Sejak beberapa jam lalu, Reni sibuk berselancar pada salah satu situs pusat perbelanjaan online terbesar. Bagaimanapun memikirkan atau menyangkal, dia tak bisa berbohong kalau tergiur pada hadiah yang ditawarkan Agnes. Dia pun mulai merasa gusar karena Cindy telah mengambil langkah lebih awal.
Setelah mengunjungi toko-toko yang memiliki rate tinggi, baru dia menemukan apa yang dicari. Sebuah gamis putih yang tetap terlihat menawan meski tak terlalu dihiasi banyak pernak-pernik. Reni berencana untuk memulai aksi dengan mengikuti dan menghadiri setiap acara dakwah dari Ustadz Fariz agar memiliki alasan mendekatinya.
Dia segera memesan beberapa lembar setelan gamis, bahkan sengaja memilih opsi pengiriman express karena sebelumnya telah berselancar untuk mendapat informasi kapan dan di mana ustadz muda itu akan kembali berdakwah.
Tak bisa dipungkiri, status Ustadz Fariz yang diketahui masih melajang pun membuat benih-benih harapan itu tumbuh dalam hatinya. Dia yang selama ini tak jarang menonton dan mendengarkan, bisa membayangkan bagaimana jika dapat meraih hati bahkan menikahinya. Seseorang berpendidikan bahkan dengan pengetahuan agama seluas itu, pastilah akan menghormati dan meratukan istri sebagaimana isi-isi ceramahnya selama ini. Selain itu, kesuksesannya pun pasti akan membuat banyak wanita iri.
Tanpa sadar, Reni memekik girang dan terus tersenyum dengan banyak angan-angan yang berputar di kepalanya.
Usai memesan, Reni segera membayarnya dan beralih pada ruang obrolan grup mereka.
[Mana nih Cindy? Dari kemaren sama sekali gak keliatan baca apalagi balas pesan kita?] Pesan dari Agnes diiringi sebuah stiker kucing yang tengah tertawa.
[Jangan-jangan udah berduaan sama ustadz muda itu?] balas Niken sengaja memprovokasi.
Indah hanya membalas pesan iseng kedua sahabatnya itu dengan emoticon tertawa.
[Mustahil deh. Ustadz Fariz itu pinter agama, masa langsung mau aja dirayu?] kelit Reni sebal.
[Ye, siapa tau aslinya orang, kan? Semua juga bisa menipu lewat sosial media?] Tak lama, Agnes sudah mengirimkan balasan berisi ledekan.
[Nanti juga ketauan kedok aslinya kalau salah satu dari kita berhasil ngerayu dia.] Diikuti balasan dari Indah yang tengah membenarkan Agnes.
Reni mendecak, jarinya bergerak cepat mengetik balasan. Sejak taruhan dimulai, di antara mereka, dialah yang merasa paling mengenali karena menjadi satu-satunya yang mengikuti beberapa kajian Ustadz Fariz.
[Tentu saja dia berbeda sama pria-pria buaya yang modal cinta tapi ujung-ujungnya brengsek.] Usai terkirim, Reni menutup ruang obrolan mereka dan mengempaskan napas kasar. Sangat berbeda dengan respon Agnes, Niken serta Indah yang malah menertawakan sikapnya setelah membaca pesan itu.
Di tempat lain, sore mulai menjelang saat Cindy mulai terbangun. Dia mengerjap-ngerjap mengumpulkan kesadaran, lalu pandangannya mendapati Axel yang tertidur dalam posisi duduk bersandar di sisi kanan. Tangan pria itu masih berada seperti posisi terakhir saat tengah membelai kepalanya.
“Axel?” panggilnya hati-hati.
Pria yang dipanggil itu seperti tak benar-benar terlelap karena tampak segera membuka mata perlahan. Axel mengalih tangannya dari pucuk kepala Cindy, mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak kemudian menggerakkan leher hingga sendi-sendinya terdengar berbunyi. Walau merasa pegal pada beberapa bagian tubuh, dia tetap melayangkan senyum saat menatap Cindy.
“Berapa lama aku ketiduran?” tanya Cindy.
“Tak terlalu lama. Apa istirahatmu sudah cukup? Apa kamu sudah merasa segar?” Axel balas bertanya.
Cindy bangkit dan turut duduk. “Aku mengigau yang aneh-aneh, gak?” desaknya menatap lekat pada Axel, berusaha tak melewatkan sedikit pun ekspresi pria itu agar bisa segera menebak jika sedang dibohongi.
“Padahal aku benar-benar penasaran bagaimana kamu kalau tidur mengigau,” ejek Axel.
Cindy mencebik, kedua pipinya menggembung dengan bibir mengerucut pertanda merajuk karena Axel terkesan sama sekali tak serius saat menjawab.
“Kalau saat tidur kamu mengigau aneh-aneh, lebih baik jangan sampai mabuk sama pria lain,” pesan Axel yang mendorong pelan kening Cindy dengan jari telunjuknya.
Axel segera bangkit tanpa memedulikan Cindy yang masih bersungut sebal di kasur. Melihat Axel yang sudah melangkah hampir mencapai pintu kamar, Cindy tergesa turut berdiri dan menyusul. Namun, rasa pusing yang masih tersisa di dalam kepala malah membuatnya terhuyung. Menyadari hal itu, Axel dengan sigap menangkap Cindy sebelum terjatuh.
