Tawa pecah dari sekumpulan wanita dewasa muda yang sedang berkumpul di salah satu sudut kafe. Lima gelas berisi minuman yang berbeda-beda telah berkurang sebagiannya. Tak terkecuali beberapa cemilan yang terabaikan dalam canda mereka.
Salah satu mobil yang melintas, tanpa sengaja menarik perhatian mereka secara serempak. Terlebih sosok seorang pria muda berkulit putih bersih dan memakai peci yang tampak pada jok belakang. Meski terhalang kaca kafe, pesona ketampanannya tetap jelas terpancar.
"Dia ustadz yang namanya mulai naik daun, kan? Harus kuakui, ceramah-ceramahnya ringan, tapi menghibur. Mana suaranya pas ngaji itu, duuuuh!" puji Reni yang menopang dagu dengan tangan kanannya. Senyum mengembang dari bibir sosok termuda di antara mereka berlima itu.
"Mami juga, sok-sok jadi agamis. Alasan mau belajar agama, padahal aku sih tau, dia itu cuma seneng liat cowok tampan!" keluh Niken sambil menggeleng-geleng. Terlebih saat mengingat ibunya yang sekarang kembali menjadi janda setelah perceraian ketiga belas dengan sang mantan suami.
Cindy hanya menggeleng kecil. Dia pun cukup mengakui sosok yang sedang dibicarakan itu benar-benar menarik. Seorang ustadz muda yang baru selesai menempuh pendidikan pada salah satu universitas Islam terkenal di seluruh dunia itu dengan cepat melebarkan sayap dan menjadi pendakwah terkenal. Gelar yang mencerminkan pengetahuannya itu, ditambah wajah serta gaya bicaranya menjadi daya tarik tersendiri.
"Aku punya ide!" cetus Agnes yang membuat keempat sahabatnya memusatkan perhatian padanya.
Cindy mengangkat gelas, menyesap pelan minuman miliknya dengan gerak mata yang tetap terarah pada Agnes.
"Kabarnya dia juga tinggal di kota ini, kan? Gimana kalau kita taruhan? Kalian, kalian yang jomlo, kalau bisa dapetin hati dia bakal kukasih tiket liburan!" usul Agnes yang menjentikkan jari jempol dan jari telunjuk dengan seringai licik. Gerak matanya menatap Cindy, Reni serta Indah yang masih berstatus single.
Cindy yang mendengar hal itu seketika tersedak. Usai meletakkan kembali gelas pada meja, tangannya meraih tisu untuk mengelap sedikit basah di sudut bibir.
"Gak mau, ah! Cuma tiket liburan doang!" tolak Indah terang-terangan mewakili perasaan Reni yang masih melotot ke arah Agnes.
"Lagian, dia gak bakalan mau sama orang-orang sesat macam kita!" tegas Reni yang merasa memiliki teman satu suara.
"Eits! Kata siapa cuma tiket liburan? Jadi, selama seminggu pokoknya makan, jalan-jalan kalian kutanggung deh! Atau, mau ditukar sama uang senilai itu juga boleh. Ponsel keluaran terbaru sepertinya oke juga?" tawar Agnes mantap.
"Siapa takut!" tantang Cindy. Cindy menyandarkan punggung pada sandaran kursi di belakangnya. Satu kaki kanannya terangkat kemudian diletakkan bertumpu pada paha kiri. Sorot matanya memancarkan kepercayaan diri penuh.
"Aku bagian jadi juri aja," kekeh Niken.
"Mentang-mentang udah punya pacar, enak!" protes Reni.
"Aku udah baik, lho. Ini kesempatan kalian punya gebetan, trus dapet hadiah liburan lagi." Agnes menggeleng, lebih tepatnya seolah meremehkan keberanian mereka.
Sejenak mereka saling diam dan bertukar pandang. Cindy tentunya menerima sepenuhnya tantangan yang diberikan Agnes dan menunggu persetujuan dari kedua sahabatnya saja.
"Oke deh." Indah akhirnya menyerah, diikuti Reni yang juga pasrah karena mustahil menolak di saat dua suara telah mengiyakan taruhan tersebut.
"Kami punya kesempatan berapa lama?" tanya Cindy mantap.
"Satu bulan?" Agnes tampak berpikir dan menimbang-nimbang.
"Lebih dari cukup!"
Dengan ditentukannya target serta waktu, maka taruhan yang mereka adakan pun telah dimulai.
Ponsel yang berdering dari dalam tas membuat Agnes gegas mengambilnya. Pada layar, tampak sebuah nama pemanggil yang merupakan kekasihnya sejak dua bulan lalu. Tepat saat dia mengangkat telepon, sebuah mobil terparkir di seberang jalan dengan kaca depan yang
terbuka menampilkan sesosok pria tengah menempelkan ponsel pada daun telinga kanannya.
"Aku pamit sama temen-temen dulu!" ucapnya singkat mengakhiri panggilan sepihak lalu memasukkan ponsel kembali ke dalam tas.
"Oke, Girls. Udah waktunya princess pulang. My Prince sudah jemput tuh! Jangan lupa, satu bulan dari sekarang. Bye!" pamit Agnes singkat kemudian tergesa menghampiri pria yang telah menjemputnya.
Kepergian Agnes pun turut mengakhiri sesi pertemuan singkat mereka.
Seperti Agnes, Niken pun meminta dijemput oleh kekasihnya.
"Apa kita perlu pura-pura jadi wanita solehah gitu buat menarik perhatian itu ustadz?" gumam Reni pada Indah serta Cindy. Mereka yang juga telah meninggalkan kafe berdiri di sisi parkiran.
"Menurutku, pasti udah banyak anak-anak ustadz yang bakal dijodohin sama dia, tapi dia tetap melajang, kan? Cara itu gak sepenuhnya ampuh," bantah Indah.
"Kamu sendiri gimana, Cind?" tanya Reni menatap Cindy.
Cindy mengedikkan kedua bahunya. Melihat hal itu, dua wanita yang berdiri di depannya menggerutu sebal. Reni yang pergi bersama Indah memilih pamit kembali pulang berboncengan. Tersisa Cindy yang harus mengendarai sepeda motornya sendirian.
Cindy fokus menatap jalanan di depannya. Pendar jingga yang mulai terpecah di langit, diiringi kemacetan dari orang-orang yang juga sedang berdesakan menuju rumah sepulang kegiatan panjang mereka seharian.
Begitu melewati persimpangan yang menjadi pusat kota, pandangan Cindy tertuju pada sosok pria di pinggiran trotoar. Sosok bergamis putih yang menjadi targetnya itu tampak sibuk dengan panggilan di ponselnya.
Cindy tersenyum kecil sebelum mengarahkan sepeda motornya menepi tak jauh dari ustadz yang sedang digandrungi perempuan dari berbagai kalangan dan usia itu. Usai mematikan mesin, dia sengaja menunggu hingga pria itu menyelesaikan panggilannya.
Tak perlu waktu lama, saat melihat ponsel yang dikunci dan dikantongi kembali, Cindy bergegas berjalan mendekati Ustadz Fariz.
"Sepertinya kita berjodoh, ya?" sapa Cindy tanpa malu ataupun ragu.
Ustadz Fariz yang mendengar hal itu tampak mengernyit heran, meski begitu pandangannya sama sekali tak berani diarahkan langsung kepada Cindy. "Maaf, apa kita saling kenal?" tanyanya canggung.
"Pak Ustadz, ah, Anda terlalu muda untuk dipanggil bapak," canda Cindy. Sebuah ide gila untuk mendekati ustadz muda dan tampan itu terbesit di kepalanya.
"Saya boleh bertanya? Kira-kira bagaimana hukum membiarkan seorang manusia bunuh diri di depan mata padahal punya kesempatan untuk menolongnya?" Kali ini, Cindy bertanya dengan nada lebih serius.
Terdengar hela napas panjang dari Ustadz Fariz. Belum bibirnya yang terbuka hendak menyampaikan sepatah kata, Cindy terlebih dahulu berlari ke arah mobil yang sedang melaju di jalan raya.
Ustadz Fariz yang menyadari hal itu, tanpa sadar berlari menyusul Cindy. Gerak tubuhnya dengan sigap menarik Cindy hingga mereka terjatuh cukup keras, tepat sebelum mobil menabrak Cindy.
Benturan dari pinggiran trotoar yang mengenai kepala Cindy membuat wanita itu kesulitan mempertahankan sisa kesadarannya. Pandangannya terhadap sekitar perlahan menurun, tapi sosok yang samar-samar menatapnya dengan panik bercampur khawatir membuat dia akhirnya terpejam bersamaan sisa senyum kecil di sudut bibir.
Cindy terbangun, selain ruangan serba putih khas dengan aroma obat-obatan, dia juga mendapati sosok pria. Selain telah menyelamatkan, dia yakin kalau pria itu pasti telah menemani dan menunggunya hingga sadar.Saat Cindy bergerak duduk, terdengar ucapan istigfar dari pria yang tampak terkejut itu.“Bagaimana keadaan kamu? Orang tua kamu bilang sedang dalam perjalanan,” ucap Ustadz Fariz.“Ternyata refleks gerakan Anda bagus juga,” puji Cindy.“Sepertinya kamu baik-baik saja, saya akan pulang.” Ustadz Fariz bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu.Pintu terbuka, tapi bukan karena Ustadz Fariz. Melainkan karena datangnya seorang wanita yang terlihat panik dan tergesa-gesa masuk.“Cindyaa! Katanya kamu mau bunuh diri. Kamu ada masalah apa, Sayang? Kenapa gak cerita sama Mama!” Wanita itu mendekati Cindy dan memberondongnya dengan banyak tanya.Cindy tak menjawab dan hanya mengarahkan jari telunjuknya pada Ustadz Fariz.Wanita bernama Nazwa itu mengurungkan niat untuk memel
Cindy memandangi gerak tangan lincah pria di depannya. Axel yang memang seorang bartender, selalu dengan senang hati membuatkan cocktail kapan pun untuknya.“Buatan kamu selalu yang terbaik.” Cindy mengedipkan matanya saat menerima gelas cocktail yang disodorkan Axel. Bibir yang dipoles lipstik merah muda tipis itu tersenyum sebelum menyesap pelan.“Papa sama Mama gak marah kamu baru keluar rumah sakit udah keluyuran?” tanya Axel yang turut duduk. Meja panjang menjadi satu-satunya pemisah jarak di antara mereka.“Kamu ikutan bawel seperti mereka,” komentar Cindy tanpa berniat menjawab pertanyaan Axel. Kali ini, dia hanya menyisakan es batu pada gelas.Hubungan persahabatan yang mereka jalani sudah hampir mencapai tahun kelima. Usia Axel yang memang lebih muda dua tahun membuat Cindy kadang hanya menganggapnya seperti adik meskipun memiliki wajah tampan dan juga hampir seluruh kriteria pasangan idaman.“Jangan berlebihan. Kalau mabuk, menyebut namaku saja kamu tak pernah benar,” tegur
Sejak beberapa jam lalu, Reni sibuk berselancar pada salah satu situs pusat perbelanjaan online terbesar. Bagaimanapun memikirkan atau menyangkal, dia tak bisa berbohong kalau tergiur pada hadiah yang ditawarkan Agnes. Dia pun mulai merasa gusar karena Cindy telah mengambil langkah lebih awal.Setelah mengunjungi toko-toko yang memiliki rate tinggi, baru dia menemukan apa yang dicari. Sebuah gamis putih yang tetap terlihat menawan meski tak terlalu dihiasi banyak pernak-pernik. Reni berencana untuk memulai aksi dengan mengikuti dan menghadiri setiap acara dakwah dari Ustadz Fariz agar memiliki alasan mendekatinya.Dia segera memesan beberapa lembar setelan gamis, bahkan sengaja memilih opsi pengiriman express karena sebelumnya telah berselancar untuk mendapat informasi kapan dan di mana ustadz muda itu akan kembali berdakwah.Tak bisa dipungkiri, status Ustadz Fariz yang diketahui masih melajang pun membuat benih-benih harapan itu tumbuh dalam hatinya. Dia yang selama ini tak jarang m
Setelah semalaman penuh mengumpulkan informasi tentang Ustadz Fariz, Cindy mulai memikirkan beberapa rencana. Selain telah mengetahui alamat, dia pun telah mencari tahu beberapa jadwal pengajian terbaru yang akan diisi Ustadz Fariz dalam beberapa hari ke depan. Dan, sore ini jika benar acara yang dilangsungkan hanya beberapa jam, maka tebakannya bahwa mereka akan segera bertemu pun benar.Beberapa kali, Cindy melirik ke arah jam tangannya. Sejak sampai dan memarkirkan sepeda motor pada pinggiran jalan, dia memilih duduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang untuk menghindari sengatan matahari. Terpa angin di sekitar sedikit memberikan kesejukan, berkali-kali Cindy harus menyeka keringat yang membasahi kening.Saat mendengar bunyi sepeda motor yang tengah mendekat, Cindy kembali bangkit untuk memastikan. Sudah sekitar lima sepeda motor serta dua mobil yang lewat, tapi Ustadz Fariz masih tak terlihat.Cindy tersenyum semringah saat kali ini yang dia tunggu-tunggu semakin mendekat. Se
Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko
“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Usai menghadiri acara maulid di madrasah Aliyah, Ustadz Fariz yang telah setuju untuk turut berkumpul dengan teman-teman seangkatannya segera bersiap. Dia memilih pulang terlebih dahulu untuk memberi kabar agar sang ibu tidak khawatir.Pria yang memakai sarung hitam, kaos abu-abu dilapisi jas casual berwarna biru malam itu mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah. Sejak kembali, ini merupakan perkumpulan pertama mereka yang tak mungkin ditolaknya. Meski di sela kesibukannya, dia tak ingin disebut sebagai orang yang telah melupakan teman-teman.Begitu sampai, dia segera menuju kafe yang terletak pada lantai dua salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Fariz! Masih jadi manusia, ya? Kirain udah jadi onta kelamaan di gurun pasir!” sambut seorang pria dengan celana jins panjang serta kaos lengan pendek serba hitam itu. Tangan kanan dari pria bernama Bima itu menepuk kursi kosong di samping, mempersilakan Ustadz Fariz untuk duduk.Ustadz Fariz hanya menanggapinya dengan
Cindy mengemasi pakaian serta barang-barang yang akan diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas. Selesai memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera menyandang tas itu dan membuka pintu kamar. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa diletakkannya cincin emas milik sang ibu pada meja di ruang tamu. Dia yang memegang kunci cadangan rumah bisa dengan leluasa pergi dan pulang kapan pun.Dia menutup kembali pagar, menyalakan sepeda motor lalu melajukannya meninggalkan area perumahan. Terpa angin jalanan menyambut, mengenai dan terus mencambuk rambutnya yang tergerai tak terikat. Perutnya terasa kembali lapar karena hanya terus diisi dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol yang disimpan di dalam kamar.Cindy mempercepat tarikan gas, terus menyalip kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson yang dipencet secara bersamaan dari beberapa motor tak dihiraukan wanita yang menerobos lampu merah itu. Demi mempersingkat waktu, dia berbelok melawan arus pada jalanan yang seharusnya hanya untu
Setengah terpaksa, Cindy memakan sarapan yang diberikan. Setiap kunyahan dilakukannya dengan sedikit tergesa agar bisa segera habis meski tak satu pun bagian makanan itu cocok di lidah. Terlebih, setiap gerak-gerik yang diawasi membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Selesai makan, dia baru diizinkan keluar dari sel dan digiring menuju toilet untuk menuntaskan tugas.“Pak, memang di kantor gak ada cleaning service, atau tukang bersih-bersih gitu?” gerutu Cindy.“Buat apa bayar tukang bersih-bersih, kalau ada orang-orang seperti kalian yang bisa melakukannya?” kekeh petugas itu.Cindy mencebik sebal. Sejak menginjakkan kaki di dunia hiburan malam, sepertinya kali ini dia benar-benar sial.Begitu sampai, petugas itu segera memberikan arahan di mana letak barang-barang yang diperlukan.“Cuma toilet yang ini, kan?” Cindy kembali bertanya sambil tersenyum. Meski begitu, kedua matanya yang menatap dingin malah mencerminkan jelas bahwa senyum itu hanya sebuah keterpaksaan.“Kalau mau membe
Rokok yang baru terbakar setengahnya, terlepas dari genggaman Cindy. Wanita itu semakin kehilangan kesadaran setelah tak terhitung telah berapa banyak menghabiskan minuman. Dia membungkuk dan menjatuhkan kepala pada meja tanpa memedulikan bekas-bekas puntung rokok yang berserakan di sana.Sisa-sisa kesadaran yang dimiliki Cindy, hanya cukup untuk sedikit menyentakkan kaki seirama gema musik. Semakin larut, semakin keras pula musik dimainkan. Suasana sekitar pun semakin panas karena orang-orang yang semakin liar berjoget dan menggila menggerakkan tubuhnya.“Masa udah nyerah?” tanya pemilik suara berat di hadapannya tengah mengisi kembali sloki.Cindy mengangkat perlahan wajah, menjadikan meja untuk menopang dagu. Ruang dengarnya hanya dipenuhi gema musik dengan pandangan yang semakin buram hingga hanya bisa menatap samar-samar. Tangannya merayap pada meja, mencapai sloki yang telah berisi penuh itu kemudian menarik pelan. Dia menenggak kembali isi sloki sampai habis tak bersisa.“Wajah
Cindy kembali bersiap pergi untuk mencari cincin ibunya yang sempat dijual. Tak lupa dia membawa tas dan barang-barang milik Agnes untuk dikembalikan. Meski sudah hampir menjelang sore, terik matahari masih saja terasa begitu membakar.“Udah mau berangkat?” tanya Nazwa menghampiri Cindy yang bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari garasi.“Iya, Ma. Tapi gak tau kapan pulangnya,” sahut Cindy singkat.“Uangnya sudah Mama transfer. Kalau kurang nanti bilang aja, ya?” pesan Nazwa yang berjalan dan membantu membukakan pagar.Cindy hanya mengangguk, tanpa mencium punggung tangan atau berpamitan, dia segera melajukan sepeda motornya. Nazwa yang melihat hal itu hanya menggeleng dengan senyum berat. Sebait doa tak lupa dipanjatkan di dalam hati, berharap suatu saat Cindy akan sedikit terketuk perasaannya.Nazwa menutup kembali pagar dan masuk ke rumah. Dia sengaja singgah pada kamar Cindy terlebih dahulu. Dia masih tak menyangka, gadis kecilnya yang manis dahulu telah berubah drastis. Selama
Indah menatap gusar ke arah wanita yang tengah terbaring lemas di hadapannya. Beberapa selang yang baru selesai terpasang pada sang ibu sedikit membuatnya ngilu. Menurut penjelasan dokter sebelumnya, harus segera dilakukan operasi sebelum penyempitan kerongkongan terus menyebar, bahkan mungkin saja akan menjadi kanker.Disandarkannya punggung, dengan lemas tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Jarinya bergerak memilih menu kontak, kemudian memanggil salah satu nama. Cukup lama dia menanti panggilan dengan setengah tak sabar.“Halo, Mel!” panggilnya setelah telepon terhubung.“Ada apa lagi, sih, Kak? Aku lagi sibuk,” keluh suara wanita yang terdengar lebih kekanak-kanakan dari seberang.“I-Ibu masuk rumah sakit, katanya harus cepat dioperasi sebelum penyempitan kerongkongannya semakin menyebar,” jelas Indah.“Lalu?”“A-apa kamu bisa bilang sama Ayah tolong kirimkan uang buat biaya berobat Ibu?” Meski ragu, Indah tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.“Maaf, ya, Kak. Tapi
Axel menatap lekat ke arah wanita yang tengah terlelap di kasur. Hati-hati, dia mendaratkan tangan pada kepala Cindy kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum kaku saat memandang jaket yang dipakai wanita itu beraroma parfum asing.‘Cind, apa boleh aku cemburu pada jaket yang bisa menyentuh dan seakan memeluk kamu tanpa harus mencari alasan? Apa aku boleh cemburu pada kasur yang bisa membuat kamu terlihat begitu lelap dan nyaman?’ gumamnya yang hanya membuat kedua bibir tergerak tanpa mengeluarkan suara.Pagi telah menjelang seiring matahari yang terus merangkak naik. Langit sudah cerah, ventilasi pun diserbu cahaya yang berlomba-lomba memasuki kamar. Axel memilih membiarkan tirai jendela tetap tertutup karena tak ingin mengganggu tidur Cindy. Dia tak mengetahui apa yang terjadi, tapi wajah yang tenggelam dalam tidur lelap itu tampak begitu lelah.Dia mengalihkan pandangan pada ponsel Cindy, mengambil lalu memindahkannya. Tanpa sengaja, sentuhan
“Saya akan mencarikan taksi untuk kamu,” ucap Ustadz Fariz yang hanya memegang jaket tanpa berani memakaikan pada Cindy. Namun, wanita itu tetap bergeming di tempatnya.Beberapa saat, merasa Cindy seolah tak mendengar dan tak merespon sekitar, Ustadz Fariz memberanikan diri mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin sedikit, dia bisa mendengar wanita itu tengah terisak. Bahkan, kedua bahu yang ditutupi geraian rambut panjang lurus itu tengah berguncang pelan.“Kurang baik berlama-lama di sini. Saya akan mengantarkan kamu pulang.” Terbata, Ustadz Fariz benar-benar kebingungan untuk membujuk Cindy.Dia terkejut saat Cindy tiba-tiba memeluk. Semua terjadi dalam sekejap hingga membuatnya terduduk dengan Cindy berada di pangkuan.“Astagfirullah! Lepaskan saya!” Ustadz Fariz terpaksa sedikit mendorong kemudian bergerak mundur. Jaket yang semula dipeganginya terjatuh ke tanah tanpa sengaja.Cindy yang mengangkat wajah dengan tatapan sayu diselimuti sendu, membuatnya merasakan perasaan ane
Ustadz Fariz mengambil wudu, setelahnya kembali berjalan memasuki kamar. Sejak menjelang senja, apa pun yang dilakukannya berakhir pada sekelebat bayang sepasang mata Cindy. Dia mulai bertanya-tanya siapa wanita itu, terlebih apa yang sebenarnya diinginkan. Karena itulah, untuk kembali menenangkan diri dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca muCindf Al-Qur’an.Hingga azan Isya menjelang, Ustadz Fariz mengakhiri bacaannya. Saat keluar dari kamar, dia melihat dua wanita yang juga baru usai berwudu. Sebagai satu-satunya pria yang berada di rumah, dialah yang selalu menjadi imam salat untuk ibu dan kakaknya.Ustadz Fariz berusaha untuk tak melewatkan salat berjamaah dengan kedua wanita itu jika sedang berada di rumah. Karena beberapa tahun yang lalu, dia pernah menyesal karena telah meninggalkan salat berjamaah terakhir yang diimami oleh sang Ayah sebelum ajal menjelang.Di sisi lain, Cindy dan teman-temannya yang beradu minum, masing-masing mulai berada di bawah pengaruh alko