Share

Bab 005

Setelah semalaman penuh mengumpulkan informasi tentang Ustadz Fariz, Cindy mulai memikirkan beberapa rencana. Selain telah mengetahui alamat, dia pun telah mencari tahu beberapa jadwal pengajian terbaru yang akan diisi Ustadz Fariz dalam beberapa hari ke depan. Dan, sore ini jika benar acara yang dilangsungkan hanya beberapa jam, maka tebakannya bahwa mereka akan segera bertemu pun benar.

Beberapa kali, Cindy melirik ke arah jam tangannya. Sejak sampai dan memarkirkan sepeda motor pada pinggiran jalan, dia memilih duduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang untuk menghindari sengatan matahari. Terpa angin di sekitar sedikit memberikan kesejukan, berkali-kali Cindy harus menyeka keringat yang membasahi kening.

                                                               

Saat mendengar bunyi sepeda motor yang tengah mendekat, Cindy kembali bangkit untuk memastikan. Sudah sekitar lima sepeda motor serta dua mobil yang lewat, tapi Ustadz Fariz masih tak terlihat.

Cindy tersenyum semringah saat kali ini yang dia tunggu-tunggu semakin mendekat. Sesosok pria yang memakai gamis putih serta peci, lengkap dengan sorban yang dililitkan pada leher dan menutupi kedua bahunya. Dia merapikan rambut sejenak, saat sepeda motor yang dilajukan Ustadz Fariz semakin mencapainya, dia berlari ke tengah jalan dan merentangkan kedua tangan.

“Stooop!” teriaknya sengaja berdiri menghalangi seiring derit rem yang ditarik mendadak oleh pengendara motor tersebut.

Ustadz Fariz yang terkejut, menghela napas diiringi lafaz istigfar yang terus diulang. Terlebih saat menyadari sosok di depannya adalah seorang wanita dengan kaos ketat serta celana jins selutut, dia memilih tetap menunduk dan mengatur napas.

Melihat hal itu, Cindy tertawa kecil dan melangkah mendekat.

“Anda sama sekali tak menghubungi atau sekadar mengirim pesan pada saya,” keluh Cindy dengan terang-terangan.

“Saya tidak pernah berjanji akan melakukannya,” sahut Ustadz Fariz.

“Mana ponsel Anda?” tagih Cindy mengulurkan tangan tepat ke depan wajah pria yang menunduk itu.

Ustadz Fariz mengerjap, terkesiap menatap tangan kecil berkulit putih susu itu tengah menggerakkan jari-jari lentiknya.

“Cepatlah! Tangan saya pegal!” desak Cindy.

“Maaf,” tolak Ustadz Fariz sekali lagi.

Cindy mengempas napas kesal. Tak sabar, dengan cepat tangannya yang masih terulur meraih dagu Ustadz Fariz dan sedikit menarik hingga wajah itu bergerak terangkat menatapnya. “Coba pandang saya! Saya yang mengajak Anda bicara bukan berada di tanah, lantai, apalagi pijakan sepeda motor, kan?” keluhnya dengan mengedipkan mata.

Ustadz Fariz gegas menepis tangan Cindy. “Kita bukan mahram! Tidak baik berduaan apalagi bersentuhan seperti ini.”

“Bukannya yang pertama menyentuh saya itu Anda sendiri? Jadi, bagaimana kalau serahkan saja ponsel Anda agar saya bisa segera pulang?”

Ustadz Fariz terus mengulang mengucapkan istigfar, berniat menarik kembali gas sepeda motornya, tapi Cindy yang melihat hal itu segera mengerti dan berpindah berdiri tepat di depannya.

“Berhentilah membuat saya terlihat seperti seorang begal!” cecar Cindy tak sabar.

Melihat seberapa keras kepala wanita di hadapannya, setengah terpaksa Ustadz Fariz mengalah. Mengambil dan memberikan ponsel kepada Cindy. Dengan bersemangat, Cindy menyimpan nomor kemudian menelepon ponselnya sendiri.

“Seperti ini lebih mudah, kan! Kenapa gak dari tadi aja!” Cindy mengembalikan ponsel keluaran tiga tahun lalu itu kepada pemiliknya. Baru setelahnya beranjak menepi.

Ustadz Fariz segera menerima, kemudian mengucapkan salam sebelum benar-benar menarik gas sepeda motor meninggalkan Cindy. Sepanjang perjalanan dia tak henti-henti mengucap istigfar untuk mengusir tatapan sepasang mata yang sempat bertumbuk dengannya sebentar. Hari ini, setelah seorang wanita yang terus bertanya berbelit-belit bahkan pada masalah pribadi yang sama sekali tak berhubungan dengan isi pengajian. Dia lagi-lagi dipertemukan wanita yang nekat memegang wajahnya seperti Cindy.

Degup di dada pria yang terus menatap lurus pada jalanan itu benar-benar kencang sekarang.

