Share

Bab 002

Cindy terbangun, selain ruangan serba putih khas dengan aroma obat-obatan, dia juga mendapati sosok pria. Selain telah menyelamatkan, dia yakin kalau pria itu pasti telah menemani dan menunggunya hingga sadar.

                

Saat Cindy bergerak duduk, terdengar ucapan istigfar dari pria yang tampak terkejut itu.

“Bagaimana keadaan kamu? Orang tua kamu bilang sedang dalam perjalanan,” ucap Ustadz Fariz.

“Ternyata refleks gerakan Anda bagus juga,” puji Cindy.

“Sepertinya kamu baik-baik saja, saya akan pulang.” Ustadz Fariz bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu.

Pintu terbuka, tapi bukan karena Ustadz Fariz. Melainkan karena datangnya seorang wanita yang terlihat panik dan tergesa-gesa masuk.

“Cindyaa! Katanya kamu mau bunuh diri. Kamu ada masalah apa, Sayang? Kenapa gak cerita sama Mama!” Wanita itu mendekati Cindy dan memberondongnya dengan banyak tanya.

Cindy tak menjawab dan hanya mengarahkan jari telunjuknya pada Ustadz Fariz.

Wanita bernama Nazwa itu mengurungkan niat untuk memeluk Cindy kemudian mengalihkan pandangan tajam ke arah pria di depan pintu. “Kamu apakan anak saya?” omelnya bersiap mendekat dan menyerang.

“Ih, Mama! Cindy baru juga mau bilang kalau dia yang nyelamatin. Suudzon mulu,” keluh Cindy manja.

Mendengar hal itu, Nazwa menghela napas lega. Wanita yang masih penuh semangat di usianya yang telah melewati kepala lima itu terkekeh malu. “Kenapa langsung pulang? Kita ngobrol-ngobrol dulu di sini, sebentar lagi Papa Cindy juga datang. Saya mau minta maaf karena sudah menuduh sembarangan, mau berterima kasih juga,” ajaknya pada Ustadz Fariz.

Ustadz Fariz semakin tak bisa menolak saat seorang pria yang dia tebak adalah Ayah Cindy benar-benar datang dengan membawa banyak paper bag. Pria yang tampak usianya tak jauh dari Nazwa itu menata pada meja yang tersedia, tak hanya parcel buah tetapi juga beberapa makanan serta minuman.

Dia mengajak Ustadz Fariz untuk turut duduk, tak lupa menyuguhkan minuman.

“Jangan sungkan-sungkan! Apa kamu sendiri gak terluka? Terima kasih karena sudah menyelamatkan anak kami,” ucapnya dengan ramah tetapi tetap terdengar penuh wibawa.

Saat kedua orang tuanya saling berbicara dengan Ustadz Fariz, Cindy mengambil ponselnya. Membuka fitur kamera dan mengambil potret, tak lupa mengirimkan segera pada grup percakapan dengan kelima sahabatnya.

Tak lama, sebelum layar kembali meredup tampak sebuah pesan masuk.

[Jyah, udah start duluan aja dia.] Pesan dari Niken diiringi banyak emoticon tertawa.

[Kamu di mana? Kenapa ada Ustadz Fariz segala?] balas Indah.

[Ada deh!] Cindy terkikik kecil dan menutup ruang obrolan mereka. Tak lupa sengaja mematikan data setelah meninggalkan sesuatu yang akan membuat grup mereka dipenuhi keributan dan tanda tanya.

Pandangan Cindy beralih usai meletakkan kembali ponselnya. Dibandingkan mendengar apa yang sedang dibicarakan kedua orang tuanya dengan Ustadz Fariz, dia malah mulai memikirkan banyak hal untuk rencana pendekatan.

Sejak awal, Cindy telah cukup menyimpulkan bagaimana pria yang akan dihadapi. Pria yang hingga detik ini tak sedikit pun membalas tatapannya itu mustahil dapat didekati dengan cara biasa. Tak puas berpikir saja, dia sengaja menuruni ranjang rumah sakit dan berniat bergabung. Dia memilih duduk tepat di hadapan Ustadz Fariz yang tampak menunduk setelah kedatangannya.

“Kamu harusnya istirahat, kan? Ngapain ikutan di sini?” tanya Ayah Cindy.

“Ini nih, anak gadis gak bisa diem. Gimana kalau luka kamu tambah parah?” timpal ibunya.

“Cindy berasa kaya penunggu rumah sakit, ada tapi gak diajak ngobrol. Mama sama Papa udah punya anak baru, ya?” sungutnya yang sontak membuat tawa Nazwa pecah.

“Kalau dikasih mantu kaya gini Mama gak bakalan nolak dong!” Nazwa menyeka sudut matanya yang sedikit basah karena tertawa.

Cindy yang sengaja bergabung dengan mereka berhasil sedikit mendapatkan informasi tentang Ustadz Fariz. Dimulai dari tempat tinggal bahkan statusnya yang benar-benar masih melajang. Meski usia mereka hanya selisih beberapa bulan, Cindy cukup mengakui wajah Ustadz Fariz yang sebenarnya terlihat lebih muda darinya.

Sesekali, kedua orang tua yang tetap melibatkan Cindy dalam percakapan itu sedikit membuat Ustadz Fariz merasakan kehangatan keluarga mereka. Hingga tak terasa mereka bersamaan mendengar berkumandangnya azan Isya, Ustadz Fariz berpamit untuk salat kemudian segera pulang.

Kedua orang tua Cindy mengizinkan, tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada ustadz muda itu. Cindy sendiri mengambil kesempatan untuk mengantarnya hingga ke pintu depan, tentunya dengan sedikit desakan.

“Bukan hanya saya yang berhutang, Anda juga masih belum menjawab pertanyaan saya tadi sore,” ucap Cindy pelan, tapi penuh penekanan terhadap Ustadz Fariz.

“Maaf, apa boleh saya segera pergi?” tanya pria yang hanya menatap pijakan kedua kakinya di lantai saja itu.

“Saya benar-benar menunggu Anda benar-benar memberikan jawaban!” ancam Cindy yang dengan sengaja menarik tangan Ustadz Fariz untuk meletakkan kartu nama berisi nomor teleponnya.

Berbeda dengan Cindy yang tersenyum jahil dan kembali masuk, Ustadz Fariz terkesiap, gegas meninggalkan ruang tempat Cindy dirawat dengan gerak bibir yang tak henti melafazkan istigfar. Dia bisa merasakan degup keras di dadanya karena ulah nekat wanita yang bahkan baru pertama kali bertemu dengannya.

Ustadz Fariz memasuki area musala yang disediakan pihak rumah sakit, segera berwudu tepat saat iqamat terdengar. Beberapa orang yang kebetulan turut hendak melaksanakan salat, melihat keberadaannya segera meminta agar Ustad Fariz-lah yang menjadi imam.

Setelah kepergian Ustadz Fariz, kedua orang tua Cindy kembali memberondongnya dengan pertanyaan yang sempat tertunda. Mereka tampak masih tak percaya sepenuhnya kalau anak semata wayang mereka yang selalu ceria itu berniat bunuh diri. Setidaknya, mereka cukup memahami bahwa Cindy bukanlah wanita yang mudah menyerah.

Di sisi lain, seorang wanita tengah mendecak kesal dan tak henti-henti mengumpat setelah melihat sebuah foto dari ruang obrolan. Terlebih pesan terakhir yang masuk dari salah satu di antara mereka.

[Kayanya udah keliatan siapa yang bakal menang taruhan.]

“Kenapa kamu selalu bisa mendapat apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu selalu mendapat pujian? Kenapa selalu kamu, bukan aku!” Wanita itu tak bisa menahan amarahnya. Dia melemparkan ponsel dengan keras hingga membentur tembok kamar. Namun, hal itu saja tak sedikit pun membuat kekesalannya mereda.

Dia melangkah menuju kursi yang berada di depan cermin rias. Meraba pipi dan menatap wajahnya sendiri. Sepotong ingatan yang kembali terbesit membuat tangannya terkepal erat. Dia melayangkan tinju hingga meja rias bergetar, tak puas, dalam satu gerakan tangannya menyapu seluruh yang ada di atas meja hingga jatuh berserakan. Ramai bunyi barang yang bersamaan berbenturan dengan lantai, seramai suara-suara kebencian di dalam kepalanya sendiri.

“Cindy gak boleh memenangkan taruhan ini! Dia, harus membayar semua yang sudah kuterima karena keberadaannya!” tekadnya yang kemudian tertawa keras saat kembali menatap bayang di cermin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status