Share

Pernikahanku yang Sempurna
Pernikahanku yang Sempurna
Penulis: Asy'arie

Bab 001

Tawa pecah dari sekumpulan wanita dewasa muda yang sedang berkumpul di salah satu sudut kafe. Lima gelas berisi minuman yang berbeda-beda telah berkurang sebagiannya. Tak terkecuali beberapa cemilan yang terabaikan dalam canda mereka.

Salah satu mobil yang melintas, tanpa sengaja menarik perhatian mereka secara serempak. Terlebih sosok seorang pria muda berkulit putih bersih dan memakai peci yang tampak pada jok belakang. Meski terhalang kaca kafe, pesona ketampanannya tetap jelas terpancar.

"Dia ustadz yang namanya mulai naik daun, kan? Harus kuakui, ceramah-ceramahnya ringan, tapi menghibur. Mana suaranya pas ngaji itu, duuuuh!" puji Reni yang menopang dagu dengan tangan kanannya. Senyum mengembang dari bibir sosok termuda di antara mereka berlima itu.

"Mami juga, sok-sok jadi agamis. Alasan mau belajar agama, padahal aku sih tau, dia itu cuma seneng liat cowok tampan!" keluh Niken sambil menggeleng-geleng. Terlebih saat mengingat ibunya yang sekarang kembali menjadi janda setelah perceraian ketiga belas dengan sang mantan suami.

Cindy hanya menggeleng kecil. Dia pun cukup mengakui sosok yang sedang dibicarakan itu benar-benar menarik. Seorang ustadz muda yang baru selesai menempuh pendidikan pada salah satu universitas Islam terkenal di seluruh dunia itu dengan cepat melebarkan sayap dan menjadi pendakwah terkenal. Gelar yang mencerminkan pengetahuannya itu, ditambah wajah serta gaya bicaranya menjadi daya tarik tersendiri.

"Aku punya ide!" cetus Agnes yang membuat keempat sahabatnya memusatkan perhatian padanya.

Cindy mengangkat gelas, menyesap pelan minuman miliknya dengan gerak mata yang tetap terarah pada Agnes.

"Kabarnya dia juga tinggal di kota ini, kan? Gimana kalau kita taruhan? Kalian, kalian yang jomlo, kalau bisa dapetin hati dia bakal kukasih tiket liburan!" usul Agnes yang menjentikkan jari jempol dan jari telunjuk dengan seringai licik. Gerak matanya menatap Cindy, Reni serta Indah yang masih berstatus single.

Cindy yang mendengar hal itu seketika tersedak. Usai meletakkan kembali gelas pada meja, tangannya meraih tisu untuk mengelap sedikit basah di sudut bibir.

"Gak mau, ah! Cuma tiket liburan doang!" tolak Indah terang-terangan mewakili perasaan Reni yang masih melotot ke arah Agnes.

"Lagian, dia gak bakalan mau sama orang-orang sesat macam kita!" tegas Reni yang merasa memiliki teman satu suara.

"Eits! Kata siapa cuma tiket liburan? Jadi, selama seminggu pokoknya makan, jalan-jalan kalian kutanggung deh! Atau, mau ditukar sama uang senilai itu juga boleh. Ponsel keluaran terbaru sepertinya oke juga?" tawar Agnes mantap.

"Siapa takut!" tantang Cindy. Cindy menyandarkan punggung pada sandaran kursi di belakangnya. Satu kaki kanannya terangkat kemudian diletakkan bertumpu pada paha kiri. Sorot matanya memancarkan kepercayaan diri penuh.

"Aku bagian jadi juri aja," kekeh Niken.

"Mentang-mentang udah punya pacar, enak!" protes Reni.

"Aku udah baik, lho. Ini kesempatan kalian punya gebetan, trus dapet hadiah liburan lagi." Agnes menggeleng, lebih tepatnya seolah meremehkan keberanian mereka.

Sejenak mereka saling diam dan bertukar pandang. Cindy tentunya menerima sepenuhnya tantangan yang diberikan Agnes dan menunggu persetujuan dari kedua sahabatnya saja.

"Oke deh." Indah akhirnya menyerah, diikuti Reni yang juga pasrah karena mustahil menolak di saat dua suara telah mengiyakan taruhan tersebut.

"Kami punya kesempatan berapa lama?" tanya Cindy mantap.

"Satu bulan?" Agnes tampak berpikir dan menimbang-nimbang.

"Lebih dari cukup!"

Dengan ditentukannya target serta waktu, maka taruhan yang mereka adakan pun telah dimulai.

Ponsel yang berdering dari dalam tas membuat Agnes gegas mengambilnya. Pada layar, tampak sebuah nama pemanggil yang merupakan kekasihnya sejak dua bulan lalu. Tepat saat dia mengangkat telepon, sebuah mobil terparkir di seberang jalan dengan kaca depan yang

terbuka menampilkan sesosok pria tengah menempelkan ponsel pada daun telinga kanannya.

"Aku pamit sama temen-temen dulu!" ucapnya singkat mengakhiri panggilan sepihak lalu memasukkan ponsel kembali ke dalam tas.

"Oke, Girls. Udah waktunya princess pulang. My Prince sudah jemput tuh! Jangan lupa, satu bulan dari sekarang. Bye!" pamit Agnes singkat kemudian tergesa menghampiri pria yang telah menjemputnya.

Kepergian Agnes pun turut mengakhiri sesi pertemuan singkat mereka.

Seperti Agnes, Niken pun meminta dijemput oleh kekasihnya.

"Apa kita perlu pura-pura jadi wanita solehah gitu buat menarik perhatian itu ustadz?" gumam Reni pada Indah serta Cindy. Mereka yang juga telah meninggalkan kafe berdiri di sisi parkiran.

"Menurutku, pasti udah banyak anak-anak ustadz yang bakal dijodohin sama dia, tapi dia tetap melajang, kan? Cara itu gak sepenuhnya ampuh," bantah Indah.

"Kamu sendiri gimana, Cind?" tanya Reni menatap Cindy.

Cindy mengedikkan kedua bahunya. Melihat hal itu, dua wanita yang berdiri di depannya menggerutu sebal. Reni yang pergi bersama Indah memilih pamit kembali pulang berboncengan. Tersisa Cindy yang harus mengendarai sepeda motornya sendirian.

Cindy fokus menatap jalanan di depannya. Pendar jingga yang mulai terpecah di langit, diiringi kemacetan dari orang-orang yang juga sedang berdesakan menuju rumah sepulang kegiatan panjang mereka seharian.

Begitu melewati persimpangan yang menjadi pusat kota, pandangan Cindy tertuju pada sosok pria di pinggiran trotoar. Sosok bergamis putih yang menjadi targetnya itu tampak sibuk dengan panggilan di ponselnya.

Cindy tersenyum kecil sebelum mengarahkan sepeda motornya menepi tak jauh dari ustadz yang sedang digandrungi perempuan dari berbagai kalangan dan usia itu. Usai mematikan mesin, dia sengaja menunggu hingga pria itu menyelesaikan panggilannya.

Tak perlu waktu lama, saat melihat ponsel yang dikunci dan dikantongi kembali, Cindy bergegas berjalan mendekati Ustadz Fariz.

"Sepertinya kita berjodoh, ya?" sapa Cindy tanpa malu ataupun ragu.

Ustadz Fariz yang mendengar hal itu tampak mengernyit heran, meski begitu pandangannya sama sekali tak berani diarahkan langsung kepada Cindy. "Maaf, apa kita saling kenal?" tanyanya canggung.

"Pak Ustadz, ah, Anda terlalu muda untuk dipanggil bapak," canda Cindy. Sebuah ide gila untuk mendekati ustadz muda dan tampan itu terbesit di kepalanya.

"Saya boleh bertanya? Kira-kira bagaimana hukum membiarkan seorang manusia bunuh diri di depan mata padahal punya kesempatan untuk menolongnya?" Kali ini, Cindy bertanya dengan nada lebih serius.

Terdengar hela napas panjang dari Ustadz Fariz. Belum bibirnya yang terbuka hendak menyampaikan sepatah kata, Cindy terlebih dahulu berlari ke arah mobil yang sedang melaju di jalan raya.

Ustadz Fariz yang menyadari hal itu, tanpa sadar berlari menyusul Cindy. Gerak tubuhnya dengan sigap menarik Cindy hingga mereka terjatuh cukup keras, tepat sebelum mobil menabrak Cindy.

Benturan dari pinggiran trotoar yang mengenai kepala Cindy membuat wanita itu kesulitan mempertahankan sisa kesadarannya. Pandangannya terhadap sekitar perlahan menurun, tapi sosok yang samar-samar menatapnya dengan panik bercampur khawatir membuat dia akhirnya terpejam bersamaan sisa senyum kecil di sudut bibir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status