Share

Bab 003

Cindy memandangi gerak tangan lincah pria di depannya. Axel yang memang seorang bartender, selalu dengan senang hati membuatkan cocktail kapan pun untuknya.

“Buatan kamu selalu yang terbaik.” Cindy mengedipkan matanya saat menerima gelas cocktail yang disodorkan Axel. Bibir yang dipoles lipstik merah muda tipis itu tersenyum sebelum menyesap pelan.

“Papa sama Mama gak marah kamu baru keluar rumah sakit udah keluyuran?” tanya Axel yang turut duduk. Meja panjang menjadi satu-satunya pemisah jarak di antara mereka.

“Kamu ikutan bawel seperti mereka,” komentar Cindy tanpa berniat menjawab pertanyaan Axel. Kali ini, dia hanya menyisakan es batu pada gelas.

Hubungan persahabatan yang mereka jalani sudah hampir mencapai tahun kelima. Usia Axel yang memang lebih muda dua tahun membuat Cindy kadang hanya menganggapnya seperti adik meskipun memiliki wajah tampan dan juga hampir seluruh kriteria pasangan idaman.

“Jangan berlebihan. Kalau mabuk, menyebut namaku saja kamu tak pernah benar,” tegur Axel setengah bercanda.

Cindy hanya menanggapinya dengan tawa kecil. Walau menegur, seperti biasa, Axel tak menolak ketika dia kembali meminta dibuatkan segelas cocktail.

“Agnes mengajakku bertaruh untuk mendapatkan hati Ustadz Fariz. Itu, ustadz muda yang namanya sedang naik daun karena dakwah-dakwah yang mudah dipahami orang bodoh sekali pun,” ujar Cindy.

Mendengar hal itu, Axel tak bisa menyembunyikan keterkejutan tiba-tiba menjatuhkan Cindker cocktail. “Maaf, tanganku sedikit licin,” alasannya gegas mengambil kembali.

Cindy sedikit merasa aneh, karena yang dia tahu selama ini Axel tak pernah lagi berbuat kesalahan seperti pertama kali bekerja menjadi bartender. Namun, dia memilih untuk mencoba memakluminya.

“Lalu, bagaimana nanti rencana kamu mendekatinya? Apa sudah dipikirkan?”

“Belum terpikir. Kalau aku meminta bantuan nanti, apa kamu gak keberatan?” tanya Cindy.

“Tentu.” Axel segera menganggup dengan tegas. “Kira-kira, apa yang membuat kamu tertarik menerima taruhan itu?”

“Apa, ya?” Cindy bergumam, pandangannya bergerak ke atas dengan kedua kening yang bertaut. Setelah sejenak berpikir dia kembali berucap, “tantangan?”

“Kupikir karena ustadz itu tampan,” gerutu Axel.        

“Dia emang tampan sih, tapi kalau dipikir-pikir … dia menarik juga. Baru kali ini ada pria yang sama sekali gak membalas tatapanku.” Cindy mendecak sebal.

“Kamu tahu, yang namanya menatap atau memandang lawan jenis itu juga bisa jadi dosa, kan?” jelas Axel.

Cindy yang mendengarnya seketika tertawa keras. Di sisa-sisa tawa yang belum mereda, dia menatap Axel dengan mata berair. “Sejak kapan kamu tahu hal begituan?” ledeknya.

“Ya, gini-gini dulu pernah diajarin agama dikit-dikit,” kilah Axel yang malah membuat Cindy kembali tertawa.

Selama beberapa jam, yang mereka lakukan hanya seputar beberapa percakapan dan candaan ringan. Cindy yang mulai dikuasai pengaruh alkohol sudah tak lagi meminta dibuatkan, melainkan meneguk langsung vodka dari botolnya. Semakin lama, wajahnya semakin memerah dan bicaranya pun mulai tak jelas.

Axel hanya memangku dagu dengan tangan kanannya, mengamati setiap ekspresi wajah Cindy. Mengamati setiap kedipan mata, gerak bibir yang sekecil apa pun itu. Dia tersentak saat Cindy yang tiba-tiba bangkit berdiri dari kursi dengan cepat melayangkan kecupan di bibir.

Hati-hati, Axel menyelipkan anak rambut pada belakang telinga Cindy setelah kecupan singkat itu diakhiri. Sepasang mata yang memakai soflens berwarna amber itu tampak sayu seiring ditariknya seulas senyum kecil.

“Mau istirahat? Pasti menginap di rumah sakit itu tak menyenangkan,” tawar Axel. Dia berpindah mendekati Cindy, kemudian tanpa menunggu diizinkan mengangkat tubuh langsing itu dan menggendongnya ke kamar.

Cindy yang belum sepenuhnya kehilangan kesadaran, melingkarkan tangan leher Axel. Dia menjatuhkan kepala bersandar pada dada pria itu. “Aku juga gak nyangka kalau sampai harus ke rumah sakit. Kamu tau sendiri, kalau sudah begitu Mama sama Papa gimana lebaynya,” keluhnya lagi meski sesekali pada beberapa ucapannya memelan dan tak terdengar jelas.

“Jangan tidur sebelum melepas soflens kamu,” ucap Axel lagi.

Cindy hanya tertawa mendengarnya.                        

Sesampainya di kamar, Axel merebahkan tubuh Cindy pada kasur yang dilapisi sprei hitam keabu-abuan polos. Warna yang senada dengan cat kamar minimalis miliknya. Setelah merebahkan Cindy, dia kembali ke dapur untuk mengambil case soflens dari dalam tas wanita itu.

Dengan tergesa dia ke kamar, membantu membersihkan tangan Cindy yang hendak melepas soflens. Usai itu, dia melakukan dengan meniru persis apa yang dilakukan Cindy sebelum menyimpan soflens-nya.

“Panas,” keluh Cindy.

Axel segera mengambil remot AC, mengatur agar suhu ruangan menjadi lebih dingin. Namun, Cindy malah tiba-tiba menariknya hingga remot terlepas dari genggaman. Sigap dia menjadikan kedua tangan untuk bertumpu agar tak sempat jatuh menindih Cindy.

“Maksudku bukan itu!” desaknya manja.

Mendengarnya, Axel cukup mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Cindy. Dia tersenyum kecil menatap wanita yang sifat manjanya akan bertambah berkali-kali lipat di saat mabuk seperti ini. Perlahan, dia menurunkan wajah, memutuskan jarak dengan menyatukan bibir mereka. Dengan masing-masing helai pakaian yang menjadi sisa pemisah tubuh, dia dapat merasakan bagaimana degup pada dada Cindy terasa semakin kuat.

Masih dengan sikut kanan yang bertumpu pada bantal di sisi kepala Cindy, Axel mulai membelai lembut rambut wanita itu dengan tangan kirinya. Hangat deru napasnya mulai menggebu-gebu saat Cindy dengan agresif membalas lumatan.

Cindy melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Axel, sekaligus sengaja menahan agar pria itu tak bisa melepaskan diri.

“Cind,” gumam Axel sesaat kembali memundurkan kepalanya.

“Hm,” sahut Cindy yang masih berpejam.

“Bukan sekarang waktunya. Tidurlah, istirahat!” bisik Axel pelan kemudian mengecup singkat kening Cindy.

Cindy menolak melepaskan dan terus membusungkan dadanya.

“Nanti. Aku janji,” bujuk Axel membuang pandangan, berusaha bertahan untuk tetap tak tergoda meski kaos tipis yang dipakai Cindy menampakkan jelas puting dadanya yang mengeras. Namun, merasa tak juga disetujui, Axel terpaksa menggerakkan tangan kirinya menuju kedua paha Cindy, kemudian menekankan jari pada area sensitif beberapa kali hingga wanita itu melenguh dan melonggarkan pelukannya.

Mendapat kesempatan, Axel segera melepaskan diri beralih ke sisi kanan Cindy dan berbaring. “Maaf, Cind,” ucapnya masih dengan tatapan sendu.

Cindy merajuk, berbaring memunggunginya. Tapi tak lama setelahnya, benar-benar terlelap cukup nyenyak. Merasakan napas wanita itu sudah lebih teratur pertanda telah tertidur, baru Axel bangkit dan menarik selimut menutupi tubuh Cindy. Axel duduk bersandar, tangan kanannya membelai pelan rambut panjang yang dua bulan terakhir ini diwarnai pemiliknya menjadi merah maroon.

“Cind, apa pandanganmu terhadapku akan berubah kalau kita melakukannya?” tanya Axel pelan meski tahu Cindy sama sekali tak mendengar apalagi akan memberikan jawaban.

“Kadang, aku ingin perasaanku seperti cocktail yang dapat membuat kamu tertawa bahagia. Tapi, aku juga takut, kalau karena perasaanku juga kamu akan terluka, menderita apalagi rusak,” ungkapnya lagi tersenyum kecil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status