DATANG PENUH KHAWATIR Sehari sebelumnya. Pihak casting director, produser dan Sutradara berunding untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemeran utama. Mereka sepakat, kalau Meiva lah orang yang tepat membintangi film yang akan digarap. Kecuali, Produser yang sejak awal terus saja menunjukkan penolakan. Dengan berbagai alasan. "Terlalu beresiko kalau kita memilih Meiva, dia memiliki banyak masalah. Di belakang nanti pasti akan menimbulkan kekecewaan besar bagi masyarakat," ucap produser. "Dengan adanya masalah tentang dia, itu bisa jadi pro kontra, bahkan kalau kita pintar marketing, itu justru bisa mendongkrak popularitas film kita," ucap Sutradara. "Aku setuju, lagi pula yang kita cari karyanya, bukan masalah hidupnya. Apa pun masalah itu terlepas dari urusan kita, kan?" tanya penulis. "Benar. Kalau memang akting Meiva dinilai cocok, kalian harus segera menghubunginya. Minta dia untuk jadi pemeran utama," ucap Clovis yang sejak tadi duduk di kursi paling ujung. Ia
Keringat membasahi pelipis Meiva, sambil mengigit bibir bawahnya ia menahan kesakitan saat Clovis memegang kakinya kuat. Sebenarnya Meiva masih kesal dengan lelaki itu, tapi kesakitan di kaki mengalahkan egonya. “Pelan-pelan, Clovis. Rasanya sakit banget.” Tubuhnya berada di kursi mobil, sedangkan kedua kakinya menjulur keluar pintu yang terbuka. Clovis berjongkok di bawahnya, menyiramkan air mineral dari botol ke kaki Meiva yang berwarna putih kemerah-merahan. dia memandang luka Meiva serius. “Aaarh! Aduh-aduh ... sakit, sepertinya masih ada kaca di dalamnya.” “Sebaiknya kita ke rumah sakit. Untuk membersihkan sisa-sisa kaca yang masih tertinggal?” Meiva langsung menggeleng. “Kalau ke rumah sakit, mereka pasti akan memberiku bermacam jenis suntikkan. Seperti beberapa waktu lalu. Tidak, aku tidak mau.” Meiva sangat takut melihat jarum suntik. Dia tak mau berhadapan dengan benda tajam itu. Clovis berdecak, mendengar ketakutan Meiva. “Oke, aku akan mencabutnya. Kita bisa mulai?”
“Aku minta maaf.” Hanya kalimat itulah yang mempu Meiva ucapkan saat kini berhadapan dengan Clovis. Di bawah pohon besar yang menghadap kolam yang ditumbuhi tanaman bunga Teratai sedang mekar berwarna merah muda. “Jadi, kamu memintaku datang ke mari hanya untuk ini?” Clovis berdecak, duduk sambil memegang ponselnya, terlihat tidak menikmati pemandangan.“Kamu mau minum?” Gerakan Meiva kaku, mengulurkan satu kaleng minuman bersoda untuk Clovis yang dia beli tadi dari mesin penjual di tepi jalan. “Kamu tidak sedang berusaha menyogokku?” tanya Clovis curiga. Tapi tanpa ragu membuka penutup kaleng, langsung menenggak isinya. “Apa Pak Clovis Malory bisa disogok dengan sekaleng minuman?” Clovis tampaknya memang sedang haus, dia terus saja menenggak minumannya. ‘Mungkin saja dia berlari sepanjang perjalanan ke sini,’ batin Meiva menikmati minuman di tangannya sendiri. “Jadi, kamu akan menerima tawaran syuting, atau menolaknya?” tanya Clovis. Meiva mengangguk. “Diterima. Hanya
"Sangat tidak profesional." Meiva mendesah kesal saat melihat Ellen berjalan santai melakukan foto bersama dengan para fansnya. Bahkan perempuan itu mengobrol, memamerkan barang-barang yang dia pakai yang bermerk edisi keluaran luar negeri. "Lihat, aku pakai sebagus ini. Kalau kalian minat, bisa langsung belanja di store terbaruku, link ada di akun sosial mediaku." Ellen justru sibuk mempromosikan usaha terbarunya. Padahal dia sudah telat sepuluh menit. Belum briefing dan segala macam, pasti akan membutuhkan waktu yang lama lagi. "Boleh aku minta foto sekali lagi?" tanya fansnya. "Tentu, tapi dengan satu syarat, kalian harus membeli produkku. Sepuluh orang, kalau kalian tidak ada yang membeli, aku akan kecewa, dan akan mempertimbangkan lagi, setelah ini apa kalian benar penggemarku atau bukan," ucap Ellen. "Kami akan membeli produkmu. Tapi, jangan bilang seperti itu. Selama ini kami sangat mengidolakanmu, Ellen." "Bagus. Setelah membeli jangan lupa, upload ke sosial media
"Kamu sangat menggairahkan, aku nggak akan puas walau terus melakukan denganmu. Setelah acara selesai, bagaimana kalau kita melakukannya lagi di hotel dekat sini? Lagi pula, Meiva nggak hadir kan malam ini? Aku dengar dia dicancel digantikan denganmu?" Suara Alden sangat jelas, sedang menggoda seseorang di dalam sana. “Bahkan kamu belum puas, padahal kita sudah melakukannya berulang kali di apartemen, sampai lututku saja rasanya masih lemas.”Meiva mengenakan long dress hitam rambut di kuncir satu di belakang ingin menemui Alden, untuk meminta bantuan pada pacarnya perihal masalah pembatalan secara sepihak oleh salah satu produser DTP TV.Tetapi, langkahnya berhenti saat mendengar suara Alden sedang bicara mesra dengan seorang perempuan. Meiva berdiri di depan pintu kaca acid low iron glass. Sepertinya ia sama sekali tidak asing dengan suara itu. Walau penasaran tetapi ia tetap menahan kakinya untuk berdiri tagak di posisinya sambil mencengkram handle pintu, mendengarkan mereka b
Entah sudah berapa puluh kali, notifikasi chat dan panggilan dari nomor tidak dikenal masuk ke ponsel Meiva. Sengaja ia mengabaikan, sebab tahu mereka adalah orang-orang dari pihak perusahaan pinjaman online yang berusaha penagih utang. Dalam beberapa bulan terakhir ini karena tidak memiliki pekerjaan, Meiva memilih jalan instan dengan meminjam uang ke pinjaman online, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di kota ini yang begitu besar. Namun, pada saat tanggal jatuh tempo, ia belum memiliki uang. Pagi tadi, ia baru saja mendapat informasi, dari Luna, salah satu teman yang bekerja menjadi HRD di Royal Entertainment, tempat Meiva melamar pekerjaan. Dia meberitahu kalau Meiva bisa mulai bekerja besok. Jadi, mana mungkin dia akan mendapatkan gaji langsung. Meiva memilih mematikan ponselnya, kemudian melanjutkan perjalanan. Ia menyadari ada satu mobil berwarna hitam melaju kencang mengejar laju mobilnya. Meiva terus saja menghindar tapi terus saja diikuti ke mana pun
Meiva mengerjap bingung, sebab setelah kedatangan pria ini di rumah sakit, para staf rumah sakit seketika panik. Begitu juga dengan Dokter yang kini sedang menutup luka goresan di bahu pria itu. Lukanya sangat kecil, bahkan Meiva sering mengalami dulu waktu kecil. Tetapi, mereka semua kenapa terlihat begitu khawatir? Padahal pria itu sama sekali tidak mengucap sepatah kata pun. "Ada retakan di kaki Anda, Tuan Clovis. Untuk sementara Anda harus dirawat, untuk mencegah terjadinya infeksi," ucap Dokter setelah selesai memeriksa kondisinya. Meiva baru tahu kalau nama laki-laki itu adalah Clovis. Dia pun hanya diam di belakang kursi roda yang diduduki Clovis. Di sisi lain dia juga tidak menyangka kalau orang-orang dalam rumah sakit ini mengenalnya. "Hanya retak, ‘kan, Dokter? Jadi, tidak perlu operasi?" Meiva ingin memastikan kalau Clovis tidak mengalami luka serius. Karena jika sampai pria ini perlu dioperasi, Meiva tidak tahu bagaimana membiayai biaya operasi dan rumah saki
"Ini adalah pesta yang digelar oleh pemilik majalah lifestyle ternama. Masuklah lebih dulu, sebut namaku saat orang-orang menanyakan mu." Clovis pergi menggunakan mobil, membiarkan Meiva masuk ke dalam tempat acara itu sendirian. Meiva sering mendengar pesta ini dari infotainment, meskipun ia menjadi aktris, Meiva tak pernah bisa memasuki pesta ini sejak dulu. Karena ia bukan dari kalangan sosialita. Namun kali ini, tiba-tiba Clovis membawanya ke acara mewah ini, kemudian meninggalkan sendirian sebab ada urusan yang harus diselesaikan mendadak. "Ternyata Clovis memang bukan orang sembarangan." Meiva melihat orang-orang di sekelilingnya, mereka memakai busana serba glamor dan mewah elegan, para artis pun hadir papan atas pun turut hadir. Mereka bicara dengan kelompoknya masing-masing. Meiva bingung sebab, tak ada yang mengenalnya. Dia hanya memainkan ponselnya sambil mengobati kejenuhannya, sambil berdiri di samping kolam sembari menunggu Clovis datang. "Meiva?" Meiva menoleh m
"Sangat tidak profesional." Meiva mendesah kesal saat melihat Ellen berjalan santai melakukan foto bersama dengan para fansnya. Bahkan perempuan itu mengobrol, memamerkan barang-barang yang dia pakai yang bermerk edisi keluaran luar negeri. "Lihat, aku pakai sebagus ini. Kalau kalian minat, bisa langsung belanja di store terbaruku, link ada di akun sosial mediaku." Ellen justru sibuk mempromosikan usaha terbarunya. Padahal dia sudah telat sepuluh menit. Belum briefing dan segala macam, pasti akan membutuhkan waktu yang lama lagi. "Boleh aku minta foto sekali lagi?" tanya fansnya. "Tentu, tapi dengan satu syarat, kalian harus membeli produkku. Sepuluh orang, kalau kalian tidak ada yang membeli, aku akan kecewa, dan akan mempertimbangkan lagi, setelah ini apa kalian benar penggemarku atau bukan," ucap Ellen. "Kami akan membeli produkmu. Tapi, jangan bilang seperti itu. Selama ini kami sangat mengidolakanmu, Ellen." "Bagus. Setelah membeli jangan lupa, upload ke sosial media
“Aku minta maaf.” Hanya kalimat itulah yang mempu Meiva ucapkan saat kini berhadapan dengan Clovis. Di bawah pohon besar yang menghadap kolam yang ditumbuhi tanaman bunga Teratai sedang mekar berwarna merah muda. “Jadi, kamu memintaku datang ke mari hanya untuk ini?” Clovis berdecak, duduk sambil memegang ponselnya, terlihat tidak menikmati pemandangan.“Kamu mau minum?” Gerakan Meiva kaku, mengulurkan satu kaleng minuman bersoda untuk Clovis yang dia beli tadi dari mesin penjual di tepi jalan. “Kamu tidak sedang berusaha menyogokku?” tanya Clovis curiga. Tapi tanpa ragu membuka penutup kaleng, langsung menenggak isinya. “Apa Pak Clovis Malory bisa disogok dengan sekaleng minuman?” Clovis tampaknya memang sedang haus, dia terus saja menenggak minumannya. ‘Mungkin saja dia berlari sepanjang perjalanan ke sini,’ batin Meiva menikmati minuman di tangannya sendiri. “Jadi, kamu akan menerima tawaran syuting, atau menolaknya?” tanya Clovis. Meiva mengangguk. “Diterima. Hanya
Keringat membasahi pelipis Meiva, sambil mengigit bibir bawahnya ia menahan kesakitan saat Clovis memegang kakinya kuat. Sebenarnya Meiva masih kesal dengan lelaki itu, tapi kesakitan di kaki mengalahkan egonya. “Pelan-pelan, Clovis. Rasanya sakit banget.” Tubuhnya berada di kursi mobil, sedangkan kedua kakinya menjulur keluar pintu yang terbuka. Clovis berjongkok di bawahnya, menyiramkan air mineral dari botol ke kaki Meiva yang berwarna putih kemerah-merahan. dia memandang luka Meiva serius. “Aaarh! Aduh-aduh ... sakit, sepertinya masih ada kaca di dalamnya.” “Sebaiknya kita ke rumah sakit. Untuk membersihkan sisa-sisa kaca yang masih tertinggal?” Meiva langsung menggeleng. “Kalau ke rumah sakit, mereka pasti akan memberiku bermacam jenis suntikkan. Seperti beberapa waktu lalu. Tidak, aku tidak mau.” Meiva sangat takut melihat jarum suntik. Dia tak mau berhadapan dengan benda tajam itu. Clovis berdecak, mendengar ketakutan Meiva. “Oke, aku akan mencabutnya. Kita bisa mulai?”
DATANG PENUH KHAWATIR Sehari sebelumnya. Pihak casting director, produser dan Sutradara berunding untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemeran utama. Mereka sepakat, kalau Meiva lah orang yang tepat membintangi film yang akan digarap. Kecuali, Produser yang sejak awal terus saja menunjukkan penolakan. Dengan berbagai alasan. "Terlalu beresiko kalau kita memilih Meiva, dia memiliki banyak masalah. Di belakang nanti pasti akan menimbulkan kekecewaan besar bagi masyarakat," ucap produser. "Dengan adanya masalah tentang dia, itu bisa jadi pro kontra, bahkan kalau kita pintar marketing, itu justru bisa mendongkrak popularitas film kita," ucap Sutradara. "Aku setuju, lagi pula yang kita cari karyanya, bukan masalah hidupnya. Apa pun masalah itu terlepas dari urusan kita, kan?" tanya penulis. "Benar. Kalau memang akting Meiva dinilai cocok, kalian harus segera menghubunginya. Minta dia untuk jadi pemeran utama," ucap Clovis yang sejak tadi duduk di kursi paling ujung. Ia
MEMBUAT KEKACAUAN! Mereka berdua salah tingkah saat Meiva menatap sinis. Mereka pikir rahasia yang disembunyikan selama ini cukup aman? Tidak! Kini perasaan Meiva pada mereka sudah mati. Sekarang dia hanya muak, tidak sakit hati sama sekali. “Meiv, aku sama sekali tidak mengerti dengan maksudmu. Aku bahkan tidak tahu menahu dengan berita tentang kamu,” ucap Ellen. Tampaknya menginginkan pengakuan dari bibir Ellen tidaklah mudah. “Siapa yang bisa membedakan kamu sedang berakting atau beneran sekarang?” Meiva lagi-lagi membalas dengan kalimat menusuknya. “Alden, Meiva tiba-tiba datang lalu, menuduhku yang bukan-bukan, mengatakan kalau aku tidak suka dia menjadi pemeran utama. Alden, kamu percaya padaku, kan? Selama ini selalu memikirkan tentang Meiva, dan sangat berharap dia mendapat tawaran lagi.” Suara Ellen terdengar mengayun manja dan memelas di hadapan Alden, siapa yang mendengarnya pasti akan muncul rasa simpati. Tapi, tidak dengan Meiva. “Masih saja berakting selayakn
“Benarkah? Apa aku tidak salah dengar?” Emeli meloncat dari sofa yang dia duduki, rambutnya setengah dicatok dan setengah lagi masih di gulung rol, matanya berbinar setelah mendapat telepon dari pihak casting director kalau Meiva telah diterima menjadi pemeran utama. Secara bersamaan Meiva yang baru saja selesai makan bersama Clovis masuk ke dalam rumah, heran melihat Emeli mondar mandir sambil mendengarkan suara dari ponsel yang masih menempel di telinga nya.Begitu melihat Meiva, tatapannya semakin berbinar bahkan kedua kakinya meloncat karena begitu bahagianya. “Baik, Pak. Aku akan memberitahu Meiva, supaya dia mempersiapkan semuanya. Sekali lagi terima kasih,” ucap Emeli kemudian menutup sambungan teleponnya. Tidak mau menunggu lama lagi, ia langsung menghambur menghampiri Meiva memegang kedua tangannya. “Kamu luar biasa, Meiv! Aku sangat bangga padamu … akhirnya setelah sekian lama kamu mendapat tawaran lagi untuk menjadi pemeran utama.” Emeli memegangi tangan Meiva, meng
"Bagaimana dengan casting mu, apa lancar?" tanya Emeli berjalan mengiringi Meiva keluar dari gedung. Meiva mengangguk, suara langkah kakinya yang menghentak ke lantai menggema dalam jalan sepi itu. "Apa mereka memberimu pertanyaan sulit, Meiv?" Emeli masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak ada." Meiva menghentikan langkahnya, menoleh menatap managernya itu. "Tapi ... apa kamu ingat dengan produser bernama Arnold?" Emeli langsung mengangguk. "Mana mungkin aku bisa melupakan kejadian itu, Arnold produser yang menjebak kamu dan merencanakan ingin meniduri mu itu, 'kan?" "Aku tidak habis pikir, bagaimana orang sepertinya masih dipakai, di perusahaan besar seperti ini." Meiva menggeleng tidak habis pikir. "Setelah melihatku tadi, dia pasti berpikir tidak akan meloloskanku untuk gabung." "Sabar, Meiv, kalau tidak diterima di film ini, kita bisa mencari peluang di judul film-film lainnya. Sesuatu yang besar bukannya dimulai dari yang kecil?" Emeli berusaha menghibur Meiva yan
Mendadak jantung Meiva berdebar kencang saat masuk ke dalam ruangan luas yang dihuni beberapa orang di dalamnya. Tatapan mereka semua membuatnya seperti sedang ada di pengadilan sekarang, siap menghakiminya. Satu tangan Meiva menggenggam erat kertas yang dipegang, sedangkan satu lagi menyelipkan rambut ke belakang telinga sambil menelan ludah cekat. Apa lagi, saat melihat Produser yang sedang duduk menatapnya, entah kenapa sejak melihat orang itu saat pertama kali, ia merasa harapannya menjadi pemeran utama seolah terpatahkan. Meiva sangat tahu, siapa produser itu, dia adalah laki-laki yang sering menggunakan jabatannya untuk merayu para wanita dengan iming-iming akan menjadi aktris besar. Tentu saja, sengan imbalan yang Cuma-Cuma, melainkan wanita itu harus melayaninya. Begitu melihat Meiva Produser itu langsung menunjukkan tatapan tidak suka, memalingkan muka beberapa saat sebelum kemudian menatap lagi. “Meiva Sechan?” tanya casting director. Meiva mengangguk. “B
Pihak Casting director telah membuka peluang casting secara besar-besaran. Artis-artis mulai dari yang pendatang baru maupun senior turut menghadiri. Tampaknya keinginan mereka untuk menjadi aktif besar sangatlah kuat sehingga tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka mengantre di depan ruangan casting. Satu persatu dipanggil masuk. Membuat Meiva pesimis antrean sangat banyak dan mereka sebagian besar adalah artis-artis yang tengah populer di tahun ini.“Aku tidak yakin aku akan diterima,” ucapannya. Emeli memperhatikan mereka yang sedang menghafal skrip. “Kita tidak tahu, mana yang beruntung di antara puluhan orang di sini. Yang penting kamu sudah berusaha, soal hasil mereka yang menentukan.” Tiga jam lamanya, mereka menunggu giliran. Tapi, belum juga dipanggil, ia mendesah pelan memegangi selembar kertas juga sebotol air mineral. Make up tipis, yang tadi dia kenakan sebelum pergi. Kini pun mulai luntur bercampur keringat. Hawa di sekitarnya terasa semakin panas, saat ia m