9 Januari 2019.
Ponsel di atas meja itu terus berdenting, pesan-pesan masuk tiap 30 menit. Eve mendesah pelan, ulah Dexter memang aneh, dia terus meneror Eve untuk datang dan merayakan ulang tahunnya. Sebenarnya apa bedanya kalau Eve datang atau tidak.
Eve sempat bertanya pada Felix, apa ada acara perayaan ulang tahun Dexter tetapi Felix mengatakan tidak. Jadi apa tujuan Dexter menyuruh Eve datang kalau tidak ada acara yang harus dihadiri?
‘Besok ulang tahunku.’
‘Kamu harus datang.’
‘Datang nggak perlu bawa kado, cukup bawa kamu, Lovie.’
‘Love, datang atau nggak?’
‘Aku tunggu.’
‘Aku tunggu, please.’
Eve selalu menjawab pesan dan telpon dari Dexter dengan cepat. Dia tidak ingin Dexter merasa kesal kalau sulit menghubungi Eve sesuai janjinya, Eve memang tidak pernah melepaskan semua yang dia miliki, kecuali mereka ingin melangkah pergi. Hanya saja yang ini dia malas menjawab.
Sejak pulang merayakan Natal,
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian semua suka. Saran, pujian dan kritik adalah dukungan buat penulis, jadi silahkan comment kalau berkenan. Hug and kiss, Josie.
10 Januari 2019.‘Happy birthday, Daddy.’ (Eve)Itu pesan pertama yang dilihat Dexter saat membuka matanya di pagi hari itu. Video yang memperlihatkan Daniel yang tertawa dan tangannya menggenggam kartu ucapan dengan tulisan selamat ulang tahun itu benar-benar membuatnya ingin pulang. Eve tidak terlihat di dalam video itu.Dia tertawa saat Daniel mulai memasukkan kartu itu ke dalam mulutnya dan Eve yang terkejut langsung berusaha merebutnya. Daniel sudah mulai bisa diam dalam posisi duduk tetapi belum bisa duduk sendiri. Anak itu duduk agak limbung terlihat berteriak dan tangannya mengepal untuk protes. Tetapi seperti biasa, Eve menang dan menyuruh Daniel melambaikan tangannya pada kamera. Sepertinya Nanny yang merekam video itu.Masih banyak pesan berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Dexter tetapi pesan dari Eve adalah yang dibukanya paling pertama, bahkan sebelum dia melakukan apa pun setelah membuka mata.Hari ini terasa lebih men
Tami Sanjaya memang tidak secantik mantan kekasih Dexter yang lain, tetapi wanita itu cukup menarik perhatiannya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi atau pendek dan selalu langsing meskipun hobinya makan dan memasak. Lesung pipitnya yang kala itu membuatnya terlihat sangat manis.Tata, itu panggilannya, Dexter juga memanggilnya seperti itu. Mereka bertemu saat kuliah di universitas yang sama hanya beda jurusan. Dexter mengambil jurusan teknik sipil semester 6, Tata mengambil jurusan perhotelan semester 2. Hubungan mereka hanya berjalan kurang dari setahun.Tata bukan berasal dari keluarga kaya seperti Wongso atau Daveno. Keluarganya termasuk kelas menengah ke atas, memiliki restoran terkenal yang dikelola turun-temurun, tetapi Tata ingin membuka toko rotinya sendiri. Dia sadar betul siapa dirinya saat dia naksir berat pada Dexter, pria bermata kelam yang ternyata sangat baik dan menyenangkan. Tata sadar kondisi ekonomi mungkin saja memisahkan mereka. Jadi dia mati-matian me
Eve tiba di bandara Juanda jam 8 pagi. Dia pergi dengan penerbangan yang paling pagi ke Surabaya, menghindari memakai jet perusahaan supaya bisa mengunjungi Dexter dan memenuhi janjinya. Eve sudah membuat bumbu-bumbu dari rumahnya kemarin siang dan menyuruh salah satu pegawai mengirimnya ke temannya, Arga, yang memiliki restoran di dekat kantor yang sekarang ditempati Dexter di Surabaya. Tentu saja Arga tidak keberatan, Eve pemilik separuh saham restoran Red Moon itu. Setibanya di bandara, Eve langsung berangkat menuju restoran itu. Arga terlihat menyambutnya di depan pintu masuk. “Suamimu manja,” kata Arga terkekeh geli. “Lebih tepatnya meminta perhatian, Arga. Taruhan deh, kamu juga pasti begitu dengan Nanda.” Eve menganggap Dexter itu serupa dengan Daniel yang suka meminta perhatiannya dengan berbuat berbagai macam suara dan kenakalan. “Eh, siapa bilang?!” “Aku pinjam dapurmu.” Eve segera pergi ke dapur dan mulai memas
Dexter tidak memiliki rencana untuk duduk lama di hadapan Tata. Apalagi saat topik betapa kayanya keluarganya dibahas lagi. Dia hanya ingin menyingkir, tetapi dia merasa tidak enak pada Tata. Dia sebenarnya ingin menyalahkan Eve yang mengajarinya caranya bersabar seperti saat ini.“Aku pamit dulu. Harus kembali ke kantor.”“Katanya rapatnya jam 1. Ini baru jam 11.30.”Dexter tidak membutuhkan kelanjutan kata-kata itu.“Aku takut mengganggu pekerjaan kamu,” jawab Dexter. Senyumnya itu terpaksa sekali ada di sana.“Kantor itu dekat dari sini jadi 10 menit perjalanan saja cukup. Aku tidak repot, sudah ada yang lain yang menjalankan toko, aku tinggal mengawasi saja.”Pembicaraan terus berlanjut, topiknya berganti-ganti, dari kenangan masa kuliah mereka, kabar tentang teman-teman kuliah mereka sekarang, pekerjaan masing-masing sampai keadaan mereka saat ini. Topiknya tidak pernah habis, maklum itu k
Dexter keluar dari toilet khusus pria yang terletak di dekat taman, hanya dia sendiri, tidak ada orang lain di sekitar sana. Dia melihat Tata menunggu di seberang tempatnya berdiri lalu menghampirinya. “Kamu tidak perlu menunggu aku.” “Aku mau aja,” sahut Tata. “Berasa seperti anak hilang,” canda Dexter sambil tertawa. Tata tetap memasang wajah seriusnya. “Kamu itu mantan yang hilang.” Itu serangan pertama Tata yang tidak pernah diduga Dexter. Dia sudah cukup dewasa untuk mengerti kalau Tata berharap kembali padanya. Felix memang benar tentang perasaan lebih seorang Tata kepadanya, tetapi Felix salah tentang Dexter yang seakan ingin bermain api. Untuknya sekarang, bermain api itu hanya dengan Eve, dia tidak pernah bisa berhenti bermain dalam dinginnya gunung es. “Beberapa mantan hilang memang tidak ingin kembali.” Dexter ingin Tata mengetahui apa yang ada di otaknya. “Aku akan membawanya kembali kalau dia mau.” “Tidak. Tidak, d
Dexter mulai merasa tidak nyaman. Dia melepaskan lengan Tata yang memeluknya pelan. Tata tidak melawan.“Maaf, kalau kamu salah sangka.”“Aku tidak menyangka kalau dulu kita dipisahkan oleh orang tuamu sekarang oleh istrimu. Maksudku secara tidak langsung,” kata Tata sambil menyedot cairan di dalam hidungnya.Tata dengan patuh mengikuti Dexter dengan berjalan di sampingnya. Dexter berjalan pelan-pelan jadi Tata bisa mengikutinya.“Orang tuaku tidak pernah melarang hubungan kita.”“Tante Diana tidak suka aku.”“Mama memang begitu. Yang membuat kita pisah ya kita sendiri. Aku hanya tidak merasa cocok dengan kamu. Kamu terlalu sering melarang ini-itu, kamu juga tidak percaya aku. Dan aku sudah katakan itu berkali-kali. Kamu tidak mau mendengarkan aku.”“Awalnya aku kira itu adalah hal yang harus aku lakukan untuk membuat hubungan kita makin dekat. Tetapi aku juga tidak suk
Dexter menerima jabat tangan sebagai ucapan selamat ulang tahun dari para petinggi Buana Prima Konstruksi dengan pandangan tidak sabar. Tangannya terasa seperti kebas tiap kali ada yang menjabat tangannya. Tangan itu sebenarnya mencari sesuatu yang lain, sesuatu yang bisa disentuhnya di luar dan di dalam, sesuatu yang sepertinya bisa lumer di dalam panas tubuhnya tetapi tetap saja membuatnya hangat. Sejak tiba jam 1 kurang 5 menit, hanya 5 menit sebelum rapat dimulai, dia menarik Felix ke ruangan kecil di dalam ruang rapat itu, tanpa peduli pada orang-orang yang menunggunya memulai rapat. Dia membelalakkan matanya saat menemukan banyak makanan di ruangan itu, beberapa di antaranya adalah masakan Eve. Tentu saja dia yakin karena memang dengan tidak sopan dia mengambil mangkuk dan menciduk sop ayam yang ada di sebuah wadah cantik berukuran besar yang bisa mempertahankan suhu hangat sop itu. “Eve mana?” tanya Dexter sambil menghirup kuah sop dan mengunyah sosis ayamnya.
Eve sudah hampir berangkat ke Malang sore itu. Niatnya batal karena telpon dari Darwin. “Temui aku malam ini juga! Kalau tidak, aku…” kata Darwin dengan nada tinggi. Darwin tidak bisa memperlihatkan kemarahannya pada semua orang, hanya pada orang-orang tertentu, salah satunya Eve. Itu adalah kebiasaan yang diajarkan oleh ayahnya, kemarahan yang tampak adalah sebuah kelemahan, ketenangan adalah kemenangan. Darwin mengingat itu dengan baik apalagi itu membantunya saat dia menghadapi orang tua pasien-pasiennya atau pada rekan-rekan kerjanya. Mungkin itu juga sebabnya kalau dia sangat menyukai dan merasa cocok dengan Eve yang terlihat selalu tenang. “Tunggu saja, malam ini juga kita akan ketemu,” sahut Eve dengan tenang memotong perkataan Darwin. Darwin memang begitu, kalau dia sangat marah maka dia perlu menyemburkan kemarahannya pada orang itu, dan kali ini pada Eve. Tetapi Eve yakin ini pastilah sangat penting. Eve menyalakan ponselnya dan mengabaikan