Hal pertama yang ditanyakan Dexter sesampainya di rumah adalah di mana Eve berada karena kamar Eve kosong, begitu juga kamar Daniel. Sialnya para pekerja di sana juga tidak mengetahui di mana Eve berada. Tidak mungkin Eve ada di kamar Dexter.
Dia sempat memaki dengan kesadaran penuh karena bingung mencari di ruangan yang banyak dan halaman seluas Rumah Besar D. Seharusnya namanya rumah raksasa D bukan cuma rumah besar. Luas rumah ini sepertinya ada 2 kali rumah keluarga Wongso yang sudah sangat besar, namun tanah kediaman Keluarga Daveno itu sangat luas. Tanah kosong itu dibuat menjadi hutan dan taman buatan yang melingkari danau buatan di belakang rumah.
Saat sudah capek berkeliling, dia akhirnya berpamitan pada ibu mertuanya dan Maya yang sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Dia membawa Daniel masuk ke kamarnya sendiri. Tanpa peduli kedua wanita itu memandangnya dengan pandangan kasihan.
“Niel baik-baik aja habis imunisasi ya? Maaf, Mommy ket
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Hug and kiss, Josie.
“Jadi kamu nggak pulang kemarin malam dan menghabiskan waktu berduaan dengan Felix?”Eve mengangguk dengan wajah tenang. Dia sama sekali tidak merasa bersalah.“Apa saja yang kalian lakukan?” tanya Dexter. Tangannya berada di dalam gaun tidur Eve yang sedang dipeluknya dengan erat. Mereka sedang berbaring di dalam kamar Dexter. Eve baru melihat kamar Dexter hari ini.Meskipun Keluarga Wongso dan Daveno memiliki pertalian yang cukup erat dalam bisnis, tetapi generasi ketiga mereka tidak seakrab itu. Mungkin karena perbedaan umur mereka yang agak jauh jadi sulit untuk bergaul meskipun bisa dipastikan mereka mengenal satu sama lain dan memiliki lingkungan pergaulan yang tidak jauh berbeda. Mereka tidak saling bertamu dan saling memperlihatkan kamar tidur mereka masing-masing.Kamar tidur Dexter terasa maskulin tetapi lembut. Hitam itu maskulin namun sederhana, cocok digabungkan dengan warna apa saja. Hitam bercampur dengan warna lain
Eve sudah memastikan kalau Dexter itu tidak sopan, menginginkannya saat dia benar-benar masih butuh tidur setelah tidur hanya 3 jam selama 3 hari ini. Kalau Eve bermalas-malasan, maka dia tidak bisa disalahkan. Dexter mendorong dada Eve dengan lembut saat pria itu telah berlutut di antara kedua pahanya di hadapannya. Eve tidak merasa ingin melawan, meletakkan punggungnya kembali ke kasur empuknya. Dexter yang sudah hampir 2 minggu tidak mendengar rengekan lirih Daniel yang meminta susunya di malam hari rupanya sudah mulai kehilangan kemampuan telinganya yang sensitif. Dia baru bangun saat Daniel menangis lirih, untungnya belum meledak tangisannya. Eve juga tampaknya mulai terbiasa mendengarnya jadi terbangun. Dexter tidak ingin Eve bangun untuk Daniel, Eve sudah terlalu capek. Dia mendorong tubuh Eve untuk kembali berbaring. Tergoda untuk menciumnya dengan kecupan-kecupan di bibirnya pelan-pelan lalu memberinya satu ciuman bibir dengan gosokan lidah yang memb
“Kamu nggak sopan, Ex.” Dexter terkekeh sambil memeluk pinggang Eve dari belakang. Dia mencium leher Eve dan menghisapnya lalu menggigitnya sedikit dan terkekeh lagi. Eve memandangi bayangan mereka berdua di cermin besar pagi itu. Mereka baru saja mandi dan Dexter memulai pergulatan di dalam kamar mandinya, di bawah hangatnya air pancuran shower, entah dengan gaya apa, Eve hanya merasakan nyaman seperti semalam dan terlalu capek untuk mengeluh. Padahal Eve masih ingin tidur tetapi Dexter memanggulnya seperti karung beras sampai ke kamar mandi dan dia terpaksa membuka matanya lebar-lebar. “Aku nggak bikin tanda tetapi kamu bikin tanda sebanyak ini.” Tumben mulut Eve saja yang bekerja, tangannya diam, otaknya berpikir. Eve ngeri melihat semuanya di cermin. Bibirnya bengkak, leher dan dadanya penuh dengan tanda merah, beberapa di antaranya akan menjadi biru. Tidak mungkin semuanya ditutupi make-up, Eve tidak menyukai banyak make-up di kulitnya. “Itu tand
“Kamu tidak perlu membuat tanda sebanyak itu, Boy. Kami semua bisa melihat hasil perbuatanmu terlalu jelas,” kata Aksa. Dia memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Aksa bisa melihat semua tanda merah di leher Eve dan memastikan kalau Dexter pasti membuat banyak tanda di tempat lainnya. “Ini masakan Eve,” sahut Dexter. Aksa mengerutkan keningnya, anaknya itu menjawab kalimatnya dengan kalimat lain yang tidak ada hubungannya. “Lumayan juga,” sahut Aksa, hanya mengikuti ke mana arah pembicaraan itu, tetapi pujian itu benar adanya. “Itu bukti transfer, Pa. Empat kali transfer, Pa, jadinya tanda sebanyak itu,” sahut Dexter. Anaknya benar-benar gila. “Kamu ada rencana mau ke mana hari ini?” tanya Aksa. Aksa dan jajaran direksi, termasuk Dexter sendiri, sudah membahas masalah itu dan penanganannya, tetapi detailnya belum diketahui Dexter karena dia minta ijin pulang lebih dulu pada Aksa. Aksa langsung mengijinkan melihat anaknya itu terlihat cemas pada keadaan is
Eve tidak bisa menebak berapa lama lagi dia bisa bertahan di bawah tubuh Dexter seperti saat ini. Rasanya antara nyaman dan tidak nyaman, enak dan tidak enak, lelah dan tidak melelahkan. Membingungkan.Hari ini mereka semua pergi ke Bandung, yang sebenarnya hanya berputar-putar keliling kota di dalam mobil, turun sebentar untuk makan dan melihat-lihat tempat wisata atau tempat belanja. Tidak ada tujuan khusus seakan mereka hanya ingin menghabiskan waktu bersama.Daniel mulai mau bermain bersama orang tua Dexter. Hanya bermain. Untuk urusan gendong-menggendong, Daniel masih saja menolak. Sebentar saja dia mau asalkan masih dekat dan melihat salah satu dari orang tuanya. Mungkin hanya 10 menit saja, tidak lebih, kadang kurang.Pulangnya, hampir jam 10 malam, Daniel sudah tertidur dalam gendongan Dexter. Anak itu lebih memilih Daddy daripada Mommy, minum susu, bermain, gendong, hampir semua hal. Entah apakah Eve benar, anak itu memiliki insting akan berpisah agak l
“Ruang makan ini dulu tertutup tembok,” kata Eve teringat sesuatu. Eve sedang duduk di meja makan berdua dengan Diana. Mereka duduk melihat taman belakang yang bisa dilihat dari ruang makan berkonsep terbuka jadi terhubung langsung dengan taman. Diana tidak menjawab, hanya mendengarkan seberapa banyak yang dikatakan Eve. “Temboknya berwarna hijau lumut. Dan penuh dengan coretan tangan anak kecil yang menggambar robot, mobil, macam-macam. Dan taman belakang itu dulu tidak seluas ini, tidak cukup untuk berlari-lari seperti sekarang. Ayunannya dulu bukan berbentuk bangku, tetapi ayunan satu-satu yang bisa melayang lebih tinggi, itu menyenangkan tetapi lebih berbahaya.” Eve seperti sedang membaca adegan demi adegan di dalam otaknya yang entah muncul dari mana. Diana kembali memutar memorinya lagi. Tembok ruang makan memang berwarna hijau lumut saat anak-anaknya masih kecil gara-gara Aksa membaca kalau warna hijau bisa meningkatkan nafsu makan. Kelihatannya itu tidak berh
14 Desember 2018.Dexter menyapu semua orang di restoran itu dengan tatapannya. Mencari orang seperti ini bukanlah keahliannya. Dulu saja dia melewatkan Eve yang menjemputnya di bandara.Dia masih ingat wajah orang yang dicarinya dengan jelas karena wajah menyebalkan itu sempat membuatnya kalap sebelum mereka berbaikan dengan cara yang tidak pernah Dexter bayangkan sebelumnya.Tubuh pria memakai kemeja putih bergaris biru diagonal itu tampak lebih besar daripada yang diingat Dexter hari itu, mungkin karena snelli-nya tidak dipakai hari ini.“Wah, lama banget!”“Maaf.” Dexter tersenyum dan segera membuka kursi untuk dirinya sendiri.“Tidak apa! Yang minta tolong harus mengalah.”Dexter duduk di hadapan Darwin yang menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Dia memanggil pelayan dan memesan minuman, “Jus alpukat satu, tanpa gula, tanpa susu putih, susu coklat sedikit saja. Terima kasih.&rd
9 Januari 2019. Ponsel di atas meja itu terus berdenting, pesan-pesan masuk tiap 30 menit. Eve mendesah pelan, ulah Dexter memang aneh, dia terus meneror Eve untuk datang dan merayakan ulang tahunnya. Sebenarnya apa bedanya kalau Eve datang atau tidak. Eve sempat bertanya pada Felix, apa ada acara perayaan ulang tahun Dexter tetapi Felix mengatakan tidak. Jadi apa tujuan Dexter menyuruh Eve datang kalau tidak ada acara yang harus dihadiri? ‘Besok ulang tahunku.’ ‘Kamu harus datang.’ ‘Datang nggak perlu bawa kado, cukup bawa kamu, Lovie.’ ‘Love, datang atau nggak?’ ‘Aku tunggu.’ ‘Aku tunggu, please.’ Eve selalu menjawab pesan dan telpon dari Dexter dengan cepat. Dia tidak ingin Dexter merasa kesal kalau sulit menghubungi Eve sesuai janjinya, Eve memang tidak pernah melepaskan semua yang dia miliki, kecuali mereka ingin melangkah pergi. Hanya saja yang ini dia malas menjawab. Sejak pulang merayakan Natal,