba-tiba menerima telepon dari ibunya yang sudah lama tidak menghubunginya.“Saga, kamu benar-benar ingin melawan Sisca?” suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran di ujung telepon. “Kau tahu dia bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, bukan?”Saga menggigit bibirnya. “Ibu, aku sudah cukup mendengar ancaman dari Sisca. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangnya selamanya. Dan aku tidak akan membiarkan dia menyakiti orang yang aku cintai.”“Ini bukan hanya tentang kamu, Saga,” suara ibunya mulai terdengar lebih lembut. “Keluarga kita sudah sangat terbuka dalam dunia bisnis. Jika reputasi kita tercoreng, semuanya bisa hancur.”Saga menatap Nadine yang sedang bekerja di luar ruangan. Ada
Saga duduk di depan meja kerjanya dengan ponsel di tangan, membaca ulang pesan anonim yang baru saja diterimanya. Dia tahu Sisca sedang mencoba mengintimidasi, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan Nadine terjebak dalam permainan itu sendirian.Dia langsung menghubungi pengacara keluarganya, meminta langkah hukum untuk melindungi dirinya dan Nadine. Setelah itu, dia menelepon seseorang yang sudah lama dipercayainya untuk menyelidiki Sisca dan orang-orang yang terlibat dalam menyebarkan rumor.---Di kantor, pagi harinyaNadine tiba di kantor lebih awal, berharap bisa menghindari tatapan dan bisik-bisik dari rekan-rekan kerjanya. Namun, saat dia duduk di mejanya, dia menemukan sebuah amplop berwarna merah di atas keyboard.Dengan hati-hati, dia membuka amplop itu. Isinya adalah foto dirinya dan Saga, diambil dari berbagai sudut. Beberapa foto menunjukkan mereka berbicara di ruang rapat, dan ada satu foto saat Saga menyentuh tangan Nadine beberapa hari lalu.Di bawah foto itu, terda
Beberapa hari kemudianSaga mendatangi rumah Nadine di malam hari. Ketika Nadine membuka pintu, dia terkejut melihat wajah Saga yang penuh tekad.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.“Aku tidak bisa tinggal diam, Nadine. Aku sudah menemukan siapa yang mengirimi email itu.”Nadine terdiam, hatinya berdebar. “Siapa?”Saga mengepalkan tangannya. “Itu memang orang suruhan Sisca.”Air mata Nadine hampir tumpah. Perasaannya antara marah dan takut. “Kenapa dia melakukan ini, Saga? Apa dia benar-benar membenciku sebanyak itu?”Saga mendekat, memegang kedua bahunya dengan lembut. “Bukan karena dia membencimu, Nadine. Tapi karena dia takut kehilangan kendali atas hidupku. Aku sudah berbicara dengan keluargaku, dan aku memastikan bahwa pertunangan itu tidak akan pernah terjadi.”Nadine menatapnya ragu. “Tapi dia tidak akan berhenti, Saga. Sisca... dia bukan orang yang mudah menyerah.”Saga tersenyum kecil, penuh keyakinan. “Aku tahu. Tapi aku juga tidak akan menyerah untuk melindungimu. Aku
Keesokan harinya, Nadine masih menjaga jarak. Dia berusaha menghindari kontak mata dengan Saga. Pekerjaannya dia selesaikan dengan cepat, memastikan tidak ada alasan untuk berbicara lebih dari yang diperlukan.Namun, Saga tidak membiarkan itu begitu saja.“Nadine, bisa kita bicara sebentar?” Saga menghampiri mejanya, suaranya rendah tapi penuh tekad.Nadine menatapnya sekilas sebelum mengangguk. “Tentu, Pak. Di ruangan Anda?”“Tidak. Kita bicara di luar, setelah jam kerja,” tegas Saga.Nadine tidak punya pilihan selain mengiyakan.---Malam itu, di sebuah kafeSaga memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Nadine datang beberapa menit setelahnya, dengan ekspresi penuh keraguan.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ujar Saga begitu mereka duduk. “Tapi aku harus menjelaskan segalanya sebelum kau salah paham lebih jauh.”Nadine diam, menunggu. Dia tidak ingin memotong pembicaraan, meskipun hatinya terasa berat.“Sisca dan aku... kami memang dijodohkan oleh keluarga. Tapi aku tida