Share

Bab 007

“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.

Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.

“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.

Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.

“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.

Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan aneh.

“Apa aku terlihat menjijikkan? Orang-orang itu terus memaksa mencekoki minuman, lalu menyeretku. Aku lari karena gak mau dipaksa melayani ….” Cindy mengeluh dengan suara bergetar, kepalanya celingukan memindai sekitar dengan tangan kanan yang kukunya terus dia gigit hingga berbunyi keras.

“Kamu mengenal orang-orang itu? Saya akan menelepon polisi sekarang,” tegas Ustadz Fariz hendak mengambil ponselnya.

“Jangaaan!” pekik Cindy mencengkeram dengan gemetaran tangan Ustadz Fariz yang memegang ponsel. Kedua matanya membelalak dengan tatapan yang tengah memelas.

“Percuma! Mereka pasti akan mencariku untuk membalas dendam. Bagaimana kalau mereka menyakiti orang tuaku?” bohong Cindy dengan cepat. Dia tak habis pikir bahwa pria di depannya begitu cepat percaya, bahkan benar-benar akan memanggil polisi.

“M-Maaf, bukan saya bermaksud kasar.” Ustadz Fariz melepaskan tangan Cindy dengan sangat pelan dan hati-hati.

“Kalau begitu, saya hanya akan memesan taksi untuk kamu pulang. Sebutkan alamat kamu,” lanjutnya lagi.

“Kamu gak mau anterin aku? Apa karena aku kotor?” terka Cindy disusul tangis yang kembali bersiap pecah.

“Bukan! Bukan! Kurang pantas kalau kita berboncengan. Anda juga akan lebih aman kalau memakai taksi,” bujuk Ustadz Fariz menyadarkan diri dan mengalihkan pandangan yang sejak tadi tak teralih sedikit pun dari Cindy.

Cindy sebenarnya ingin sekali agar diantarkan sendiri oleh pria yang hanya memakai sarung hitam serta kaos lengan pendek itu. Namun, dia cukup sadar untuk menahan diri. Membuat pria itu berbicara dengan bertatap mata langsung dengannya saja sudah merupakan kemajuan besar. Setengah terpaksa pun berpura-pura pasrah, dia menyerah pada keputusan Ustadz Fariz.

“Pakailah. Maaf jaketnya kotor karena tadi saya jatuhkan,” tutur Ustadz Fariz mengangsurkan jaket kemudian pandangannya terfokus pada gerak jari yang sedang bermain pada layar ponsel.

Cindy menerima kemudian memakainya. Dia bisa menghidu aroma parfum cukup kuat tetapi begitu lembut saat memasuki indra penciuman. Sesaat, hatinya terasa tenang sekaligus menang. Dia sedikit terkesiap saat Ustadz Fariz memberitahu kalau sebuah taksi online akan segera menjemput.

Beberapa saat, suasana di antara mereka terasa canggung dan hening. Ustadz Fariz memilih menghindari berhadapan dan bersitatap sambil menunggu, Cindy pun tengah mencari cara agar bisa kembali mengajak berbicara seperti sebelumnya.

Namun, hingga mobil berhenti di depan gang yang sebenarnya hanya lorong kecil di antara dua bangunan besar itu, tak satu pun kata keluar dari mulut mereka. Ustadz Fariz mengantarkan, bahkan memastikan Cindy benar-benar naik dengan aman hingga kemudian mobil menghilang di antara banyak kendaraan lain di jalanan.

Setelahnya, baru dia turut menaiki sepeda motor dan melajukannya menuju rumah. Sepanjang jalan, satu per satu keping ingatan tentang Cindy berusaha terus ditepis dengan tak henti-henti mengucapkan istigfar. Waktu yang dia tempuh untuk sampai kurang lebih dua puluh lima menit. Saat sampai, seorang wanita yang merupakan kakak kandungnya sudah membukakan pintu dan berdiri menanti.

“Dari mana aja?” tanya wanita yang masih memakai jilbab serta gamis itu dengan tatap menyelidik.

“Ada keperluan sebentar, Kak,” sahut Ustadz Fariz sedikit terkejut dan gugup.

“Biasanya kamu gak grasak-grusuk gegabah begini. Apa kamu sedang dekat sama perempuan?” tebaknya secara telak yang membuat sang adik terdiam.

“Kamu masih ingat amanah Abi, kan? Kalau suka wanita, lamar, ajak dia taaruf dan menikah. Jangan sampai terjerumus dosa zina. Kalau masih belum siap menikah, perbanyak puasa,” tegur wanita bernama Azizah itu dengan tegas.

Ustadz Fariz hanya mengangguk patuh, baru kemudian dipersilakan masuk. Dia memilih ke kamar mandi terlebih dahulu untuk membersihkan diri sekaligus berwudu. Mendengarkan ucapan Azizah, dia merasa seperti kembali ditampar oleh kenangan sang ayah di masa tsanawiyah. Dia berniat untuk tidur sebentar, lalu melaksanakan salat malam untuk meminta ampun pada apa yang sebelumnya telah diperbuat.

Berbeda Ustadz Fariz dengan Cindy. Mobil yang dinaikinya telah sampai pada alamat apartemen Axel. Dia turun lalu masuk dengan perasaan bahagia. Sesampainya di kamar Axel, dia menggantung tas milik Reni kemudian sengaja mengambil potret berdiri di depan cermin untuk memamerkan jaket milik Ustadz Fariz ke ruang obrolan grup.

[Satu langkah lagi.] Caption singkat itu diakhiri emoticon party popper sebagai tanda perayaan dia yang berhasil membuat Ustadz Fariz lebih dekat lagi dengannya.

[Kenapa, Cind?]

[Langkah apanya?]

Balasan Reni serta Indah masuk hampir secara bersamaan.

[Ini jaket Ustadz Fariz. Tadi kami habis ketemu, dan dia pinjamkan ini,] balas Cindy.

[Kamu pasti masih mabuk. Udah, jangan ngelindur!] bantah Indah.

[Apa buktinya? Aku gak pernah liat postingan Minsta atau satu pun kegiatan dia pakai jaket itu,] kelit Reni ikut menimpali.

[Siapa tahu ini memang jaket pribadi dia? Atau jaket yang dipakai sehari-hari, atau pas tidur? Kalau buat isi pengajian, dia pakai gamis atau sarung sama baju koko, mustahil dilapisi jaket, kan?]

[Apalagi wanginya, maskulin dan menenangkan banget, lho!] Cindy mengirimkan dua pesan itu sengaja untuk memanas-manasi kedua sahabatnya. Setelah mengecek bahwa pesannya telah terbaca Reni dan Indah, dia tertawa keras hingga sudut matanya berair. Dia sengaja segera keluar dari ruang obrolan, lagi-lagi tanpa menunggu balasan ataupun memedulikan keributan yang telah disisakan karena isi pesannya.

Masih tanpa melepaskan jaket, dia mengempaskan diri berbaring ke kasur.

[Bisa minta tolong teman kamu buat bawakan motor aku ke apartemen?] Satu pesan terkirim kepada kontak bernama Axel. Tak berselang lama, balasan dari Axel membuatnya kembali tersenyum kecil.

Cindy berpindah mengetuk kontak milik Ustadz Fariz. [Terima kasih buat bantuan kamu malam ini. Nanti kukembalikan jaketnya.] Satu lagi pesan terkirim. Centang dua abu-abu terlihat, tapi hingga beberapa menit berlalu pun tak terlihat tanda-tanda pria itu aktif apalagi akan memberi balasan.

Cindy meletakkan ponsel di antara dada dan perutnya. Rasa lelah karena berjalan tadi masih tersisa, pun keringat yang telah mengering dengan sendirinya meninggalkan rasa gerah dan tak nyaman. Dia menghela napas. ‘Bagaimanapun, aku harus bisa mendapatkan hati ustadz itu lalu memenangkan taruhan,’ tekadnya dengan kedua mata berpejam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status