Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.
Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya. Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang. Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alkohol. Agnes mengerjap, membulatkan kedua mata lalu menyipitkannya kembali. Bibir yang dipoles lipstik berwarna fuschia itu sedikit kesulitan saat mengeja satu demi satu kata yang tertulis pada salah satu pesan masuk di ponselnya. Dia merasa huruf-huruf itu seperti berbayang, bergerak bahkan sesekali seolah menghilang. Cukup lama hingga akhirnya dia menggeram frustrasi. “Pasti kerjaan orang iseng!” umpatnya meletakkan kembali setengah mengempas pada meja. “Kamu, kan, udah punya cowoook … jadi kalau ada yang ganteng jangan lupa kasih aku satu!” protes Indah dengan suara hampir tak jelas karena terputus-putus. “Kemaren, omnya tetangga aku nyari istri. Mau?” ledek Reni. “Kamu aja sana!” Indah menginjak kaki Reni hingga wanita itu meringis. “Aku tak sabar tunggu dia habis umur. Kalau aki-aki, cepat mati bolehlah,” kekeh Reni di sela ringisannya. “Sialan!” umpat Cindy. Niken yang paling tak kuat minum di antara mereka hanya menelungkupkan wajah pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Suara-suara di sekitar terasa bercampur aduk memasuki indra pendengarannya. Cindy, Reni serta Indah sedikit terkesiap saat sesosok pria tinggi berdiri di belakang Agnes. Lampu yang bergerak acak, sesaat mengenai wajahnya secara samar. “Kenapa pesanku diabaikan? Kamu mabuk lagi?” tanya pria itu membungkuk hingga mensejajari wajah Agnes yang pias memerah. “Oooh, jadi kamu orang iseng yang kirim pesan kosong itu? Dapat nomorku dari mana?” Agnes balas bertanya karena kesulitan mengenali wajah pria di sisinya. “Pulang! Kamu sudah janji berhenti minum-minum, kan? Bilang mau ketemu teman, tapi malah minum sampai mabuk begini!” Pria itu dengan kasar menarik Agnes hingga bangkit dan membawa menjauh tanpa menghiraukan barang-barangnya yang tertinggal di meja. “Ugh!” Agnes meringis karena cengkeraman kuat pada pergelangan tangannya. “Sakit! Lepasin!” keluhnya meronta terus berusaha menarik agar bisa terlepas. Namun, tubuhnya malah terus terseret karena kekuatan pria itu jauh lebih besar. Meski seperti itu, tak ada satu pun yang berani ikut campur karena mengetahui siapa dan bagaimana kekasih Agnes. Ini bukan pertama kalinya mereka terpaksa hanya diam. Jika mengganggu, maka lampiasan amarah yang diterima Agnes akan semakin parah. Hingga sepasang kekasih itu menghilang dari kerumunan, barulah Cindy meminta Reni mengambil tas serta ponsel milik Agnes untuk disimpan. “Bisa-bisanya betah sama orang gila begitu. Kalau sudah begini, aku yang repot,” gerutu Cindy merapikan isi tas Agnes. “Tapi, kalau lama-lama sama Arvin, nyawa Agnes bakal bahaya, kan?” gumam Indah. Niken yang tak mengerti dan tak tahu apa-apa, hanya mengangkat melambaikan tangan tanpa maksud tujuan jelas. Berbeda lagi dengan Reni yang hanya menghela napas kasar. Pria seperti itulah yang dia takuti dijadikan pasangan, hingga saat diajak bertaruh untuk mendapat Ustadz Fariz, dia merasa sedikit mendapatkan harapan. “Kita bisa apa juga? Dikasih tahu kalau masih ada yang lebih baik daripada pria arogan begitu, Agnes malah marah, kan?” timpal Reni yang malah disetujui kedua sahabatnya tanpa berpikir panjang. Tiba-tiba, Cindy tersenyum girang. Setelah melihat Agnes yang diseret pulang, dia terpikir sebuah ide. “Kalian bisa pulang