Satria bahagia bukan main, seperti mendapatkan durian runtuh saja.
"Benarkah Sayang?!" tanya Satria memastikan.
Lagi lagi Shafira mengangguk membuat Satria memeluk penuh kasih.
Satria segera mengirim pesan WA kepada Thika, memberitahukan jika dirinya diberi izin oleh sang istri untuk membantunya.
Tentu saja, gayung bersambut. Thika juga senang sekali membaca pesan dari Satria. Dia bebas menghubungi Satria kapanpun dia mau dan tak khawatir bakalan disebut pelakor. Tak seperti dulu, saat dia meminta bantuan teman lelakinya, sang istri marah marah pada Thika dan menyebutnya pelakor.
"Mas, bukannya kamu akan berangkat kerja?" ucap Shafira mengingatkan sang suami.
"Oh iya, ini aku mau berangkat. Aku pergi dulu ya?" ucap Satria disambut ciuman tangan dari Safira.
Jika biasanya Satria mengecup keningnya, tidak untuk hari ini membuat Safira begitu kecewa.
'Tenang Shafira, mungkin mas Satria lupa mencium keningmu,' batin Shafira mencoba menenangkan hatinya.
Sejak saat itu, Satria mengubah penampilannya. Jika sebelumnya Satria memang berpenampilan sederhana namun stylish, kali ini dia semakin menonjolkan gaya stylish nya seperti ABG 20 tahunan.
Siapa yang sukses mengubah penampilan Satria?
Tentu saja Thika orangnya, wanita itu sukses menjungkir balikkan kehidupan Satria.
Bukan hanya penampilan yang berubah, waktu kerja kantor yang biasanya tiga kali seminggu itu pun kini berubah menjadi setiap hari. Satria berangkat ke kantor pagi dan pulang malam, tak seperti biasanya.
Semua yang ada pada Satria berubah dan dia menikmati perubahan ini dengan kebahagiaan.
Melihat perubahan drastis dari suami, wanita mana yang tidak cemburu dan curiga?
Awalnya Shafira mencoba berpikir positif, mungkin memang perusahaan sedang membutuhkan jasanya sehingga Satria harus bekerja setiap hari namun semakin hari Satria semakin menjadi.
Ponsel yang semula tergeletak di sembarang tempat bebas dibuat mainan oleh sang anak.
Kini ponsel tersebut tidak pernah luput dari genggaman Satria.
Anak yang biasanya tak boleh menangis dibiarkan menangis sejadi- jadinya hanya karena ingin meminjam ponsel Satria dan tidak diberikan oleh Satria.
"Mas kenapa sih, anakmu meminjam HP sebentar saja tidak boleh?" tanya shafira pelan.
Karena memang biasanya Mila diizinkan memakai ponsel sang suami.
"Ponsel ini penting, masih ada urusan yang harus aku atasi. Apa kamu tidak tahu, hah?" Teriak Satria marah membuat Safira sungguh syok mendapati perubahan sang suami.
Satria tidak pernah membentak Shafira seperti itu. Memang cekcok pernah terjadi dan Satria marah waktu itu tapi tidak seperti ini, tatapan penuh api kemarahan dan kekesalan. Semua terpancar dari raut wajah Satria untuk Mila yang masih kecil.
"Astaghfirullahaladzim mas!"
"Kamu kenapa sih? Ponsel dipinjam Mila sebentar saja kamu marah sekali?" keluh Shafira.
"Harusnya kamu bilang baik- baik jika ponselmu masih dipakai, tidak perlu membentak anakmu mas?!"
Safira sangat kecewa, membawa Mila masuk ke dalam kamar.
Safira mengelus punggung Mila, "sudah nak, doakan saja mama punya rizki, nanti Mila Mama belikan HP yang baru".
Mila berhenti menangis dan menautkan jemarinya tanda setuju.
"Oke ma," jawab Mila segera memeluk tubuh Shafira.
Tiba- tiba,..
Satria masuk kamar dengan membawa ponselnya.
"Ini, kamu pakai sebentar saja setelah itu kasih lagi ke papa," ucap Satria menyodorkan ponsel pada Safira.
Ponsel di genggaman tanga, ingin sekali Safira mengecek pesan w******p Satria namun hal itu diurungkan mengingat Mila begitu ingin bermain ponselnya. Dan dirinya juga tidak mau melayani bisikan setan.
Safira percaya jika sang suami hanya membantu Thika, itu saja.
"Ma, mana ponsel Papa? celoteh Mila membuat Safira tersadar dari lamunan dan segera memberikan ponselnya kepada Mila, membiarkan anak kedua itu main ponsel milik ayahnya.
******
"Ma, kami akan ada pertemuan lagi membahas masalah Thika dan hal ini sangatlah krusial jika bukan aku yang menghandle semua ini tak akan tertata dengan baik. Aku juga mengabari Yudha mengenai semua masalah Thika kepadanya.
Shafira hanya mendengarkan dengan seksama.
"Kamu mengizinkan Sahfira?"
"Kapan itu mas?"
"Besok malam."
"Tapi besok malam kan ada acara keluarga di rumah?!"
"Kalau kamu tidak ada, saudara pada datang dan mencarimu, kan kak afdol mas?"
"Oh iya ya. Ya udah aku batalkan saja acara reuninya." jawab Satria.
Shafira tak mengerti dan bertanya, "apa masalah Thika belum selesai mas? kamu bilang sendiri jika sudah selesai. anak anak juga sudah dibiayai sahabat- sahabatmu."
"Naah itu masalahnya, pertemuan kali ini Thika meminta untuk dicarikan dana proses hidup. Kami berniat memberikan bisnis untuk kelangsungan hidupnya."
"Kalau begitu enak sekali ya mas jadi Thika?"
"Apa maksudmu?"
"Ah tidak apa- apa, aku hanya asal bicara ucap Safira pergi meninggalkan Satria.
Jiika dilanjut, Satria akan terus berbicara tentang Thika dan hal itu sungguh membuat hati Shafira tidak nyaman
.2 jam sebelum acara keluarga.
"Ma, aku pamit keluar sebentar bersama mas Indra. Nanti satu jam lagi aku akan pulang," pamit Satria.
"Baiklah mas, jangan lama- lama ya, ingat acara 2 jam lagi."
"Tidak perlu kamu ingatkan, aku sudah tahu jawab Satria kesal merasa jika Safira sangatlah cerewet hari ini sedangkan Safira sangat kesal mendapati jawaban ketus dari Satria.
Safira mengantar kepergian sang suami yang berdandan seperti ABG, memakai kaos dengan topi serta kacamata. Jeans panjang dipadu sabuk kulit dan sepatu Nevada. Semua yang dikenakan Satria adalah produk bermerek dari topi sampai sepatu.
Karena memakai kaos kuning, Satria memadukan dengan sepeda grand yang di speed warna kuning, menyesuaikan stylish nya.
Banyak memang koleksi sepeda Satria dari Supra x 125 yang menemani dirinya sejak dulu. Lalu membeli beat untuk sang istri Safira.
Belakangan ini dia mengoleksi sepeda gunung mulai dari Yamaha 75 warna biru, Yamaha robot hitam keluaran 80. Shogun dan grand kuning serta yang terakhir adalah kristal semua dapat digunakan karena Satria selalu merawatnya dengan baik namun semenjak kenal Thika, Satria tak merawat sepeda koleksinya.
Acara dimulai semua saudara Sudah berkumpul.
Kemana perhinya Satria ini?"tanya ibu Aini yang tak lain adalah mertua Safira.
"Entahlah Bu, mas pamitnya keluar bersama mas Indra dan aku tidak tahu ke mana coba kamu hubungi nggak enak sama keluarga yang datang.
Safira mencoba menghubungi Satria namun tak diangkat, berkali- kali dihubungi tetapi tidak ada jawaban dikirim pesan w******p juga tak dibaca membuat Safira putus asa.
"Safira kemana perginya Satria?"
"Kami sudah menunggu dari tadi," ucap Indra.
"Aduh, maaf ya tapi Tante mas Satria nggak bisa dihubungi. Tadi katanya pergi sama mas Indra," jujur Shafira.
Tepat saat itu juga Indra datang bersama sang istri.
"Lo itu kan Indra?" katanya pergi sama Indra nah ini orangnya nongol," jawab Tante merasa dibohongi.
Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Indra masuk rumah disambut tatapan bingung semua saudara.
"Ada apa ini?"
Safira mendekat dan bertanya, "mas Satria izin keluar pamitnya bersamamu mas Indra.
Memangnya dia tidak keluar bersama kamu ya mas?"
"Tidak, kami tidak ada acara. Bukankah acara kita kumpul bersama disini? memangnya kemana Satria?"
Pertanyaan yang sama di hati Safira kemana suaminya pergi sampai acara keluarga sepenting ini pun ditinggalkan yang lebih berani lagi Satria tega berbohong pada Safira.
"Kamu kemana mas?"
Shafira harus menelan pil kekecewaan dimana semua tamu keluarga berbondong bondong pergi dari rumahnya. Mereka bahkan tak menyentuh makanan yang disajikan di meja makan.Semua tamu kecewa karena tuan rumah mereka tak ada di acara penting ini. Terlebih Shafira harus menahan rasa malu yang terdalam karena semua menuduh jika Shafira berbohong padahal Shafira mengatakan yang sebenarnya."Sebenarnya kemana perginya anak nakal ini?" gerutu sang mertua membuat Shafira tak tahu harus menjawab apa."Apa benar, suamimu berpamitan pergi bersama Indra?" telisik sang mertua."Tentu saja bu. Untuk apa aku berbohong?" jawab Shafira tak mengira jika ibu mertua juga tak percaya kepadanya.Meski merasa dibohongi dan kecewa dengan sikap sang ibu mertua, Shafira tetap tersenyum dan meyakinkan diri jika suaminya itu pasti punya alasan tidak hadir di acaranya sendiri.Shafira mulai membersihkan ruang tamu dan beristirahat. Maklum saja, kandungan sudah delapan bulan akhir membuatnya cepat lelah dan sakit pu
Rumah Satria tidak pernah sepi, selalu ada teman ataupun saudara yang datang hanya sekedar silaturahmi ataupun meminta kritik serta saran sesuai profesi Satria yaitu konselor.Seperti saat ini, ada tamu yang datang. Mereka adalah teman Satria yang merasa tertolong berkat saran dan arahan dari Satria."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Mari masuk Pak Trio, Bu Marmi," ucap Shafira mempersilahkan masuk dan segera membuatkan minuman."Dimana Pak Satria, bu?""Silahkan diminum dulu Pak, Bu" ucap Aini yang kini duduk di depan para tamu, dia suka sekali nimbrung jika ada tamu yang datang."Satria sedang ke rumah adik saya dengan Mira.Setelah mendengar kabar jika adik saya sedang sakit, saya menyuruh mereka ke sana. Maklum saja, kaki saya sakit linu linu sedangkan Shafira ditinggal karena hamil tua," jelas Aini pada tamu Satria.Mereka mengangguk dan berbicara pada Aini sekedar basa- basi sedangkan Safira hanya duduk mendengarkan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Satria datang dengan M
Satria Pambudi, lelaki umur 35 tahun, mapan, body goals, tajir melintir, dan kini menjabat konselor.Jika dibandingkan dengan masa lalunya, Satria yang dulu bukanlah siapa- siapa.Terlahir dari keluarga kaya membuatnya semena- mena, semua keinginan harus terpenuhi, hidup berfoya- foya sesuai keinginan hatinya, terjerumus dalam berbagai maksiat.Satria pernah masuk penjara akibat tawuran, mabuk dan narkoba.Perubahan diri terjadi setelah putus cinta dengan Thika. Satria bersikap anarkis seperti lelaki tak berpendidikan padahal Ayah dan Ibunya dari orang kaya dan terkenal sangat alim, terlebih lagi sang ayah, Budiman dikenal sebagai lelaki pemberi petuah dan menjadi pemuka dalam menyiarkan agama islam.Budiman kewalahan mengurus Satria, setiap malam dia meminta pada sang Khaliq agar Satria sadar dari maksiat yang dilakukannya.Budiman juga meminta saran kepada teman- temannya yang menjadi ustad dan Kyai.Kebetulan Kyai Harun mendengar berita itu merasa simpati dan tergugah hatinya ingin
"Tega kamu mas?" teriak Shafira mengeluarkan semua rasa kecewa di dada.Satria sama sekali tak iba, pergi dengan kemarahan yang menjadi.Shafira terduduk lemas, air mata sudah mengalir deras dari pelupuk mata. Suami yang 13 tahun ini bersama bisa sebenci itu padanya. Hal itu dapat Shafira lihat dari tatapan mata Satria yang tajam bagai pedang yang siap menghunus lawannya. Tatapan yang tak pernah Shafira temui selama berumah tangga dengan Satria. Jika biasanya Satria akan marah dan selang lima menit saja dia akan melupakan rasa amarah itu dan bersikap biasa saja.Kali ini sungguh berbeda.Api kebencian terlihat jelas dimata Satria. Hal itu membuat Shafira sangat kecewa, merasa telah dicampakkan Satria."Ma, aku mohon jangan menangis ma?" hibur Mira pada Shafira."Iya ma, jangan nangis nanti dedek ikutan nangis lo," celoteh Mila mencoba menenangkan sang ibu.Bukannya berhenti menangis, Shafira semakin terisak, menangis sesegukan membuat kedua anaknya memeluk dan ikut menangis. Perubaha
Malam hari. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00 wib. Satria belum juga pulang membuat Shafira cemas, berjalan mondar mandir tak terhitung berapa kali. Dirinya tak tahu harus mengatakan apa jika Satria pulang nanti. Terlalu banyak unek unek yang ingin sekali dikeluarkan membuat Shafira bingung harus berkata darimana. Pukul 00.00 wib, Satria belum juga pulang membuat hati Shafira bergemuruh, rasa curiga mulai menyapa, berprasangka jika Suaminya itu pasti menemui Thika dan bermalam disana. Shafira sungguh putus asa, tak ingin lagi mengharap penjelasan dan beranjak untuk tidur. Mata mencoba terpejam namun telinga tetap mendengar setiap gerakan, beralih posisi ke kanan dan ke kiri agar mendapatkan kenyamanan namun hal itu tak bisa Shafira dapatkan. Memutuskan ke kamar mandi, berwudhu dan mendirikan Sholat Malam dua rakaat. Dalam sholatnya, Shafira tak bisa menahan lagi, air mata luruh di pipi namun Shafira tetap menyelesaikan Shalatnya. Saat sujud terakhir, tangis Shafira pecah, semua
Dalam keadaan emosi Shafira mengirim pesan pada Satria.{Assalamualaikum. Mas, aku tidak pulang, aku ingin menenangkan diriku. Aku mengharapkan penjelasan darimu tapi kamu hanya diam saja tak mau menjelaskan semua masalah ini. Kamu lebih mementingkan dia daripada aku mas. Jika kamu tak bisa memutuskan semua ini, aku tak akan pulang. Pilih dia atau aku istrimu?}Tak ada balasan membuat Shafira tak tenang. Hidupnya sungguh menderita, ingin sekali dengan pergi ke rumah Tina, dia bisa melupakan masalah ini namun seberapa jauh dirinya berlari menghindar, masalah terus mengikuti dan bersemayam di dalam hati.Shafira tak ingin kehidupan seperti ini. Semua terasa berat namun dia tak bisa menceritakan semuanya kepada kakaknya karena tak ingin membebani. Shafira sungguh lelah, matanya terpejam dan berharap bisa tertidur meski sejenak namun seberapa dalam mencoba terpejam sama sekali tak mampu.Satu jam hanya berguling ke kiri dan ke kanan tak ada yang bisa di lakukan. Melihat jam dinding menunj
Seorang wanita sibuk berkutat dengan mixer di tangannya. Matanya fokus memandang adonan, namun hati dan pikirannya entah kemana. "Shafira, sudah kental berjejak gitu?" ucap Tina merasa jika adiknya itu tak fokus membuat bolu. "Oh iya, hampir saja." Shafira segera menuangkan terigu, mengaduk balik secara merata lalu menuangkan minyak goreng dan kembali mengaduk balik adonan sehingga menyatu, memastikan tak ada minyak yang mengendap. Setelah adonan masuk loyang yang sudah dikasih carlo, Shafira segera memasukkan ke oven. Metode yang digunakan Shafira dalam membuat kue berbeda dengan Tina. Jika Shafira menggunakan sponge method, berbeda dengan Tina yang suka menggunakan metode all in one. Pada teknik all in one method ini semua bahan diaduk jadi satu dengan hand whisk gitu aja, lalu di oven. Dengan catatan, pengadukan tidak boleh terlalu bersemangat. Kira- kira tidak lebih dari 15 kali putaran/ adukan. Shafira dan Tina bergulat dengan dunia perdapuran. Sehabis sholat subuh, Shafira
Shafira kembali menangis mendengar semua nasehat bu Tutik."Aku bingung bu, aku sudah tak punya siapa siapa tapi mas Satria tega sekali menyakitiku. Aku pergi juga tak dicari. Dia tak mencariku tak apa apa bu, setidaknya dia menanyakan anak anaknya?" ucap Shafira terbata.Tutik segera merengkuh Shafira ke dalam pelukannya."Sabar nak Fira, lelaki jika sudah terobsesi dengan wanita yang pernah di hidupnya, dia akan lupa dengan orang orang terdekatnya. Meski kamu mengingatkan ribuan kali, dia tak akan mendengarmu," jelas Tutik mengelus punggung Shafira."Hiks!""Hiks!""Lalu aku harus bagaimana bu? Aku sudah putus asa. Mas Satria tak cinta padaku bu, dia sama sekali tak peduli denganku, dengan bayi yang aku kandung? Bahkan dia tak pernah menyentuhku. Apa dia benar benar menyesali kehamilanku? Sebenci itukah sampai dia tak mau menyentuhku?""Ya Allah… Tenangkan dirimu nak, jangan terpancing emosi. Aku mengerti posisimu dan kamu tak sendirian, ada aku dan saudara lainnya. Kami berpihak pa
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S