Selama bekerja di kantor ini, hari-hari dijalani Hani dengan senang hati. Sekretaris Pak Reza sekarang menjadi sahabatnya. Tentu saja, ada hari dia harus mengantar dokumen yang harus ditanda tangani bos-nya. Mereka saling bertukar cerita dan menjadi akrab. Setiap makan siang pergi bersama di kantin khusus karyawan.
"Pak Reza itu loh, Mbak. Dia dijodohkan orang tuanya sama dokter cantik aja gak mau. Gak ngerti deh seleranya kayak apa."
Agnes namanya. Si cantik ini memang suka bergosip. Orang yang sering jadi bahan perbincangan yaitu atasannya sendiri. Apapun kelakuan Reza sehari-hari, ada saja ceritanya.
Reza memang membuat banyak orang penasaran. Terutama para wanita di kantor, kecuali Hani tentunya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jika ada yang bercerita, dia cukup tahu dan tidak memperpanjang masalah.
"Masa'? Mungkin seneng sama bule' kali. Katanya lama sekolah di luar negeri."
Hani menajwab asal. Dia masih fokus pada makanan di hadapannya. Enak sekali menu hari ini. Nasi rawon dengan banyak taoge dan telur asin.
"Iya, tapi kan dia udah tuwir. Masa mau empat puluh tahun belum nikah juga." Si mulut bawel ini memang kadang sulit mengerem kata-katanya.
"Hus! Jaga mulut kamu. Mana tau dia udah punya pacar diem-diem. Orang kayak mereka itu jaga privasi. Enggak suka ngumbar sama orang lain kehidupan pribadinya. Sekalipun dekat, semua kan gak harus di ceritain, Nes."
"Coba dia ramah dikit. Aku aja yang udah jadi sekretarisnya bertahun-tahun, malah jarang ngobrol, tuh."
"Mungkin dia cuma bicara seperlunya aja. Dia kan sibuk. Mana sempat mau gosip kayak kita."
Hani mengaduk nasi dan kuah rawon, lalu menyuapnya dengan lahap. Rasanya satu porsi masih kurang dan dia ingin menambah lagi.
Mereka asyik berbincang hingga sesosok lelaki tampan masuk ke cafetaria.
"Eh, eh. Dia datang, Mbak. Tumben nongkrong di kantin. Biasanya makan siang di restoran," bisik Agnes. Dia menyenggol bahu Hani.
Hani melihat ke arah pintu masuk. Reza terlihat tenang dan santai saat memilih menu makanan. Padahal suasana semakin berisik, karena karyawan wanita sibuk membicarakannya. Bahkan Hani melihat waitress yang mengantar makanan, sempat berhenti saat Reza lewat.
Reza meliriknya sekilas kemudian tersenyum.
"Eh, dia senyum sama kita." Agnes bersorak kegirangan. Dengan percaya dirinya membalas senyuman Reza.
"Sama kamu kali. Kamu kan cantik, single lagi." Dia cuek saja, masih belum move-on dari semangkok rawon yang super enak ini. Rasanya ingin dimintakan resepnya biar bisa dimasak di rumah untuk suami dan anaknya.
"Pasti sama kamu, Mbak. Aku lihat dia seneng banget kalau mbak datang habis ngantar dokumen. Senyum-senyum enggak jelas."
"Oh ya?" Mengapa hatinya jadi berbunga-bunga begini.
"Iya. Mbak ini imut banget, deh. Aku enggak nyangka udah nikah terus punya anak. Apa jangan-jangan Pak Reza seleranya yang kecil-kecil kayak mbak ini kali, ya. Gemesin gitu."
Hani terbahak, kemudian menutup mulutnya menahan malu. Rasanya tak pantas jika perempuan tertawa seperti itu, apalagi ini di tempat umum. Tidak sopan.
Tanpa disadari, ternyata Reza berhenti makan dan melihat saat mereka tertawa.
Tak disengaja juga, di saat yang sama, Hani menoleh ke arahnya. Mata mereka bertatapan entah untuk yang ke sekian kalinya. Wanita itu menunduk. Sekilas terlihat Reza menahan senyum sambil melanjutkan makan.
"Tuh, kan. Dia ngeliat ke sini. Senyum-senyum lagi." Agnes mulai menggoda sahabatnya. Senang sekali dia melihat Hani yang menjadi salah tingkah karena perbuatannya.
"Udah, ah. Aku udah selesai makannya. Duluan, ya."
Hani berjalan menuju keluar. Sebelumnya dia menanggukkan kepala ke arah Reza sebagai tanda pamit. Lelaki itu membalasnya dengan senyuman.
***
"Hani bisa antarkan dokumen ini ke ruangan Pak Reza," kata Ibu Maya, atasannya di departemen ini.
"Ada lagi, Bu?" Dia bertanya. Hari ini dia sudah tiga kali bolak balik mengantarkan berbagai macam berkas sejak pagi. Belum lagi yang harus diantar ke divisi lain. Kenapa coba dia ditempatkan di posisi ini?
"Iya. Ini besok akan ada rapat dengan klien penting diluar kota. Semua harus selesai hari ini."
"Baik, Bu."
Dia melangkahkan kaki menuju dimana ruangan lelaki itu berada. Entah mau bicara apalagi jika bertemu. Malah kadang diantar saja tanpa bicara, setelah selesai dia langsung ke luar ruangan.
"Bapak ada?" Dia bertanya.
Agnes terlihat sibuk, entah sedang mengerjakan apa. Hani melihat rambut yang tadinya terurai, kini digelung ke atas. Itu berarti pekerjaan Agnes sedang banyak.
"Masuk aja, Mbak." Dia mengangguk tanpa melihat. Matanya fokus menatp layar di depan.
Tok tok tok!
Wanita itu mengetuk pintu sebelum masuk.
"Ya." Suara berat menyahut dari dalam. Sungguh terdengar sangat maskulin bagi telinga wanita.
"Permisi, Pak." Dia masuk dengan sopan. Harus formal, karena Reza adalah atasannya, walaupun secara tidak langsung.
"Eh, Mbak Hani. Ada lagi?" Lelaki itu tersenyum senang saat wanita ini datang dan mengetuk pintu ruangannya.
"Iya, Pak. Kata Bu Maya ini penting karena besok Bapak akan meeting dengan klien luar kota." Dia meletakkan berkas itu di meja.
"Duduk."
"Tapi, saya cuma sebentar, Pak. Ada beberapa laporan yang harus saya selesaikan," tolaknya halus.
"Duduk aja dulu. Kamu enggak pengen ngobrol sama aku sebentar aja?" Suara beratnya kali ini melunak.
Aku? Biasanya dia mengucapkan kata "saya".
"Iya, Pak."Hani mengambil tempat di sofa seberang meja. Dia tidak berani duduk berhadapan dengan Reza. Selain grogi, harum parfumnya benar-benar menggoda.
Lelaki ini mengambil gagang telepon dan men-dial beberapa angka.
"Halo, Bu Maya. Tolong laporan yang mau dikerjakan Hani dialihkan sama yang lain dulu. Ada beberapa hal yang mau saya diskusikan, jadi sampai jam pulang kantor, Hani berada di ruangan saya."
Telepon terputus. Reza segera menanda-tangani berkas dan dokumen di mejanya.
Hani tercengang mendengar apa barusan dia dengan. Diskusi? Apa yang Reza mau bicarakan? Bukannya dia hanya staf administasi biasa. Tapi dia memilih diam, dan ... menunggu.
"Halo Agnes. Pukul empat nanti kamu boleh pulang. Tidak ada lembur atau pekerjaan tambahan karena besok saya mau keluar kota."
Setelah selesai, Reza berjalan mendekati sofa dan duduk di sebelah Hani. Dengan santainya dia meletakkan tangan di belakang sandaran, yang jika Hani merapat sedikit seolah-olah akan berpelukan dengannya.
"Cape’nya." Dia melonggarkan dasi.
"Kalau cape' Bapak pulang aja, kan bisa istirahat di rumah."
"Aku masih kangen sama kamu." Reza mendekatkan wajahnya menatap wajah cantik itu.
Hani terkejut sambil menutup mulut.
"Kenapa?" Suaranya melembut tapi tubuhnya bergerak mendekat. Kini Hani terpojok di ujung sofa.
"Bapak ada yang mau didiskusikan dengan saya?" tanya Hani dengan wajah ketakutan.
"Diskusi apa? Cuma mau ngobrol biasa ajalah," ucapnya santai.
"Mau ngobrol apa, Pak?" Dia menunduk, malu ditatap Reza seperti itu.
"Kalau ngomong jangan nunduk gitu. Liat matanya, dong." Reza mengangkat dagu Hani.
Hani menepis tangannya. Lancang, tapi malah dipegang balik oleh lelaki itu.
Reza menatapnya tajam. Dia ingin sekali menyentuh wajah ini. Tapi niatnya urung. Tangannya malah bergerak melepas gelungan rambut Hani, kemudian membelainya.
"Jangan, Pak." Hani menolak. Tidak pantas seorang pimpinan memperlakukan staff-nya seperti itu.
"Kenapa?"
"Saya istri orang."
Reza tersadar.
"Cuma ngobrol biasa boleh, kan?"
"Tapi jangan pegang-pegang." Hani tersenyum. Dia takut lelaki ini tersinggung, karena dia menolak dengan cara halus.
"Iya." Lirih suaranya, tapi raut wajahnya tampak kecewa. Apakah Reza sudah jatuh cinta?
Dua orang lelaki duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Sepertinya pembicaraan kali ini serius, mengingat karena kesibukan masing-masing, mereka jarang bertemu."Lo kenapa, Za? Galau banget kayaknya."Kevin, sahabat sehidup semati Reza. Playboy cap kampak yang sudah bertobat dari dunia malam dan wanita. Belum, belum bertobat sepenuhnya. Masih suka bermain sesekali."Mau tau aja." Reza mengaduk minuman di gelas, supaya setiap rasa bercampur menjadi satu."Ya elah. Gue ini sahabat lo. Maen rahasia-rahasian segala. Kaku banget, sih.""Berat ini.""Cewek?" tanya Kevin penasaran."Yup.""Siapa?" Mata lelaki itu membulat."Ada deh," jawab Reza santai."Aduh, Mas Bro. Lo ini laki apa cewek, sih? Ribet amat!" Kevin tidak habis pikir."Tapi janji, rahasia ini!""Kayak abege aja lo, Za. Udah mau kepala empat aja masih galau soal cinta. Gue udah buntut tiga lo masih
Tak terasa waktu berlalu, sudah tiga bulan Hani bekerja di sana. Hari demi hari dia nikmati walaupun terasa lelah. Ternyata tidak gampang bekerja dengan status sudah menikah. Apalagi mempunyai anak balita yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari ibunya.Berbeda dengan waktu masih single dulu, dia bebas mau pergi ke mana saja sepulang kerja. Sekarang setelah selesai jam kantor, dia harus segera pulang ke rumah. Belum bisa langsung istirahat, harus mengurus putranya yang rewel.Beruntung, dia memiliki suami yang pengertian. Bahkan tak jarang Ardi menyediakan makan malam, walaupun membelinya di luar. Bersyukur bahwa Tuhan memberikannya seorang pendamping hidup yang baik.Pekerjaannya di kantor semakin bertambah. Apalagi sejak salah satu staf administrasi resign, dia yang tadinya hanya diperbantukan otomatis menggantikan posisi itu.Reza? Masih saja terus mendekatinya. Tapi dia menolak secara halus, dari mengajak makan siang atau sek
Bosan.Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka.Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu."Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana."Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak me
Wajah Reza berseri saat sosok wanita itu masuk ke dalam ruangan. Hani terlihat manis dengan dandanan yang natural. Dia memakai blouse pas di badan tetapi tidak ketat. Seperti biasa, celana panjang hitam dan sepatu ... mata Reza beralih ke bawah. Ada perbedaan dari penampilan wanita itu hari ini. Bukan sepatu flat lagi yang dia pakai, tetapi sepatu hitam dengan hak lima inci.Entah sejak kapan dia menjadi pengamat si mungil ini, memperhatikan semua secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia membuang muka saat menatap leher mulus itu, yang setiap hari selalu ditampakkan karena Hani memilih menggelung rambutnya. Rasanya dia ingin ...."Makan siang di mana nanti?" tanya Reza tanpa basa-basi. Melihat wajah Hani yang cemberut dan diam sejak tadi meletakkan berkas di mejanya, membuatnya merasa sedikit bersalah.Pasti dia masih marah karena ucapannya kemarin. Memang lancang mulutnya mengatakan hal itu, malah sempat senang dengan reaksi yang Hani berika
Hani tertunduk lemas mendengar jawaban dari HRD. Setelah makan siang, dia nekat menghadap dan menyampaikan keinginannya untuk dipindahkan ke divisi lain. Itu juga setelah berbicara lama dengan Maya, atasannya langsung, menyampaikan beberapa argumen yang menguatkan alasan. Tentu saja dia merahasiakan perlakuan Reza selama ini. Malah nanti dia yang dituduh merayu lelaki itu.Dia kembali ke ruangan dengan tidak bersemangat, duduk di kursi dan mengerjakan laporan yang masih menumpuk."Hani." Dia menoleh dan seketika menjadi limbung saat melihat setumpuk berkas diletakkan begitu saja di meja kerjanya. Itu berarti dia harus kembali ke ruangan itu lagi. Sejak pagi dia bersyukur karena tidak ada yang menugaskan, tapi ternyata ...."Bisa yang lain enggak, Mbak? Saya masih ada kerjaan," tolaknya halus. Apa iya, hanya dia yang boleh menghadap lelaki itu, sedangkan yang lain tidak diperkenankan meng-handle jika dia berhalangan?Ini janggal sekali. Sedikit rasa curiga
The Holywings Foods and Bar.Suara live music terdengar menggema di tempat itu. Hampir semua kursi terisi penuh. Di sudut ruang, tampak dua orang lelaki yang sedang menikmati sajian mereka sambil bercerita.Lelaki yang berbaju putih terlihat santai sambil sesekali tertawa. Sementara yang satunya tidak bersemangat sama sekali. Padahal menu makan malam kali ini spesial, aneka menu rekomendasi restoran dan beberapa botol beer."Temen dapet musibah malah diketawain." Reza meneguk minuman beralkohol, lagi. Entah ini sudah gelas yang ke berapa, yang penting malam ini hatinya harus senang."Gila! Gue nggak bisa bayangin waktu dia nendang itu. Sakit mama." Kevin tertawa sambil memegang perutnya."Sekali lagi lo ketawa, gue timpuk pake' ni botol," ancam Reza. Rasa kesal di dalam hatinya belum juga hilang."Jangan, dong. Nanti sakit." gelak tawanya semakin menjadi."Shit!" Reza menuang segelas lagi.Se
"Mbak ngelamun aja. Mikirin apa hayo?" Agnes meletakkan nampan makan siangnya dan duduk di sebelah Hani."Eh, enggak." Hani menatap makan siangnya dengan tidak berselera. Sedari tadi dia hanya mengaduk nasi dan tak berniat memasukkannya ke mulut."Mas Ardi sibuk banget, ya? Sampai Mbak uring-uringan kayak gini." Agnes mengerling beberapa kali. Memberanikan diri untuk bertanya. Ada rasa kasihan melihat sahabatnya ini."Tau, nih. Masa' training sibuk banget. Susah dihubungi lagi." Akhirnya dia meletakkan alat makannya di piring."Positif thinking, Mbak. Kali emang tuntutan perusahaan kayak gitu.""Iya, Nes. Jujur aku sebel. Mas Ardi nggak biasanya begini." Dia mengambil selembar tissue dan membersihkan mulutnya, menghabiskan sisa minuman di gelas."Oh, iya. Waktu itu kenapa mbak lari-lari dari ruangan bapak? Sampai aku panggil enggak denger."Wajah Hani memucat. Mau dijawab apa ini?"Oh! Itu ... aku kebelet. Udah ngga
Reza membersihkan sisa bungkus makanan setelah Hani menghabiskan semuanya, lalu mengambil obat di nakas dan meminta wanita itu untuk meminumnya."Masih pusing?"Dia mengangguk."Tidur lagi sana. Istirahat." Dia hendak membantu wanita itu berdiri, tapi tangannya ditepiskan."Aku di sini saja, Za," tolaknya halus.Sudah tak ada batasan lagi di antara mereka karena sudah saling memanggil nama."Kamu tidur di kamar. Biar aku di sini."Hani menatapnya curiga, sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan mesra. Reza mendekatinya sehingga kali ini mereka sudah tak berjarak. Tangannya meraih lembut, menyatukan jemari mereka."Aku sayang kamu." Entah dirasuki apa dia mengatakannya, membuat Hani terbelalak karena tak percaya.Wanita itu membuang muka. Jantungnya berdebar kencang, napasnya berasa sesak. Lelaki ini akhirnya mengungkapkan perasaan.Dia harus menjawab apa? Berulang kal
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan