Terimakasih..,happy reading
Aini yang menunggu dengan cemas, entah murni dari lubuk hatinya atau tidak. "Akhirnya kamu pulang juga nak," ucap Aini memeluk Shafira. "Jangan pergi pergi lagi, wanita kalau sudah menikah tidak baik keluar rumah, mengerti?" saran Aini dan dijawab anggukan kepala dari Shafira. "Aku lelah bu, aku mau istirahat." Aini mencoba mengerti dan mengangguk pelan. "Baiklah. Kalian istirahatlah." Shafira masuk ke dalam kamar, berharap suaminya mau menjelaskan masalah mereka. "Ceklek!" Satria membuka pintu, masuk dan berganti pakaian santai, bukannya piyama tidur. "Tidurlah, aku mau keluar," ucap Satria tegas. "Mau kemana kamu mas selarut ini??" "Yang pasti tidak menemui Thika. Aku ada urusan dengan mas Indra." Satria pergi meninggalkan Shafira sendiri, dengan rasa yang digantung. Air mata kembali luruh di pipi, di usap sendiri. Shafira tidur meringkuk sambil menangisi nasib yang harus dijalani. "Kenapa semua ini terjadi kepadaku ya Allah? Apakah selama ini aku kufur nikmat? Atau mel
"Mas, jangan bersikap acuh kepadaku, aku tak suka." "Siapa yang acuh padamu." "Sikapmu saat ini membuatku tak nyaman." Satria mendekati Shafira. "Aku hanya tak yakin kamu berubah," jelas Satria pada istrinya. "Apa maksudmu mas?" "Ya, kamu masih mencurigaiku," ucap Satria mulai merasakan emosi di dalam diri. Entah mengapa, dirinya masih kecewa dengan sang istri meski Shafira sudah meminta maaf. "Ya Allah mas, aku sudah minta maaf padamu dan aku telah menutup semua rasa kecurigaanku mas. Disaat aku minta maaf padamu, aku sudah bertekad membesarkan hatiku, semua ini demi anak anakku." Satria tersenyum seperti mengejek, tak percaya dengan apa yang dikatakan Shafira. "Benarkah?" "Benar mas, demi Allah," jawab Shafira yakin dengan ucapannya. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu jangan ngatur aku mengenai Thika." "A- apa maksudmu mas?" "Ya intinya aku hanya menolong Thika, tak lebih. Jika kamu masih mencurigai aku ada apa apa sama dia, kamu salah besar." Shafira terdiam, tak bisa
Shafira berusaha melupakan rasa penasaran akan nama Ade di kontak WA Satria namun setiap kali duduk berdua, Satria seolah mengacuhkan Sfafira. Dirinya sibuk chat an dengan Ade. Bahkan Satria tak mempunyai rasa bersalah dengan nyamannya chat di samping istrinya Shafira. Siang ini Lila ada main kerumah. Dirinya merasa khawatir dengan kondisi Shafira. "Bagaimana Shaf, apa sudah kelar masalah kalian? Sudah bicara dari hati ke hati?" Shafira menggeleng, jujur saja terlalu berat menjalani kehidupan seperti ini, dimana Shafira harus tetap tersenyum sementara hatinya ingin menangis menuntut kejelasan rumah tangganya. "Loh kenapa begitu?" "Kami sudah membicarakannya mbak, aku sudah menjelaskan apa yang mengganjal di hatiku." "Lalu?" "Ya, seperti ini kehidupan rumah tangga kami mbak, terasa hambar." Lila menggeleng, tak percaya jika masalahnya akan serumit ini. "Intinya, mas Satria tak bisa berhenti berhubungan dengan Thika meski aku melarangnya. Dia minta aku percaya padanya mbak dan a
Satria pulang dan langsung tidur, dirinya sungguh kesal pada Shafira karena chat hal yang tak penting. Sudah berkali kali dijelaskan namun istrinya tetap mencurigai dirinya. Satria sungguh lelah menjelaskan pada Shafira, disaat matanya terpejam ponsel Satria bergetar dan ada notifikasi chat dari Ade : mas sudah tidur???? Shafira semakin kesal, antara benci dan emosi. Bisa bisanya Thika chat suaminya pada jam 03.00 pagi. Atau Satria yang chat terlebih dahulu? Tak terasa air mata sudah menetes di pipi. 'Ya Allah kuatkanlah aku ya Allah,' batin Shafira memohon kekuatan dari sang Pencipta. Hari ini ada acara nikahan saudara Satria dan Shafira pamit untuk pergi kesana dari pagi. Usia kehamilan yang ke 35 minggu membuat Shafira hanya membantu sekedarnya. Kebetulan Mira libur sekolah dan memilih untuk berdiam diri di rumah. Shafira mendapatkan kabar terbaru dari Mira. {Ma, nggak ada mama di rumah, papa sibuk chat an sama kontak bernama Ade.} Shafira terkejut melihat isi pesan anaknya
"Diam Shafira!?" Satria merasa sangat malu karena istrinya berani menjawab semua perkataannya. Tak hanya itu, Shafira terkesan berani kepada Satria suaminya. "Duduk!?" perintah Satria. Shafira duduk dengan kesal, memalingkan wajah dari dua tamunya. "Mbak Shafira perkenalkan aku Hartini," ucap tamu wanita sambil mengulurkan tangan, berniat untuk berjabat tangan dengan Shafira namun hanya menyalami angin karena Shafira tak menyambut uluran tangan tersebut. "Aku tahu." Satria melihat tingkah ketus sang istri tak terima dan menyeret Shafira ke kamar. "Lep- pas mas, jangan menyeretku di depan anak anak," ucap Shafira tak suka. Mila dan Mira belum tidur sehingga mereka tahu jika ayahnya berbuat kasar pada ibunya. "Pa, kasihan mama kesakitan," ucap Mila sontak membuat Satria melepas tangan Shafira. "Aku kasih tahu kamu Shafira, mereka temanku smp, jadi aku harap kamu bisa menghargai mereka yang rela bertamu kesini." Shafira tersenyum mengejek, "dari cara bertamu saja sudah terlihat
Malam ini, Satria mengajak Shafira berkunjung ke rumah Lila. Setelah mendengar jika Lila sakit, Shafira ingin sekali menemui sahabatnya namun tak berani mengatakan keinginannya kepada Satria. Tak ada angin dan hujan, Shafira tiba tiba diajak sang suami keluar rumah menjenguk Lila. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Shafira dan Satria masuk rumah Lila dan disambut bahagia oleh Yudha suaminya. "Dimana mbak Lila?" tanya Shafira karena tak menemukan sahabatnya di ruang tamu. "Dia sedang istirahat." "Owh, begitu." Shafira berbincang bincang dengan Yudha sedangkan Satria memilih duduk menyendiri di beranda sambil sibuk chat an. Merasa tak nyaman hanya berdua di ruang tamu dengan Yudha, Shafira memutuskan untuk mengajak Satria masuk rumah. Bukankah sangat aneh jika mereka hanya berdua di ruang tamu meski Yudha tak duduk berdampingan melainkan Yudha sibuk membuatkan kopi untuk Satria. Yudha lulusan kuliah jurusan tata boga jadi dia lebih mahir dalam urusan perdapuran dari pada Lila
"Photo berdua?" Shafira terkejut mendengar pertanyaan Yudha. Lila juga tak kalah terkejut mendengar kenyataan sang suami mengetahui tentang photo tersebut dan tak menceritakannya. "Kamu kok nggak cerita sih mas?" tanya Lila pada Yudha. Yudha terdiam tak mampu berkata sedangkan Shafira sibuk menelisik kebohongan di mata suaminya. "Satria, kamu itu sungguh keterlaluan! Kenapa harus photo berdua dengannya? Jelas jelas kalian itu bukan muhrim. Kalau begini, ya tentu saja Shafira marah," ucap Lilla merasa geram dengan tindakan Satria. "Bahkan jika aku jadi Shafira, aku akan menanyakan langsung, tak seperti ini. Shafira baru bertanya saat aku menyuruhnya mengeluarkan unek uneknya. Apa kamu tahu, memendam masalah itu sangatlah sakit. Mental kita yang menanggungnya. Bagaimana jika mental kita tidak kuat? Yang ada kegilaan bisa terjadi," jelas Lila. Lila sungguh sosok wanita yang dewasa diumurnya yang terbilang muda. Dirinya hanya terpaut 5 tahun dari Shafira. Usia tak bisa dijadikan pat
Shafira terdiam, mencoba menuruti ucapan Satria. Jika biasanya Satria akan memeluknya, kali ini tidak. Shafira begitu kecewa, membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Tiba tiba Satria ikut tidur di sampingnya. Jika biasanya tidur di spring bad bawah, kali ini dia tidur di samping Shafira. "Shafira aku menginginkannya. Apakah kamu tidak mau?" Seperti disambar petir saja, hati Shafira sangat kacau dan nano nano. Di satu sisi dia begitu merindukan rasa itu, rasa dimana tak lagi didapatkan satu bulan ini. Namun di sisi lain, mendengar sang suami meminta haknya, Shafira sama sekali tak bergairah. Entahlah rasanya sudah hambar, tak nafsu ataupun menggebu gebu. Melihat sang istri tak menanggapi membuat Satria bingung. Dia begitu menginginkan sang istri namun Shafira hanya diam saja. Apakah istrinya itu tak mau dijamah? "Apa kamu tak mau Shafira?" tanya Satria lagi. Sebagai seorang istri bukankah berdosa jika tak mau melayani sang suami di atas ranjang? Shafira selalu memegang teguh kajia
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S