Hari-hari setelah pertemuan dengan Antonio terasa semakin berat bagi Nadine. Setiap kali dia melihat Saga di kantor, perasaan yang sulit dijelaskan muncul. Ada ketertarikan yang berkembang, tetapi juga perasaan bersalah karena pertemuan dengan Antonio yang masih menghantui pikirannya. Nadine merasa terjepit di antara dua dunia yang sangat berbeda, dan ini semakin membingungkannya.
Hari itu, seperti biasanya, Nadine datang lebih awal ke kantor. Dia duduk di mejanya, membaca beberapa laporan, tetapi pikirannya tidak bisa fokus. Apa yang seharusnya dia lakukan? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Semua pertanyaan itu terulang dalam benaknya, dan jawabannya tidak kunjung datang. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Saga masuk dengan langkah cepat. Matanya langsung mencari Nadine, dan begitu mereka saling bertatap mata, ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka berdua. Nadine merasa sedikit cemas, namun dia berusaha tetap tenang. "Nadine, bisa bicara sebentar?" tanya Saga, suara pria itu terdengar lebih dalam dari biasanya. Nadine mengangguk, mencoba meredakan kegelisahan di dalam hati. "Tentu, Saga. Ada yang perlu dibicarakan?" Saga duduk di kursi di hadapan meja Nadine dan meletakkan beberapa dokumen. Wajahnya serius, namun ada kilatan kekhawatiran di matanya yang tak bisa disembunyikan. "Aku merasa belakangan ini kamu agak berbeda," kata Saga, memulai pembicaraan dengan hati-hati. "Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Kamu terlihat agak tertekan." Nadine menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan. Mungkin hanya kelelahan." Jawabnya, mencoba memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja, meski kenyataannya tidak begitu. Saga tidak langsung percaya. Dia menatap Nadine lebih lama, seolah menunggu sesuatu yang lebih. "Kamu tahu, Nadine," katanya perlahan, "jika ada sesuatu yang kamu ingin bicarakan, aku di sini. Aku tahu kita tidak banyak berbicara tentang hal pribadi, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku peduli." Perasaan Nadine semakin kacau mendengar kata-kata itu. Saga memang selalu bersikap profesional dan terpisah dengan kehidupan pribadi, tetapi sekarang dia memperlihatkan sisi lain yang lebih peduli, lebih manusiawi. Entah kenapa, perhatian seperti itu membuat hati Nadine semakin bingung. Di satu sisi, ada Antonio yang kembali datang untuk meminta maaf dan mengembalikan hubungan mereka. Namun, di sisi lain, Saga, pria muda yang tampaknya mulai melihat Nadine lebih dari sekadar sekertaris, membuatnya merasa dihargai. "Saya..." Nadine mencoba berbicara, namun suaranya tercekat. Tidak mudah untuk mengungkapkan perasaannya, terutama ketika semuanya terasa begitu rumit. Saga tersenyum lembut, seolah memahami kebingungannya. "Kamu tidak perlu merasa tertekan, Nadine. Jangan merasa kamu harus menyembunyikan perasaanmu. Kamu berhak merasakannya." Nadine menghela napas lagi, merasa semakin terbuka. Meskipun dia tidak bisa mengungkapkan seluruh isi hatinya, dia merasa sedikit lega bisa berbicara dengan Saga. "Saya tidak tahu bagaimana melanjutkan semuanya, Tuan. Saya baru saja bertemu dengan Antonio lagi, dan Saya merasa bingung. Sudah tujuh tahun sejak kami berpisah, dan sekarang dia kembali dalam hidup saya." Saga mendengarkan dengan seksama, tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya, hanya fokus yang penuh perhatian. "Antonio?" tanya Saga dengan nada yang agak berat. "Apa yang dia inginkan darimu?" Nadine merasa sedikit canggung dengan pertanyaan itu. "Dia ingin kembali, Tuan. Dia mengatakan bahwa dia menyesal dan ingin memperbaiki semuanya." Saga terdiam sejenak, seolah mencerna informasi yang baru saja diterimanya. "Dan bagaimana perasaanmu tentang itu?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut, namun terdengar lebih dalam. Nadine menggigit bibir bawahnya. "Saya... saya tidak tahu. Di satu sisi, saya merasa bahwa saya tidak bisa kembali ke masa lalu, ke hubungan yang telah hancur. Tetapi di sisi lain, saya merasa terikat oleh kenangan lama. Saya merasa kebingungannya ada di dalam diri saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya pilih." Saga menatapnya dengan tatapan yang penuh pemahaman. "Kamu tidak perlu buru-buru membuat keputusan, Nadine. Hal seperti ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam sehari. Tetapi yang paling penting, kamu harus jujur pada dirimu sendiri tentang apa yang kamu rasakan. Hanya dengan begitu, kamu bisa tahu apa yang benar-benar kamu inginkan." Kata-kata Saga mengena dalam hati Nadine. Dia merasa lega bisa berbicara dengan seseorang yang benar-benar mendengarkan tanpa menghakimi. Namun, perasaan yang muncul dalam dirinya semakin kompleks. Apakah perasaannya untuk Saga benar-benar hanya sekadar rasa terima kasih atas perhatian yang diberikan, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam? Dan di sisi lain, perasaan terhadap Antonio—perasaan yang selama ini tertahan, kini kembali muncul. --- Pagi berikutnya, Nadine pergi ke kantor seperti biasa. Namun, di dalam dirinya, perasaan itu masih bergejolak. Ketika tiba di kantor, dia tidak menemukan Saga di ruang kerjanya. Sebagai gantinya, dia melihat sebuah dokumen yang sudah dia siapkan di meja kerjanya, dengan catatan singkat di atasnya. Saga: "Ada rapat penting siang ini. Pastikan kamu siap." Nadine membaca catatan itu dan merasakan adanya kedekatan yang berbeda, meskipun semuanya tetap profesional. Apakah perasaan ini bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih, ataukah ini hanya sebuah fase? Semua itu masih menjadi misteri. Siang itu, rapat berlangsung seperti biasa, namun setelah rapat selesai, Saga mengajak Nadine untuk makan siang bersama. Mereka berdua duduk di sebuah restoran kecil dekat kantor, menikmati makan siang dengan pembicaraan ringan. Namun, di balik percakapan santai itu, Nadine bisa merasakan ada ketegangan yang tidak terucapkan. Ketegangan yang berasal dari perasaan yang tumbuh, yang tidak bisa mereka abaikan. --- Setelah makan siang, ketika mereka kembali ke kantor, Nadine merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Saga masih tampak seperti biasa, namun ada kesan bahwa perasaan mereka mulai berkembang, meskipun belum ada kata-kata yang diucapkan. Ketika waktu pulang tiba, Nadine merasa sedikit cemas. Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuk bertemu dengan Antonio. Dia harus menghadapi masa lalu—dan mungkin, keputusan yang akan menentukan masa depannya.Hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Nadine merasa seluruh tubuhnya kaku ketika dia memasuki kafe tempat pertemuan yang disepakati dengan Antonio. Suasana kafe yang biasa, dengan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung, kini terasa berbeda. Setiap langkah yang dia ambil, hati Nadine semakin berdebar. Inilah saat yang menegangkan, yang akan menentukan arah hidupnya.Dia memilih meja di sudut ruangan, tempat yang sedikit lebih pribadi. Tidak lama setelah itu, Antonio datang. Meskipun wajahnya tidak banyak berubah, ada sesuatu yang berbeda. Antonio kini terlihat lebih matang, lebih serius, dan kesan kekanak-kanakan yang dulu ada pada dirinya sudah menghilang. Matanya bertemu dengan mata Nadine, dan dalam sekejap, seakan waktu berhenti sejenak."Nadine," kata Antonio pelan, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini mungkin sulit bagimu."Nadine menatapnya, mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh perasaan yang bergolak di dalam hatinya. "Anto