Sedang Cindy, baru kembali menaiki sepeda motor setelah menyimpan kontak Ustadz Fariz yang dia dapatkan. Dia bercermin pada kaca spion untuk merapikan rambut serta menyeka keringat. Sekelebat bayang sisa tatap mata pria yang membulat sempurna karena terkejut itu, kembali membuatnya tertawa kecil.

Masih dengan menunduk menatap ponsel, jarinya membuka ruang obrolan grup.

[Girls, jangan lupa malam ini, ya?] Pesan dari Niken.

Cindy segera membalas, disusul beberapa pesan lain yang bernada serupa. Kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas lalu menyalakan sepeda motor dan melajukannya menuju tempat yang dijanjikan. Dia sengaja pergi ke bar lebih awal karena di sana adalah tempat Axel bekerja.

Tempat tinggal Ustadz Fariz yang bisa dibilang terletak di pinggiran kota, membuat Cindy terpaksa harus sedikit mengambil arah memutar dengan kecepatan tinggi. Dibandingkan pusat kota yang ramai, bangunan-bangunan yang ada satu sama lain lebih renggang dan berjarak. Bahkan didominasi pepohonan besar di pinggiran yang membuat jalanan terasa rindang.

Memasuki perkotaan, Cindy dengan cepat merasakan perubahan suasana. Dari yang semula tenang dan sejuk, menjadi lebih pengap karena banyaknya lalu lalang sepeda motor. Cindy berbelok ke arah selatan, setelah melewati sebuah hotel bintang lima serta pusat perbelanjaan terbesar di kota, dia bisa melihat bar yang menjadi tujuan.

Kedatangannya berpapasan dengan Axel yang tengah memarkir sepeda motornya.

“Baru mau buka? Aku ada janji sama temen-temen, kalau pulang nanggung. Nunggu di sini sampe malam gak masalah, kan?” tanya Cindy.

Axel segera mengiyakan, dan sesuai janji Cindy takkan mengganggu aktivitas bar yang sedang bersiap melewati malam panjangnya itu. Hingga senja dengan cepat digantikan gelapnya malam, satu per satu orang yang berdatangan mulai membuat suasana terasa ramai. Cindy masih berkutat dengan ponsel untuk memantau pesan dari teman-temannya. Tak hanya satu atau dua kali dia harus menolak pria-pria yang mengajak minum bersama.

Keempat sahabatnya datang hampir di waktu yang bersamaan. Sedang cocktail di gelas Cindy telah berkurang setengahnya.

“Curang minum duluan!” gerutu Indah.

“Kalian kelamaan datangnya,” sahut Cindy yang mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat memanggil Axel.

Setelah pesanan beberapa cocktail untuk mereka diberikan, barulah percakapan dimulai.

“Gimana perkembangannya? Udah hari kedua, kan?” tanya Agnes tak sabar. Dia sengaja menghitung waktu taruhan sehari setelah disepakati.

“Apa tadi aku keliatan banget nanya berlebihan, ya? Tapi, kalau bukan begitu, kapan lagi aku bisa nanya langsung,” keluh Reni tak menanggapi pertanyaan Agnes.

“Aku baru follow Minsta-nya, belum difollback juga.” Indah lebih terlihat tak bersemangat.

“Memangnya kamu ngapain, sih?” Niken penasaran dan menatap Reni.

“Aku pergi ikut kajian Ustadz Fariz. Khilaf nanya kriteria istrinya kaya gimana.” Reni menjatuhkan kepalanya pada meja hingga gelas-gelas yang ada di atasnya bergetar.

Mendengar hal itu, keempat sahabatnya sontak tertawa keras. Meski keras, suara tawa mereka tersamarkan oleh musik yang diputar.

“Eh, biasanya kalau lagi pengajian bakal direkam trus video-nya diunggah, kan? Aku penasaran, bagian Reni nanya bakal dipotong enggak, ya?” ledek Indah yang mendadak berubah sembilan puluh derajat dibanding saat mendengar pertanyaan Agnes.

“Hwaaa!” Reni mengentak-entakkan kakinya di lantai dengan sebal.

“Lagian, kenapa gak cari kesempatan buat ketemu berdua, sih?” timpal Cindy yang masih tertawa kecil melihat tingkah Reni seperti anak kecil sedang tantrum karena menginginkan gula-gula kapas.

“Caranya?” Reni mengangkat kembali kepalanya, meski dengan dagu yang masih berpangku pada meja.

Cindy mengedikkan kedua bahu acuh. “Aku udah dapat nomor dia,” ucapnya dengan bangga.

“Wah, udah jelas sekarang aku bakal dukung Cindy buat menangin taruhan nantinya!” simpul sosok yang memang sudah akrab dengan Cindy sejak masih SD tersebut. Senyumnya, bertolak belakang dengan kepalan tangan geram yang dia sembunyikan di bawah meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status