“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.
Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan. “Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy. Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan. “Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja. Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan aneh. “Apa aku terlihat menjijikkan? Orang-orang itu terus memaksa mencekoki minuman, lalu menyeretku. Aku lari karena gak mau dipaksa melayani ….” Cindy mengeluh dengan suara bergetar, kepalanya celingukan memindai sekitar dengan tangan kanan yang kukunya terus dia gigit hingga berbunyi keras. “Kamu mengenal orang-orang itu? Saya akan menelepon polisi sekarang,” tegas Ustadz Fariz hendak mengambil ponselnya. “Jangaaan!” pekik Cindy mencengkeram dengan gemetaran tangan Ustadz Fariz yang memegang ponsel. Kedua matanya membelalak dengan tatapan yang tengah memelas. “Percuma! Mereka pasti akan mencariku untuk membalas dendam. Bagaimana kalau mereka menyakiti orang tuaku?” bohong Cindy dengan cepat. Dia tak habis pikir bahwa pria di depannya begitu cepat percaya, bahkan benar-benar akan memanggil polisi. “M-Maaf, bukan saya bermaksud kasar.” Ustadz Fariz melepaskan tangan Cindy dengan sangat pelan dan hati-hati. “Kalau begitu, saya hanya akan memesan taksi untuk kamu pulang. Sebutkan alamat kamu,” lanjutnya lagi. “Kamu gak mau anterin aku? Apa karena aku kotor?” terka Cindy disusul tangis yang kembali bersiap pecah. “Bukan! Bukan! Kurang pantas kalau kita berboncengan. Anda juga akan lebih aman kalau memakai taksi,” bujuk Ustadz Fariz menyadarkan diri dan mengalihkan pandangan yang sejak tadi tak teralih sedikit pun dari Cindy. Cindy sebenarnya ingin sekali agar diantarkan sendiri oleh pria yang hanya memakai sarung hitam serta kaos lengan pendek itu. Namun, dia cukup sadar untuk menahan diri. Membuat pria itu berbicara dengan bertatap mata langsung dengannya saja sudah merupakan kemajuan besar. Setengah terpaksa pun berpura-pura pasrah, dia menyerah pada keputusan Ustadz Fariz. “Pakailah. Maaf jaketnya kotor karena tadi saya jatuhkan,” tutur Ustadz Fariz mengangsurkan jaket kemudian pandangannya terfokus pada gerak jari yang sedang bermain pada layar ponsel. Cindy menerima kemudian memakainya. Dia bisa menghidu aroma parfum cukup kuat tetapi begitu lembut saat memasuki indra penciuman. Sesaat, hatinya terasa tenang sekaligus menang. Dia sedikit terkesiap saat Ustadz Fariz memberitahu kalau sebuah taksi online akan segera menjemput. Beberapa saat, suasana di antara mereka terasa canggung dan hening. Ustadz Fariz memilih menghindari berhadapan dan bersitatap sambil menunggu, Cindy pun tengah mencari cara agar bisa kembali mengajak berbicara seperti sebelumnya. Namun, hingga mobil berhenti di depan gang yang sebenarnya hanya lorong kecil di antara dua bangunan besar itu, tak satu pun kata keluar dari mulut mereka. Ustadz Fariz mengantarkan, bahkan memastikan Cindy benar-benar naik dengan aman hingga kemudian mobil menghilang di antara banyak kendaraan lain di jalanan. Setelahnya, baru dia turut menaiki sepeda motor dan melajukannya menuju rumah. Sepanjang jalan, satu per satu keping ingatan tentang Cindy berusaha terus ditepis dengan tak henti-henti mengucapkan istigfar. Waktu yang dia tempuh untuk sampai kurang lebih dua puluh lima menit. Saat sampai, seorang wanita yang merupakan kakak kandungnya sudah membukakan pintu dan berdiri menanti. “Dari mana aja?” tanya wanita yang masih memakai jilbab serta gamis itu dengan tatap menyelidik. “Ada keperluan sebentar, Kak,” sahut Ustadz Fariz sedikit terkejut dan gugup. “Biasanya kamu gak grasak-grusuk gegabah begini. Apa kamu sedang dekat sama perempuan?” tebaknya secara telak yang membuat sang adik terdiam. “Kamu masih ingat amanah Abi, kan? Kalau suka wanita, lamar, ajak dia taaruf dan menikah. Jangan sampai terjerumus dosa zina. Kalau masih belum siap menikah, perbanyak puasa,” tegur wanita bernama Azizah itu dengan tegas. Ustadz Fariz hanya mengangguk patuh, baru kemudian dipersilakan masuk. Dia memilih ke kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan diri sekaligus berwudu. Mendengarkan ucapan Azizah, dia merasa seperti kembali ditampar oleh kenangan sang ayah di masa tsanawiyah. Dia berniat untuk tidur sebentar, lalu melaksanakan salat malam untuk meminta ampun pada apa yang sebelumnya telah diperbuat. Berbeda Ustadz Fariz dengan Cindy. Mobil yang dinaikinya telah sampai pada alamat apartemen Axel. Dia turun lalu masuk dengan perasaan bahagia. Sesampainya di kamar Axel, dia menggantung tas milik Reni kemudian sengaja mengambil potret berdiri di depan cermin untuk memamerkan jaket milik Ustadz Fariz ke ruang obrolan grup. [Satu langkah lagi.] Caption singkat itu diakhiri emoticon party popper sebagai tanda perayaan dia yang berhasil membuat Ustadz Fariz lebih dekat lagi dengannya. [Kenapa, Cind?] [Langkah apanya?] Balasan Reni serta Indah masuk hampir secara bersamaan. [Ini jaket Ustadz Fariz. Tadi kami habis ketemu, dan dia pinjamkan ini,] balas Cindy. [Kamu pasti masih mabuk. Udah, jangan ngelindur!] bantah Indah. [Apa buktinya? Aku gak pernah liat postingan Minsta atau satu pun kegiatan dia pakai jaket itu,] kelit Reni ikut menimpali. [Siapa tahu ini memang jaket pribadi dia? Atau jaket yang dipakai sehari-hari, atau pas tidur? Kalau buat isi pengajian, dia pakai gamis atau sarung sama baju koko, mustahil dilapisi jaket, kan?] [Apalagi wanginya, maskulin dan menenangkan banget, lho!] Cindy mengirimkan dua pesan itu sengaja untuk memanas-manasi kedua sahabatnya. Setelah mengecek bahwa pesannya telah terbaca Reni dan Indah, dia tertawa keras hingga sudut matanya berair. Dia sengaja segera keluar dari ruang obrolan, lagi-lagi tanpa menunggu balasan ataupun memedulikan keributan yang telah disisakan karena isi pesannya. Masih tanpa melepaskan jaket, dia mengempaskan diri berbaring ke kasur. [Bisa minta tolong teman kamu buat bawakan motor aku ke apartemen?] Satu pesan terkirim kepada kontak bernama Axel. Tak berselang lama, balasan dari Axel membuatnya kembali tersenyum kecil. Cindy berpindah mengetuk kontak milik Ustadz Fariz. [Terima kasih buat bantuan kamu malam ini. Nanti kukembalikan jaketnya.] Satu lagi pesan terkirim. Centang dua abu-abu terlihat, tapi hingga beberapa menit berlalu pun tak terlihat tanda-tanda pria itu aktif apalagi akan memberi balasan. Cindy meletakkan ponsel di antara dada dan perutnya. Rasa lelah karena berjalan tadi masih tersisa, pun keringat yang telah mengering dengan sendirinya meninggalkan rasa gerah dan tak nyaman. Dia menghela napas. ‘Bagaimanapun, aku harus bisa mendapatkan hati ustadz itu lalu memenangkan taruhan,’ tekadnya dengan kedua mata berpejam.Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu
Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan
Tawa pecah dari sekumpulan wanita dewasa muda yang sedang berkumpul di salah satu sudut kafe. Lima gelas berisi minuman yang berbeda-beda telah berkurang sebagiannya. Tak terkecuali beberapa cemilan yang terabaikan dalam canda mereka.Salah satu mobil yang melintas, tanpa sengaja menarik perhatian mereka secara serempak. Terlebih sosok seorang pria muda berkulit putih bersih dan memakai peci yang tampak pada jok belakang. Meski terhalang kaca kafe, pesona ketampanannya tetap jelas terpancar."Dia ustadz yang namanya mulai naik daun, kan? Harus kuakui, ceramah-ceramahnya ringan, tapi menghibur. Mana suaranya pas ngaji itu, duuuuh!" puji Reni yang menopang dagu dengan tangan kanannya. Senyum mengembang dari bibir sosok termuda di antara mereka berlima itu."Mami juga, sok-sok jadi agamis. Alasan mau belajar agama, padahal aku sih tau, dia itu cuma seneng liat cowok tampan!" keluh Niken sambil menggeleng-geleng. Terlebih saat mengingat ibunya yang sekarang kembali menjadi janda setelah p
Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan
Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko