Share

Bab 004

Sejak beberapa jam lalu, Reni sibuk berselancar pada salah satu situs pusat perbelanjaan online terbesar. Bagaimanapun memikirkan atau menyangkal, dia tak bisa berbohong kalau tergiur pada hadiah yang ditawarkan Agnes. Dia pun mulai merasa gusar karena Cindy telah mengambil langkah lebih awal.

                                  

Setelah mengunjungi toko-toko yang memiliki rate tinggi, baru dia menemukan apa yang dicari. Sebuah gamis putih yang tetap terlihat menawan meski tak terlalu dihiasi banyak pernak-pernik. Reni berencana untuk memulai aksi dengan mengikuti dan menghadiri setiap acara dakwah dari Ustadz Fariz agar memiliki alasan mendekatinya.

Dia segera memesan beberapa lembar setelan gamis, bahkan sengaja memilih opsi pengiriman express karena sebelumnya telah berselancar untuk mendapat informasi kapan dan di mana ustadz muda itu akan kembali berdakwah.

Tak bisa dipungkiri, status Ustadz Fariz yang diketahui masih melajang pun membuat benih-benih harapan itu tumbuh dalam hatinya. Dia yang selama ini tak jarang menonton dan mendengarkan, bisa membayangkan bagaimana jika dapat meraih hati bahkan menikahinya. Seseorang berpendidikan bahkan dengan pengetahuan agama seluas itu, pastilah akan menghormati dan meratukan istri sebagaimana isi-isi ceramahnya selama ini. Selain itu, kesuksesannya pun pasti akan membuat banyak wanita iri.

Tanpa sadar, Reni memekik girang dan terus tersenyum dengan banyak angan-angan yang berputar di kepalanya.

Usai memesan, Reni segera membayarnya dan beralih pada ruang obrolan grup mereka.

[Mana nih Cindy? Dari kemaren sama sekali gak keliatan baca apalagi balas pesan kita?] Pesan dari Agnes diiringi sebuah stiker kucing yang tengah tertawa.

[Jangan-jangan udah berduaan sama ustadz muda itu?] balas Niken sengaja memprovokasi.

Indah hanya membalas pesan iseng kedua sahabatnya itu dengan emoticon tertawa.

[Mustahil deh. Ustadz Fariz itu pinter agama, masa langsung mau aja dirayu?] kelit Reni sebal.

[Ye, siapa tau aslinya orang, kan? Semua juga bisa menipu lewat sosial media?] Tak lama, Agnes sudah mengirimkan balasan berisi ledekan.

[Nanti juga ketauan kedok aslinya kalau salah satu dari kita berhasil ngerayu dia.] Diikuti balasan dari Indah yang tengah membenarkan Agnes.

Reni mendecak, jarinya bergerak cepat mengetik balasan. Sejak taruhan dimulai, di antara mereka, dialah yang merasa paling mengenali karena menjadi satu-satunya yang mengikuti beberapa kajian Ustadz Fariz.

[Tentu saja dia berbeda sama pria-pria buaya yang modal cinta tapi ujung-ujungnya brengsek.] Usai terkirim, Reni menutup ruang obrolan mereka dan mengempaskan napas kasar. Sangat berbeda dengan respon Agnes, Niken serta Indah yang malah menertawakan sikapnya setelah membaca pesan itu.

Di tempat lain, sore mulai menjelang saat Cindy mulai terbangun. Dia mengerjap-ngerjap mengumpulkan kesadaran, lalu pandangannya mendapati Axel yang tertidur dalam posisi duduk bersandar di sisi kanan. Tangan pria itu masih berada seperti posisi terakhir saat tengah membelai kepalanya.

“Axel?” panggilnya hati-hati.

Pria yang dipanggil itu seperti tak benar-benar terlelap karena tampak segera membuka mata perlahan. Axel mengalih tangannya dari pucuk kepala Cindy, mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak kemudian menggerakkan leher hingga sendi-sendinya terdengar berbunyi. Walau merasa pegal pada beberapa bagian tubuh, dia tetap melayangkan senyum saat menatap Cindy.

“Berapa lama aku ketiduran?” tanya Cindy.

“Tak terlalu lama. Apa istirahatmu sudah cukup? Apa kamu sudah merasa segar?” Axel balas bertanya.

Cindy bangkit dan turut duduk. “Aku mengigau yang aneh-aneh, gak?” desaknya menatap lekat pada Axel, berusaha tak melewatkan sedikit pun ekspresi pria itu agar bisa segera menebak jika sedang dibohongi.

“Padahal aku benar-benar penasaran bagaimana kamu kalau tidur mengigau,” ejek Axel.

Cindy mencebik, kedua pipinya menggembung dengan bibir mengerucut pertanda merajuk karena Axel terkesan sama sekali tak serius saat menjawab.

“Kalau saat tidur kamu mengigau aneh-aneh, lebih baik jangan sampai mabuk sama pria lain,” pesan Axel yang mendorong pelan kening Cindy dengan jari telunjuknya.

Axel segera bangkit tanpa memedulikan Cindy yang masih bersungut sebal di kasur. Melihat Axel yang sudah melangkah hampir mencapai pintu kamar, Cindy tergesa turut berdiri dan menyusul. Namun, rasa pusing yang masih tersisa di dalam kepala malah membuatnya terhuyung. Menyadari hal itu, Axel dengan sigap menangkap Cindy sebelum terjatuh.

“Pelan-pelan! Aku bisa langsung jalan karena sama sekali gak mabuk!” tegur Axel.

“Kamu kenapa sih gak pernah temenin aku minum? Sepi tau minum sendirian!” Cindy cepat mendorong Axel dan berusaha berdiri tegak.

“Kalau aku minum, siapa yang akan membuatkan kamu cocktail spesial? Ya, sudah. Aku duluan. Kamu bisa di kamar aja kalau masih pusing. Nanti kuantarkan minuman hangat.” Axel berbalik membuka pintu, meneruskan langkahnya meninggalkan kamar.

‘Aku gak mau mabuk apalagi sampai melewati batasku, Cind,’ gumam Axel yang mempercepat langkahnya menuju kamar mandi.

Selesai mencuci muka, Axel memanaskan air pada teko listrik. Dia menyiapkan dua gelas air lemon hangat, serta makanan potato wedges karena mengetahui seharian ini Cindy sama sekali tak terlihat mengisi perutnya.

Axel terkejut saat Cindy telah duduk pada kursi di depan meja makan sambil menatap ke arahnya. Cindy sendiri tertawa kecil melihat respon pria yang tengah memegang nampan itu. Terkadang, Cindy tak bisa memungkiri kalau kagum pada pria multitalenta dan cekatan seperti Axel. Seluruh pekerjaan yang dilakukan kedua tangan itu selalu tampak berhasil secara sempurna.

“Sudah kubilang tunggu di kamar.” Axel memindahkan kedua gelas serta piring pada meja.

“Terima kasih, tapi ini sudah cukup,” sahut Cindy segera mengambil gelas dan menyesap pelan minumannya.

Axel turut duduk berseberangan dengan Cindy, hanya tersenyum kemudian mengikuti gerakan wanita itu. Bahkan sekali lagi, dia merasa takjub pada kecantikan serupa bidadari yang tak pernah memudar dalam keadaan seperti apa pun.

Cindy meletakkan kembali gelasnya, mengalihkan pandangan pada jam dinding digital yang terpasang pada salah satu sisi ruangan. Dia kemudian meminta tolong agar Axel mengambilkan tas yang segera dituruti.

Selain mengeluarkan ponsel, Cindy juga mengeluarkan cermin kecil juga beberapa alat rias miliknya. Setelah berkaca, Cindy yang merasa penampilannya sedikit berantakan itu tergesa ke kamar mandi dan mencuci muka. Baru kemudian kembali pada meja di mana Axel setia menunggunya.

“Kamu tetap cantik, jadi isi saja perut kamu terlebih dahulu,” puji Axel memahami kalau Cindy adalah wanita yang sangat hati-hati dalam urusan penampilan.

“Kenapa gak bilang sih kalau rambutku berantakan?” protes Cindy.

“Kamu mau sisiran, aku yang nyuapin makanan? Atau, mau kusisirin biar bisa makan dengan tenang?”

Cindy tak memilih satu pun tawaran itu, dan mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya. Melihat hal itu, Axel memindahkan kursinya ke sisi Cindy.

“Gak ada penolakan, Cind!” tegas Axel yang mengambil potato dan mencelupkannya pada saos mayonaise, kemudian dengan cepat menyuapkan hingga Cindy tak bisa menolak.

Cindy akhirnya menurut, bahkan hingga selesai menyisir rambut pun dia masih membiarkan Axel menyuapkan makanan. Tangannya beralih mengambil ponsel dan membuka kunci pada layar. Beberapa pesan dari ruang obrolan grup yang sejak kemarin diabaikan, membuatnya penasaran untuk membuka.

Sejenak, dia tertawa kecil karena respon heboh sahabat-sahabatnya tentang foto Ustadz Fariz. Semakin ditelusuri, tawanya kembali pecah saat membaca perdebatan terakhir di sana.

“Padahal, mau sebaik apa pun pria pasti ada sisi brengseknya juga,” komentar Cindy dengan ucapan yang sebenarnya ingin dia tuliskan melalui pesan. Dia tak menyadari, bahwa pria yang duduk di sisinya tengah tersenyum masam setelah mendengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status