"Chat dari siapa mas?" tanya Shafira penasaran dengan sikap sang suami.
Satria tak menanggapi, dia masih terus senyam senyum sendiri menatap layar pada benda pipih yang di pegang.
"Mas Satria?" bentak Shafira membuat Satria kaget.
"Ada apa?"
Shafira menggeleng, merasa heran karena Satria tak pernah mengabaikannya.
"Ah ini ma, dari teman lama. Aku tanya siapa dia dan sudah di balas kok. Dia dapat nomorku mungkin dari grup Smp."
"Siapa?"
"Dari Thika."
Shafira merasa asing dengan nama wanita yang dilontarkan Satria. Selama ini Satria selalu menceritakan tentang siapa klien dan teman lamanya.
Baru kali ini Satria mengatakan nama "Thika" membuatnya penasaran, teman lama seperti apa seorang Thika bagi Satria.
"Siapa Thika mas?"
"Thika itu teman lamaku ma. Dia menghubungiku karena ada masalah dan memintaku memberikan solusi."
Satria menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
Jari lentiknya dengan lihai terus menekan nekan layar gawainya.
"Oh begitu."
Shafira hanya bisa menjawab simpel karena memang tak ada perasaan apapun di hatinya. Dia kembali memasak dan tak memikirkan percakapan yang baru saja terjadi.
Shafira tidak tahu Jika hal inilah yang menjadi awal mula penyebab terjadinya perselingkuhan pada sang suami.
Mereka makan bersama dengan tenang di dampingi kedua anaknya. Sungguh terlihat sangat harmonis. Orang yang melihatnya pasti iri melihat kebahagiaan Satria dan Shafira.
Kehidupan penuh kebahagiaan, tak pernah ada pertengkaran besar di dalam rumah tangga mereka. Itulah yang dilihat banyak orang luar padahal pertengkaran kecil sering terjadi karena Satria memang mudah marah dan jika sang suami marah, Shafira selalu merendah dan diam membuat masalah cepat terselesaikan.
Pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal yang biasa terjadi, tergantung bagaimana kita menyikapi semua masalah yang datang.
"Jangan terlarut dalam masalah. Jika bisa, masalah besar dikecilkan dan masalah kecil dihilangkan".
Itulah ucapan Satria yang selalu diingat Shafira.
Esok hari.
Rutinitas pagi hari adalah menyiapkan sarapan untuk keluarga tercinta.
Shafira sudah bangun sejak pukul 04.00 pagi hari, masak dengan penuh cinta berharap sang suami betah tinggal di rumah dan kebutuhan gizi anak anaknya terpenuhi. Shafira sering mengikuti pengajian agama, sedikit banyak dia mengetahui tentang adab seorang istri sholehah terhadap suami.
Karena sejatinya kebahagiaan rumah tangga tercipta dari bagaimana kedua insan itu berkolaborasi memberi kebahagiaan, rasa nyaman dan komunikasi yang baik akan tumbuh ketentraman di dalam keluarga itu sendiri. Hal inilah yang dijadikan prinsip hidup berumah tangga oleh Shafira.
Satria biasa berangkat kerja siang hari ke Perusahaan. Dia menjadi salah satu konselor kepercayaan di Perusahaan terbesar di Jakarta namun dia tak terpaku pada Perusahaan tersebut. Lebih tepatnya Perusahaan tersebut membutuhkan jasanya hanya untuk konsultasi beberapa masalah Perusahaan.
Satria sering berada di rumah bersama anak dan istri.
"Mira, Mila, ayo kita sarapan?" ucap Shafira memanggil kedua anaknya.
Mereka datang dan duduk berdampingan.
"Ma, hari ini diantar sekolah siapa?"
Shafira memandang Mira yang bertanya dengan polosnya.
"Ya diantar Mama sayang," jawab Shafira sambil menyuguhkan sepiring nasi plus telur ceplok kesukaan Mira.
"Tapi Ma?" keluh Mira.
"Sssttt, sudah jangan bicara lagi dan makan."
'Aku kasihan sama Mama, perutnya sudah besar tapi harus mengantar jemput aku dan adik,' keluh Mira di dalam hatinya.
Mira kesal bukan main pada ayahnya yang masih tidur saat ini.
Seharusnya Satria yang mengantar mereka karena Shafira sedang hamil tua.
Meskipun sering di rumah, Satria tak pernah mengantar jemput sekolah anak anaknya. Shafira lah yang selalu mengantar jemput sekolah kedua anaknya. Dimana Anak pertama bernama Mira, kelas 6 SD. Anak kedua bernama Mila, TK B.
Semua dilakukan Shafira sendiri, mengantar jemput kedua anaknya meski dia sedang hamil tua.
Saat mengantar mengaji ke TPQ dengan jarak 2 kilometer dari rumah, Shafira dengan menahan sakit mengantar kedua anaknya
Hal itu dilakukan Shafira demi masa depan anak anaknya. Jika bukan dia lalu siapa yang melakukannya?
Mengingat sang suami yang kurang tanggap terhadap prioritas anak anaknya.
Jika bisa mengeluh, Shafira ingin sekali mengeluh namun dalam hidup ini, Shafira hanya ingin kebahagiaan di dalam rumah tangga sehingga dia rela mengalah dan mengorbankan diri menjadi wanita yang tangguh, tak mengeluh dan tegar.
******
"Mas, besok aku waktunya kontrol kandungan," ucap Shafira memulai pembicaraan saat duduk bersama di taman belakang. Mereka selalu meluangkan waktu untuk bersama, saling berbagi dan berkeluh kesah.
"Baiklah, besok aku akan mengantarmu ke Rumah Sakit. Aku juga ingin melihat bayi kita," jawab Satria antusias membuat Shafira sangat bahagia.
Satria memeluk penuh kasih sayang pada Shafira. Bisa dibilang Satria bukan lelaki yang romantis, tidak seperti lelaki umumnya namun Satria adalah suami yang peduli dan bertanggung jawab. Dan selama ini Satria memang penuh perhatian dan sayang pada Shafira.
Namun detik berikutnya, Satria mengucapkan kalimat yang membuat Shafira kecewa.
"Oh ya sayang, aku lupa jika besok aku ada acara halal bihalal sesama rekan sekolah SMP. Bagaimana ini?" ucap Satria merasa ragu dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.
"Kami sudah sangat lama tak bertemu karena kondisi covid 19. Nah sekarang baru diadakan lagi jadi apa aku boleh menghadiri acara tersebut?"
Shafira berfikir sejenak.
"Apa tidak bisa ditunda mas?" keluh Shafira.
"Aku ingin mas mengantarku kali ini?" imbuhnya.
"Tapi aku harus hadir di acara ini sayang. Semua teman mas sudah menunggu selama dua tahun dan kami tak pernah bertemu," jawab Satria membuat Shafira begitu kecewa.
Andai bisa berkata, Shafira ingin sekali mengatakan jika dirinya melarang Satria dalam acara reuni dan mengantarnya pergi cek kandungan.
"Baiklah jika mas tidak bisa mengantar, aku akan berangkat sendiri besok."
Dengan berat hati Shafira membiarkan Satria pergi ke acara halal bihalal.
Sebelumnya, selama pertemuan reuni dan moment temu lebaran, Shafira selalu di ajak Satria namun kali ini entah mengapa sang suami tak mengajaknya. Mungkin kehamilan delapan bulan yang dihadapi Shafira, atau mungkin juga ada hal lain yang Satria sembunyikan. Yang pasti, hanya Allah SWT yang tahu apa yang terjadi.
Rumah makan Smarapura Traditional Resto.
Satria kini berada di tempat yang menjadi titik temu acara halal bihalal dan reuni bersama teman temanya SMP. Memakai kaos hitam dipadu kemeja kotak kotak dengan celana jeans bersabuk army, sepatu putih dipadu padankan dengan warna topinya. Kacamata hitam dan sling bags menyempurnakan penampilan seorang Satria.
Dengan ragu, Satria berjalan menuju gazebo nomor 5.
Di sana terlihat ramai sekali, ada candaan dan tawa dari wajah wajah yang cukup familiar.
Senyum terukir di bibir tipis Satria saat tatapannya bertemu dengan wanita cantik dan anggun di usianya yang 34 tahun itu.
"Thika."
Thika menoleh pada Satria yang memanggilnya.
"Degh."
Degup jantung Satria berdetak kencang seperti mobil melaju kencang dan remnya tiba tiba blong.
"Mas Satria."
Thika mendekati Satria dan,..
"Brukh."
"Brukh."Tiba tiba ada seorang wanita cantik memeluk tubuh Satria dengan air mata membasahi pipi mulusnya. Bukan memeluk, lebih tepatnya menabrakkan diri pada dada bidang Satria.Satria hanya diam terpaku melihat sikap wanita cantik yang tak lain adalah mantan kekasihnya selama delapan tahun itu.Alih alih menolak pelukan karena mereka bukan muhrim, Satria malah mengelus pundak si wanita, sesekali menepuk nepuk punggungnya."Menangislah sepuasnya jika itu bisa meringankan beban hidupmu Thika," lirih Satria.Suara merdu dan sikap welcome dari Satria membuat Thika semakin mengeratkan pelukan dan menangis sepuasnya."Hiks.""Hiks.""Maaf. Maafkan aku Mas, aku sungguh bingung harus mengadu kemana lagi dan kepada siapa? hiks, hiks."Thika menangis sesenggukan di pelukan Satria.Semua sahabatnya ikut menangis haru melihat apa yang kini terjadi di depan mata.Sahabat Satria terdiri dari sembilan laki laki dan mereka di dampingi istrinya masing masing. Sedangkan Satria sengaja datang sendiria
Desahan yang begitu keras dan sepertinya aku tak asing dengan suara si lelaki membuatku tak tahan lagi dan membuka pintu kamar anakku."Angel!?"Aku sungguh syok melihat apa yang terjadi saat ini."Dan kamu!?"Lebih syok lagi saat mataku bersirobok dengan lelaki yang baru saja menoleh padaku.Ya, Anakku bergumul dengan lelaki yang kukenal.Akhtar dan Angel sungguh terkejut melihatku."Kalian!?"Aku mundur selangkah dan menabrak pintu kamar. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku cintai melakukan hubungan terlarang dengan wanita lain. Dan wanita itu tak lain adalah anakku sendiri, Angel. Sungguh aku tak percaya dan tak pernah membayangkan jika Akhtar tega melakukan hal ini."Cepat pakai baju kalian!""Ayo kita bicara di ruang tamu!?" ucapku bergetar.Hampir sepuluh menit mereka baru keluar kamar dan duduk berjajar di sofa panjang."Sudah berapa kali kalian melakukannya?" tanyaku memandang nanar Angel.Aku pikir anakku itu akan takut kepadaku namun nyatanya tidak sna sekali."Tiga
"Mas, jangan talak aku mas, aku mohon?!""Sekarang juga kamu pergi dari sini dan bawa anak anak. Pergi dari sini! Aku tak mau tahu pokoknya besok kalian sudah enyah dari rumahku!" ucap Sholeh pergi meninggalkanku.Aku bingung harus pergi kemana lagi hingga aku memutuskan untuk menghubungi Johan.Panggilan pertama,Panggilan kedua.Dan panggilan ketiga di reject.Seketika aku tak bisa menghubungi Johan, mungkin aku telah di blokir.Flashback off."Begitu mas ceritanya," ucap Thika berlinang air mata.Thika menceritakan bagaimana suami menyiksa dan mengusirnya tanpa menceritakan perselingkuhan yang dialami.Hal ini membuat Satria ikut merasakan rasa sakit yang dialami Thika."Aku harus bagaimana mas? Aku tak tahu harus kemana lagi?"Satria segera memeluk Thika."Kamu tenang ya dek, aku janji akan membantumu mengatasi masalah yang kamu hadapi. Aku akan ada di sisimu.""Benarkah mas?""Iya dek, mas Satria janji."Semua sahabat tersenyum mengangguk, setuju dengan sikap Satria.Teguh member
'Thika!?' Dengan penasaran Satria segera membuka pesan tersebut. {Assalamualaikum mas, apakah sudah tidur? Aku mau berterima kasih banyak karena mas sudah mau bertemu dan mendengarkan keluh kesahku. Mimpi indah ya mas, good night.} Satria tersenyum dan menutup mata berharap bisa bertemu Thika di alam mimpi. Esok hari. "Tadi malam pulang jam berapa kamu mas?" tanya Shafira saat duduk santai setelah sarapan bersama dan mengantar sekolah kedua anaknya. Satria menyesap kopi dan menjawab santai, "jam satu pagi ma." Satria memandang sang istri yang menanggapi biasa saja. "Ma, ada yang mau aku katakan." "Apa itu mas?" "Ini soal Thika." "Ada apa dengan Thika??????" Satria memandang intens Shafira, memegang tangannya. "Kemarin aku bertemu Thika di acara halal bihalal ma," ucap Satria membuka omongan. "Lalu?" "Dia terlihat sangat sedih, aku baru sadar jika kondisinya tak seperti dulu." "Apa maksud mas?" tanya Shafira. Satria menelan ludah seolah tak bisa mengucapkan kata yang s
Satria bahagia bukan main, seperti mendapatkan durian runtuh saja."Benarkah Sayang?!" tanya Satria memastikan.Lagi lagi Shafira mengangguk membuat Satria memeluk penuh kasih.Satria segera mengirim pesan WA kepada Thika, memberitahukan jika dirinya diberi izin oleh sang istri untuk membantunya.Tentu saja, gayung bersambut. Thika juga senang sekali membaca pesan dari Satria. Dia bebas menghubungi Satria kapanpun dia mau dan tak khawatir bakalan disebut pelakor. Tak seperti dulu, saat dia meminta bantuan teman lelakinya, sang istri marah marah pada Thika dan menyebutnya pelakor."Mas, bukannya kamu akan berangkat kerja?" ucap Shafira mengingatkan sang suami."Oh iya, ini aku mau berangkat. Aku pergi dulu ya?" ucap Satria disambut ciuman tangan dari Safira.Jika biasanya Satria mengecup keningnya, tidak untuk hari ini membuat Safira begitu kecewa.'Tenang Shafira, mungkin mas Satria lupa mencium keningmu,' batin Shafira mencoba menenangkan hatinya. Sejak saat itu, Satria mengubah pen
Shafira harus menelan pil kekecewaan dimana semua tamu keluarga berbondong bondong pergi dari rumahnya. Mereka bahkan tak menyentuh makanan yang disajikan di meja makan.Semua tamu kecewa karena tuan rumah mereka tak ada di acara penting ini. Terlebih Shafira harus menahan rasa malu yang terdalam karena semua menuduh jika Shafira berbohong padahal Shafira mengatakan yang sebenarnya."Sebenarnya kemana perginya anak nakal ini?" gerutu sang mertua membuat Shafira tak tahu harus menjawab apa."Apa benar, suamimu berpamitan pergi bersama Indra?" telisik sang mertua."Tentu saja bu. Untuk apa aku berbohong?" jawab Shafira tak mengira jika ibu mertua juga tak percaya kepadanya.Meski merasa dibohongi dan kecewa dengan sikap sang ibu mertua, Shafira tetap tersenyum dan meyakinkan diri jika suaminya itu pasti punya alasan tidak hadir di acaranya sendiri.Shafira mulai membersihkan ruang tamu dan beristirahat. Maklum saja, kandungan sudah delapan bulan akhir membuatnya cepat lelah dan sakit pu
Rumah Satria tidak pernah sepi, selalu ada teman ataupun saudara yang datang hanya sekedar silaturahmi ataupun meminta kritik serta saran sesuai profesi Satria yaitu konselor.Seperti saat ini, ada tamu yang datang. Mereka adalah teman Satria yang merasa tertolong berkat saran dan arahan dari Satria."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Mari masuk Pak Trio, Bu Marmi," ucap Shafira mempersilahkan masuk dan segera membuatkan minuman."Dimana Pak Satria, bu?""Silahkan diminum dulu Pak, Bu" ucap Aini yang kini duduk di depan para tamu, dia suka sekali nimbrung jika ada tamu yang datang."Satria sedang ke rumah adik saya dengan Mira.Setelah mendengar kabar jika adik saya sedang sakit, saya menyuruh mereka ke sana. Maklum saja, kaki saya sakit linu linu sedangkan Shafira ditinggal karena hamil tua," jelas Aini pada tamu Satria.Mereka mengangguk dan berbicara pada Aini sekedar basa- basi sedangkan Safira hanya duduk mendengarkan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Satria datang dengan M
Satria Pambudi, lelaki umur 35 tahun, mapan, body goals, tajir melintir, dan kini menjabat konselor.Jika dibandingkan dengan masa lalunya, Satria yang dulu bukanlah siapa- siapa.Terlahir dari keluarga kaya membuatnya semena- mena, semua keinginan harus terpenuhi, hidup berfoya- foya sesuai keinginan hatinya, terjerumus dalam berbagai maksiat.Satria pernah masuk penjara akibat tawuran, mabuk dan narkoba.Perubahan diri terjadi setelah putus cinta dengan Thika. Satria bersikap anarkis seperti lelaki tak berpendidikan padahal Ayah dan Ibunya dari orang kaya dan terkenal sangat alim, terlebih lagi sang ayah, Budiman dikenal sebagai lelaki pemberi petuah dan menjadi pemuka dalam menyiarkan agama islam.Budiman kewalahan mengurus Satria, setiap malam dia meminta pada sang Khaliq agar Satria sadar dari maksiat yang dilakukannya.Budiman juga meminta saran kepada teman- temannya yang menjadi ustad dan Kyai.Kebetulan Kyai Harun mendengar berita itu merasa simpati dan tergugah hatinya ingin
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S