Desahan yang begitu keras dan sepertinya aku tak asing dengan suara si lelaki membuatku tak tahan lagi dan membuka pintu kamar anakku.
"Angel!?"
Aku sungguh syok melihat apa yang terjadi saat ini.
"Dan kamu!?"
Lebih syok lagi saat mataku bersirobok dengan lelaki yang baru saja menoleh padaku.
Ya, Anakku bergumul dengan lelaki yang kukenal.
Akhtar dan Angel sungguh terkejut melihatku.
"Kalian!?"
Aku mundur selangkah dan menabrak pintu kamar. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku cintai melakukan hubungan terlarang dengan wanita lain.
Dan wanita itu tak lain adalah anakku sendiri, Angel. Sungguh aku tak percaya dan tak pernah membayangkan jika Akhtar tega melakukan hal ini.
"Cepat pakai baju kalian!"
"Ayo kita bicara di ruang tamu!?" ucapku bergetar.
Hampir sepuluh menit mereka baru keluar kamar dan duduk berjajar di sofa panjang.
"Sudah berapa kali kalian melakukannya?" tanyaku memandang nanar Angel.
Aku pikir anakku itu akan takut kepadaku namun nyatanya tidak sna sekali.
"Tiga kali," jawabnya enteng membuatku terpancing emosi.
"Apa benar itu Akhtar?" teriakku pada lelaki yang menyandang gelar kekasihku itu.
Akhtar yang semula menunduk jadi memandangku dengan rasa ketakutan yang begitu besar.
"I- iya Tante."
"Tante?"
Aku mengulang kata Akhtar membuatku segera sadar bahwa aku memang sudah tua dan seharusnya memang di panggil tante olehnya.
Tatapanku beralih pada Angel.
"Apa kamu tidak tahu jika Akhtar ini kekasih mama?"
Angel menatapku tajam.
"Aku tahu. Mama mengenalkannya padaku."
"Lalu?"
"Lalu kenapa kamu bermain di belakang mama?" teriakku marah.
Angel berdiri, menudingku dan berkata, "karena mama bermain di belakang papa?"
"Jika tidak suka kenapa tak bercerai saja? Kenapa malah menjadi pelakor dan berselingkuh?" imbuh Angel.
Dirinya sungguh muak melihat sang ibu yang memberikan contoh tak baik kepada anak anaknya.
Bukanlah seorang ibu harus menjadi suri tauladan kepada anak anak bukannya memberi contoh buruk pada mereka?
Dan ucapan Angel sukses menampar batinku, ibu macam apa yang mengajari sang anak masuk jurang kenistaan? sampai melakukan dosa Zina? Sungguh aku sangat malu dengan diriku saat ini.
Aku yang semula berdiri dengan berkacak pinggang kini terduduk lemas, tak bisa berkata apa apa.
Hingga Sholeh, suamiku pulang dengan badan yang tak terurus, rambut acak acakan dan berjalan sempoyongan.
"Ada apa ini, kenapa rame rame?"
Aku diam, bersiap jika anakku Angel memberitahukan semuanya kepada suamiku.
"Tidak ada apa- apa Pa, aku cuma mau mengenalkan, dia adalah Akhtar kekasihku," ucap Angel sambil melirik Akhtar sekilas.
"Sejak kapan kalian bertemu dan pacaran?" telisik Sholeh karena merasa Angel tak pernah keluar dengan anak cowok.
Angel tersenyum menggaet lengan Akhtar.
"Baru dua bulan Pa tapi Angel sudah nyaman dengan Akhtar dan ingin papa menikahkan kami."
"Benarkah itu Akhtar?"
Akhtar memandang Angel lalu memandangku sayu seolah meminta bantuan dariku namun seketika rasa ini sudah lenyap dan tak peduli lagi padanya.
"Iya om."
Bagai disambar petir di siang bolong, jawaban Akhtar sungguh membuatku kecewa. Jika Sholeh merestui pernikahan ini akan terasa sangat lucu dimana "kekasih menjadi menantu".
Tapi aku bisa apa?
"Baiklah, aku merestui kalian dan segera kita nikahkan Angel dan Akhtar, bukankah begitu ma?" tanya suami membuat aku gelagapan.
"I- iya pa!"
Aku menerima keputusan suamiku meski aku berat menerimanya.
Setelah kejadian ini aku menjalani kehidupan dengan hampa.
Aku telah selingkuh dengan dua lelaki yang berhasil merebut hatiku.
Sendirian lagi membuat aku tak nyaman, aku mulai mencari laki- laki yang bisa membuatku nyaman.
Kali ini aku bertemu dengan seorang lelaki bernama Johan melalui sosial media. Merasa nyaman dan sesuai karakter yang ku suka, kami memutuskan untuk bertemu di sebuah restoran terkenal di Surabaya.
Pada pandangan pertama aku langsung jatuh hati kepadanya. Ternyata Johan juga merasakan hal yang sama denganku.
Tiga bulan berlalu, kami terus berhubungan melalui situs W******p.
Selama suamiku jarang pulang, selama itu pula aku tidak pernah merasakan hangatnya belaian suamiku. Aku merasa kesepian dan mencari kebahagiaan itu dari orang lain. Hal itu aku dapatkan dari Johan mesti hanya dari melalui W******p.
Malam hari.
{Bagaimana jika Malam ini kita ketemuan di cafe kemarin?}
Chat dari Johan membuatku tersenyum sendiri. Dia begitu perhatian meski kita tak bertemu, Johan selalu mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Bisa aku pastikan dia lelaki yang kaya.
{Aku lagi malas keluar rumah, suamiku belum pulang, anak- anakku lagi kerja kelompok dan hang out.}
Hening disana membuatku merasa tak nyaman.
{Oh gitu ya, bagaimana kalau aku bermain ke rumah kamu saja?}
{Em, boleh. Tapi kamu kan tidak tahu rumah aku?}
{Share lock aja, nanti aku kesana lihat gps. Oke!?}
{Baiklah, aku kirim alamat rumahku.}
Chat berakhir.
Aku mengirim lokasi pada Johan.
Setelah satu jam lamanya, ada mobil panther di depan rumah. Aku intip dari jendela rumahku. Seseorang keluar dari mobil hitam mengkilap tersebut.
Siapakah dia?
Ya lelaki tampan yang ku kenal lewat sosial media itu datang mendekat, hampir menekan bel rumah, untungnya aku langsung membuka pintu rumahku.
"Johan!?"
"Thika!?"
Aku segera menariknya masuk dan mengunci pintu.
"Maaf mas jika aku menarik paksa dirimu."
"Duduk dulu mas," ajakku.
Bukannya duduk, Johan malah mendekat dan mendorong tubuhku ke dinding.
Detik berikutnya,..
Hal yang sama- sama kami inginkan pun terjadi.
Awalnya aku begitu menikmati setiap sentuhan Johan namun lama- kelamaan aku baru sadar jika Johan adalah lelaki hyp*rs*ks yang pernah aku temui.
Dia terus menghajar tanpa kenal lelah bahkan menampar dan mencambuk tubuhku dengan kejam.
"Kamu pikir aku akan memberi 50 juta secara cuma- cuma, hah!?"
"Plakh."
"Aku beri kamu uang dan kamu harus memuaskan diriku!"
"Plakh."
Umpatan demi umpatan terus dilontarkan Johan sambil terus menyiksa dan menamparku.
"Aaakh."
Rambutku ditarik kuat sampai beberapa helai jatuh tersangkut di tangannya.
Johan menggila dan tak terkendali sampai merasa puas.
"Ceklek!"
"Ceklek!"
Tiba- tiba pintu yang terkunci dibuka dan seorang masuk tergesa.
"Thika?"
Teriak seseorang yang begitu kukenal. Ya kami kepergok oleh suamiku.
Seperti digerebek polisi saja, aku segera memakai pakaian begitu juga Johan. Belum selesai kami berpakaian, tiba- tiba Sholeh berjalan mendekat dan,..
"Bugh."
"Bugh."
"Mas jangan mas?"
Aku mencoba melerai Sholeh, menariknya ke pelukanku membuat Johan segera memakai baju dan lari masuk mobil. Dengan cepat mobil hitam itu melesat jauh menghilang dari pandangan mata.
Tinggal aku dan mas Sholeh di dalam rumah.
Merasa dikhianati, akupun didorong hingga tersungkur.
"Brukh."
"Plakh."
"Plakh."
"Aaakh."
Sholeh kembali menghajarku dengan kejam. Rasanya tubuhku remuk semua, setelah disiksa Johan, aku di hajar Sholeh, suamiku.
Puas menghajarku, Sholeh mengucapkan kalimat yang begitu sakit di telingaku.
"Mulai detik ini kita berpisah. Aku mentalakmu Thika," ucap Sholeh lantang.
"Mas, jangan talak aku mas, aku mohon?!"
"Mas, jangan talak aku mas, aku mohon?!""Sekarang juga kamu pergi dari sini dan bawa anak anak. Pergi dari sini! Aku tak mau tahu pokoknya besok kalian sudah enyah dari rumahku!" ucap Sholeh pergi meninggalkanku.Aku bingung harus pergi kemana lagi hingga aku memutuskan untuk menghubungi Johan.Panggilan pertama,Panggilan kedua.Dan panggilan ketiga di reject.Seketika aku tak bisa menghubungi Johan, mungkin aku telah di blokir.Flashback off."Begitu mas ceritanya," ucap Thika berlinang air mata.Thika menceritakan bagaimana suami menyiksa dan mengusirnya tanpa menceritakan perselingkuhan yang dialami.Hal ini membuat Satria ikut merasakan rasa sakit yang dialami Thika."Aku harus bagaimana mas? Aku tak tahu harus kemana lagi?"Satria segera memeluk Thika."Kamu tenang ya dek, aku janji akan membantumu mengatasi masalah yang kamu hadapi. Aku akan ada di sisimu.""Benarkah mas?""Iya dek, mas Satria janji."Semua sahabat tersenyum mengangguk, setuju dengan sikap Satria.Teguh member
'Thika!?' Dengan penasaran Satria segera membuka pesan tersebut. {Assalamualaikum mas, apakah sudah tidur? Aku mau berterima kasih banyak karena mas sudah mau bertemu dan mendengarkan keluh kesahku. Mimpi indah ya mas, good night.} Satria tersenyum dan menutup mata berharap bisa bertemu Thika di alam mimpi. Esok hari. "Tadi malam pulang jam berapa kamu mas?" tanya Shafira saat duduk santai setelah sarapan bersama dan mengantar sekolah kedua anaknya. Satria menyesap kopi dan menjawab santai, "jam satu pagi ma." Satria memandang sang istri yang menanggapi biasa saja. "Ma, ada yang mau aku katakan." "Apa itu mas?" "Ini soal Thika." "Ada apa dengan Thika??????" Satria memandang intens Shafira, memegang tangannya. "Kemarin aku bertemu Thika di acara halal bihalal ma," ucap Satria membuka omongan. "Lalu?" "Dia terlihat sangat sedih, aku baru sadar jika kondisinya tak seperti dulu." "Apa maksud mas?" tanya Shafira. Satria menelan ludah seolah tak bisa mengucapkan kata yang s
Satria bahagia bukan main, seperti mendapatkan durian runtuh saja."Benarkah Sayang?!" tanya Satria memastikan.Lagi lagi Shafira mengangguk membuat Satria memeluk penuh kasih.Satria segera mengirim pesan WA kepada Thika, memberitahukan jika dirinya diberi izin oleh sang istri untuk membantunya.Tentu saja, gayung bersambut. Thika juga senang sekali membaca pesan dari Satria. Dia bebas menghubungi Satria kapanpun dia mau dan tak khawatir bakalan disebut pelakor. Tak seperti dulu, saat dia meminta bantuan teman lelakinya, sang istri marah marah pada Thika dan menyebutnya pelakor."Mas, bukannya kamu akan berangkat kerja?" ucap Shafira mengingatkan sang suami."Oh iya, ini aku mau berangkat. Aku pergi dulu ya?" ucap Satria disambut ciuman tangan dari Safira.Jika biasanya Satria mengecup keningnya, tidak untuk hari ini membuat Safira begitu kecewa.'Tenang Shafira, mungkin mas Satria lupa mencium keningmu,' batin Shafira mencoba menenangkan hatinya. Sejak saat itu, Satria mengubah pen
Shafira harus menelan pil kekecewaan dimana semua tamu keluarga berbondong bondong pergi dari rumahnya. Mereka bahkan tak menyentuh makanan yang disajikan di meja makan.Semua tamu kecewa karena tuan rumah mereka tak ada di acara penting ini. Terlebih Shafira harus menahan rasa malu yang terdalam karena semua menuduh jika Shafira berbohong padahal Shafira mengatakan yang sebenarnya."Sebenarnya kemana perginya anak nakal ini?" gerutu sang mertua membuat Shafira tak tahu harus menjawab apa."Apa benar, suamimu berpamitan pergi bersama Indra?" telisik sang mertua."Tentu saja bu. Untuk apa aku berbohong?" jawab Shafira tak mengira jika ibu mertua juga tak percaya kepadanya.Meski merasa dibohongi dan kecewa dengan sikap sang ibu mertua, Shafira tetap tersenyum dan meyakinkan diri jika suaminya itu pasti punya alasan tidak hadir di acaranya sendiri.Shafira mulai membersihkan ruang tamu dan beristirahat. Maklum saja, kandungan sudah delapan bulan akhir membuatnya cepat lelah dan sakit pu
Rumah Satria tidak pernah sepi, selalu ada teman ataupun saudara yang datang hanya sekedar silaturahmi ataupun meminta kritik serta saran sesuai profesi Satria yaitu konselor.Seperti saat ini, ada tamu yang datang. Mereka adalah teman Satria yang merasa tertolong berkat saran dan arahan dari Satria."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Mari masuk Pak Trio, Bu Marmi," ucap Shafira mempersilahkan masuk dan segera membuatkan minuman."Dimana Pak Satria, bu?""Silahkan diminum dulu Pak, Bu" ucap Aini yang kini duduk di depan para tamu, dia suka sekali nimbrung jika ada tamu yang datang."Satria sedang ke rumah adik saya dengan Mira.Setelah mendengar kabar jika adik saya sedang sakit, saya menyuruh mereka ke sana. Maklum saja, kaki saya sakit linu linu sedangkan Shafira ditinggal karena hamil tua," jelas Aini pada tamu Satria.Mereka mengangguk dan berbicara pada Aini sekedar basa- basi sedangkan Safira hanya duduk mendengarkan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Satria datang dengan M
Satria Pambudi, lelaki umur 35 tahun, mapan, body goals, tajir melintir, dan kini menjabat konselor.Jika dibandingkan dengan masa lalunya, Satria yang dulu bukanlah siapa- siapa.Terlahir dari keluarga kaya membuatnya semena- mena, semua keinginan harus terpenuhi, hidup berfoya- foya sesuai keinginan hatinya, terjerumus dalam berbagai maksiat.Satria pernah masuk penjara akibat tawuran, mabuk dan narkoba.Perubahan diri terjadi setelah putus cinta dengan Thika. Satria bersikap anarkis seperti lelaki tak berpendidikan padahal Ayah dan Ibunya dari orang kaya dan terkenal sangat alim, terlebih lagi sang ayah, Budiman dikenal sebagai lelaki pemberi petuah dan menjadi pemuka dalam menyiarkan agama islam.Budiman kewalahan mengurus Satria, setiap malam dia meminta pada sang Khaliq agar Satria sadar dari maksiat yang dilakukannya.Budiman juga meminta saran kepada teman- temannya yang menjadi ustad dan Kyai.Kebetulan Kyai Harun mendengar berita itu merasa simpati dan tergugah hatinya ingin
"Tega kamu mas?" teriak Shafira mengeluarkan semua rasa kecewa di dada.Satria sama sekali tak iba, pergi dengan kemarahan yang menjadi.Shafira terduduk lemas, air mata sudah mengalir deras dari pelupuk mata. Suami yang 13 tahun ini bersama bisa sebenci itu padanya. Hal itu dapat Shafira lihat dari tatapan mata Satria yang tajam bagai pedang yang siap menghunus lawannya. Tatapan yang tak pernah Shafira temui selama berumah tangga dengan Satria. Jika biasanya Satria akan marah dan selang lima menit saja dia akan melupakan rasa amarah itu dan bersikap biasa saja.Kali ini sungguh berbeda.Api kebencian terlihat jelas dimata Satria. Hal itu membuat Shafira sangat kecewa, merasa telah dicampakkan Satria."Ma, aku mohon jangan menangis ma?" hibur Mira pada Shafira."Iya ma, jangan nangis nanti dedek ikutan nangis lo," celoteh Mila mencoba menenangkan sang ibu.Bukannya berhenti menangis, Shafira semakin terisak, menangis sesegukan membuat kedua anaknya memeluk dan ikut menangis. Perubaha
Malam hari. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00 wib. Satria belum juga pulang membuat Shafira cemas, berjalan mondar mandir tak terhitung berapa kali. Dirinya tak tahu harus mengatakan apa jika Satria pulang nanti. Terlalu banyak unek unek yang ingin sekali dikeluarkan membuat Shafira bingung harus berkata darimana. Pukul 00.00 wib, Satria belum juga pulang membuat hati Shafira bergemuruh, rasa curiga mulai menyapa, berprasangka jika Suaminya itu pasti menemui Thika dan bermalam disana. Shafira sungguh putus asa, tak ingin lagi mengharap penjelasan dan beranjak untuk tidur. Mata mencoba terpejam namun telinga tetap mendengar setiap gerakan, beralih posisi ke kanan dan ke kiri agar mendapatkan kenyamanan namun hal itu tak bisa Shafira dapatkan. Memutuskan ke kamar mandi, berwudhu dan mendirikan Sholat Malam dua rakaat. Dalam sholatnya, Shafira tak bisa menahan lagi, air mata luruh di pipi namun Shafira tetap menyelesaikan Shalatnya. Saat sujud terakhir, tangis Shafira pecah, semua
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S