Share

Bab 005

Penulis: Asy'arie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah semalaman penuh mengumpulkan informasi tentang Ustadz Fariz, Cindy mulai memikirkan beberapa rencana. Selain telah mengetahui alamat, dia pun telah mencari tahu beberapa jadwal pengajian terbaru yang akan diisi Ustadz Fariz dalam beberapa hari ke depan. Dan, sore ini jika benar acara yang dilangsungkan hanya beberapa jam, maka tebakannya bahwa mereka akan segera bertemu pun benar.

Beberapa kali, Cindy melirik ke arah jam tangannya. Sejak sampai dan memarkirkan sepeda motor pada pinggiran jalan, dia memilih duduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang untuk menghindari sengatan matahari. Terpa angin di sekitar sedikit memberikan kesejukan, berkali-kali Cindy harus menyeka keringat yang membasahi kening.

                                                               

Saat mendengar bunyi sepeda motor yang tengah mendekat, Cindy kembali bangkit untuk memastikan. Sudah sekitar lima sepeda motor serta dua mobil yang lewat, tapi Ustadz Fariz masih tak terlihat.

Cindy tersenyum semringah saat kali ini yang dia tunggu-tunggu semakin mendekat. Sesosok pria yang memakai gamis putih serta peci, lengkap dengan sorban yang dililitkan pada leher dan menutupi kedua bahunya. Dia merapikan rambut sejenak, saat sepeda motor yang dilajukan Ustadz Fariz semakin mencapainya, dia berlari ke tengah jalan dan merentangkan kedua tangan.

“Stooop!” teriaknya sengaja berdiri menghalangi seiring derit rem yang ditarik mendadak oleh pengendara motor tersebut.

Ustadz Fariz yang terkejut, menghela napas diiringi lafaz istigfar yang terus diulang. Terlebih saat menyadari sosok di depannya adalah seorang wanita dengan kaos ketat serta celana jins selutut, dia memilih tetap menunduk dan mengatur napas.

Melihat hal itu, Cindy tertawa kecil dan melangkah mendekat.

“Anda sama sekali tak menghubungi atau sekadar mengirim pesan pada saya,” keluh Cindy dengan terang-terangan.

“Saya tidak pernah berjanji akan melakukannya,” sahut Ustadz Fariz.

“Mana ponsel Anda?” tagih Cindy mengulurkan tangan tepat ke depan wajah pria yang menunduk itu.

Ustadz Fariz mengerjap, terkesiap menatap tangan kecil berkulit putih susu itu tengah menggerakkan jari-jari lentiknya.

“Cepatlah! Tangan saya pegal!” desak Cindy.

“Maaf,” tolak Ustadz Fariz sekali lagi.

Cindy mengempas napas kesal. Tak sabar, dengan cepat tangannya yang masih terulur meraih dagu Ustadz Fariz dan sedikit menarik hingga wajah itu bergerak terangkat menatapnya. “Coba pandang saya! Saya yang mengajak Anda bicara bukan berada di tanah, lantai, apalagi pijakan sepeda motor, kan?” keluhnya dengan mengedipkan mata.

Ustadz Fariz gegas menepis tangan Cindy. “Kita bukan mahram! Tidak baik berduaan apalagi bersentuhan seperti ini.”

“Bukannya yang pertama menyentuh saya itu Anda sendiri? Jadi, bagaimana kalau serahkan saja ponsel Anda agar saya bisa segera pulang?”

Ustadz Fariz terus mengulang mengucapkan istigfar, berniat menarik kembali gas sepeda motornya, tapi Cindy yang melihat hal itu segera mengerti dan berpindah berdiri tepat di depannya.

“Berhentilah membuat saya terlihat seperti seorang begal!” cecar Cindy tak sabar.

Melihat seberapa keras kepala wanita di hadapannya, setengah terpaksa Ustadz Fariz mengalah. Mengambil dan memberikan ponsel kepada Cindy. Dengan bersemangat, Cindy menyimpan nomor kemudian menelepon ponselnya sendiri.

“Seperti ini lebih mudah, kan! Kenapa gak dari tadi aja!” Cindy mengembalikan ponsel keluaran tiga tahun lalu itu kepada pemiliknya. Baru setelahnya beranjak menepi.

Ustadz Fariz segera menerima, kemudian mengucapkan salam sebelum benar-benar menarik gas sepeda motor meninggalkan Cindy. Sepanjang perjalanan dia tak henti-henti mengucap istigfar untuk mengusir tatapan sepasang mata yang sempat bertumbuk dengannya sebentar. Hari ini, setelah seorang wanita yang terus bertanya berbelit-belit bahkan pada masalah pribadi yang sama sekali tak berhubungan dengan isi pengajian. Dia lagi-lagi dipertemukan wanita yang nekat memegang wajahnya seperti Cindy.

Degup di dada pria yang terus menatap lurus pada jalanan itu benar-benar kencang sekarang.

Sedang Cindy, baru kembali menaiki sepeda motor setelah menyimpan kontak Ustadz Fariz yang dia dapatkan. Dia bercermin pada kaca spion untuk merapikan rambut serta menyeka keringat. Sekelebat bayang sisa tatap mata pria yang membulat sempurna karena terkejut itu, kembali membuatnya tertawa kecil.

Masih dengan menunduk menatap ponsel, jarinya membuka ruang obrolan grup.

[Girls, jangan lupa malam ini, ya?] Pesan dari Niken.

Cindy segera membalas, disusul beberapa pesan lain yang bernada serupa. Kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas lalu menyalakan sepeda motor dan melajukannya menuju tempat yang dijanjikan. Dia sengaja pergi ke bar lebih awal karena di sana adalah tempat Axel bekerja.

Tempat tinggal Ustadz Fariz yang bisa dibilang terletak di pinggiran kota, membuat Cindy terpaksa harus sedikit mengambil arah memutar dengan kecepatan tinggi. Dibandingkan pusat kota yang ramai, bangunan-bangunan yang ada satu sama lain lebih renggang dan berjarak. Bahkan didominasi pepohonan besar di pinggiran yang membuat jalanan terasa rindang.

Memasuki perkotaan, Cindy dengan cepat merasakan perubahan suasana. Dari yang semula tenang dan sejuk, menjadi lebih pengap karena banyaknya lalu lalang sepeda motor. Cindy berbelok ke arah selatan, setelah melewati sebuah hotel bintang lima serta pusat perbelanjaan terbesar di kota, dia bisa melihat bar yang menjadi tujuan.

Kedatangannya berpapasan dengan Axel yang tengah memarkir sepeda motornya.

“Baru mau buka? Aku ada janji sama temen-temen, kalau pulang nanggung. Nunggu di sini sampe malam gak masalah, kan?” tanya Cindy.

Axel segera mengiyakan, dan sesuai janji Cindy takkan mengganggu aktivitas bar yang sedang bersiap melewati malam panjangnya itu. Hingga senja dengan cepat digantikan gelapnya malam, satu per satu orang yang berdatangan mulai membuat suasana terasa ramai. Cindy masih berkutat dengan ponsel untuk memantau pesan dari teman-temannya. Tak hanya satu atau dua kali dia harus menolak pria-pria yang mengajak minum bersama.

Keempat sahabatnya datang hampir di waktu yang bersamaan. Sedang cocktail di gelas Cindy telah berkurang setengahnya.

“Curang minum duluan!” gerutu Indah.

“Kalian kelamaan datangnya,” sahut Cindy yang mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat memanggil Axel.

Setelah pesanan beberapa cocktail untuk mereka diberikan, barulah percakapan dimulai.

“Gimana perkembangannya? Udah hari kedua, kan?” tanya Agnes tak sabar. Dia sengaja menghitung waktu taruhan sehari setelah disepakati.

“Apa tadi aku keliatan banget nanya berlebihan, ya? Tapi, kalau bukan begitu, kapan lagi aku bisa nanya langsung,” keluh Reni tak menanggapi pertanyaan Agnes.

“Aku baru follow Minsta-nya, belum difollback juga.” Indah lebih terlihat tak bersemangat.

“Memangnya kamu ngapain, sih?” Niken penasaran dan menatap Reni.

“Aku pergi ikut kajian Ustadz Fariz. Khilaf nanya kriteria istrinya kaya gimana.” Reni menjatuhkan kepalanya pada meja hingga gelas-gelas yang ada di atasnya bergetar.

Mendengar hal itu, keempat sahabatnya sontak tertawa keras. Meski keras, suara tawa mereka tersamarkan oleh musik yang diputar.

“Eh, biasanya kalau lagi pengajian bakal direkam trus video-nya diunggah, kan? Aku penasaran, bagian Reni nanya bakal dipotong enggak, ya?” ledek Indah yang mendadak berubah sembilan puluh derajat dibanding saat mendengar pertanyaan Agnes.

“Hwaaa!” Reni mengentak-entakkan kakinya di lantai dengan sebal.

“Lagian, kenapa gak cari kesempatan buat ketemu berdua, sih?” timpal Cindy yang masih tertawa kecil melihat tingkah Reni seperti anak kecil sedang tantrum karena menginginkan gula-gula kapas.

“Caranya?” Reni mengangkat kembali kepalanya, meski dengan dagu yang masih berpangku pada meja.

Cindy mengedikkan kedua bahu acuh. “Aku udah dapat nomor dia,” ucapnya dengan bangga.

“Wah, udah jelas sekarang aku bakal dukung Cindy buat menangin taruhan nantinya!” simpul sosok yang memang sudah akrab dengan Cindy sejak masih SD tersebut. Senyumnya, bertolak belakang dengan kepalan tangan geram yang dia sembunyikan di bawah meja.

Bab terkait

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 006

    Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 007

    “Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 008

    Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 009

    Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 010

    Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 011

    Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 012

    Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 013

    Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu

Bab terbaru

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 014

    Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 013

    Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 012

    Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 011

    Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 010

    Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 009

    Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 008

    Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 007

    “Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane

  • Pernikahanku yang Sempurna   Bab 006

    Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko

DMCA.com Protection Status