“Pelan-pelan! Aku bisa langsung jalan karena sama sekali gak mabuk!” tegur Axel.
“Kamu kenapa sih gak pernah temenin aku minum? Sepi tau minum sendirian!” Cindy cepat mendorong Axel dan berusaha berdiri tegak.
“Kalau aku minum, siapa yang akan membuatkan kamu cocktail spesial? Ya, sudah. Aku duluan. Kamu bisa di kamar aja kalau masih pusing. Nanti kuantarkan minuman hangat.” Axel berbalik membuka pintu, meneruskan langkahnya meninggalkan kamar.
‘Aku gak mau mabuk apalagi sampai melewati batasku, Cind,’ gumam Axel yang mempercepat langkahnya menuju kamar mandi.
Selesai mencuci muka, Axel memanaskan air pada teko listrik. Dia menyiapkan dua gelas air lemon hangat, serta makanan potato wedges karena mengetahui seharian ini Cindy sama sekali tak terlihat mengisi perutnya.
Axel terkejut saat Cindy telah duduk pada kursi di depan meja makan sambil menatap ke arahnya. Cindy sendiri tertawa kecil melihat respon pria yang tengah memegang nampan itu. Terkadang, Cindy tak bisa memungkiri kalau kagum pada pria multitalenta dan cekatan seperti Axel. Seluruh pekerjaan yang dilakukan kedua tangan itu selalu tampak berhasil secara sempurna.
“Sudah kubilang tunggu di kamar.” Axel memindahkan kedua gelas serta piring pada meja.
“Terima kasih, tapi ini sudah cukup,” sahut Cindy segera mengambil gelas dan menyesap pelan minumannya.
Axel turut duduk berseberangan dengan Cindy, hanya tersenyum kemudian mengikuti gerakan wanita itu. Bahkan sekali lagi, dia merasa takjub pada kecantikan serupa bidadari yang tak pernah memudar dalam keadaan seperti apa pun.
Cindy meletakkan kembali gelasnya, mengalihkan pandangan pada jam dinding digital yang terpasang pada salah satu sisi ruangan. Dia kemudian meminta tolong agar Axel mengambilkan tas yang segera dituruti.
Selain mengeluarkan ponsel, Cindy juga mengeluarkan cermin kecil juga beberapa alat rias miliknya. Setelah berkaca, Cindy yang merasa penampilannya sedikit berantakan itu tergesa ke kamar mandi dan mencuci muka. Baru kemudian kembali pada meja di mana Axel setia menunggunya.
“Kamu tetap cantik, jadi isi saja perut kamu terlebih dahulu,” puji Axel memahami kalau Cindy adalah wanita yang sangat hati-hati dalam urusan penampilan.
“Kenapa gak bilang sih kalau rambutku berantakan?” protes Cindy.
“Kamu mau sisiran, aku yang nyuapin makanan? Atau, mau kusisirin biar bisa makan dengan tenang?”
Cindy tak memilih satu pun tawaran itu, dan mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Melihat hal itu, Axel memindahkan kursinya ke sisi Cindy.
“Gak ada penolakan, Cind!” tegas Axel yang mengambil potato dan mencelupkannya pada saos mayonaise, kemudian dengan cepat menyuapkan hingga Cindy tak bisa menolak.
Cindy akhirnya menurut, bahkan hingga selesai menyisir rambut pun dia masih membiarkan Axel menyuapkan makanan. Tangannya beralih mengambil ponsel dan membuka kunci pada layar. Beberapa pesan dari ruang obrolan grup yang sejak kemarin diabaikan, membuatnya penasaran untuk membuka.
Sejenak, dia tertawa kecil karena respon heboh sahabat-sahabatnya tentang foto Ustadz Fariz. Semakin ditelusuri, tawanya kembali pecah saat membaca perdebatan terakhir di sana.
“Padahal, mau sebaik apa pun pria pasti ada sisi brengseknya juga,” komentar Cindy dengan ucapan yang sebenarnya ingin dia tuliskan melalui pesan. Dia tak menyadari, bahwa pria yang duduk di sisinya tengah tersenyum masam setelah mendengar.
Setelah semalaman penuh mengumpulkan informasi tentang Ustadz Fariz, Cindy mulai memikirkan beberapa rencana. Selain telah mengetahui alamat, dia pun telah mencari tahu beberapa jadwal pengajian terbaru yang akan diisi Ustadz Fariz dalam beberapa hari ke depan. Dan, sore ini jika benar acara yang dilangsungkan hanya beberapa jam, maka tebakannya bahwa mereka akan segera bertemu pun benar.Beberapa kali, Cindy melirik ke arah jam tangannya. Sejak sampai dan memarkirkan sepeda motor pada pinggiran jalan, dia memilih duduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang untuk menghindari sengatan matahari. Terpa angin di sekitar sedikit memberikan kesejukan, berkali-kali Cindy harus menyeka keringat yang membasahi kening.Saat mendengar bunyi sepeda motor yang tengah mendekat, Cindy kembali bangkit untuk memastikan. Sudah sekitar lima sepeda motor serta dua mobil yang lewat, tapi Ustadz Fariz masih tak terlihat.Cindy tersenyum semringah saat kali ini yang dia tunggu-tunggu semakin mendekat. Se
Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko
“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan
Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko