Hani menyimak setiap kata yang terucap dari bibir si pembicara di depannya ini. Berapa pun nominal gaji yang ditawarkan akan disetujui, asalkan dia diterima.
Dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, rasanya sudah tidak boleh banyak memilih pekerjaan, asalkan itu halal. Bersyukur saja ada perusahaan yang masih mau menerima. Hasil jualan kuenya juga tidak seberapa, hanya untuk biaya makan sehari-hari. Sementara kontrakan berjalan setiap bulannya, juga cicilan motor yang belum lunas.
"Ibu Hani. Segini jumlah gaji dan operasional yang kami tawarkan jika ibu berkenan," ucap si bapak itu.
Hani menganggukkan kepala. Tangannya gemetaran saat melihat berapa nominal yang tertulis di kertas itu. Dalam hati berucap syukur tak terhingga.
"Iya, Pak," jawabnya.
"Mungkin tidak terlalu besar karena banyak pertimbangan, seperti faktor usia dan ibu yang sudah lama vakum bekerja." Dia kembali menjelaskan. Lelaki dihadapannya ini adalah salah seorang staf yang ditugaskan untuk melakukan interview selanjutnya.
Usianya mungkin sudah separuh abad dan tinggal menunggu masa pensiun tiba.
Hani tercengang. Tidak terlalu besar katanya? Ini banyak. Cukup untuk membayar kontrakan selama satu bulan, membeli diapers, susu, keperluan rumah tangga dan upah lelah si budhe yang menjagakan anaknya.
Pikirannya blank, tidak bisa berkata-kata. Hanya memandang kertas itu dengan tatapan gamang. Apa pantas untuk karyawan baru yang hanya menempati posisi staf biasa dia diberikan sebanyak ini? Jumlahnya malah hampir mendekati gaji yang suaminya dulu dapatkan di kantor lamanya, setelah enam tahun bekerja. Apa mereka tidak salah?
"Ada yang ingin ditanyakan?" Si bapak itu terlihat menahan senyum melihat ekspresi wajahnya yang melongo.
"Saya kira saya tidak diterima. Sudah tiga bulan tidak ada kabar. Kata Pak Reza, seminggu tidak ada panggilan berarti tidak lolos." jawabnya jujur.
Dia memang selalu berterus terang secara gamblang apa pun mengenai perasaannya. Segala macam hal yang kurang jelas akan ditanyakan secara detail.
Si Bapak itu tersenyum. "Ibu keberatan dengan gaji segitu? Apa kurang? Bisa kita bicarakan." Dia mencoba bernegosiasi. Sudah sering mendapatkan kejadian seperti ini. Biasanya, si pelamar ingin meminta kenaikan gaji pokok, sehingga banyak bertanya ini itu.
"Bukan begitu, Pak. Saya menerimanya. Hanya saja masih belum percaya. Pastinya kan ada kandidat lain. Masa saya yang diterima?"
Gugup yang dia rasakan. Jantungnya berdetak kencang sedari tadi. Tangannya berkeringat dingin. Beberapa kali dia membetulkan letak kacamatanya, yang posisinya baik-baik saja. Selalu begitu setiap kali dia merasa nervous.Dia masih belum percaya, ini seperti di antara nyata dan mimpi. Mungkin inilah jalan rezeki dari Tuhan bagi keluarga mereka.
"Ibu benar. Tapi kami memilih ibu. Memang prosesnya lama karena kami agak keberatan dengan usia, walau pun dari sisi yang lainnya sudah oke," jelasnya. Dia menjelaskan secara detail. Wanita di depannya ini ternyata cukup sulit juga untuk diyakinkan.
"Lalu?"
"Ada pertimbangan lain karena itu diterima."
Hani kembali menganggukkan kepala. Pertimbangan apa, ya? Dia jadi penasaran. Tetapi sungkan untuk bertanya. Nanti si bapak ini kesal, bisa batal dia bekerja di sini.
"Bagaimana?"
"Kalau begitu terima kasih. Saya menerima," ucapnya sungguh-sungguh.
"Oh, iya. Ada yang ingin saya sampaikan. Untuk sistem kesehatan di perusahaan ini, kita menggunakan jasa asuransi, ya. Untuk karyawan wanita, akan ditanggung beserta anak. Tetapi suaminya tidak."
"Begitu, ya?"
"Bisa ditanggung suami, asalkan ibu menyertakan surat keterangan bahwa suami tidak punya pekerjaan dan menjadi tanggungan istri."
Deg!
Kata-kata bapak ini menyentil hatinya. Tidak, dia tidak mau. Dia yakin suaminya akan dapat pekerjaan secepatnya.
"Ini asuransi pemerintah atau swasta?"
"Dua-duanya. Nanti untuk lebih jelasnya akan dirincikan setelah ibu bergabung."
"Ditanggung yang swasta juga?" Dia setengah tak percaya. Didaftarkan asuransi pemerintah saja dia sudah senang, apalagi ini. Jadi perlindungan kesehatan keluarganya ada dua. Aman.
"Iya, Ibu. Asuransi pemerintah kan hukumnya wajib, kalau yang swasta itu kebijakan perusahaan karena tidak semua penyakit di cover asuransi pemerintah."
"Apa saja yang ditanggung? Kalau boleh tahu."
Ya ampun, dia jadi banyak bertanya. Biar sajalah, biar jelas jadi tidak perlu bolak-balik nantinya.
"Ada semua di lembar terakhir. Nanti ibu bisa baca sendiri. Untuk rawat inap dan rawat jalan, serta beberapa ketentuan jika terdiagnosa penyakit kronis." Dia menunjuk berkas yang terletak di meja.
Hani terkesima, luar biasa sekali kantor ini. Betapa besarnya sampai dia sendiri tidak sadar perusahaan apa yang dia masuki saat mengirim lamaran pekerjaan."Saya mengerti."
"Untuk aturan perusahaan nanti akan dijelaskan tersendiri ya, Bu. Ikuti saja prosesnya. Jika ada yang kurang dimengerti bisa ditanyakan langsung. Jangan sungkan."
"Cukup."
"Kami mengutamakan kenyamanan karyawan selama bekerja disini. Jadi, ibu tidak perlu khawatir. Sekali pun ini perusahaan besar, kami masih menerapkan sistem kekeluargaan. Hanya nanti, semoga ibu bisa menyesuaikan diri dengan seluruh staf yang ada."
"Baik. Saya siap menjalani semuanya." jawabnya tegas. Harus meyakinkan, jika tidak nanti niatnya bekerja bisa diragukan.
"Baiklah kalau begitu. Selamat bergabung di perusahaan kami. Semoga Ibu betah dan nyaman."
"Iya."
"Tapi ibu. Ini kan tanggal dua puluh tiga, ya. Ibu resmi bekerja mulai tanggal satu bulan depan. Besok sampai seminggu kedepan kita akan training di kantor ini."
"Baik, Pak." Sedari tadi dia hanya mengiyakan.
"Silahkan ditanda-tangani surat perjanjian ini." Dia menyerahkan selembar kertas..
Hani membacanya dengan teliti. Di situ disebutkan bahwa statusnya masih karyawati kontrak dengan evaluasi berjalan. Jika hasil kerjanya bagus, dalam waktu tiga bulan ke depan, akan diangkat menjadi karyawan tetap.
Setelah di rasa cukup, Hani membubuhkan tanda tangan di kertas itu.
"Oke. Sudah clear, ya. Saya rasa cukup. Ibu mungkin bisa mempersiapkan diri untuk besok." Dia mengambil kertasnya dan memasukkan ke dalam sebuah map.
"Engg ... saya pakai apa, Pak? Maksudnya pakaian yang nanti dikenakan."
Bapak itu tertawa mendengar pertanyaan Hani. "Bebas rapi saja asal sopan. Di sini tidak ada seragam," jelasnya.
Alhamdulillah. Sujud syukur pada-Mu.
Hani melangkah riang saat keluar dari gedung besar itu. Terbayang seperti apa besok hari pertamanya bekerja. Seperti apa juga rekan kerjanya nanti, apakah baik atau tidak. Kadang-kadang, ada senior yamg merasa berkuasa dan sedikit menzolimi anak baru sepertinya. Pernah dia mengalami sewaktu dulu di kantor lama.
Selain itu rasanya dia sudah tak sabar menanti gaji pertama. Lucu, belum bekerja sudah memikirkan gaji. Tapi memang itulah yang membuatnya bersemangat.
Suami yang belum bekerja dan tabungan yang semakin menipis, sedikit banyak membuatnya memikirkan mengenai kelanjutan kehidupan mereka.Dia sudah tak sabar ingin pulang ke rumah. Ingin segera menceritakan semuanya kepada suaminya. Berterima kasih karena dia telah dia telah diizikan untuk bekerja kembali. Semangat ya, Hani! Hari esok menanti.
Hani menyapukan sedikit bedak di wajah, kemudian memoleskan lipstik berwarna merah. Alis sudah sejak awal dia lukis."Duh, cantiknya istriku." Ardi menggodanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang, merengkuh istrinya dari belakang."Mas ini." Dia menyenggol perut suaminya. Sejak menikah, perut Ardi semakin hari semakin maju ke depan. Bahkan saat sedang hamil, perut mereka tampak berimbang. Itu karena Hani setiap hari menyajikan berbagai makanan yang menggugah selera."Jangan tebel-tebel bedaknya, nanti banyak yang naksir." Ardi menyandarkan kepalanya di bahu Hani, sesekali menghirup aroma harum yang menguar dari setiap helai rambut istrinya. Sekedar bermanja ria walaupun tidak intim."Mas cemburu?" Dia meletakkan sponge bedak dan mengambil kuas dan blush on berwarna matte untuk menutupi wajahnya yang putih tapi sedikit pucat."Pastilah. Biasanya istri di rumah cuma mas yang liat. Ini malah mau dipamer ke banyak orang.""Emangny
Tak terasa sudah hari terakhir training. Ini hari ke tujuh, berarti besok mereka sudah mulai aktif bekerja. Hari ini acara penutupan, di mana tidak banyak materi yang dibagikan. Hanya post test yang harus dikerjakan, untuk me-review seberapa paham para peserta dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir di mana kami akan memberikan job desk Bapak Ibu semua." Salah seorang dari staf HRD memulai pembicaraan.Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Reza yang sesekali masuk dan memantau situasi. Reza benar-benar mengawasi selama acara berlangsung. Dia ingin memastikan sendiri.bahwa segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus semua. "Selamat bergabung." Sambutan Reza begitu hanga, ketika masing-masin
Selama bekerja di kantor ini, hari-hari dijalani Hani dengan senang hati. Sekretaris Pak Reza sekarang menjadi sahabatnya. Tentu saja, ada hari dia harus mengantar dokumen yang harus ditanda tangani bos-nya. Mereka saling bertukar cerita dan menjadi akrab. Setiap makan siang pergi bersama di kantin khusus karyawan. "Pak Reza itu loh, Mbak. Dia dijodohkan orang tuanya sama dokter cantik aja gak mau. Gak ngerti deh seleranya kayak apa." Agnes namanya. Si cantik ini memang suka bergosip. Orang yang sering jadi bahan perbincangan yaitu atasannya sendiri. Apapun kelakuan Reza sehari-hari, ada saja ceritanya. Reza memang membuat banyak orang penasaran. Terutama para wanita di kantor, kecuali Hani tentunya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jika ada yang bercerita, dia cukup tahu dan tidak memperpanjang masalah. "Masa'? Mungkin seneng sama bule' kali. Katanya lama sekolah di luar negeri." Hani menajwab asal. Dia masih fo
Dua orang lelaki duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Sepertinya pembicaraan kali ini serius, mengingat karena kesibukan masing-masing, mereka jarang bertemu."Lo kenapa, Za? Galau banget kayaknya."Kevin, sahabat sehidup semati Reza. Playboy cap kampak yang sudah bertobat dari dunia malam dan wanita. Belum, belum bertobat sepenuhnya. Masih suka bermain sesekali."Mau tau aja." Reza mengaduk minuman di gelas, supaya setiap rasa bercampur menjadi satu."Ya elah. Gue ini sahabat lo. Maen rahasia-rahasian segala. Kaku banget, sih.""Berat ini.""Cewek?" tanya Kevin penasaran."Yup.""Siapa?" Mata lelaki itu membulat."Ada deh," jawab Reza santai."Aduh, Mas Bro. Lo ini laki apa cewek, sih? Ribet amat!" Kevin tidak habis pikir."Tapi janji, rahasia ini!""Kayak abege aja lo, Za. Udah mau kepala empat aja masih galau soal cinta. Gue udah buntut tiga lo masih
Tak terasa waktu berlalu, sudah tiga bulan Hani bekerja di sana. Hari demi hari dia nikmati walaupun terasa lelah. Ternyata tidak gampang bekerja dengan status sudah menikah. Apalagi mempunyai anak balita yang masih butuh kasih sayang dan perhatian dari ibunya.Berbeda dengan waktu masih single dulu, dia bebas mau pergi ke mana saja sepulang kerja. Sekarang setelah selesai jam kantor, dia harus segera pulang ke rumah. Belum bisa langsung istirahat, harus mengurus putranya yang rewel.Beruntung, dia memiliki suami yang pengertian. Bahkan tak jarang Ardi menyediakan makan malam, walaupun membelinya di luar. Bersyukur bahwa Tuhan memberikannya seorang pendamping hidup yang baik.Pekerjaannya di kantor semakin bertambah. Apalagi sejak salah satu staf administrasi resign, dia yang tadinya hanya diperbantukan otomatis menggantikan posisi itu.Reza? Masih saja terus mendekatinya. Tapi dia menolak secara halus, dari mengajak makan siang atau sek
Bosan.Itulah yang Hani rasakan selama satu minggu. Pikirannya suntuk, saat bekerja jadinya tidak fokus. Sejak suaminya berangkat training, dia seperti orang kebingungan. Ada beberapa sahabatnya tempat berbagi, tapi tetap saja rasanya berbeda jika bersama suami sendiri. Dengan Ardi, dia bisa mendiskusikan apa saja yang disuka.Wanita memang perlu mencurahkan isi hati kepada seseorang yang dia percaya. Selama ini hanya suaminya tempat berbagi cerita. Ketika Ardi tidak ada, dia menjadi hampa, seperti ada bagian yang hilang.Lagipula selama training suaminya tidak bisa diganggu. Telepon hanya bisa pada malam hari setelah selesai acara. Jadwal padat, begitu alasannya setiap Hani mengeluhkan hal itu."Perusahaan itu beda-beda. Kebetulan yang ini kantor pusatnya di Surabaya, jadi ya harus ke sana."Hani teringat kata-kata suaminya sebelum berangkat, malam hari sebelum tidur. Berdua membahas banyak hal, terutama tentang rumah dan anak me
Wajah Reza berseri saat sosok wanita itu masuk ke dalam ruangan. Hani terlihat manis dengan dandanan yang natural. Dia memakai blouse pas di badan tetapi tidak ketat. Seperti biasa, celana panjang hitam dan sepatu ... mata Reza beralih ke bawah. Ada perbedaan dari penampilan wanita itu hari ini. Bukan sepatu flat lagi yang dia pakai, tetapi sepatu hitam dengan hak lima inci.Entah sejak kapan dia menjadi pengamat si mungil ini, memperhatikan semua secara detail dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia membuang muka saat menatap leher mulus itu, yang setiap hari selalu ditampakkan karena Hani memilih menggelung rambutnya. Rasanya dia ingin ...."Makan siang di mana nanti?" tanya Reza tanpa basa-basi. Melihat wajah Hani yang cemberut dan diam sejak tadi meletakkan berkas di mejanya, membuatnya merasa sedikit bersalah.Pasti dia masih marah karena ucapannya kemarin. Memang lancang mulutnya mengatakan hal itu, malah sempat senang dengan reaksi yang Hani berika
Hani tertunduk lemas mendengar jawaban dari HRD. Setelah makan siang, dia nekat menghadap dan menyampaikan keinginannya untuk dipindahkan ke divisi lain. Itu juga setelah berbicara lama dengan Maya, atasannya langsung, menyampaikan beberapa argumen yang menguatkan alasan. Tentu saja dia merahasiakan perlakuan Reza selama ini. Malah nanti dia yang dituduh merayu lelaki itu.Dia kembali ke ruangan dengan tidak bersemangat, duduk di kursi dan mengerjakan laporan yang masih menumpuk."Hani." Dia menoleh dan seketika menjadi limbung saat melihat setumpuk berkas diletakkan begitu saja di meja kerjanya. Itu berarti dia harus kembali ke ruangan itu lagi. Sejak pagi dia bersyukur karena tidak ada yang menugaskan, tapi ternyata ...."Bisa yang lain enggak, Mbak? Saya masih ada kerjaan," tolaknya halus. Apa iya, hanya dia yang boleh menghadap lelaki itu, sedangkan yang lain tidak diperkenankan meng-handle jika dia berhalangan?Ini janggal sekali. Sedikit rasa curiga
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan