Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Maaf, mas!" lirih Shafira mulai terisak."Maaf, jika diriku belum bisa mengikuti semua keinginanmu," imbuh Safira memulai pembicaraan pada Satria, suaminya.Nyatanya hati Safira masih belum bisa menerima keinginan sang suami yang ingin menikahi wanita di masa lalunya."Shaf, bukankah aku sudah memberitahukan semua kebenarannya?"Satria memandang sayu wanita yang berstatus istrinya itu.Ya memang benar, Satria telah menceritakan semua kejadian yang menimpa wanita bernama Tika yang tak lain adalah mantan kekasih Satria.Tika datang di tengah kebahagiaan rumah tangga Satria dan Safira."Maaf, mas. Maaf.""Hiks.""Hiks."Safira berlari ingin pergi jauh dari rumah ini jika dia mampu. Sayang sekali, kehamilan yang berusia sembilan bulan dan tinggal menunggu hari kelahiran itu membuat Shafira mengurungkan niatnya.Satria berlari mengejar Shafira yang kini berlari menuju ke taman belakang rumah tempat di mana Shafira sering berdiam diri, mendinginkan pikiran dari beban masalah yang menimpany
"Chat dari siapa mas?" tanya Shafira penasaran dengan sikap sang suami. Satria tak menanggapi, dia masih terus senyam senyum sendiri menatap layar pada benda pipih yang di pegang. "Mas Satria?" bentak Shafira membuat Satria kaget. "Ada apa?" Shafira menggeleng, merasa heran karena Satria tak pernah mengabaikannya. "Ah ini ma, dari teman lama. Aku tanya siapa dia dan sudah di balas kok. Dia dapat nomorku mungkin dari grup Smp." "Siapa?" "Dari Thika." Shafira merasa asing dengan nama wanita yang dilontarkan Satria. Selama ini Satria selalu menceritakan tentang siapa klien dan teman lamanya. Baru kali ini Satria mengatakan nama "Thika" membuatnya penasaran, teman lama seperti apa seorang Thika bagi Satria. "Siapa Thika mas?" "Thika itu teman lamaku ma. Dia menghubungiku karena ada masalah dan memintaku memberikan solusi." Satria menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Jari lentiknya dengan lihai terus menekan nekan layar gawainya. "Oh begitu." Shafira ha
"Brukh."Tiba tiba ada seorang wanita cantik memeluk tubuh Satria dengan air mata membasahi pipi mulusnya. Bukan memeluk, lebih tepatnya menabrakkan diri pada dada bidang Satria.Satria hanya diam terpaku melihat sikap wanita cantik yang tak lain adalah mantan kekasihnya selama delapan tahun itu.Alih alih menolak pelukan karena mereka bukan muhrim, Satria malah mengelus pundak si wanita, sesekali menepuk nepuk punggungnya."Menangislah sepuasnya jika itu bisa meringankan beban hidupmu Thika," lirih Satria.Suara merdu dan sikap welcome dari Satria membuat Thika semakin mengeratkan pelukan dan menangis sepuasnya."Hiks.""Hiks.""Maaf. Maafkan aku Mas, aku sungguh bingung harus mengadu kemana lagi dan kepada siapa? hiks, hiks."Thika menangis sesenggukan di pelukan Satria.Semua sahabatnya ikut menangis haru melihat apa yang kini terjadi di depan mata.Sahabat Satria terdiri dari sembilan laki laki dan mereka di dampingi istrinya masing masing. Sedangkan Satria sengaja datang sendiria
Desahan yang begitu keras dan sepertinya aku tak asing dengan suara si lelaki membuatku tak tahan lagi dan membuka pintu kamar anakku."Angel!?"Aku sungguh syok melihat apa yang terjadi saat ini."Dan kamu!?"Lebih syok lagi saat mataku bersirobok dengan lelaki yang baru saja menoleh padaku.Ya, Anakku bergumul dengan lelaki yang kukenal.Akhtar dan Angel sungguh terkejut melihatku."Kalian!?"Aku mundur selangkah dan menabrak pintu kamar. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku cintai melakukan hubungan terlarang dengan wanita lain. Dan wanita itu tak lain adalah anakku sendiri, Angel. Sungguh aku tak percaya dan tak pernah membayangkan jika Akhtar tega melakukan hal ini."Cepat pakai baju kalian!""Ayo kita bicara di ruang tamu!?" ucapku bergetar.Hampir sepuluh menit mereka baru keluar kamar dan duduk berjajar di sofa panjang."Sudah berapa kali kalian melakukannya?" tanyaku memandang nanar Angel.Aku pikir anakku itu akan takut kepadaku namun nyatanya tidak sna sekali."Tiga