"Mbak ngelamun aja. Mikirin apa hayo?" Agnes meletakkan nampan makan siangnya dan duduk di sebelah Hani.
"Eh, enggak." Hani menatap makan siangnya dengan tidak berselera. Sedari tadi dia hanya mengaduk nasi dan tak berniat memasukkannya ke mulut.
"Mas Ardi sibuk banget, ya? Sampai Mbak uring-uringan kayak gini." Agnes mengerling beberapa kali. Memberanikan diri untuk bertanya. Ada rasa kasihan melihat sahabatnya ini.
"Tau, nih. Masa' training sibuk banget. Susah dihubungi lagi." Akhirnya dia meletakkan alat makannya di piring.
"Positif thinking, Mbak. Kali emang tuntutan perusahaan kayak gitu."
"Iya, Nes. Jujur aku sebel. Mas Ardi nggak biasanya begini." Dia mengambil selembar tissue dan membersihkan mulutnya, menghabiskan sisa minuman di gelas.
"Oh, iya. Waktu itu kenapa mbak lari-lari dari ruangan bapak? Sampai aku panggil enggak denger."
Wajah Hani memucat. Mau dijawab apa ini?
"Oh! Itu ... aku kebelet. Udah ngga
Reza membersihkan sisa bungkus makanan setelah Hani menghabiskan semuanya, lalu mengambil obat di nakas dan meminta wanita itu untuk meminumnya."Masih pusing?"Dia mengangguk."Tidur lagi sana. Istirahat." Dia hendak membantu wanita itu berdiri, tapi tangannya ditepiskan."Aku di sini saja, Za," tolaknya halus.Sudah tak ada batasan lagi di antara mereka karena sudah saling memanggil nama."Kamu tidur di kamar. Biar aku di sini."Hani menatapnya curiga, sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan mesra. Reza mendekatinya sehingga kali ini mereka sudah tak berjarak. Tangannya meraih lembut, menyatukan jemari mereka."Aku sayang kamu." Entah dirasuki apa dia mengatakannya, membuat Hani terbelalak karena tak percaya.Wanita itu membuang muka. Jantungnya berdebar kencang, napasnya berasa sesak. Lelaki ini akhirnya mengungkapkan perasaan.Dia harus menjawab apa? Berulang kal
"Yang lagi seneng banget. Maen berapa kali, Men?"Kevin menyenggol lengan Reza, menggoda sahabatnya. Sejak tadi, senyum tak lekang dari bibirnya. Sahabatnya itu malah tertawa senang saat ditanya seperti itu."Mau tau aja." Reza berlagak. Sengaja membuat Kevin semakin penasaran.Sejak awal dia menceritakan semua tentang Hani, Kevin begitu tertarik dan minta dipertemukan langsung. Dia benar-benar penasaran dengan sosok wanita yang membuat hidup Reza, sang pangeran berdarah dingin itu, bisa kelimpungan karena cinta. Bahkan sampai tidak fokus bekerja karena selalu memikirkannya."Gimana rasanya sama Hani?" Kevin menaikkan alisnya.Reza menatapnya jijik. "Hm.""Apaan? Seru banget pastinya. Ya, kan?" Tawanya menggema."Sok tau." Reza memukul bahu sahabatnya. Wajahnya merona, terbayang saat indah itu ketika Hani sempurna menjadi miliknya."Pake' rahasia segala. Cerita, dong! Gue penasaran."
Jantungnya berdetak tak karuan, bahkan keringat dingin mengalir di sela-sela tangan. Berulang kali dia menarik napas sebelum akhirnya memberanikan diri mengucapkan ...."Boleh saya duduk, ada yang mau dibicarakan."Reza mempersilakan wanita itu duduk dengan tangannya. Matanya menatap tajam, mencoba menerka apa yang akan Hani bicarakan. Tubuhnya saja mungil, tapi kalau berbicara, dia sendiri kadang terpana. Dia smart dengan caranya sendiri."Begini.""Ya, sayang?" Suara dan tatapannya melembut.Reza masih berharap sang pujaan hati mau membicarakan tentang mereka berdua. Rasanya tidak enak didiamkan berhari-hari, hingga membuatnya resah dan tak bisa tidur. Apa yang diharapkan? Tentu saja bisa mengulang kebersamaan mereka waktu itu. Dia tidak mau ini berakhir begitu saja.Entah mengapa Hani menjadi geli saat mendengar Reza mengucapkan kata itu. Sayang? Jangan mimpi. Perasaan yang tadinya sudah cukup tenang, kembali menja
"Assalamualaikum."Hani segera berlari ke depan rumah. Siapa yang bertamu di jam segini, ya? Dia mengintip dari balik jendela sebelum membuka pintu. Lalu, senyuman merekah di bibirnya saat melihat siapa yang datang.Tampak sesosok lelaki yang satu bulan ini dia rindukan. Berdiri di depan dengan wajah yang kelelahan."Mas Ardi!" Dia berteriak kegirangan, lalu memeluk suaminya."Kangen, ya?" Pelukan erat itu berbalas."Kangen. Kok mas nggak bilang? Nggak ada kabar," rajuknya sambil memukul bahu hangat sang suami."Biar surprise. Abang mana?""Tidur. Dari tadi sore main. Kata budhe nggak mau tidur siang. Mungkin tau ayahnya mau pulang." Dia mengambil tas yang tergeletak di teras dan membawanya masuk ke dalam."Nih!" Ardi menyerahkan sebuah tas plastik."Apa ini, Mas?" Dia bertanya kebingungan."Buat kamu sama abang."Ardi merebahkan diri di sofa setelah menutup pintu. Rasanya
Hani melangkah pelan memasuki ruangannya. Rasanya malas sekali mau berangkat ke kantor hari ini. Dia masih ingin di rumah bersama keluarganya. Apalagi semenjak suaminya datang, dia ingin bermanja seharian.Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba saja ...."Surprise!" Suara tepuk tangan bergema di ruangan. Maya datang mendekatinya dan membawakan sebuah cake cokelat ukuran besar."Loh, ada apa ini? Saya lagi nggak ultah," tanya Hani kebingungan. Apalagi terlihat aura bahagia dari wajah para rekan kerjanya pagi ini.Seketika ruangan menjadi senyap saat Maya memberikan kode dengan jari telunjuknya. "Hani, kue ini ungkapan terima kasih kami sama kamu." Wanita menyerahkannya."Terima kasih apa ya, Bu? Saya nggak ngelakukan apa-apa." Dia mengambilnya, lalu meletakkan di meja, masih kebingungan dengan apa yang terjadi pagi ini."Terima kasih karena berkat kamu insentif kita semua naik sepuluh persen." Semua orang kembali bersorak.Hani men
Kebahagiaan yang didapatkan dari merampas hak orang lainSibuk masing-masing. Tiga kata itulah yang dua bulan ini menggambarkan rumah tangga mereka, walaupun setiap weekend dan hari libur selalu menghabiskan waktu bersama. Secara materi boleh dikatakan berlimpah, mereka bahkan sudah mulai menabung untuk persiapan anak mereka kelak.Untunglah putra mereka semakin lama semakin mengerti. Kadang-kadang rewel tapi Bude yang menjaga sangat pintar mengurusnya. Hani juga tak segan-segan menambah bonus jika ada berkelebihan rezeki.Sejak hari di mana dia mengantarkan kue cokelat ke ruangan Reza, mereka semakin dekat. Lelaki itu bahkan tak segan meminta Hani untuk untuk menemaninya setiap saat kapanpun dia mau.Apakah Ardi curiga? Tidak, atau mungkin tepatnya belum. Dia sedang semangat bekerja, berjuang mati-matian agar lolos menjadi karyawan tetap. Setelah itu sesuai perjanjian, istrinya harus berhenti bekerja.Kamu selingkuh Hani. Ya, memang. Dia
"Mbak Hani ke mana ya, Bu? Seminggu ini cuti. Sepi aku enggak ada temen becanda sama makan siang." Agnes mengetukkan jari di meja Maya.Setelah makan siang, dia memutuskan untuk main sebentar ke ruangan divisi Hani."Ibu enggak tau juga. Mungkin ada keperluan keluarga. Nanti ditanyain aja kalau udah masuk," jawab Maya. Tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard. Matanya fokus menatap layar, sementara telinganya mendengarkan ocehan Agnes."Pak Reza juga keluar kota. Apa mereka berdua?" Agnes mulai menduga. Selama ini memang ada yang berbeda dari kebersamaan antara Reza dengan Hani. Itu membuatnya sedikit curiga.Selama bertahun-tahun dia bekerja dengan lelaki itu, Reza jarang dekat wanita manapun apalagi dengan karyawan. Berbeda jika dengan Hani, sikapnya mesra. Sepertinya ada hubungan di antara mereka, hanya dia tidak berani menanyakan."Hus! Kamu jangan nyebar gosip," tegur Maya. Bagaimanapun juga tidak baik memb
"Reza?""Anita?"Dua anak manusia itu saling menatap tak percaya. Si wanita bersorak kegirangan dalam hatinya. Sedangkan si lelaki hanya terdiam. Pertemuan mereka kali ini sudah direncanakan matang.Ada teman dekat mamanya yang akan datang berkunjung karena sudah lama tidak bertemu. Mereka datang bersama anak gadisnya yang masih single. Reza sudah tahu, pasti perjodohan lagi. Sudah terlalu sering ini terjadi, dan dia selalu menolaknya."Wah anak-anak udah saling kenal ya, Ce." Seorang wanita paruh baya tersenyum senang. Tidak sia-sia kedatangan mereka. Sepertinya kali ini akan sukses."Iya, Lin. Jadi kita enggak usah capek-capek ngedeketin mereka berdua." Wanita yang satunya juga ikut tersenyum senang.Lelaki itu tersentak. Jadi, dokter cantik yang mau dijodohkan dengannya ternyata wanita ini."Kalian kenal di mana?" tanya Linda, ibu dari Anita saat menatap Reza. Pandangan matanya penuh selidik, ingin tahu lebih dala
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan