Happy reading
Malam ini, Satria mengajak Shafira berkunjung ke rumah Lila. Setelah mendengar jika Lila sakit, Shafira ingin sekali menemui sahabatnya namun tak berani mengatakan keinginannya kepada Satria. Tak ada angin dan hujan, Shafira tiba tiba diajak sang suami keluar rumah menjenguk Lila. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Shafira dan Satria masuk rumah Lila dan disambut bahagia oleh Yudha suaminya. "Dimana mbak Lila?" tanya Shafira karena tak menemukan sahabatnya di ruang tamu. "Dia sedang istirahat." "Owh, begitu." Shafira berbincang bincang dengan Yudha sedangkan Satria memilih duduk menyendiri di beranda sambil sibuk chat an. Merasa tak nyaman hanya berdua di ruang tamu dengan Yudha, Shafira memutuskan untuk mengajak Satria masuk rumah. Bukankah sangat aneh jika mereka hanya berdua di ruang tamu meski Yudha tak duduk berdampingan melainkan Yudha sibuk membuatkan kopi untuk Satria. Yudha lulusan kuliah jurusan tata boga jadi dia lebih mahir dalam urusan perdapuran dari pada Lila
"Photo berdua?" Shafira terkejut mendengar pertanyaan Yudha. Lila juga tak kalah terkejut mendengar kenyataan sang suami mengetahui tentang photo tersebut dan tak menceritakannya. "Kamu kok nggak cerita sih mas?" tanya Lila pada Yudha. Yudha terdiam tak mampu berkata sedangkan Shafira sibuk menelisik kebohongan di mata suaminya. "Satria, kamu itu sungguh keterlaluan! Kenapa harus photo berdua dengannya? Jelas jelas kalian itu bukan muhrim. Kalau begini, ya tentu saja Shafira marah," ucap Lilla merasa geram dengan tindakan Satria. "Bahkan jika aku jadi Shafira, aku akan menanyakan langsung, tak seperti ini. Shafira baru bertanya saat aku menyuruhnya mengeluarkan unek uneknya. Apa kamu tahu, memendam masalah itu sangatlah sakit. Mental kita yang menanggungnya. Bagaimana jika mental kita tidak kuat? Yang ada kegilaan bisa terjadi," jelas Lila. Lila sungguh sosok wanita yang dewasa diumurnya yang terbilang muda. Dirinya hanya terpaut 5 tahun dari Shafira. Usia tak bisa dijadikan pat
Shafira terdiam, mencoba menuruti ucapan Satria. Jika biasanya Satria akan memeluknya, kali ini tidak. Shafira begitu kecewa, membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Tiba tiba Satria ikut tidur di sampingnya. Jika biasanya tidur di spring bad bawah, kali ini dia tidur di samping Shafira. "Shafira aku menginginkannya. Apakah kamu tidak mau?" Seperti disambar petir saja, hati Shafira sangat kacau dan nano nano. Di satu sisi dia begitu merindukan rasa itu, rasa dimana tak lagi didapatkan satu bulan ini. Namun di sisi lain, mendengar sang suami meminta haknya, Shafira sama sekali tak bergairah. Entahlah rasanya sudah hambar, tak nafsu ataupun menggebu gebu. Melihat sang istri tak menanggapi membuat Satria bingung. Dia begitu menginginkan sang istri namun Shafira hanya diam saja. Apakah istrinya itu tak mau dijamah? "Apa kamu tak mau Shafira?" tanya Satria lagi. Sebagai seorang istri bukankah berdosa jika tak mau melayani sang suami di atas ranjang? Shafira selalu memegang teguh kajia
[Urus saja sendiri. Itu urusanmu bukan urusanku.] [Apa!?] Shafira sungguh tak habis pikir Satria bisa lepas dari tanggung jawabnya. Bukankah mengantar pergi ke desa kelahiran adalah tugas dan tanggung jawab Satria sebagai suami?! Satria selalu menuruti keinginan Shafira namun tidak untuk kali ini dan hal itu membuat Safira begitu kecewa. Adakah hal yang lebih penting dari keluarga? Ada, saat ini yang lebih penting di hidup Satria adalah menolong Thika meski menyakiti istrinya Shafira. {Mas kamu kok gitu sih. Kamu kan suamiku, makanya aku meminta kamu mengantarku tapi kok gak enak banget balasan pesanmu.} {Loh aku kan sudah bilang jika aku gak mau ikut campur urusanmu dengan saudara saudaramu.} Shafira sungguh geram membaca pesan Satria. Dirinya punya suami tapi seperti janda saja. Disaat dirinya benar benar butuh Satria sebagai pendamping hidupnya, suaminya itu malah tak ada mendukungnya. {Baiklah kalau begitu aku berangkat ke surabaya sendiri saja.} {Terserah kamu saja.}
"Aku tidak apa apa buk, aku baik- baik saja," bohong Shafira. "Tidak nak, kamu tidak baik. Kandunganmu sudah besar begitu, lagi pula Satria tidak peduli kepadamu. Urusan sepenting ini saja, dia tidak ada datang mendampingimu nak. Suami macam apa itu? egois sekali si Satria," umpat Murni kesal. Keponakan yang sudah dianggap anaknya sendiri itu pulang dengan perut buncitnya demi mengurus sertifikat tanah warisan dari orang tuanya. Datang sendirian tanpa didampingi sang suami, sungguh sangat kasihan. Semua orang di desa pun turut prihatin melihat kondisi Shafira saat ini. "Sudah Safira, kamu menurut saja sama ibu. Kamu di sini saja, tidak usah kembali ke Jakarta ya?!" putus Murni. Mungkin terkesan egois tapi Murni mengkhawatirkan kondisi Shafira. "Bu, jika aku tak kembali ke Jakarta, kasihan Mira di sana sendirian. Tolong mengertilah dan aku akan selalu menghubungimu lewat telepon jadi kamu tenang saja ya? Jangan memikirkan aku," jelas Shafira. Murni mengangguk, mencoba untuk
"Papa, kenapa kamu marah marah sama mama?" ucap Mira marah. Satria mendelik tajam namun Mira sama sekali tak gentar. "Mama itu sudah jauh jauh pulang ke Surabaya mengurus kepentingan seorang diri, papa bukannya merasa bersalah malah marahin mama. Apa papa nggak kasihan? Mama lagi sakit pa? Mama diam saja karena beliau tak mau merepotkan papa, lagi pula jika mama bilang juga papa nggak peduli!" "Mira, jaga ucapanmu!" "Kamu ini masih kecil tapi sudah berani sama orang tua. Aku nggak perlu kamu kasih tahu. Anak kok menasehati orang tua. Masuk kamar sana!?" perintah Satria kepada anak sulungnya. "Brakh!" Mira menutup pintu dengan keras karena marah membuat Satria semakin geram. "Masih kecil suka menggebrak pintu, teruskan saja begitu. Anak tak tahu malu, siapa yang mengajarimu begitu. Anak tak punya tata krama! Pasti mamamu yang mengajarimu!" teriak Satria marah. Mira memang temperamen saat ini padahal dulu saat di desa, anak berumur 12 tahun itu sangatlah penurut, tak pernah berka
Seorang ibu tak akan sanggup melihat anaknya menderita, begitu juga Shafira tak tahan lagi melihat Mila demam semakin tinggi. Dirinya berangkat untuk memeriksakan Mila bersama Mira. Dengan kandungan besar, Shafira tetap berangkat menuju Dokter berharap jika Mila lekas sembuh setelah diberi obat. Dibonceng kedua anaknya dengan menggunakan sepeda Beat, melewati jalan raya yang ramai, banyak mobil kontainer di sisi kanan dan kiri jalan. Shafira memutuskan lewat pemukiman saja, melewati gang sempit dengan banyak sekali polisi tidur dengan jarak satu meter. Hal itu membuat perut buncit Shafira terguncang berkali kali. Meski terasa sakit, Shafira terus melajukan sepeda motornya menuju rumah praktek bu Sri. Banyak sekali yang cocok, periksa ke Bu Sri langsung sembuh. Kini mereka tiba, Shafira segera membawa masuk ke pelataran rumah praktek namun detik berikutnya …. Shafira harus menerima pil kekecewaan karena Bu Sri sedang tidak ada di rumah dan tertera tulisan besar, "TUTUP". "Ya Alla
"Darah!?"Shafira terkejut saat anaknya memberitahu dan melihat ada noda darah di baju belakang. Noda darah begitu banyak dan terlihat kering, mungkin darah tersebut keluar saat Shafira merasakan sakit semalam.Shafira segera ke kamar mandi, mandi dan membersihkan noda darah di bajunya, bertanya tanya apakah kandungannya baik baik saja? Mengingat dirinya yang nekat bersepeda seorang diri demi memeriksakan Mila.Tak ada yang aneh pada diri Shafira sehingga dia memutuskan untuk tetap melakukan aktivitas seperti biasa, memasak dan mengantar anak anaknya ke sekolah.Saat siang, Shafira beristirahat seperti biasanya namun saat terbangun, tiba tiba saja perut Shafira merasa mulas dan sakit sekali.Ada perasaan takut dan cemas mengingat banyaknya darah tertinggal di baju.Perut Shafira sakit sekali, terasa keram dan sakit dibuat gerak.Shafira berusaha menahan rasa sakit, berjalan pelan ke kamar mandi.Rasanya seperti mual, mulas, dan Shafira tak tahan lagi."Da- darah!"Shafira terkejut bu
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S