Setelah pertemuan dengan Antonio, hari-hari Nadine terasa semakin berat. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang menggelora dalam dirinya, yang membingungkan antara cinta lama dan kemungkinan untuk sesuatu yang baru. Antonio sudah kembali, menawarkan harapan akan perubahan dan kesempatan kedua. Di sisi lain, Saga, meskipun tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, selalu hadir dengan sikap yang penuh perhatian. Bagaimana bisa dia memilih di antara keduanya?Pagi itu, saat Nadine tiba di kantor, dia langsung disambut oleh Saga. Sesuatu dalam cara Saga menatapnya membuat Nadine merasa sedikit cemas. Ada semacam ketegangan yang mengendap, namun Saga tetap tampil profesional."Nadine, ada beberapa dokumen yang perlu kamu urus," kata Saga dengan nada serius. "Aku ingin kamu mengerjakannya segera."Nadine mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Tentu, Saga. Saya akan segera menangani semuanya."Saga tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa berbeda. Nadine merasa ada sesuatu yang se
Setelah pertemuan itu, Nadine merasa seperti berada di persimpangan jalan. Dua arah yang begitu berbeda menantinya—masa lalu yang penuh dengan kenangan manis bersama Antonio, dan masa depan yang penuh ketidakpastian bersama Saga. Kedua pria itu menawarkan sesuatu yang berbeda, namun keduanya juga membawa beban yang tak bisa dia tinggalkan begitu saja. Apa yang harus dia lakukan?Hari berikutnya, di kantor, Nadine mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus terombang-ambing antara Antonio dan Saga. Setiap kali dia melihat Saga, ada rasa nyaman dan perhatian yang tidak bisa diabaikan. Tetapi, dia juga tidak bisa menghindari perasaan yang mendalam terhadap Antonio, meskipun masa lalu mereka penuh dengan luka.Saat Saga memanggilnya ke ruang kerjanya, Nadine merasa hatinya berdebar. Dia tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan. Saga pasti merasakan ada yang berbeda, ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka."Nadine," Saga memulai dengan suara yang lebih dalam d
Nadine duduk di bangku taman, memandang langit yang mulai gelap. Udara sore yang sejuk menenangkan pikirannya yang kacau. Pikirannya berkelana, mengingat perasaan yang dulu dia miliki untuk Antonio dan apa yang dia rasakan saat berada di dekat Saga. Keduanya membawa kebahagiaan yang berbeda, namun juga rasa sakit yang tak bisa dia lupakan.Ponselnya bergetar lagi, mengganggu keheningan. Itu adalah pesan dari Antonio.Antonio: "Nadine, aku tahu ini sulit. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku ingin kamu kembali ke sisiku. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."Setelah membaca pesan itu, Nadine merasakan gelombang emosi yang kuat. Perasaan lama kembali muncul, namun dia tahu betul bahwa semuanya tidak semudah itu. Hubungannya dengan Antonio adalah perjalanan yang penuh dengan cinta dan luka. Dia mengingat masa-masa indah mereka, ketika Antonio masih berjuang bersama-sama dengannya. Namun, ada kenyataan yang tak bisa dia abaikan—Antonio telah meninggalkannya saat dia paling membu
Hari itu terasa begitu panjang bagi Nadine. Setiap detik di kantor seakan dipenuhi dengan kebingungannya. Pikiran tentang Antonio dan Saga terus menghantuinya, membuatnya sulit untuk fokus pada pekerjaan. Meskipun begitu, Nadine tahu bahwa dia harus segera membuat keputusan. Perasaan yang telah menguasai dirinya selama ini tidak bisa terus dibiarkan menggantung tanpa kepastian.Ketika Saga masuk ke ruangannya sore itu, Nadine merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Pria itu selalu memiliki kemampuan untuk membuat Nadine merasa lebih tenang, tetapi juga lebih bingung pada saat yang bersamaan. Meskipun dia berusaha untuk tetap profesional, dia tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh di dalam hatinya."Saga," ujar Nadine dengan suara yang agak pelan, mencoba menjaga jarak antara profesionalisme dan perasaan pribadi. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."Saga menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. "Tentu, Nadine. Apa yang kamu pikirkan?"Nadine menarik napas
Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan bagi Nadine. Keputusan yang telah diambilnya untuk melangkah maju bersama Saga memberikan ketenangan di dalam dirinya. Meski kadang bayangan masa lalu bersama Antonio masih mengganggu, Nadine tahu bahwa dirinya layak untuk bahagia, dan dia mulai merasa siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.Di kantor, suasana sedikit berubah. Keberadaan Saga yang lebih sering terlibat dalam rapat-rapat besar dan pertemuan-pertemuan penting membuat Nadine harus lebih banyak berinteraksi dengan CEO muda itu. Namun, interaksi mereka kini terasa berbeda. Ada sebuah ketegangan yang samar di antara mereka, seolah keduanya tidak ingin terburu-buru dalam menjalani hubungan yang baru dimulai ini. Nadine masih merasa sedikit canggung, tetapi ada kenyamanan yang mengalir begitu saja saat mereka berbicara satu sama lain.Suatu pagi, ketika Nadine sedang sibuk menata dokumen di mejanya, Saga mendekat dan duduk di kursi di depan meja kerjanya. Nadine mengangkat pan
Musim semi membawa udara segar yang mengisi setiap sudut kota besar itu. Pepohonan di sekitar gedung perkantoran mulai bermekaran, dan bunga-bunga berwarna cerah menyambut pagi. Nadine berdiri di balkon ruangannya, memandang kota yang sibuk dengan segala aktivitasnya. Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa ringan, seperti beban yang selama ini mengikat dirinya telah terlepas.Keputusan yang diambil beberapa minggu lalu untuk memberi ruang bagi perasaan yang tumbuh antara dirinya dan Saga mulai membuahkan hasil. Setelah berbicara panjang lebar dengan Antonio dan menyelesaikan luka lama yang masih tersisa di hatinya, Nadine akhirnya merasa siap untuk melangkah maju.Teriakan kecil seorang anak yang sedang bermain di taman di bawah gedungnya mengingatkannya pada masa kecilnya yang sederhana. Sebuah senyum merekah di wajahnya. Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, ia benar-benar bebas. Bebas dari masa lalu yang mengekang, bebas dari rasa takut akan p
Keesokan harinya, Nadine masih menjaga jarak. Dia berusaha menghindari kontak mata dengan Saga. Pekerjaannya dia selesaikan dengan cepat, memastikan tidak ada alasan untuk berbicara lebih dari yang diperlukan.Namun, Saga tidak membiarkan itu begitu saja.“Nadine, bisa kita bicara sebentar?” Saga menghampiri mejanya, suaranya rendah tapi penuh tekad.Nadine menatapnya sekilas sebelum mengangguk. “Tentu, Pak. Di ruangan Anda?”“Tidak. Kita bicara di luar, setelah jam kerja,” tegas Saga.Nadine tidak punya pilihan selain mengiyakan.---Malam itu, di sebuah kafeSaga memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Nadine datang beberapa menit setelahnya, dengan ekspresi penuh keraguan.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ujar Saga begitu mereka duduk. “Tapi aku harus menjelaskan segalanya sebelum kau salah paham lebih jauh.”Nadine diam, menunggu. Dia tidak ingin memotong pembicaraan, meskipun hatinya terasa berat.“Sisca dan aku... kami memang dijodohkan oleh keluarga. Tapi aku tida
Pagi itu, Nadine merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, namun jantungnya tetap berdegup kencang setiap kali teringat makan siang dengan Saga kemarin. Hubungan mereka yang semakin dalam semakin sulit untuk disembunyikan, tapi mereka berdua tahu betul bahwa di kantor, mereka harus menjaga profesionalisme.Namun, di saat yang bersamaan, mereka berdua sudah tidak bisa menahan godaan kecil yang selalu hadir, bahkan di tengah-tengah rapat penting.Pagi itu, rapat berlangsung seperti biasa. Para eksekutif dan manajer saling bertukar ide dan laporan. Nadine duduk di meja panjang, terdiam dan mencatat setiap poin yang dibahas. Namun, di antara banyaknya diskusi tentang strategi perusahaan, pandangannya lebih sering tertuju pada Saga yang duduk di ujung meja, tampak serius namun tetap memancarkan karisma yang tidak bisa diabaikan.Nadine merasa matanya terkadang bertemu dengan mata Saga, dan setiap kali itu terjadi, ada semacam kehangatan yang datang dari dalam
Saat rapat dimulai, suasana di ruang rapat terasa lebih intens dari biasanya. Semua rekan kerja terlihat serius, tetapi Nadine bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali pandangan mereka bertemu, Nadine merasa ada semacam percikan di antara mereka berdua. Lirik-lirikan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.Di tengah rapat, ketika kepala bagian keuangan sedang menjelaskan laporan bulanan, Nadine merasakan pandangan Saga yang tajam mengarah padanya. Tanpa suara, tanpa kata, hanya dengan tatapan mata, mereka berdua saling mengerti. Saga mengerutkan alisnya sedikit, seolah memberi isyarat agar Nadine memperhatikan presentasi, dan Nadine hanya mengangguk sambil menahan senyum.Pernah, saat salah seorang manajer memberikan laporan tentang proyek baru, Nadine merasakan jari Saga yang dengan sengaja menyentuh tangannya di bawah meja. Jantung Nadine berdebar begitu keras, seolah seluruh dunia hanya berputar di sekitar sentuhan kecil itu. Namun, dia hanya bisa melirik ke
Rooftop gedung perusahaan menjadi tempat yang jarang dikunjungi kecuali oleh mereka yang mencari ketenangan. Malam itu, Nadine sengaja memilih tempat tersebut untuk menghabiskan waktu. Setelah seharian bekerja, dia butuh momen untuk bernapas. Langit malam penuh bintang, memberikan rasa damai yang tak bisa dia temukan di ruangan ber-AC dan lampu neon yang terlalu terang.Secangkir teh hangat berada dalam genggamannya. Asapnya mengepul tipis, melawan udara malam yang dingin. Pandangannya tertuju pada hamparan bintang yang seperti berlomba-lomba memamerkan sinar mereka. "Andai hidup ini sesederhana langit malam," pikirnya.Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nadine sedikit menoleh, cukup untuk melihat siapa yang datang."Sendiri aja?" suara berat yang sudah sangat akrab itu menyapanya. Saga Avendra, CEO muda yang selalu tampil memukau, kini berdiri di belakangnya.Nadine tersenyum tipis tanpa menoleh sepenuhnya. “Kadang menyendiri itu menyen
Saga dan Nadine tidak bisa lagi bersembunyi. Ketegangan antara mereka semakin memuncak setelah pesan misterius yang mereka terima. Mereka tahu bahwa Sisca tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, perasaan mereka satu sama lain sudah semakin kuat, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan membiarkan ketakutan dan ancaman menghancurkan apa yang telah mereka bangun.---Beberapa hari setelah pesan terakhir dari Sisca, Saga memutuskan untuk bertindak."Aku sudah cukup," kata Saga, matanya penuh tekad. "Aku akan menemui orang yang ada di balik semua ini."Nadine memandangnya dengan cemas. "Saga, hati-hati. Jika Sisca tahu kita bergerak, dia bisa lebih berbahaya lagi.""Aku tahu, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menghadapi ini sekarang juga," jawab Saga. Dia meraih tangan Nadine dan menggenggamnya erat. "Kamu bersedia menghadapinya bersamaku?"Nadine terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Saga. Dia tahu betul bahwa ini bukan hanya tentang mere
Di kediaman Saga, malam ituSaga dan Nadine duduk berhadapan. Di ruangan itu, suasana lebih tenang meskipun keduanya tahu bahwa ancaman yang mengintai semakin besar.“Apa yang akan terjadi, Saga?” tanya Nadine pelan. “Jika semua ini terbuka, bagaimana jika kita tidak bisa bertahan?”Saga mengangkat wajahnya, menatap Nadine dengan penuh keyakinan. “Aku tidak akan biarkan apapun menghancurkan kita. Kita lebih kuat dari yang kita kira.”Dengan tatapan yang penuh tekad, Saga meraih tangan Nadine. “Aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama.”Nadine menatapnya dalam-dalam. Di mata Saga, dia melihat bukan hanya janji, tetapi sebuah harapan yang menguatkan dirinya untuk bertahan.“Aku percaya padamu, Saga,” ucap Nadine, suara lembut namun penuh kepercayaan.---Namun, saat mereka berbicara, ponsel Saga berdering. Dia melihat nama yang muncul di layar, dan wajahnya berubah seketika.“Ada apa?” tanya Nadine dengan cemas.Saga mengangkat telepon dengan cep
Hari berlalu dengan cepat, dan suasana di kantor semakin mencekam. Orang-orang mulai memperhatikan perubahan besar yang terjadi antara Saga dan Sisca. Beberapa mulai berspekulasi bahwa hubungan mereka sudah di ujung tanduk.Namun, ada satu hal yang lebih mengguncang, sesuatu yang lebih pribadi. Saga tiba-tiba menerima telepon dari ibunya yang sudah lama tidak menghubunginya.“Saga, kamu benar-benar ingin melawan Sisca?” suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran di ujung telepon. “Kau tahu dia bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, bukan?”Saga menggigit bibirnya. “Ibu, aku sudah cukup mendengar ancaman dari Sisca. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangnya selamanya. Dan aku tidak akan membiarkan dia menyakiti orang yang aku cintai.”“Ini bukan hanya tentang kamu, Saga,” suara ibunya mulai terdengar lebih lembut. “Keluarga kita sudah sangat terbuka dalam dunia bisnis. Jika reputasi kita tercoreng, semuanya bisa hancur.”Saga menatap Nadine yang sedang bekerja di luar ruangan. Ada
Saga duduk di depan meja kerjanya dengan ponsel di tangan, membaca ulang pesan anonim yang baru saja diterimanya. Dia tahu Sisca sedang mencoba mengintimidasi, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan Nadine terjebak dalam permainan itu sendirian.Dia langsung menghubungi pengacara keluarganya, meminta langkah hukum untuk melindungi dirinya dan Nadine. Setelah itu, dia menelepon seseorang yang sudah lama dipercayainya untuk menyelidiki Sisca dan orang-orang yang terlibat dalam menyebarkan rumor.---Di kantor, pagi harinyaNadine tiba di kantor lebih awal, berharap bisa menghindari tatapan dan bisik-bisik dari rekan-rekan kerjanya. Namun, saat dia duduk di mejanya, dia menemukan sebuah amplop berwarna merah di atas keyboard.Dengan hati-hati, dia membuka amplop itu. Isinya adalah foto dirinya dan Saga, diambil dari berbagai sudut. Beberapa foto menunjukkan mereka berbicara di ruang rapat, dan ada satu foto saat Saga menyentuh tangan Nadine beberapa hari lalu.Di bawah foto itu, terda
Beberapa hari kemudianSaga mendatangi rumah Nadine di malam hari. Ketika Nadine membuka pintu, dia terkejut melihat wajah Saga yang penuh tekad.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.“Aku tidak bisa tinggal diam, Nadine. Aku sudah menemukan siapa yang mengirimi email itu.”Nadine terdiam, hatinya berdebar. “Siapa?”Saga mengepalkan tangannya. “Itu memang orang suruhan Sisca.”Air mata Nadine hampir tumpah. Perasaannya antara marah dan takut. “Kenapa dia melakukan ini, Saga? Apa dia benar-benar membenciku sebanyak itu?”Saga mendekat, memegang kedua bahunya dengan lembut. “Bukan karena dia membencimu, Nadine. Tapi karena dia takut kehilangan kendali atas hidupku. Aku sudah berbicara dengan keluargaku, dan aku memastikan bahwa pertunangan itu tidak akan pernah terjadi.”Nadine menatapnya ragu. “Tapi dia tidak akan berhenti, Saga. Sisca... dia bukan orang yang mudah menyerah.”Saga tersenyum kecil, penuh keyakinan. “Aku tahu. Tapi aku juga tidak akan menyerah untuk melindungimu. Aku
Keesokan harinya, Nadine masih menjaga jarak. Dia berusaha menghindari kontak mata dengan Saga. Pekerjaannya dia selesaikan dengan cepat, memastikan tidak ada alasan untuk berbicara lebih dari yang diperlukan.Namun, Saga tidak membiarkan itu begitu saja.“Nadine, bisa kita bicara sebentar?” Saga menghampiri mejanya, suaranya rendah tapi penuh tekad.Nadine menatapnya sekilas sebelum mengangguk. “Tentu, Pak. Di ruangan Anda?”“Tidak. Kita bicara di luar, setelah jam kerja,” tegas Saga.Nadine tidak punya pilihan selain mengiyakan.---Malam itu, di sebuah kafeSaga memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Nadine datang beberapa menit setelahnya, dengan ekspresi penuh keraguan.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ujar Saga begitu mereka duduk. “Tapi aku harus menjelaskan segalanya sebelum kau salah paham lebih jauh.”Nadine diam, menunggu. Dia tidak ingin memotong pembicaraan, meskipun hatinya terasa berat.“Sisca dan aku... kami memang dijodohkan oleh keluarga. Tapi aku tida