Share

Bab 006

Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.

Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.

Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.

Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alkohol.

Agnes mengerjap, membulatkan kedua mata lalu menyipitkannya kembali. Bibir yang dipoles lipstik berwarna fuschia itu sedikit kesulitan saat mengeja satu demi satu kata yang tertulis pada salah satu pesan masuk di ponselnya. Dia merasa huruf-huruf itu seperti berbayang, bergerak bahkan sesekali seolah menghilang. Cukup lama hingga akhirnya dia menggeram frustrasi.

“Pasti kerjaan orang iseng!” umpatnya meletakkan kembali setengah mengempas pada meja.

“Kamu, kan, udah punya cowoook … jadi kalau ada yang ganteng jangan lupa kasih aku satu!” protes Indah dengan suara hampir tak jelas karena terputus-putus.

“Kemaren, omnya tetangga aku nyari istri. Mau?” ledek Reni.

“Kamu aja sana!” Indah menginjak kaki Reni hingga wanita itu meringis.

“Aku tak sabar tunggu dia habis umur. Kalau aki-aki, cepat mati bolehlah,” kekeh Reni di sela ringisannya.

“Sialan!” umpat Cindy.

Niken yang paling tak kuat minum di antara mereka hanya menelungkupkan wajah pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Suara-suara di sekitar terasa bercampur aduk memasuki indra pendengarannya.

Cindy, Reni serta Indah sedikit terkesiap saat sesosok pria tinggi berdiri di belakang Agnes. Lampu yang bergerak acak, sesaat mengenai wajahnya secara samar.

“Kenapa pesanku diabaikan? Kamu mabuk lagi?” tanya pria itu membungkuk hingga mensejajari wajah Agnes yang pias memerah.

“Oooh, jadi kamu orang iseng yang kirim pesan kosong itu? Dapat nomorku dari mana?” Agnes balas bertanya karena kesulitan mengenali wajah pria di sisinya.

“Pulang! Kamu sudah janji berhenti minum-minum, kan? Bilang mau ketemu teman, tapi malah minum sampai mabuk begini!” Pria itu dengan kasar menarik Agnes hingga bangkit dan membawa menjauh tanpa menghiraukan barang-barangnya yang tertinggal di meja.

“Ugh!” Agnes meringis karena cengkeraman kuat pada pergelangan tangannya. “Sakit! Lepasin!” keluhnya meronta terus berusaha menarik agar bisa terlepas. Namun, tubuhnya malah terus terseret karena kekuatan pria itu jauh lebih besar.

Meski seperti itu, tak ada satu pun yang berani ikut campur karena mengetahui siapa dan bagaimana kekasih Agnes. Ini bukan pertama kalinya mereka terpaksa hanya diam. Jika mengganggu, maka lampiasan amarah yang diterima Agnes akan semakin parah.

Hingga sepasang kekasih itu menghilang dari kerumunan, barulah Cindy meminta Reni mengambil tas serta ponsel milik Agnes untuk disimpan.

“Bisa-bisanya betah sama orang gila begitu. Kalau sudah begini, aku yang repot,” gerutu Cindy merapikan isi tas Agnes.

“Tapi, kalau lama-lama sama Arvin, nyawa Agnes bakal bahaya, kan?” gumam Indah.

Niken yang tak mengerti dan tak tahu apa-apa, hanya mengangkat melambaikan tangan tanpa maksud tujuan jelas.

Berbeda lagi dengan Reni yang hanya menghela napas kasar. Pria seperti itulah yang dia takuti dijadikan pasangan, hingga saat diajak bertaruh untuk mendapat Ustadz Fariz, dia merasa sedikit mendapatkan harapan.

“Kita bisa apa juga? Dikasih tahu kalau masih ada yang lebih baik daripada pria arogan begitu, Agnes malah marah, kan?” timpal Reni yang malah disetujui kedua sahabatnya tanpa berpikir panjang.

Tiba-tiba, Cindy tersenyum girang. Setelah melihat Agnes yang diseret pulang, dia terpikir sebuah ide. “Kalian bisa pulang masing-masing, kan? Niken nanti anterin pake taksi aja!” tanyanya bersemangat.

“Ya, gimana-gimana. Kita-kita masih bisa kontrol,” sahut Reni.

“Kamu mau ke mana? Pulang duluan?” Indah balas bertanya.

Cindy mengangguk, mengambil cermin kecil dari dalam tas untuk memastikan penampilan. Setelah memasukkan semua ke dalam tas, dia hanya menyisakan ponsel di genggaman. Saat bangkit berdiri, tak lupa dia membawakan barang milik Agnes bersamanya.

“Duluan, ya? Bye!” pamitnya singkat. Langkahnya terayun menjauhi meja dengan sisa lambaian tangan yang telah diakhiri.

Sebelum benar-benar keluar dari bar, Cindy dihentikan oleh Axel. “Mau menunggu aku pulang?” tanya Axel.

“Aku tunggu di apartemen aja, ya?” Cindy melayangkan kecupan singkat pada pipi Axel, kemudian berjalan tergesa meninggalkan.

Baru setelah keluar, Cindy mengangkat ponsel dan menghubungi satu nomor. Untuk beberapa saat, dia mendekatkan ponsel pada telinga kanan dan menunggu. Dua kali … tiga kali … panggilan baru tersambung setelah yang ke tujuh kalinya. Cindy terpaksa menahan gerutuannya dan mengatur napas.

“Assala- ….”

“Tolong aku! Aaaaa!” Ucapan salam dari Ustadz Fariz sengaja disela olehnya yang berteriak panik, kemudian mengakhiri panggilan sepihak.

Cindy tersenyum licik memandangi layar ponsel yang masih menyala. Jika sesuai yang diharapkan, maka pria itu akan segera kembali menghubunginya. Dan, benar saja tak perlu berselang lama, panggilan dari Ustadz Fariz membuat ponselnya bergetar.

“Kamu sekarang ada di mana?” tanya Ustadz Fariz tanpa berbasa-basi.

“A-aku ada di ….” Cindy menjeda sesaat kalimatnya dengan napas terengah-engah, baru kemudian menyebutkan sebuah lokasi. Lalu, sekali lagi dia sengaja mengakhiri sebelum mendengar jawaban dari Ustadz Fariz.

Untuk memastikan, Cindy pun mulai melangkah pada lokasi yang dia maksud di telepon. Dia sengaja berjalan dengan sedikit tergesa agar mendapat keringat cukup banyak, pun agar tak kesulitan untuk berpura-pura kelelahan di depan penerima panggilan sebelumnya itu.

Sebuah gang kecil yang terletak tak terlalu jauh dari bar itu memang sepi. Tak jarang pula, dijadikan oleh pemuda-pemuda menghabiskan malam dengan botol-botol minuman murahan kalau malam telah larut dan patroli polisi berakhir.

Saat sampai, Cindy menyentuh dahi dan merasakan basah dari keringatnya. Melihat sekitar yang sedang sepi, dia menyandarkan punggung pada tembok pagar tinggi kemudian perlahan tubuhnya merosot hingga berjongkok. Dia menengadah, di tengah kota yang penuh gemerlap lampu-lampu seperti ini akan sangat sulit menikmati indahnya bintang-bintang di langit.

Cukup lama hingga terdengar suara sepeda motor, Cindy gegas menyembunyikan wajah pada kedua lutut yang dia peluk. Berpura-pura gemetar, meski tak sepenuhnya mengetahui siapakah orang yang datang itu.

Seorang pria yang tergesa menghentikan sepeda motor, turun dan melangkah mendekat. Tanpa berpikir panjang dia melepaskan jaket yang dipakai, berniat memberikannya pada sosok wanita dengan pakaian terakhir yang dilihat tadi sore.

Ada rasa iba sekaligus heran. Di matanya, Cindy terlihat begitu nekat dan seolah tak pernah berpikir panjang. Namun … yang meringkuk di hadapannya kali ini, terlihat hanya seperti seorang wanita yang sangat rapuh, ketakutan dan lemah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status