Bosan.
Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka.
Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.
Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu.
"Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana."
Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak mereka. Pikiran Hani dipenuhi dengan berbagai macam prasangka buruk. Ardi yang selama ini menguatkan, menenangkan, sehingga istrinya kuat menjalani rumah tangga yang saat ini sedang mengalami cobaan.
Posisinya sebagai kepala keluarga tidak hanya menafkahi, tapi mengayomi dan memberikan contoh dengan sikapnya yang tenang dan dewasa.Berat bagi Hani jika harus berpisah lama. Dia pasti akan kewalahan mengurus anak dan meng-handle pekerjaan sendirian. Ada tetangga sebelah yang membantu, tapi dia lebih suka ada suami di rumah dari pada orang lain.
"Tapi, Mas ..."
"Mas sudah enam bulan nganggur. Sampai kapan mau begini terus? Mas ini laki-laki masa' enggak kerja." Dengan pelan dia memberikan pemahaman agar istrinya mengerti.
"Tapi lama banget. Apa enggak bisa dikurangi jadi dua minggu?."
"Enggak bisalah. Perusahaan itu, kan ada aturannya. Ini ada kesempatan bagus. Mas ambil, ya."
"Iya, tapi ingat. Jangan naksir sama cewek lain. Awas, loh!" ancamnya.
Ada rasa khawatir melepas kepergian Ardi. Di sana, pasti ada karyawan wanita yang ikut training juga. Bisa saja lebih cantik dari dia dan suaminya tergoda. Jangan sampai itu terjadi. Berbagai doa dia ucapkan untuk kelanggengan rumah tangga mereka. Dia tak rela menukar kebahagiaan ini dengan materi sebanyak apapun, Biarlah sederhana asalkan mereka bersama hingga nanti masanya tiba harus berpisah. Bukan karena pihak lain, tapi kematian.
"Kenapa kamu jadi cemburuan gini? Mas gemes, deh." Ardi mulai mendekati istrinya. Merengkuhnya ke dalam dekapan. Memainkan setiap helai anak rambut yang terjuntai di pelipis.Tanggannya bergerak menyentuh mata, turun ke pipi dan berakhir di bibir. Lalu, malam panjang mereka lewati dengan kemesraan.
***
"Kamu kenapa? Aku liat kayaknya beda. Lagi PMS apa isi lagi?" tanya Reza, saat wanita itu mengantarkan dokumen ke ruangannya. Dia menjadi sedikit penasaran saat melihat sang pujaan hati tampak berbeda dari biasanya.
Bisa juga pria dingin ini bercanda. Mungkin karena mereka sekarang berteman dan lebih akrab. Beberapa kali dia menceritakan masalah pekerjaan dan meminta saran. Untuk urusan pribadi Hani tidak pernah bertanya, tidak berani. Malah, terkadang Reza yang bercerita sedikit mengenai diri dan keluarganya.
Reza adalah anak sulung dari salah satu pengurus perusahaan ini. Matanya sipit, kulitnya putih karena memang dia warga keturunan yang berstatus warga negara Indonesia.
Keyakinan? Tentu saja berbeda. Hani seorang muslim yang taat, sedangkan Reza tidak diketahui menganut keyakinan apa. Katanya ada banyak tradisi, pantangan, larangan yang mereka masih yakini di dalam keluarga besarnya.
"Suntuk aja, Pak. Suami sibuk tiap hari." jawab Hani sekedarnya. Mood-nya sedang baik, tidak mau berlama-lama berbicara dengan siapa pun. Bisa-bisa dia salah persepsi, yang tadinya bercanda malah membuatnya emosi.
"Masa enggak bisa dihubungi?" Reza mulai memancing. Semakin penasaran dengan jawaban Hani tadi.
"Bisa sih, tapi cuma bentar. Paling telepon dikit, habis itu tidur. Capek katanya." Wajah Hani berubah murung setiap kali ada yang bertanya tentang suaminya.
"Namanya juga kerja. Laki-laki memang begitu. Fokus. Asal jangan sibuk sama .... cewek lain aja." Sengaja dia mengatakan hal itu, untuk melihat reaksi wanita ini. Apakah santai atau malah terpancing emosi.
"Ah, enggak mungkin. Bapak ini bisa aja. Suami saya baik-baik. Dia setia," jawabnya tegas.
Reza tersenyum geli sambil menanda-tangani berkas-berkas yang menumpuk di meja, lalu berkata. "Namanya juga laki-laki. Ibarat kucing, biar udah dikasih makan kenyang di rumah. Kalau di jalan nemu ikan, ya makan lagi." Lelaki itu meneliti lembar demi lembar kertas, memastikan tidak ada yang kelewatan.
Sambil menunggu Reza selesai, Hani membuatkan kopi atas permintaannya.
Reza sebenarnya diam-diam menyusun banyak rencana agar wanita itu bisa berada lama di dekatnya. Dia memerintahkan seseorang menyiapkan tempat untuk menyeduh kopi di dalam ruangan, lengkap dengan berbagai macam peralatannya. Sengaja, biar itu menjadi tugas tambahan buat Hani.
Kapan lagi bisa berduaan, kalau bukan di kantor? Setiap hari, si cantik itu akan pulang tepat waktu begitu jam kerja selesai. Jangankan diajak keluar, ditawari makan siang pun menolak. Segala cara dia lakukan agar wanita itu selalu berada di dekatnya. Parah memang, tapi dia tidak peduli. Dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan wanita itu. Benar kata Kevin, dia memang sudah gila.
Tergila-gila pada wanita ini, yang sayangnya sudah sah menjadi milik orang lain. Kalau saja tidak ada Agnes, mungkin dia akan menjadikan Hani sebagai sekretaris pribadinya. Tugas Hani mengurusi semua keperluannya, termasuk ....
Pikirannya melayang entah ke mana. Kenapa kalau di dekat Hani dia jadi aneh begini?
"Suami saya baik. Dia enggak pernah macem-macem." Nada suaranya meninggi, tak terima mendengarkan tuduhan seperti itu.
Reza tertawa dalam hati. Akhirnya wanita itu termakan umpannya. "Emang yakin? Aku juga laki-laki." Reza menghentikan aktifitasnya. Matanya berkeliaran memperhatikan tubuh Hani dari belakang. Si mungil ini tampak seksi saat mengaduk kopi. Lekuknya terlihat jelas, tidak bisa ditutupi walaupun dia memakai pakaian longgar.
"Bapak ngawur!"
"Mbak, kan, enggak lihat. Jadi, mana tau." Reza tertawa geli dan menggelengkan kepala. Ketika Hani berbalik dan mengantarkan kopi, dia kembali memasang wajah serius, pura-pura menanda-tangani sisa berkas.
"Itu, kan, Bapak. Bebas mau nge-date sama cewek mana aja." Agak kasar dia meletakkan kopi. Hatinya kesal sekali mendengar perkataan Reza.
"Saya single. Bebas. Tapi yang nikah juga banyak begitu. Apalagi jauh dari istri. Kan enggak bisa ..."
"Bapak jangan ngomong asal." Rasanya Hani sudah ingin keluar dari ruangan itu, tapi berkas belum selesai dikerjakan.
Reza malah dengan santai meminum kopi. "Kalau sendirian kurang seru. Enakan ada lawannya. Kalau yang jauh enggak ada, yang dekat juga bolehlah." Dia melipat tangan di dada, lalu menyodorkan berkas yang sudah selesai.
"Bapak yang suka begitu. Suami saya enggak!" Hani mengambil tumpukan kertas itu dan segera keluar tanpa berpamitan. Sungguh keterlaluan memang, tidak bisa menjaga perasaan orang lain.
Begitu pintu tertutup, tawa lelaki itu menggema. Ternyata gampang sekali mempengaruhi wanita itu. Dia hanya perlu sedikit mengucapkan kata yang membuatnya panas, maka Hani akan meresponsnya.
Reza kembali mengerjakan laporannya yang tertunda. Ada banyak email menumpuk yang belum dia buka. Ada masanya dia jenuh dengan semua rutinitas, sehingga perlu sedikit bersenang-senang di luar. Semenjak ada Hani, entah mengapa dia lebih suka berlama-lama di kantor. Menunggu wanita itu datang setiap harinya. Magnet wanita itu begitu kuat, mungkin karena cuma Hani yang acuh dengan pesonanya. Sementara yang lain sok sibuk mencari perhatian.
Jika status wanita itu masih sendiri, Reza akan langsung mendekatinya. Hani, mengapa kita dipertemukan dalam kondisi seperti ini. Kenapa juga dia harus jatuh cinta dengan wanita yang sudah menjadi milik orang lain?
Reza meletakkan mouse. Tangannya meraih cangkir kopi, meneguk sisa isinya yang masih ada di gelas. Menikmati setiap kafein yang masuk ke dalam mulut. Kantuk yang dia rasakan perlahan menghilang.
Matanya kembali menatap layar. Selesaikan sekarang, jika tidak dia harus siap lembur sampai malam.
Wajah Reza berseri saat sosok wanita itu masuk ke dalam ruangan. Hani terlihat manis dengan dandanan yang natural. Dia memakai blouse pas di badan tetapi tidak ketat. Seperti biasa, celana panjang hitam dan sepatu ... mata Reza beralih ke bawah. Ada perbedaan dari penampilan wanita itu hari ini. Bukan sepatu flat lagi yang dia pakai, tetapi sepatu hitam dengan hak lima inci.Entah sejak kapan dia menjadi pengamat si mungil ini, memperhatikan semua secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia membuang muka saat menatap leher mulus itu, yang setiap hari selalu ditampakkan karena Hani memilih menggelung rambutnya. Rasanya dia ingin ...."Makan siang di mana nanti?" tanya Reza tanpa basa-basi. Melihat wajah Hani yang cemberut dan diam sejak tadi meletakkan berkas di mejanya, membuatnya merasa sedikit bersalah.Pasti dia masih marah karena ucapannya kemarin. Memang lancang mulutnya mengatakan hal itu, malah sempat senang dengan reaksi yang Hani berika
Hani tertunduk lemas mendengar jawaban dari HRD. Setelah makan siang, dia nekat menghadap dan menyampaikan keinginannya untuk dipindahkan ke divisi lain. Itu juga setelah berbicara lama dengan Maya, atasannya langsung, menyampaikan beberapa argumen yang menguatkan alasan. Tentu saja dia merahasiakan perlakuan Reza selama ini. Malah nanti dia yang dituduh merayu lelaki itu.Dia kembali ke ruangan dengan tidak bersemangat, duduk di kursi dan mengerjakan laporan yang masih menumpuk."Hani." Dia menoleh dan seketika menjadi limbung saat melihat setumpuk berkas diletakkan begitu saja di meja kerjanya. Itu berarti dia harus kembali ke ruangan itu lagi. Sejak pagi dia bersyukur karena tidak ada yang menugaskan, tapi ternyata ...."Bisa yang lain enggak, Mbak? Saya masih ada kerjaan," tolaknya halus. Apa iya, hanya dia yang boleh menghadap lelaki itu, sedangkan yang lain tidak diperkenankan meng-handle jika dia berhalangan?Ini janggal sekali. Sedikit rasa curiga
The Holywings Foods and Bar.Suara live music terdengar menggema di tempat itu. Hampir semua kursi terisi penuh. Di sudut ruang, tampak dua orang lelaki yang sedang menikmati sajian mereka sambil bercerita.Lelaki yang berbaju putih terlihat santai sambil sesekali tertawa. Sementara yang satunya tidak bersemangat sama sekali. Padahal menu makan malam kali ini spesial, aneka menu rekomendasi restoran dan beberapa botol beer."Temen dapet musibah malah diketawain." Reza meneguk minuman beralkohol, lagi. Entah ini sudah gelas yang ke berapa, yang penting malam ini hatinya harus senang."Gila! Gue nggak bisa bayangin waktu dia nendang itu. Sakit mama." Kevin tertawa sambil memegang perutnya."Sekali lagi lo ketawa, gue timpuk pake' ni botol," ancam Reza. Rasa kesal di dalam hatinya belum juga hilang."Jangan, dong. Nanti sakit." gelak tawanya semakin menjadi."Shit!" Reza menuang segelas lagi.Se
"Mbak ngelamun aja. Mikirin apa hayo?" Agnes meletakkan nampan makan siangnya dan duduk di sebelah Hani."Eh, enggak." Hani menatap makan siangnya dengan tidak berselera. Sedari tadi dia hanya mengaduk nasi dan tak berniat memasukkannya ke mulut."Mas Ardi sibuk banget, ya? Sampai Mbak uring-uringan kayak gini." Agnes mengerling beberapa kali. Memberanikan diri untuk bertanya. Ada rasa kasihan melihat sahabatnya ini."Tau, nih. Masa' training sibuk banget. Susah dihubungi lagi." Akhirnya dia meletakkan alat makannya di piring."Positif thinking, Mbak. Kali emang tuntutan perusahaan kayak gitu.""Iya, Nes. Jujur aku sebel. Mas Ardi nggak biasanya begini." Dia mengambil selembar tissue dan membersihkan mulutnya, menghabiskan sisa minuman di gelas."Oh, iya. Waktu itu kenapa mbak lari-lari dari ruangan bapak? Sampai aku panggil enggak denger."Wajah Hani memucat. Mau dijawab apa ini?"Oh! Itu ... aku kebelet. Udah ngga
Reza membersihkan sisa bungkus makanan setelah Hani menghabiskan semuanya, lalu mengambil obat di nakas dan meminta wanita itu untuk meminumnya."Masih pusing?"Dia mengangguk."Tidur lagi sana. Istirahat." Dia hendak membantu wanita itu berdiri, tapi tangannya ditepiskan."Aku di sini saja, Za," tolaknya halus.Sudah tak ada batasan lagi di antara mereka karena sudah saling memanggil nama."Kamu tidur di kamar. Biar aku di sini."Hani menatapnya curiga, sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan mesra. Reza mendekatinya sehingga kali ini mereka sudah tak berjarak. Tangannya meraih lembut, menyatukan jemari mereka."Aku sayang kamu." Entah dirasuki apa dia mengatakannya, membuat Hani terbelalak karena tak percaya.Wanita itu membuang muka. Jantungnya berdebar kencang, napasnya berasa sesak. Lelaki ini akhirnya mengungkapkan perasaan.Dia harus menjawab apa? Berulang kal
"Yang lagi seneng banget. Maen berapa kali, Men?"Kevin menyenggol lengan Reza, menggoda sahabatnya. Sejak tadi, senyum tak lekang dari bibirnya. Sahabatnya itu malah tertawa senang saat ditanya seperti itu."Mau tau aja." Reza berlagak. Sengaja membuat Kevin semakin penasaran.Sejak awal dia menceritakan semua tentang Hani, Kevin begitu tertarik dan minta dipertemukan langsung. Dia benar-benar penasaran dengan sosok wanita yang membuat hidup Reza, sang pangeran berdarah dingin itu, bisa kelimpungan karena cinta. Bahkan sampai tidak fokus bekerja karena selalu memikirkannya."Gimana rasanya sama Hani?" Kevin menaikkan alisnya.Reza menatapnya jijik. "Hm.""Apaan? Seru banget pastinya. Ya, kan?" Tawanya menggema."Sok tau." Reza memukul bahu sahabatnya. Wajahnya merona, terbayang saat indah itu ketika Hani sempurna menjadi miliknya."Pake' rahasia segala. Cerita, dong! Gue penasaran."
Jantungnya berdetak tak karuan, bahkan keringat dingin mengalir di sela-sela tangan. Berulang kali dia menarik napas sebelum akhirnya memberanikan diri mengucapkan ...."Boleh saya duduk, ada yang mau dibicarakan."Reza mempersilakan wanita itu duduk dengan tangannya. Matanya menatap tajam, mencoba menerka apa yang akan Hani bicarakan. Tubuhnya saja mungil, tapi kalau berbicara, dia sendiri kadang terpana. Dia smart dengan caranya sendiri."Begini.""Ya, sayang?" Suara dan tatapannya melembut.Reza masih berharap sang pujaan hati mau membicarakan tentang mereka berdua. Rasanya tidak enak didiamkan berhari-hari, hingga membuatnya resah dan tak bisa tidur. Apa yang diharapkan? Tentu saja bisa mengulang kebersamaan mereka waktu itu. Dia tidak mau ini berakhir begitu saja.Entah mengapa Hani menjadi geli saat mendengar Reza mengucapkan kata itu. Sayang? Jangan mimpi. Perasaan yang tadinya sudah cukup tenang, kembali menja
"Assalamualaikum."Hani segera berlari ke depan rumah. Siapa yang bertamu di jam segini, ya? Dia mengintip dari balik jendela sebelum membuka pintu. Lalu, senyuman merekah di bibirnya saat melihat siapa yang datang.Tampak sesosok lelaki yang satu bulan ini dia rindukan. Berdiri di depan dengan wajah yang kelelahan."Mas Ardi!" Dia berteriak kegirangan, lalu memeluk suaminya."Kangen, ya?" Pelukan erat itu berbalas."Kangen. Kok mas nggak bilang? Nggak ada kabar," rajuknya sambil memukul bahu hangat sang suami."Biar surprise. Abang mana?""Tidur. Dari tadi sore main. Kata budhe nggak mau tidur siang. Mungkin tau ayahnya mau pulang." Dia mengambil tas yang tergeletak di teras dan membawanya masuk ke dalam."Nih!" Ardi menyerahkan sebuah tas plastik."Apa ini, Mas?" Dia bertanya kebingungan."Buat kamu sama abang."Ardi merebahkan diri di sofa setelah menutup pintu. Rasanya
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan