"Tega kamu mas?" teriak Shafira mengeluarkan semua rasa kecewa di dada.Satria sama sekali tak iba, pergi dengan kemarahan yang menjadi.Shafira terduduk lemas, air mata sudah mengalir deras dari pelupuk mata. Suami yang 13 tahun ini bersama bisa sebenci itu padanya. Hal itu dapat Shafira lihat dari tatapan mata Satria yang tajam bagai pedang yang siap menghunus lawannya. Tatapan yang tak pernah Shafira temui selama berumah tangga dengan Satria. Jika biasanya Satria akan marah dan selang lima menit saja dia akan melupakan rasa amarah itu dan bersikap biasa saja.Kali ini sungguh berbeda.Api kebencian terlihat jelas dimata Satria. Hal itu membuat Shafira sangat kecewa, merasa telah dicampakkan Satria."Ma, aku mohon jangan menangis ma?" hibur Mira pada Shafira."Iya ma, jangan nangis nanti dedek ikutan nangis lo," celoteh Mila mencoba menenangkan sang ibu.Bukannya berhenti menangis, Shafira semakin terisak, menangis sesegukan membuat kedua anaknya memeluk dan ikut menangis. Perubaha
Malam hari. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00 wib. Satria belum juga pulang membuat Shafira cemas, berjalan mondar mandir tak terhitung berapa kali. Dirinya tak tahu harus mengatakan apa jika Satria pulang nanti. Terlalu banyak unek unek yang ingin sekali dikeluarkan membuat Shafira bingung harus berkata darimana. Pukul 00.00 wib, Satria belum juga pulang membuat hati Shafira bergemuruh, rasa curiga mulai menyapa, berprasangka jika Suaminya itu pasti menemui Thika dan bermalam disana. Shafira sungguh putus asa, tak ingin lagi mengharap penjelasan dan beranjak untuk tidur. Mata mencoba terpejam namun telinga tetap mendengar setiap gerakan, beralih posisi ke kanan dan ke kiri agar mendapatkan kenyamanan namun hal itu tak bisa Shafira dapatkan. Memutuskan ke kamar mandi, berwudhu dan mendirikan Sholat Malam dua rakaat. Dalam sholatnya, Shafira tak bisa menahan lagi, air mata luruh di pipi namun Shafira tetap menyelesaikan Shalatnya. Saat sujud terakhir, tangis Shafira pecah, semua
Dalam keadaan emosi Shafira mengirim pesan pada Satria.{Assalamualaikum. Mas, aku tidak pulang, aku ingin menenangkan diriku. Aku mengharapkan penjelasan darimu tapi kamu hanya diam saja tak mau menjelaskan semua masalah ini. Kamu lebih mementingkan dia daripada aku mas. Jika kamu tak bisa memutuskan semua ini, aku tak akan pulang. Pilih dia atau aku istrimu?}Tak ada balasan membuat Shafira tak tenang. Hidupnya sungguh menderita, ingin sekali dengan pergi ke rumah Tina, dia bisa melupakan masalah ini namun seberapa jauh dirinya berlari menghindar, masalah terus mengikuti dan bersemayam di dalam hati.Shafira tak ingin kehidupan seperti ini. Semua terasa berat namun dia tak bisa menceritakan semuanya kepada kakaknya karena tak ingin membebani. Shafira sungguh lelah, matanya terpejam dan berharap bisa tertidur meski sejenak namun seberapa dalam mencoba terpejam sama sekali tak mampu.Satu jam hanya berguling ke kiri dan ke kanan tak ada yang bisa di lakukan. Melihat jam dinding menunj
Seorang wanita sibuk berkutat dengan mixer di tangannya. Matanya fokus memandang adonan, namun hati dan pikirannya entah kemana. "Shafira, sudah kental berjejak gitu?" ucap Tina merasa jika adiknya itu tak fokus membuat bolu. "Oh iya, hampir saja." Shafira segera menuangkan terigu, mengaduk balik secara merata lalu menuangkan minyak goreng dan kembali mengaduk balik adonan sehingga menyatu, memastikan tak ada minyak yang mengendap. Setelah adonan masuk loyang yang sudah dikasih carlo, Shafira segera memasukkan ke oven. Metode yang digunakan Shafira dalam membuat kue berbeda dengan Tina. Jika Shafira menggunakan sponge method, berbeda dengan Tina yang suka menggunakan metode all in one. Pada teknik all in one method ini semua bahan diaduk jadi satu dengan hand whisk gitu aja, lalu di oven. Dengan catatan, pengadukan tidak boleh terlalu bersemangat. Kira- kira tidak lebih dari 15 kali putaran/ adukan. Shafira dan Tina bergulat dengan dunia perdapuran. Sehabis sholat subuh, Shafira
Shafira kembali menangis mendengar semua nasehat bu Tutik."Aku bingung bu, aku sudah tak punya siapa siapa tapi mas Satria tega sekali menyakitiku. Aku pergi juga tak dicari. Dia tak mencariku tak apa apa bu, setidaknya dia menanyakan anak anaknya?" ucap Shafira terbata.Tutik segera merengkuh Shafira ke dalam pelukannya."Sabar nak Fira, lelaki jika sudah terobsesi dengan wanita yang pernah di hidupnya, dia akan lupa dengan orang orang terdekatnya. Meski kamu mengingatkan ribuan kali, dia tak akan mendengarmu," jelas Tutik mengelus punggung Shafira."Hiks!""Hiks!""Lalu aku harus bagaimana bu? Aku sudah putus asa. Mas Satria tak cinta padaku bu, dia sama sekali tak peduli denganku, dengan bayi yang aku kandung? Bahkan dia tak pernah menyentuhku. Apa dia benar benar menyesali kehamilanku? Sebenci itukah sampai dia tak mau menyentuhku?""Ya Allah… Tenangkan dirimu nak, jangan terpancing emosi. Aku mengerti posisimu dan kamu tak sendirian, ada aku dan saudara lainnya. Kami berpihak pa
"Ceklek." "Kenapa kamu kunci pintunya mbak?" tanya Shafira bingung. Lila mendekat dan membawa Shafira duduk di kasur, memegang tangan saudara sekaligus sahabatnya. Ya, Lila merupakan sahabat Shafira jauh sebelum Shafira dipersunting Satria. "Katakan semua kepadaku Shaf. Kenapa kamu harus lari dari rumah? Kamu tak salah, kenapa harus pergi dan memberi peluang Thika mendekati suamimu?" Shafira terdiam, membiarkan Lila memarahinya. "Satria cerita semuanya padaku, katanya kamu WA Thika, mengolok- oloknya. Apa benar?" Shafira mengangguk membenarkan. "Astaghfirullahaladzim Shaf!?" Lila menghela nafas besar. "Aku kasih tahu kamu ya sayang, Satria itu ibarat abg lagi dipuncak kasmaran jadi kamu ingatkan atau kamu jauhi seperti ini, dia tak akan peduli soalnya yang terlihat hanya Thika seorang?" ucap Lila yang membuat Shafira mulai menangis. "Salah jika kamu hubungi Thika, dia akan mengadukan pada Satria dan suamimu akan tetap membela si pelakor itu daripada kamu istrinya karena mata
Aini yang menunggu dengan cemas, entah murni dari lubuk hatinya atau tidak. "Akhirnya kamu pulang juga nak," ucap Aini memeluk Shafira. "Jangan pergi pergi lagi, wanita kalau sudah menikah tidak baik keluar rumah, mengerti?" saran Aini dan dijawab anggukan kepala dari Shafira. "Aku lelah bu, aku mau istirahat." Aini mencoba mengerti dan mengangguk pelan. "Baiklah. Kalian istirahatlah." Shafira masuk ke dalam kamar, berharap suaminya mau menjelaskan masalah mereka. "Ceklek!" Satria membuka pintu, masuk dan berganti pakaian santai, bukannya piyama tidur. "Tidurlah, aku mau keluar," ucap Satria tegas. "Mau kemana kamu mas selarut ini??" "Yang pasti tidak menemui Thika. Aku ada urusan dengan mas Indra." Satria pergi meninggalkan Shafira sendiri, dengan rasa yang digantung. Air mata kembali luruh di pipi, di usap sendiri. Shafira tidur meringkuk sambil menangisi nasib yang harus dijalani. "Kenapa semua ini terjadi kepadaku ya Allah? Apakah selama ini aku kufur nikmat? Atau mel
"Mas, jangan bersikap acuh kepadaku, aku tak suka." "Siapa yang acuh padamu." "Sikapmu saat ini membuatku tak nyaman." Satria mendekati Shafira. "Aku hanya tak yakin kamu berubah," jelas Satria pada istrinya. "Apa maksudmu mas?" "Ya, kamu masih mencurigaiku," ucap Satria mulai merasakan emosi di dalam diri. Entah mengapa, dirinya masih kecewa dengan sang istri meski Shafira sudah meminta maaf. "Ya Allah mas, aku sudah minta maaf padamu dan aku telah menutup semua rasa kecurigaanku mas. Disaat aku minta maaf padamu, aku sudah bertekad membesarkan hatiku, semua ini demi anak anakku." Satria tersenyum seperti mengejek, tak percaya dengan apa yang dikatakan Shafira. "Benarkah?" "Benar mas, demi Allah," jawab Shafira yakin dengan ucapannya. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu jangan ngatur aku mengenai Thika." "A- apa maksudmu mas?" "Ya intinya aku hanya menolong Thika, tak lebih. Jika kamu masih mencurigai aku ada apa apa sama dia, kamu salah besar." Shafira terdiam, tak bisa
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S