masing-masing, kan? Niken nanti anterin pake taksi aja!” tanyanya bersemangat. “Ya, gimana-gimana. Kita-kita masih bisa kontrol,” sahut Reni. “Kamu mau ke mana? Pulang duluan?” Indah balas bertanya. Cindy mengangguk, mengambil cermin kecil dari dalam tas untuk memastikan penampilan. Setelah memasukkan semua ke dalam tas, dia hanya menyisakan ponsel di genggaman. Saat bangkit berdiri, tak lupa dia membawakan barang milik Agnes bersamanya. “Duluan, ya? Bye!” pamitnya singkat. Langkahnya terayun menjauhi meja dengan sisa lambaian tangan yang telah diakhiri. Sebelum benar-benar keluar dari bar, Cindy dihentikan oleh Axel. “Mau menunggu aku pulang?” tanya Axel. “Aku tunggu di apartemen aja, ya?” Cindy melayangkan kecupan singkat pada pipi Axel, kemudian berjalan tergesa meninggalkan. Baru setelah keluar, Cindy mengangkat ponsel dan menghubungi satu nomor. Untuk beberapa saat, dia mendekatkan ponsel pada telinga kanan dan menunggu. Dua kali … tiga kali … panggilan baru tersambung setelah yang ke tujuh kalinya. Cindy terpaksa menahan gerutuannya dan mengatur napas. “Assala- ….” “Tolong aku! Aaaaa!” Ucapan salam dari Ustadz Fariz sengaja disela olehnya yang berteriak panik, kemudian mengakhiri panggilan sepihak. Cindy tersenyum licik memandangi layar ponsel yang masih menyala. Jika sesuai yang diharapkan, maka pria itu akan segera kembali menghubunginya. Dan, benar saja tak perlu berselang lama, panggilan dari Ustadz Fariz membuat ponselnya bergetar. “Kamu sekarang ada di mana?” tanya Ustadz Fariz tanpa berbasa-basi. “A-aku ada di ….” Cindy menjeda sesaat kalimatnya dengan napas terengah-engah, baru kemudian menyebutkan sebuah lokasi. Lalu, sekali lagi dia sengaja mengakhiri sebelum mendengar jawaban dari Ustadz Fariz. Untuk memastikan, Cindy pun mulai melangkah pada lokasi yang dia maksud di telepon. Dia sengaja berjalan dengan sedikit tergesa agar mendapat keringat cukup banyak, pun agar tak kesulitan untuk berpura-pura kelelahan di depan penerima panggilan sebelumnya itu. Sebuah gang kecil yang terletak tak terlalu jauh dari bar itu memang sepi. Tak jarang pula, dijadikan oleh pemuda-pemuda menghabiskan malam dengan botol-botol minuman murahan kalau malam telah larut dan patroli polisi berakhir. Saat sampai, Cindy menyentuh dahi dan merasakan basah dari keringatnya. Melihat sekitar yang sedang sepi, dia menyandarkan punggung pada tembok pagar tinggi kemudian perlahan tubuhnya merosot hingga berjongkok. Dia menengadah, di tengah kota yang penuh gemerlap lampu-lampu seperti ini akan sangat sulit menikmati indahnya bintang-bintang di langit. Cukup lama hingga terdengar suara sepeda motor, Cindy gegas menyembunyikan wajah pada kedua lutut yang dia peluk. Berpura-pura gemetar, meski tak sepenuhnya mengetahui siapakah orang yang datang itu. Seorang pria yang tergesa menghentikan sepeda motor, turun dan melangkah mendekat. Tanpa berpikir panjang dia melepaskan jaket yang dipakai, berniat memberikannya pada sosok wanita dengan pakaian terakhir yang dilihat tadi sore. Ada rasa iba sekaligus heran. Di matanya, Cindy terlihat begitu nekat dan seolah tak pernah berpikir panjang. Namun … yang meringkuk di hadapannya kali ini, terlihat hanya seperti seorang wanita yang sangat rapuh, ketakutan dan lemah.“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu
Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan
Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan
Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko