"Reza?"
"Anita?"
Dua anak manusia itu saling menatap tak percaya. Si wanita bersorak kegirangan dalam hatinya. Sedangkan si lelaki hanya terdiam. Pertemuan mereka kali ini sudah direncanakan matang.
Ada teman dekat mamanya yang akan datang berkunjung karena sudah lama tidak bertemu. Mereka datang bersama anak gadisnya yang masih single. Reza sudah tahu, pasti perjodohan lagi. Sudah terlalu sering ini terjadi, dan dia selalu menolaknya.
"Wah anak-anak udah saling kenal ya, Ce." Seorang wanita paruh baya tersenyum senang. Tidak sia-sia kedatangan mereka. Sepertinya kali ini akan sukses.
"Iya, Lin. Jadi kita enggak usah capek-capek ngedeketin mereka berdua." Wanita yang satunya juga ikut tersenyum senang.
Lelaki itu tersentak. Jadi, dokter cantik yang mau dijodohkan dengannya ternyata wanita ini.
"Kalian kenal di mana?" tanya Linda, ibu dari Anita saat menatap Reza. Pandangan matanya penuh selidik, ingin tahu lebih dala
Lelaki itu mengemasi barang-barang, memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper juga juga laptop dan peralatan kerja.Hani hanya terdiam menyaksikan suaminya yang sibuk sendirian. Biasanya jika Ardi ke luar kota dia yang akan direpotkan. Kali ini, dia memilih untuk tidak ambil peduli, toh Ardi akan pergi menemui wanita lain."Mas cuti satu minggu, ya. Cecil mau lahiran. Ini sudah dekat HPL." Ardi menatap wajah istrinya dengan lekat. Ada rasa bersalah dalam hatinya saat harus meninggalkan mereka. Apalagi alasannya karena wanita lain yang sebentar lagi akan melahirkan anaknya."Iya, Mas." Hanya itu yang bisa Hani ucapkan. Hatinya telah mati dan beku, dihantam dengan berbagai macam kekecewaan. Kepada takdir hidup, kepada orang lain, juga kepada dirinya sendiri."Maafkan aku." Ardi hendak memeluknya, tetapi tangannya ditepiskan. Lelaki itu pasrah, lalu mendorong koper ke luar kamar. "Ayah mau ke mana?" Suara mungil itu tib
"KATAKAN SIAPA PELAKUNYA!" Suara Ardi menggelegar di ruang perawatan itu. Amarahnya memuncak sampai ke ubun-ubun. Cobaan apa lagi ini?Hani meringkih ketakutan dan memeluk Agnes erat."Maaf, Mas. Saya bukannya mau ikut campur. Apa bisa nunggu sampai pulih nanti, baru dibicarakan baik-baik." Gadis itu mencoba menengahi, tidak bermaksud untuk ikut campur. Melihat kondisi Hani yang masih lemah, dia takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.Ardi mengusap wajahnya, lalu berkata. "Saya mau bicara dengan istri saya." Dia menarik napas, berusaha melegakan sedikit emosinya."Tapi tolong jangan kasari Mbak Hani," Agnes memohon, sejurus kemudian keluar meninggalkan mereka.Ardi mengangguk, duduk di sebelah istrinya, lalu melingkarkan lengan di bahu Hani. Dia mencoba memeluk tapi ditolak halus. Hani merasa dirinya kotor, tak pantas disentuh suaminya sendiri."Bilang, siapa orang yang bikin kamu jadi begini." Hani hanya b
Hani memandang pembeli yang keluar masuk toko kuenya. Hari ini pembeli ramai. Ibu tampak kewalahan walaupun ada dua karyawan yang membantu mereka. Tiga tahun sudah berlalu. Dia tersenyum saat mengingat semuanya, masa indah sekaligus pahit dalam hidupnya.Semua akan baik-baik saja Hani.Seorang wanita masuk ke dalam toko dan melihat-lihat kue. Hani memperhatikannya dari kejauhan. Dia cantik juga berkelas, itu terlihat dari barang branded yang dipakainya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seleranya bagus, kue yang dipilih memang rekomendasi di toko ini."Mommy!" Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil berlari menghampiri wanita itu. Umurnya sekitar lima atau enam tahun."Hi, sweet heart. Which one do you want?" Wanita itu menunjukkan beberapa jenis kue kepada anaknya. Suaranya terdengar aneh saat berbahasa indonesia. Sepertinya mereka datang dari luar negeri."I wanna this cake." Anak itu menunjuk kue dengan krim stroberi.Dugaan Hani b
Hani menatap kanvas putih yang penuh dengan coretan tinta. Sebuah siluet wanita yang walaupun masih belum rapi tercetak di atasnya. Di sudut bagian bawah tertulis kata 'Bunda'."Liat, Bun. Keren kan lukisan abang." Si ganteng itu memamerkan hasil karyanya.Hani tersenyum menganggung, tangannya mengusap kepala sang putra dengan penuh kasih sayang. "Iya, bagus. Anak bunda udah pinter gambar, ya.""Iya, dong. Kan udah SD." Anak itu menepuk dada.Hani tertawa melihat keluguan itu. "Ayo makan. Bunda suapin mau?" Di meja sofa sudah tersedia sepiring nasi beserta lauk. Dia menunggu dengan sabar hingga sang putra menyelesaikan lukisannya."Ayam goreng!" Abang berteriak senang saat matanya menangkap beberapa potong menu itu di dalam piring. Makanan kesukaannya sama persis dengan kesukaan sang bunda."Sini." Hani menariknya duduk di sofa, lalu dengan telaten menyuapi sesendok demi sesendok hingga habis tak bersisa."Bund
Hani mengaduk kopi yang sudah dingin, sama sekali tidak berselera untuk menyentuhnya. Suara batuk seseorang mengagetkannya. Dia tersentak hingga sendok di tangan terlepas. Ketika hendak meraih benda itu, sebuah lengan menahannya. Si cantik ini menunduk malu, tak berani menatap wajah lelaki tampan yang duduk di depan."Kenapa diam?"Suara itu membuat Hani gemetaran. "Enggak apa-apa. Kenapa kamu masih di sini? Flight kamu udah take-off," jawabnya.Lelaki itu tersenyum. Gemas melihat kelakuan sang pujaan hati. "Ada yang lebih penting di sini," jawab Reza santai."Apa?""Kamu!" Reza mengangkat wajah wanita cantik itu, lalu menatapnya dalam-dalam.Mata Hani terpejam dengan wajah bersemu merah. Rasa bahagia membuncah di dada, tapi dia malu untuk mengatakannya. Tawa Reza pecah. Sengaja dia mencubit pipi yang merona itu, karena semakin gemas melihat tingkahnya."Kenapa kamu ketawa?" Wanita itu memasang wajah cemberut saat ke
"Maaf, Nak. Tapi papa enggak setuju kamu menikahi wanita itu."Dingin, keras. Tatapan papanya itu serasa menusuk jantung Reza. Lelaki itu menarik napas panjang dan sudah menduga bahwa ini tidak akan mudah.Papa biasanya tidak terlalu kaku untuk beberapa hal. "Tapi ini beda, Za. Kamu akan membawa calon menantunya." Suara hatinya berbisik.Papa tidak mau sembarang orang menjadi bagian dari keluarga mereka. Ini menyangkut harkat dan martabat keluarga, sekalipun karena cinta. Cinta yang penuh dengan perbedaan, keyakinan, tradisi dan status sosial kami yang membuat semuanya rumit."Aku akan memperjuangkannya demi kamu, Sayang. Kamu yang pernah mengandung benihku, tapi aku sia-siakan karena nafsu." Tekadnya dalam hati.Hani yang dia sayangi. Cintanya. Hidup matinya.***"Hei!"Hani terkejut saat sebuah lengan besar merengkuh tubuh kecilnya dari belakang. Dia sedang asyik mengaduk adonan kue di dapur. Men
Happy Birthday, happy birthday, happy birthday to you."Semua orang bertepuk tangan dengan meriah saat lilin ditiup. Si gadis kecil cantik bermata biru itu tersenyum bahagia. Sepasang suami istri membantunya memotong kue untuk kemudian dibagikan.Ada sekitar lima puluh orang memenuhi ruangan restoran terkenal itu. Mereka berkumpul merayakan hari bahagia yang diperingati setiap tahunnya. Untuk itulah kuenya pun dibuat raksasa tapi dengan tema kesukaan yang punya acara, Maleficent."Selamat ulang tahun sayang. Mommy sama daddy sayang kamu." Krista mencium pipi gadis kecilnya.Hal yang sama juga dilakukan oleh Hans, si bule Amerika yang tampak berbeda sendiri diantara puluhan orang yang bermata sipit di ruangan itu. Lelaki berambut pirang dan bermata biru tampak paling menonjol di sana.Patricia, putri mereka satu-satunya sedang merayakan ulang tahunnya disini. Di Indonesia karena kebetulan mereka sedang berlibur. Biasany
Bunyi ponsel membangunkan tidur lelapnya. Hani menggeliat tanda masih mengantuk. Semalaman dia bergadang sampai jam tiga pagi membuat pesanan kue untuk sebuah acara pernikahan anak pejabat daerah setempat.Entah mimpi apa dia, sampai mendapatkan orderan sebesar itu. Snack sajian untuk para tamu yang jumlahnya ribuan cup harus dipersiapkan. Pastry, cake, dan aneka jajanan pasar.Hani seperti ketiban durian runtuh. Si bapak pejabat itu bahkan mentransfer lunas setelah dia menyebutkan nominal harga yang harus di bayar untuk pemesanan sebanyak itu.Supaya tidak keteteran dia mengambil beberapa mahasiswa SMK jurusan tata boga untuk membantu menyelesaikan bersama dua karyawannya.Pukul tiga pagi itu semua kue sudah jadi. Hanya tinggal menghias dan menambahkan topping karena acaranya sendiri masih pukul sepuluh pagi.Dia memilih tidur sebentar dan meminta mereka bergantian menjaganya.Ponselnya kembali bergetar. Hani mengambil ben
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan