"Maaf, Nak. Tapi papa enggak setuju kamu menikahi wanita itu."
Dingin, keras. Tatapan papanya itu serasa menusuk jantung Reza. Lelaki itu menarik napas panjang dan sudah menduga bahwa ini tidak akan mudah.
Papa biasanya tidak terlalu kaku untuk beberapa hal. "Tapi ini beda, Za. Kamu akan membawa calon menantunya." Suara hatinya berbisik.
Papa tidak mau sembarang orang menjadi bagian dari keluarga mereka. Ini menyangkut harkat dan martabat keluarga, sekalipun karena cinta. Cinta yang penuh dengan perbedaan, keyakinan, tradisi dan status sosial kami yang membuat semuanya rumit.
"Aku akan memperjuangkannya demi kamu, Sayang. Kamu yang pernah mengandung benihku, tapi aku sia-siakan karena nafsu." Tekadnya dalam hati.
Hani yang dia sayangi. Cintanya. Hidup matinya.
***
"Hei!"
Hani terkejut saat sebuah lengan besar merengkuh tubuh kecilnya dari belakang. Dia sedang asyik mengaduk adonan kue di dapur. Men
Happy Birthday, happy birthday, happy birthday to you."Semua orang bertepuk tangan dengan meriah saat lilin ditiup. Si gadis kecil cantik bermata biru itu tersenyum bahagia. Sepasang suami istri membantunya memotong kue untuk kemudian dibagikan.Ada sekitar lima puluh orang memenuhi ruangan restoran terkenal itu. Mereka berkumpul merayakan hari bahagia yang diperingati setiap tahunnya. Untuk itulah kuenya pun dibuat raksasa tapi dengan tema kesukaan yang punya acara, Maleficent."Selamat ulang tahun sayang. Mommy sama daddy sayang kamu." Krista mencium pipi gadis kecilnya.Hal yang sama juga dilakukan oleh Hans, si bule Amerika yang tampak berbeda sendiri diantara puluhan orang yang bermata sipit di ruangan itu. Lelaki berambut pirang dan bermata biru tampak paling menonjol di sana.Patricia, putri mereka satu-satunya sedang merayakan ulang tahunnya disini. Di Indonesia karena kebetulan mereka sedang berlibur. Biasany
Bunyi ponsel membangunkan tidur lelapnya. Hani menggeliat tanda masih mengantuk. Semalaman dia bergadang sampai jam tiga pagi membuat pesanan kue untuk sebuah acara pernikahan anak pejabat daerah setempat.Entah mimpi apa dia, sampai mendapatkan orderan sebesar itu. Snack sajian untuk para tamu yang jumlahnya ribuan cup harus dipersiapkan. Pastry, cake, dan aneka jajanan pasar.Hani seperti ketiban durian runtuh. Si bapak pejabat itu bahkan mentransfer lunas setelah dia menyebutkan nominal harga yang harus di bayar untuk pemesanan sebanyak itu.Supaya tidak keteteran dia mengambil beberapa mahasiswa SMK jurusan tata boga untuk membantu menyelesaikan bersama dua karyawannya.Pukul tiga pagi itu semua kue sudah jadi. Hanya tinggal menghias dan menambahkan topping karena acaranya sendiri masih pukul sepuluh pagi.Dia memilih tidur sebentar dan meminta mereka bergantian menjaganya.Ponselnya kembali bergetar. Hani mengambil ben
"Bundaaaa ..." Hani memeluk tubuh mungil di hadapannya. Benar, badannya panas sekali.Tangisan abang membuat hatinya luluh. "Kok demam? Minum es ya?" Dia bertanya dengan senyuman, padahal hatinya perih, ingin ikut menangis juga."Abang main ujan," jawab anak itu polos.Hani tergelak mendengarnya. Lucu sekali jawaban putranya ini."Abang ngambek, Bunda. Dilarang main hujan malah nekat ikutan temen-temennya." Ardi ikut masuk ke kamar putranya.Wanita itu menoleh dan mendapati kenyataan bahwa Ardi tak banyak berubah, tetap memanjakan anaknya. Buktinya kamar ini penuh dengan mainan yang jika ditotal jumlahnya cukup banyak mengahabiskan uang."Itu dengerin kata ayah. Kalau sakit kan siapa juga yang susah?""Tapi abang mau main," jawabnya sambil sesegukan membela diri.Boleh, tapi perutnya jangan kosong. Makan dulu nanti masuk angin. Itu penyebabnya jadi demam," jelas Hani. Memberikan pengertian kepada anak-anak memang harus sa
Datanglah sayang dan biarkan ku berbaring di pelukanmu walau untuk sejenak .... Sedari tadi ponselnya berdering. Lagu buat aku tersenyum mengalun indah berulang kali. Sembilan panggilan tak terjawab. Jangankan mengangkat, menyentuhnya pun Reza sudah tak sempat. Sedari tadi benda itu ada di dalam tas. Dia sendiri hanya mondar mandir gelisah di ruangan itu, menunggu semuanya selesai. "Za, duduk!" Kevin menepuk bahunya. "Dokter lagi usahakan yang terbaik." Seharian ini lelaki itu lebih banyak diam, makan pun tak berselera. Belum pernah dia merasa sepanik ini selama beberapa tahun terakhir. Bahkan saat ada peristiwa genting di kantor sekalipun. Terakhir kali saat kepergian mama dan Hani yang sempat menghilang. Itu pun sudah lama sekali. Pertunangannya dengan Vika yang batal juga tak terlalu dirisaukannya. "Angkat teleponnya, Za. Kasian Hani. Dia pengen ngomong, nih." Kevin mengambil benda itu dan menyerahkan kepada sahabatnya. Se
Prang!Suara benda pecah karena dilempar membuat Reza terkejut. Dia sedang berenang di pool belakang rumah sejak satu jam tadi.Weekend ini dia tidak kemana-mana karena Hani yang datang ke Jakarta. Sejak papa sakit, kekasihnya itu yang gantian datang berkunjung.Reza menyembunyikan wanita itu di apartrmen. Supaya papa tidak curiga dia tetap pulang ke rumah seperti biasa."Keluar kalian!" Suara lelaki paruh baya itu terdengar menggelegar seisi rumah.Reza segera naik dan memakai handuk. Setengah berlari menuju ke kamar. Tak dihiraukannya pandangan beberapa pelayan yang agak risih melihat dia shirtless begitu."Papa kenapa?" Dia mengambil tempat duduk di sebelah papanya, sembari menginstruksikan pelayan supaya membersihkan pecahan piring dan makanan yang berserakan di lantai."Makanannya enggak enak!" Papi membuang muka. Sejak keluar dari rumah sakit, papi memang menjadi rewel sekali dalam berbagai hal.
Lelaki paruh baya itu melahap puding buah dengan nikmat. Lembutnya puding berpadu dengan buah segar ditambah saus khusus memang menggugah selera makan. "Pinter si Jah masak. Ini enak!" Puding yang tadinya untuk dessert malah habis dimakan papanya sendiri. Menu utama ayam panggang malah tidak disentuh sama sekali. "Suka?" Reza mengambil potongan terakhir sebelum dilahap semua oleh papanya. Dia belum kebagian dari tadi. Rasanya tadi Hani membuat banyak sekali, dan dalam sekejap habis tak bersisa. "Iya enak yang begini seger. Sering-sering aja Jah suruh bikin." Reza menarik napas lega dan mengucap syukur dalam hati. "Papa mau makan nasi? Ada ayam panggang enak juga," tawarnya.Lelaki tua itu menggeleng. Sejak sakit selera makannya berubah. Dia tidak mau terlalu banyak makan nasi dan lauknya kecuali ikan, buah dan sayur. "Bosen. Kamu aja yang makan." Papa menyelesaikan makan, lalu memanggil pelayan untuk membawanya ke kemb
Saya pernah berpikir, bahwa jika saya menikah, itu pasti bukan karena usia saya, namun karena itu cocok untuk satu sama lain.” – Zhang Xinyu***Bismillahirrahmanirrahim. Reza mengucap ijab kabul dengan mantap. Seluruh orang yang menyaksikan berucap syukur. Semua berjalan lancar. Persiapan pernikahan ini boleh dibilang mendadak karena papa meminta untuk disegerakan.Sejak putranya kedapatan sedang berciuman dengan kekasihnya di rumah mereka, lelaki itu segera mengambil langkah cepat. Mereka harus segera dinikahkan. Reza tidak boleh berbuat hal-hal nekat kepada wanita itu, mengingat dia sendiri tahu betul sifat dan watak anaknya.Ibu Hani meneteskan air mata. Ini kali kedua dia menyaksikan putrinya menikah. Dulu, almarhum suaminya yang menikahkan Hani. Sekarang hanya diwakilkan oleh wali hakim. Dia masih tidak percaya kalau sang menantu benar-benar mencintai putrinya. Seperti mimpi ada seorang dari keluarga berada yang jatuh cinta dengan
Reza menjadi geram. Pemandangan di hadapannya membuat hati dan tubuhnya panas. Sudah hampir setengah jam dia menahan dan sekarang rasanya sudah tidak tahan lagi. Si pelaku yang membuat dia panas dingin sedari tadi sebenarnya tidak menyadari kalau apa yang dia lakukan memancing kobaran api bagi seseorang.Hani masih saja meliukkan tubuhnya mengikuti gerakan di layar televisi. Suara musik dan instruksi untuk melakukan sebuah gerakan terdengar nyaring seantero apartemen tempat tinggal mereka sekarang.Setiap pagi setelah membuat sarapan, wanita itu akan melakukan aktifitas ini. Dia ingin membentuk tubuh yang sejak tiga bulan ini menjadi melar. Padahal itulah yang Reza sukai, padat berisi.Gerakan demi gerakan yang Hani lakukan membuat tubuhnya berkeringat, sehingga lekuknya tercetak jelas di balik kaos ketat yang dia pakai.Sebenarnya penampilannya tidak vulgar. Dia hanya memakai celana pendek selutut dan kaos putih setiap kali melakukan aktivita
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan