Istri mana yang tidak sedih saat melihat suami pulang dengan wajah kusut, uring-uringan dan menyerahkan selembar surat pemutusan kerja. Begitu pula dengan dirinya, kaget dan tidak percaya tapi ini benar adanya.
Suaminya pulang, dengan menyampaikan sebuah berita yang sangat tidak enak bagi kelangsungan hidup keluarga mereka.
Mas Ardi, terkena pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaannya. Dia salah satu yang terkena pengurangan karyawan, sebagai efisiensi dari dampak perekonomian yang semakin lesu.
"Mas." Hani memeluk suaminya. Setetes air matanya jatuh di pipi.
Mereka berpelukan cukup lama. Ardi bahkan ikut menangis. Seumur hidup mereka bersama, Hani tidak pernah melihat suaminya menitikkan air mata. Bahkan saat kepergian ayahnya, dia terlihat sangat tegar.
"Maafkan mas, ya. Udah bikin adek kecewa." Dia terisak.
Ardi bukanlah laki-laki lemah. Dia tangguh, cerdas dan berprestasi. Masa kerjanya juga sudah cukup lama, enam tahun dari sebelum mereka menikah. Dia bahkan beberapa kali mendapat penghargaan dari kantor atas prestasinya di beberapa acara.
Dulu mereka bekerja di satu perusahaan. Aturan yang berlaku tidak membolehkan suami istri satu kantor, akhirnya Hani memutuskan untuk rmengundurkan diri setelah menikah dan mengurus rumah atas permintaan suaminya.
Rumah tangga mereka sangat bahagia, sederhana tapi berkecukupan. Sampai akhirnya Tuhan menitipkan seorang anak laki-laki. Rasanya, hidup mereka sudah lengkap semuanya.
"Anggap saja ini ujian naik kelas, Mas. Kita mau dikasih rezeki lebih. Semoga nanti dapat ganti kerjaan yang lebih baik, ya."
Pelukan Ardi semakin erat. Dia bersyukur memiliki istri seperti Hani. Tidak banyak menuntut atas apa-apa yang belum mampu dia berikan. Wanita itu ikhlas menerima apa yang selama ini hanya mampu dia cukupi.
Hani memandangi kertas itu. Berulang kali membaca, meneliti setiap poin yang tertulis. Sebenarnya, kompensasi dari surat ini lumayan banyak. Suaminya mendapatkan pesangon yang lumayan. Bahkan cukup untuk biaya hidup mereka selama setahun. Tapi tetap saja, bagi seorang laki-laki harga diri tetaplah bekerja.
Hani mengusap rambut suaminya dengan lembut, saat Ardi merubah posisi dan berbaring dipangkuan istrinya. Mengucapkan kata-kata sebagai penghibur dan penenang diri.
Sebagai seorang istri yang taat, dia selalu berusaha menyenangkan suami dengan cara apa pun. Selama pernikahan ini pun, Ardi selalu bersikap baik dan tidak pernah kasar kepadanya.
Lelaki itu memang suami idaman bagi semua perempuan. Kasih sayang dan perhatiannya sangatlah berlimpah untuk anak dan istrinya.
***
.Tiga bulan sudah sejak terakhir interview di gedung besar itu, tidak ada panggilan lagi. Itu berarti dia tidak lolos. Sudah berapa banyak lowongan yang dia apply, tapi belum ada satupun yang memanggil kembali.Hani merasa sedikit putus asa. Semangat yang tadinya cukup menggebu, kini perlahan memudar seiring dengan berjalannya waktu.
Ada satu dua yang perusahaan yang memanggil, tapi langsung dinyatakan tidak lolos karena usianya yang sudah kurang produktif. Wajar saja, di usia segini, ada banyak hal yang sulit dia tangkap mengingat memory di kepalanya sudah sedikit berkurang.
Sementara menunggu, dia mencoba berjualan kue kecil-kecilan untuk menambah uang belanja. Hasilnya lumayan, bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setiap hari dia mengantar kue ke pasar untuk dititipkan ke beberapa toko. Kadang habis terjual, kadang tidak. Jika sisanya masih banyak, dia akan membagikannya kepada tetangga atau pemilik toko sebagai ucapan terima kasih.
Sampai saat ini suaminya juga belum mendapat pekerjaan. Berkali-kali dia mencoba melamar, tapi belum ada yang panggilan.
Sering kali dia mendapati ada lihat ada rona kecewa di wajah suaminya setiap kali ditolak atau tidak mendapat kabar lanjutan dari perusahaan yang dilamar.
Uang pesangon yang mereka tabung, sedikit demi sedikit juga mulai berkurang. Apalagi keluarga tidak ada yang tahu karena mereka tinggal jauh dari kota kelahiran.
Ardi juga setiap bulan masih tetap mengirim uang untuk ibu dan biaya sekolah adiknya, karena ayah sudah tidak ada.
Keluarga tidak ada yang tahu bahwa suaminya di rumahkan. Sengaja dirahasiakan, supaya tidak menjadi beban pikiran karena ibu sudah lanjut usia.
"Unda. Abang mau pipis." Si ganteng buah hatinya datang menghampiri. Dengan tertatih-tatih dia berjalan.
"Sini, Sayang." Hani menggendongnya.
Putranya sangat manja. Usianya sudah tiga tahun. Bicaranya juga belum terlalu lancar. Masih cadel, hanya kalimat tertentu yang jelas terucap.
Hani menuntunnya ke kamar mandi. Dengan telaten dia mengurus dan mengajarinya. Walaupun lelah tapi hatinya sangat bahagia. Anak memang anugerah Tuhan yang luar biasa dalam hidup kita.
Ponselnya berbunyi. Hani memilih untuk mengabaikan saja. Pikirnya entah siapa yang menghubunginya sore begini. Nanti saja dia akan menelepon balik, setelah selesai mengurus anaknya.
Dia menyerahkan putranya kepada suaminya di kamar. Kemudian mengambil ponsel diatas nakas. Ada panggilan dari nomor tak dikenal. Telepon rumah lagi. Entah siapa, jika memang penting pasti akan menelepon lagi.
Benar saja, tak lama ....
"Selamat sore. Apakah ini benar dengan Ibu Hani?" Terdengar suara seorang wanita di seberang sana.
"Ya. Saya sendiri." jawabnya.
"Kami dari perusahaan bla bla bla. Apakah benar pada tanggal sekian ibu mengirimkan lamaran pekerjaan di perusahaan kami?" tanya wanita itu detail.
"Iya benar, Mbak."
"Oh, baiklah."
Jantungnya berdetak kencang. Ada apakah ini? Apa suatu pertanda baik?
"Begini, Ibu. Kami ingin menyampaikan bahwa ibu dipanggil untuk sesi wawancara lanjutan dengan tim kami besok pagi jam sembilan. Apakah Ibu bersedia?"
"Apa? Eh, iya. Saya bersedia datang be-sok pa-gi," ucapnya terbata, gugup, antara percaya dan tidak. Rasanya, dia ingin bersorak girang sewaktu mendengarnya.
"Baiklah. Kami menunggu kedatangan ibu besok pagi pukul sembilan." Wanita itu mengulangi ucapannya.
"Iya. Saya akan datang," jawab Hani dengan semangat empat lima.
"Baik Ibu. Kami tunggu kedatangannya. Selamat sore." Sambungan telepon terputus.
Air matanya mengalir. Haru, segenap perasaan bercampur baur di dadanya. Beegegas dia masuk ke kamar. Dilihatnya lihat Ardi sudah tertidur. Putranya sedang asyik bermain sendiri dengan bola plastik. Sesekali melempar ayahnya. Namun, suaminya tetap tidak sadar.
Ardi tampak kelelahan setelah seharian membantu istrinya mengurus rumah dan menjaga anak mereka. Setiap Hani membuat kue, dialah yang pergi ke pasar, berbelanja dan membeli semua bahan.
Kadang-kadang Ardi membantunya mengerjakan pekerjaan di dapur jika putra mereka sedang rewel. Namanya juga anak-anak, tidak bisa jauh dari ibunya.
Dia tertawa melihat pemandangan itu. Bola yang memantul berkali-kali di kepala Ardi, tetapi dia tidak sadar sama sekali. Hal sederhana yang membuatnya bahagia.
Dia memutuskan nanti malam saja akan bercerita. Semoga suaminya ridho. Dia sudah tak sabar ingin segera menyampaikan kabar baik ini.
***
Dua orang itu duduk berhadapan. Mereka memandang satu sama lain dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Mas. Aku minta izin, ya." Suara lembut Hani sedikit meruntuhkan pertahanan Ardi. Sejak dulu, dia memang sulit untuk menolak semua permintaan istrinya.
"Kamu yakin?" Tatapan mata Ardi begitu tajam. Dia seperti tidak rela dengan keputusan yang diambil istrinya.
"Iya, Mas. Aku yakin banget. Ini juga kan buat anak kita. Enggak mungkin merepotkan orang lain terus," jawab Hani tegas.
"Tapi ..."
"Mas kan belum dapat kerjaan lagi. Sambil nunggu, boleh ya, aku kerja dulu sementara ini."
Memang tidak mudah baginya, tapi semoga ini yang terbaik untuk keluarga. Hanya ini satu-satunya cara agar mereka masih bisa bertahan hidup sampai suaminya bekerja lagi.
"Kasihan abang. Dia masih kecil. Masih butuh ibunya. Masa' kamu tinggal kerja?"
"Aku kan cuma sebentar aja, Mas. Sore sudah pulang. Weekend juga kan masih bisa nemenin abang main. Sama ngurusin rumah. Boleh, ya?" bujuknya.
"Abang gimana?" Ardi meragu.
Sebenarnya dia masih belum sepenuhnya rela melepas Hani bekerja di luar. Anak mereka masih kecil. Ditinggal sebentar saja kadang sudah menangis mencari ibunya.
Apalagi ini? Hani akan bekerja seharian. Sibuk mengurus orang lain di luar sana. Menghabiskan waktu dengan orang-orang yang bahkan Ardi sendiri tidak tahu siapa saja.
Dulu sewaktu mereka berpacaran, tidak masalah baginya jika Hani bekerja. Sekarang sudah berbeda kondisi, ada anak yang harus dikorbankan. Itu berat untuk Ardi putuskan.
Sebagai kepala keluarga, harusnya dia yang bertanggung jawab semuanya. Tapi dengan kondisi begini, mau tidak mau istrinya yang akan mengambil alih untuk sementara waktu.
"Nitip budhe sebelah," jawab Hani tenang.
Hani bukannya tidak percaya jika Ardi yang mengurus anak mereka. Walaupun bisa, tapi laki-laki memang kadang kurang telaten momong anak kecil.
"Mas sendiri gimana?" Dia tersenyum geli. Dalam hati berkata, sebenarnya bukan anak mereka yang manja, tetapi ayahnya.
Ardi sudah terbiasa dimanjakan istrinya dengan pelayanan yang baik di rumah. Jika Hani bekerja, sudah pasti beberapa hal akan dia akan lakukan sendiri.
"Belum tau." Lelaki itu tertunduk lemah.
"Mas ikut pelatihan aja yang temen mas tawarkan waktu itu. Biar ada kegiatan sampai dapat kerja lagi. Lumayan kan uang sakunya." Dia menawarkan solusi, dari pada suaminya uring-uringan terus di rumah.
Kegiatan semacam itu cukup bagus dan memberikan dampak positif. Peserta jadi mempunyai keahlian baru yang bisa diterapkan di dunia kerja.
"Tapi mas enggak tertarik sama pelatihan itu. Bukan bidangnya mas." Ardi menolak. Dia tidak suka dipaksa melakukan sesuatu hal yang tidak disukainya.
"Enggak apa-apa lah, Mas. Dicoba aja dulu. Mana tau dapat keahlian baru. Dapat temen juga. Mungkin dari mereka nanti ada info lowongan kerja."
Tidak gampang meyakinkan Ardi. Lagi pula ini pasti akan berdampak pada semua aspek rumah tangganya. Tapi tak apalah, tak usah dipikirkan terlalu mendalam. Lebih baik berpikiran positif dari pada menduga hal buruk yang belum tentu terjadi. Hani juga kan belum mencoba, mana tahu berhasil.
Di luar sana, ada banyak ibu-ibu bekerja dan tetap nyaman saja dengan anak-anak yang tetap terurus dengan baik.
Anak bukanlah penghalang bagi seorang wanita untuk berkarir. Asal si ibu mengerti dan tahu batasan yang mana hak dan mana kewajiban.
Hani sangat optimis dia bisa menjalani keduanya walaupun tidak sepenuhnya adil.
"Kamu tega?" Ardi masih berusaha meyakinkan. Mungkin saja istrinya berubah pikiran. Toh tabungan mereka masih cukup untuk beberapa bulan ke depan.
"Biasanya kalau bunda ke pasar anter kue juga kan nitip sama budhe. Lagian dia sayang banget sama abang. Kayak cucunya sendiri." Hani menggendong putranya dipangkuan.
Anak tiga tahun itu hanya menyimak apa yang menjadi pembicaraan orang tuanya, tanpa mengerti maksudnya apa.
"Itukan cuma sebentar. Ini seharian, loh. Kamu kerja dari pagi sampai sore." Ardi masih saja berarhumen. Rasanya masih belum rela. Dia lebih suka Hani di rumah saja dan mengurus mereka berdua.
"Mas. Kita kan belum coba." Wanita itu berusaha meyakinkan. Suaminya memang tidak gampang dipengaruhi dalam beberapa hal. Terutama menyangkut anak mereka. Ardi tidak mau sembarangan memutuskan sesuatu.
"Kalau kamu kangen, gimana? Kamu kan, belum pernah pisah lama-lama sama abang."
"Nanti tiap makan siang bunda telepon budhe. Biar abang senang."
"Oke. Tapi janji. Pulang tepat waktu. Jangan keluyuran. Setelah mas dapat kerja lagi kamu resign. Jangan kerja lagi!" katanya tegas.
Hani mengangguk, tanda setuju dengan apa yang diinginkan Ardi. Mereka membuat kesepakatan. Harus ada kejelasan sebelum segala sesuatu diputuskan.
"Iya. Tapi mas ridho, kan kalau aku kerja lagi?" Hani menggenggam tangan sang suami.
Bagaimanapun juga kerelaan suami yang dia cari untuk saat ini. Jika Ardi tidak memberikan izin, maka tidak akan ada kebaikan apa pun di dalamnya. Dia memegang teguh prinsip itu.
"Iya. Tapi kamu jaga diri. Jangan macam-macam. Mas kasih izin." Ardi mengusap kepala istrinya. Mencium keningnya. Betapa dia sangat sayang pada wanita ini.
Wanita penyabar, yang penuh kasih sayang dan kelembutan pada keluarga.
"Bunda, mana bola abang?" Si kecil itu bertanya dengan suara cadelnya.
"Ini, Sayang." Hani mengambil sebuah bola di dalam keranjang yang penuh dengan tumpukan mainan.
Anak itu bersorak kegirangan setelah mendapat apa yang dia mau.
"Besok abang sama uti di sebelah sebentar, ya. Bunda mau pergi bentar." Dia memeluk putranya dengan erat.
Setitik air matanya menetes, sedih karena selama ini belum pernah berpisah lama. Entah nanti dia sanggup atau tidak, semoga saja dia kuat.
"Mau antal kue?" tanya anak itu. Matanya manatap wajah ibunya dengan polos. Wajah lucunya membuat mereka berdua terharu.
"Iya, Sayang. Mau antar kue sebentar." jawab Hani dengan senyum tulus. Abang pasti mengerti dengan keputusan yang dipilih ibunya.
"Belikan abang bola." katanya lagi.
Hani dan Ardi tertawa melihat tingkahnya. Abang memang lucu sekali. Matanya bulat seperti Ardi. Badannya gempal karena minum susunya banyak. Tapi mulutnya seperti Hani, bawel dan menggemaskan.
"Lah, kan udah banyak." jawab Ardi sambil menunjuk keranjang mainan.
"Walna bilu belum ada."
Mereka berdua kembali tertawa melihat kelucuan si abang. Ardi yang tiga bulan ini nampak lemas dan kehilangan semangat, kini kembali ceria.
Terima kasih Tuhan. Hani memeluk erat tubuh mungil itu. "Maafkan bunda ya, Nak. Bunda bakalan ninggalin kamu sementara waktu buat bantu ayah. Abang yang pinter ya di rumah. Jangan rewel, jangan nakal," bisiknya. Sebuah kecupan sayang dia hadiahkan di pipi.
Hani menyimak setiap kata yang terucap dari bibir si pembicara di depannya ini. Berapa pun nominal gaji yang ditawarkan akan disetujui, asalkan dia diterima.Dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, rasanya sudah tidak boleh banyak memilih pekerjaan, asalkan itu halal. Bersyukur saja ada perusahaan yang masih mau menerima. Hasil jualan kuenya juga tidak seberapa, hanya untuk biaya makan sehari-hari. Sementara kontrakan berjalan setiap bulannya, juga cicilan motor yang belum lunas."Ibu Hani. Segini jumlah gaji dan operasional yang kami tawarkan jika ibu berkenan," ucap si bapak itu.Hani menganggukkan kepala. Tangannya gemetaran saat melihat berapa nominal yang tertulis di kertas itu. Dalam hati berucap syukur tak terhingga."Iya, Pak," jawabnya."Mungkin tidak terlalu besar karena banyak pertimbangan, seperti faktor usia dan ibu yang sudah lama vakum bekerja." Dia kembali menjelaskan. Lelaki dihadapannya ini adalah salah seorang staf
Hani menyapukan sedikit bedak di wajah, kemudian memoleskan lipstik berwarna merah. Alis sudah sejak awal dia lukis."Duh, cantiknya istriku." Ardi menggodanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang, merengkuh istrinya dari belakang."Mas ini." Dia menyenggol perut suaminya. Sejak menikah, perut Ardi semakin hari semakin maju ke depan. Bahkan saat sedang hamil, perut mereka tampak berimbang. Itu karena Hani setiap hari menyajikan berbagai makanan yang menggugah selera."Jangan tebel-tebel bedaknya, nanti banyak yang naksir." Ardi menyandarkan kepalanya di bahu Hani, sesekali menghirup aroma harum yang menguar dari setiap helai rambut istrinya. Sekedar bermanja ria walaupun tidak intim."Mas cemburu?" Dia meletakkan sponge bedak dan mengambil kuas dan blush on berwarna matte untuk menutupi wajahnya yang putih tapi sedikit pucat."Pastilah. Biasanya istri di rumah cuma mas yang liat. Ini malah mau dipamer ke banyak orang.""Emangny
Tak terasa sudah hari terakhir training. Ini hari ke tujuh, berarti besok mereka sudah mulai aktif bekerja. Hari ini acara penutupan, di mana tidak banyak materi yang dibagikan. Hanya post test yang harus dikerjakan, untuk me-review seberapa paham para peserta dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir di mana kami akan memberikan job desk Bapak Ibu semua." Salah seorang dari staf HRD memulai pembicaraan.Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Reza yang sesekali masuk dan memantau situasi. Reza benar-benar mengawasi selama acara berlangsung. Dia ingin memastikan sendiri.bahwa segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus semua. "Selamat bergabung." Sambutan Reza begitu hanga, ketika masing-masin
Selama bekerja di kantor ini, hari-hari dijalani Hani dengan senang hati. Sekretaris Pak Reza sekarang menjadi sahabatnya. Tentu saja, ada hari dia harus mengantar dokumen yang harus ditanda tangani bos-nya. Mereka saling bertukar cerita dan menjadi akrab. Setiap makan siang pergi bersama di kantin khusus karyawan. "Pak Reza itu loh, Mbak. Dia dijodohkan orang tuanya sama dokter cantik aja gak mau. Gak ngerti deh seleranya kayak apa." Agnes namanya. Si cantik ini memang suka bergosip. Orang yang sering jadi bahan perbincangan yaitu atasannya sendiri. Apapun kelakuan Reza sehari-hari, ada saja ceritanya. Reza memang membuat banyak orang penasaran. Terutama para wanita di kantor, kecuali Hani tentunya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jika ada yang bercerita, dia cukup tahu dan tidak memperpanjang masalah. "Masa'? Mungkin seneng sama bule' kali. Katanya lama sekolah di luar negeri." Hani menajwab asal. Dia masih fo
Dua orang lelaki duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Sepertinya pembicaraan kali ini serius, mengingat karena kesibukan masing-masing, mereka jarang bertemu."Lo kenapa, Za? Galau banget kayaknya."Kevin, sahabat sehidup semati Reza. Playboy cap kampak yang sudah bertobat dari dunia malam dan wanita. Belum, belum bertobat sepenuhnya. Masih suka bermain sesekali."Mau tau aja." Reza mengaduk minuman di gelas, supaya setiap rasa bercampur menjadi satu."Ya elah. Gue ini sahabat lo. Maen rahasia-rahasian segala. Kaku banget, sih.""Berat ini.""Cewek?" tanya Kevin penasaran."Yup.""Siapa?" Mata lelaki itu membulat."Ada deh," jawab Reza santai."Aduh, Mas Bro. Lo ini laki apa cewek, sih? Ribet amat!" Kevin tidak habis pikir."Tapi janji, rahasia ini!""Kayak abege aja lo, Za. Udah mau kepala empat aja masih galau soal cinta. Gue udah buntut tiga lo masih
Tak terasa waktu berlalu, sudah tiga bulan Hani bekerja di sana. Hari demi hari dia nikmati walaupun terasa lelah. Ternyata tidak gampang bekerja dengan status sudah menikah. Apalagi mempunyai anak balita yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari ibunya.Berbeda dengan waktu masih single dulu, dia bebas mau pergi ke mana saja sepulang kerja. Sekarang setelah selesai jam kantor, dia harus segera pulang ke rumah. Belum bisa langsung istirahat, harus mengurus putranya yang rewel.Beruntung, dia memiliki suami yang pengertian. Bahkan tak jarang Ardi menyediakan makan malam, walaupun membelinya di luar. Bersyukur bahwa Tuhan memberikannya seorang pendamping hidup yang baik.Pekerjaannya di kantor semakin bertambah. Apalagi sejak salah satu staf administrasi resign, dia yang tadinya hanya diperbantukan otomatis menggantikan posisi itu.Reza? Masih saja terus mendekatinya. Tapi dia menolak secara halus, dari mengajak makan siang atau sek
Bosan.Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka.Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu."Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana."Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak me
Wajah Reza berseri saat sosok wanita itu masuk ke dalam ruangan. Hani terlihat manis dengan dandanan yang natural. Dia memakai blouse pas di badan tetapi tidak ketat. Seperti biasa, celana panjang hitam dan sepatu ... mata Reza beralih ke bawah. Ada perbedaan dari penampilan wanita itu hari ini. Bukan sepatu flat lagi yang dia pakai, tetapi sepatu hitam dengan hak lima inci.Entah sejak kapan dia menjadi pengamat si mungil ini, memperhatikan semua secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia membuang muka saat menatap leher mulus itu, yang setiap hari selalu ditampakkan karena Hani memilih menggelung rambutnya. Rasanya dia ingin ...."Makan siang di mana nanti?" tanya Reza tanpa basa-basi. Melihat wajah Hani yang cemberut dan diam sejak tadi meletakkan berkas di mejanya, membuatnya merasa sedikit bersalah.Pasti dia masih marah karena ucapannya kemarin. Memang lancang mulutnya mengatakan hal itu, malah sempat senang dengan reaksi yang Hani berika
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan